Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kita & Kanker - 03 🎗️

Setelah semalaman aku tidak tidur, yang lebih tepatnya tidak bisa tidur karena 1 kata yang terus-menerus menghantui pikiranku. Sehingga sekarang, dengan kondisi kantong mataku yang menghitam ini, aku dan papaku sedang berada di jalan menuju rumah sakit untuk mengambil surat hasil diagnosa mengenai kondisiku. Padahal aku belum sempat memberi tahu perihal kondisiku kemarin malam kepada papa. Ya, aku ingat betul, aku bahkan belum bertemunya semalam. Sehabis pulang dari rumah sakit kemarin, aku langsung mengunci diri di kamar, dan tidak keluar lagi untuk sekadar makan malam.

Akan tetapi, tadi pagi, saat aku baru saja membuka pintu kamarku, terdengar suara menginterupsi dari papa yang tengah duduk di kursi dekat balkon. Ia bertanya mengenai kondisiku, dan terdengar seperti sedikit marah. Ya, aku maklumi saja jika papa bisa marah padaku, karena siapa orang tua yang terima jika anaknya menyembunyikan hal seberat ini dari mereka?

Tidak usah kutanya lagi, darimana papa mengetahui semua tentang kondisiku. Aku sendiri dapat menebak darimana asal muasal papa mengetahui tentang kondisiku. Ya, siapa lagi yang memberitahunya, kalau bukan dokter Andrew.

Akhirnya, aku dan papa pun tiba di rumah sakit. Karena tadi pagi papa sudah memberitahu kepada dokter Andrew perihal kedatangan kami, maka kami berdua langsung saja menuju ke ruangan kerjanya. Alhasil, sekarang aku dan papa sudah berada di ruangan dokter Andrew.

Aku memilih duduk di kursi yang tepat berada di depan meja dokter Andrew, sementara papa berbincang sedikit dengan dokter. Terdengar beberapa sapaan dan candaan yang terlontar dari keduanya. Mungkin, efek sudah beberapa minggu terakhir mereka tidak bertemu, jadinya sedikit melepas rindu terlebih dahulu.

Setelah mereka berbincang selesai, papa dan dokter Andrew kembali serius. Papa duduk di kursi sebelahku.

“Ini hasil diagnosanya, silakan dibuka,” ucap dokter Andrew, sembari menyerahkan sebuah amplop berwarna putih kepada papa. Papa langsung mengambilnya, lalu sejenak menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan hanya dalam 1 kata. Ya, dapat kulihat bahwa rasa cemas, takut, khawatir serta penasaran bercampur menjadi 1 didalamnya. Perlahan, papa mulai menyobek salah satu ujung amplop putih yang membungkus kertas hasil diagnosa itu. Rasa-rasanya, jantungku seperti sedang lomba marathon, sedari tadi berdetak begitu kencang di dalam tubuhku. Kutarik dalam napasku dan kuembuskan kembali, setidaknya ini sedikit membuatku lebih tenang. Ya, sedikit saja.

Sekarang, kertas hasil diagnosa itu sudah tak lagi terbungkus dengan amplop. Perlahan papa membuka lipatan kertas itu. Sedangkan aku memilih untuk tidak melihatnya terlebih dahulu, sembari mencoba untuk ikhlas apabila hasilnya tak sesuai yang dikehendaki.

“Dok? Ini--”

Suara papa memecah keheningan yang terjadi beberapa saat lalu. Aku dapat menebak bahwa kali ini hasilnya tidak akan baik, karena suara papa yang mulai berubah, menjadi tidak tenang seperti biasanya.

🎗️🎗️🎗️

Aku terbangun dari tidurku, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 malam. Sebegitu lamanya kah aku tertidur? Kuputar kembali ingatanku beberapa jam yang lalu sembari memejamkan mata.

“Iya, berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut yang sudah saya lakukan kepada Key, maka Key divonis mengidap kanker darah putih atau Leukemia,” ucap Dokter Andre.

Tidak!! Ini tidak mungkin!!

Tidak mungkin aku mengidap penyakit itu!

Tidak mungkin aku terkena kanker.. Tidak mungkin!

Arghhhh!!!!

Aku menjerit di dalam hatiku. Aku tidak mampu, bahkan untuk sekadar menyuarakan jeritanku saja, aku tidak mampu.  Sungguh, aku tak kuat lagi. Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi sayangnya, air mataku pun tak mau turun lagi.

Sedari tadi di rumah sakit, aku tak bisa henti-hentinya menangis, mungkin itulah yang menyebabkan air mataku tak turun lagi saat ini.

Tapi, perlu kalian tahu.

Menangis seperti ini, dimana aku hanya bisa menjerit-jerit di dalam hati, lebih menyakitkan daripada menangis, sembari berteriak kencang.

Sungguh, rasanya begitu sakit.

🎗️🎗️🎗️

Beberapa notif masuk melalui aplikasi WhatsApp ku. Sepertinya itu dari Rendy. Aku mengambil handphoneku, lalu memasukkan sandi yang mengunci hand phone ku. Lalu kuusap layar dari atas ke bawah, yang menampilkan sederetan notifikasi masuk dari aplikasi WhatsApp dan Instagram. Di sana, aku dapat membaca semua pesan yang dikirim Rendy dari aplikasi WhatsApp ku. Ada sekitar dua puluhan pesan yang dikirimkannya. Semua isinya sama. Menanyakan bagaimana hasil diagnosanya dan juga mengapa aku tak kunjung membalas pesan darinya. Aku tak berniat membalasnya, jadi aku putuskan untuk mematikan saja hand phoneku agar tak semakin banyak pesan yang dikirimnya kepadaku. Sungguh, saat ini yang aku butuhkan hanyalah waktu sendiri untuk menenangkan diri. Masih sulit bagiku untuk menerima semua kenyataan ini.

Tapi tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka, menampilkan papa dengan nampan berisi sebuah mangkok dan gelas di atasnya. Setelah menutup pintu, papa berjalan ke arahku, meletakkan nampan tersebut di atas meja belajarku yang tepat berada di samping ranjangku. Lalu duduk di ranjangku dengan posisi berhadapan denganku.

“Udah malam, Key belum makan kan? Makan dulu ya,” bujuk papa sambil mengelus puncak kepalaku. Tapi, aku hanya menatapnya diam.

“Coba deh kamu lihat, papa bawain kamu apa. “ Kulirik sebentar nampan itu, ternyata semangkok bubur ayam dan segelas susu tersaji diatasnya. Tapi, setelahnya aku memalingkan wajahku tak nafsu.

“Papa bawain bubur ayam kesukaan Key. Hujan-hujan loh papa rela beliin bubur itu hanya demi putri kesayangan papa. Papa juga udah bikinin susu cokelat hangat untuk Key. Dihabisin ya.“ Memang benar kata papa. Bubur ayam yang dijual di depan kompleks perumahan itu memang bubur ayam kesukaanku dari sejak SD. Hampir setiap minggu aku membelinya untuk kujadikan sarapan, terkadang juga untuk makan malam bila aku sedang tak ingin menyantap nasi. Tapi, sekarang bubur ayam itu tak berefek apa-apa kepadaku. Wangi baunya pun tak bisa menarik perhatianku untuk menyantapnya. Seakan-akan, hidungku sudah mati rasa dibuatnya.

“Kenapa? Gak nafsu makan ya Key?” tanya papa yang kubalas dengan anggukan.

“Kepikiran soal penyakit itu?” Lagi-lagi aku mengangguk membenarkan ucapan papa.

“Sini deh papa peluk. “Papa menarik tanganku, dan membawa tubuh mungilku ke dalam pelukannya. Dielusnya puncak kepalaku oleh papa.

“Papa tahu, ini berat banget buat Key. Papa juga ngerasa sedih, sangat sedih mendengar Key mengidap penyakit ini. Kalau saja bisa, papa ingin memindahkan penyakit itu kepada papa aja. Biar papa aja yang tanggung, gak usah Key. Tapi, papa gak bisa mindahinnya. Ini kuasa Tuhan.” Ucapan papa terhenti. Ia menghapus jejak air mata yang mulai mengalir di pipiku, lalu melanjutkan ucapannya.

“Key itu anak yang kuat, dari kecil hingga sekarang Key itu gadis yang kuat,sama seperti mendiang mama. Jadi, Key harus yakin. Key pasti bisa ngelewatin ini semua. Karna Key gak sendiri, ada papa disini. Key gak sendiri.“ Aku melepas pelukan papa, lalu menatap papa dengan mata yang sembab.

“Pa, tapi Key takut. Kanker itu kan mematikan,” ucapku lirih.

Ssstt. Key gak boleh ngomong kayak gitu. Kanker itu gak selalu menyebabkan orang-orang yang menderitanya meninggal. Banyak kok teman-teman SMA papa yang kena kanker, tapi mereka sembuh. Karna apa? Karna mereka percaya bahwa mereka bisa sembuh. Begitupula dengan Key, Key harus percaya, Key pasti bisa sembuh. Key percaya kan?” Aku menghembuskan napasku kasar, lalu mengangguk pelan.

“Iya pa, Key percaya. Asal papa terus disamping Key. Janji?“ tanyaku sambil menunjukkan jemari kelingkingku yang dibalas papa dengan lingkar jari kelingkingnya juga.

“Papa janji. Udah, jangan mellow-mellow lagi. Sekarang buburnya dimakan, keburu dingin tuh.“

»»----------------¤----------------««

Cinta pertama itu ialah cinta seorang anak kepada ayahnya. Cinta yang tidak akan pernah menimbulkan rasa sakit, karena merasa tak terbalas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro