Kita & Kanker - 07 🎗️
Aku berlari masuk ke dalam kamarku, kemudian menguncinya agar tak seorangpun bisa masuk, dan menemukan kondisiku yang benar-benar terpuruk saat ini. Aku duduk di sudut kamarku, meluapkan semua emosiku dalam bentuk tangis.
“Kamu gak perlu takut sayang, apapun yang terjadi, percaya sama aku aku gak bakalan pernah ninggalin kamu. Aku sayang kamu.”
Tiba-tiba saja terngiang di pikiranku, kata-kata yang Rendy ucapkan sebelum aku bertemu dokter Andrew seminggu yang lalu. Tak bisa aku bayangkan, kisah cinta yang sudah aku dan Rendy rajut bersama, kini harus sirna hanya karena sebuah perjodohan. 3 tahun yang kami lewati seolah tak bermakna apa-apa. Lalu, kuambil sebuah album yang berisi foto-fotoku bersama Rendy selama pacaran. Ada begitu banyak foto yang terambil saat Rendy memelukku, saat kami tertawa bersama, dan masih ada banyak lagi.
Kuambil selembar foto, yang dimana terdapat aku dan Rendy yang tengah tersenyum begitu lepas. Aku masih ingat, foto itu diambil kurang lebih 2 tahun yang lalu, saat aku dan Rendy merayakan tahun pertama anniversary hubungan kami. Waktu itu, kami memutuskan untuk liburan berdua saja di villa kepunyaan papanya Rendy. Ah, aku benar-benar masih tak habis pikir, mengapa papanya Rendy dengan tega memaksakan kehendaknya pada Rendy? Akan tetapi, mengapa Rendy juga tidak menolak? Apa memang dia mau jalan yang seperti ini? Tapi, kata Rendy, dia masih benar-benar mencintaiku.
Aku membalikkan foto itu, dan terdapat sebaris kalimat komitmen kami berdua yang pada saat itu kami tulis menggunakan pulpen milik salah satu temanku. Maklum saja, pada saat itu kami sedang di aula sekolah, sehingga tidak membawa pulpen. Kebetulan, temanku itu membawanya, dan jadilah kami menuliskan komitmen kami saat itu juga.
Kira-kira, seperti ini bunyi komitmen yang kami tulis pada masa itu.
“Saya Rendy berjanji tidak akan pernah meninggalkan Keyra apapun yang terjadi.
“Saya Keyra berjanji tidak akan pernah berhenti mencintai Rendy apapun yang terjadi.”
Air mataku kembali tak bisa kubendung. Ia jatuh begitu saja, membasahi pipiku. Aku memeluk foto itu. Tangisku semakin kencang. Namun, ya, aku berusaha untuk menangis dalam diam. Tentunya, aku tidak ingin membuat siapapun yang ada di rumah ini mendengar tangisanku. Cukup aku dan Tuhan saja yang tahu, tidak perlu papa ataupun bibi sampai mengetahui aktivitasku saat ini.
‘Kenapa semua harus jadi seperti ini?’ tanyaku dalam hati. Rasanya, aku benar-benar tidak ikhlas bila semua ini harus terjadi. Mengapa? Mengapa ada yang namanya ‘perjodohan’? Ini sudah zaman modern, apakah perjodohan masih pantas untuk diadakan?
Aku terus-menerus menangis. Ya, mungkin, dengan cara inilah aku dapat meluapkan semua perasaan kecewaku. Jujur saja, aku benar-benar berharap bahwa ini semua ialah mimpi.
Berbicara mengenai mimpi, apakah mimpi yang beberapa hari lalu aku alami itu ialah suatu pertanda? Apakah datangnya mimpi itu memang sengaja, untuk memberitahukan kabar perpisahan yang tak lama lagi akan aku dapatkan? Tapi, bukankah mimpi itu mengartikan keadaan yang sebaliknya?
Papa pernah berkata kepadaku, bila aku bermimpi sesuatu yang buruk, aku tidak perlu khawatir. Ya, itu semua karena, mimpi selalu mengartikan kebalikan. Lantas, mengapa sekarang terasa berbeda? Mimpi yang aku dapati malah benar-benar mengartikan keadaan yang sebenarnya. Aku benar-benar bingung dengan semua itu.
Aku menyimpan kembali fotoku bersama Rendy tadi, ke dalam album foto. Aku menutup album tersebut, menatap sampul album itu lekat. Tidak ada yang menarik dari sampul tersebut, hanya warna putih dengan hiasan glitter yang membuatnya terlihat lebih menarik. Ya, warna putih. Putih melambangkan kesucian. Maka, seperti itu pula, cintaku kepada Rendy. Warna putih juga melambangkan kesempurnaan, dimana aku berharap bahwa pertemuanku dengan Rendy akan membawa kami ke suatu kesempurnaan, yang dinamakan cinta sejati.
Namun, sekarang aku tahu. Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan seorang. Bahkan, cintaku dengan Rendy, masihlah jauh dari kata sempurna.
Aku bangkit dari posisi dudukku, namun, sedetik kemudian aku terjatuh. Kurasakan pusing yang begitu kuat melanda. Kakiku melemas, tidak mampu untuk sekadar berdiri, menopang tubuhku yang mungil. Kurasa, pandanganku mulai mengabur, dan kian menggelap. Akan tetapi, sebelum pandanganku benar-benar menggelap, dapat kulihat bercak merah menodai sampul album fotoku.
Ralat, album fotoku dengan Rendy, mantan kekasihku.
🎗️🎗️🎗️
Saat aku membuka kedua mataku, hal pertama kali yang kulihat adalah ruangan bernuansa serba putih. Ini bukan kamarku. Lalu dimana aku? Kuedarkan pandanganku ke sekitar, dan kutemukan seorang suster yang tengah sibuk membetulkan selang infusku.
“Adek sudah sadar?” tanya suster itu padaku. Aku yang masih dalam kondisi setengah sadar, hanya tersenyum kecil. Suster itu kemudian berjalan meninggalkanku, keluar dari ruanganku.
Aku mencoba mengingat kembali ingatanku beberapa jam yang lalu. Lagi, yang terbayang adalah bayangan Rendy dengan perempuan itu. Tanpa kusadari, setetes air mataku mengalir lagi. Aku memejamkan mataku, berharap air mata itu bisa berhenti keluar.
“Sayang, kamu sudah sadar?” Suara papa menyadarkanku dari bayangan itu. Sekarang aku bisa menebak mengapa aku bisa ada di ruangan ini. Pasti, papalah yang membawaku kemari. Namun, mengapa bisa? Bukankah kamarku tadi sedang dalam keadaan terkunci? Mengapa papa bisa membukanya kalau begitu?
Ah, aku baru ingat bila papa mempunyai kunci cadangan kamarku.
“Sayang, kamu kenapa tadi bisa pingsan seperti itu? Tadi kata dokter sepertinya kamu terlalu memikirkan sesuatu yang berat sehingga menyebabkan kamu pingsan kayak tadi. Ada masalah sayang? Kalau ada cerita sama papa,” ucap papa panjang lebar, jelas mengisyaratkan kekhawatirannya.
Aku hanya tersenyum simpul dan menggeleng kecil. Papa menghembuskan napasnya, kemudian turut mengembangkan senyumnya padaku.
“Okelah jika kamu masih belum mau bercerita. Tapi, kalau ada apa-apa cerita ya, Key. Hanya dengan berceritalah kita dapat melepaskan sedikit dari beban pikiran kita.” Aku menganggukkan kepalaku mendengar ucapan papa. Ya, memang benar, bila kita membagi beban pikiran kita dengan bercerita kepada orang lain, maka beban itu akan sedikit hilang. Akan tetapi, untuk sekarang ini, aku masih enggan untuk bercerita kepada papa. Aku tidak mau, membuat papa khawatir. Biarlah, lambat laun, aku yakin papa akan segera mengetahuinya. Yang terpenting, bukan sekarang waktunya.
“Ngomong-ngomong, kamu harus rawat inap dulu di sini, Sayang. Ini anjuran dari dokter, supaya dokter dan para suster yang ada di sini dapat terus memantau kondisi kamu.“
Lagi-lagi, aku hanya mengangguk, dan tersenyum mengiyakan ucapan papa.
»»----------------¤----------------««
Percayalah, bila senyum yang kini aku tampilkan ialah senyum penuh kepahitan. Harus berapa lama lagi aku begini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro