Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kita & Kanker - 02 🎗️

Tak butuh waktu lama, mobil sedan milik Rendy sudah memasuki area parkir rumah sakit. Setelah memarkirkannya, aku dan Rendy pun keluar dari mobil.

“Ren,” panggilku.

“Kenapa sayang? Takut?” tanyanya sambil merangkul pundak kecilku. Sepertinya ia dapat merasakan aura ketakutanku yang begitu kuat terpancar dari sorot mataku.

“Iya, gimana kalau terjadi apa-apa sama aku?” tanyaku lirih. Rendy memberhentikan langkahnya, yang otomatis aku juga ikut berhenti. Kemudian, ia memelukku dan mengelus-elus pundakku.

“Kamu gak perlu takut sayang, apapun yang terjadi, percaya sama aku aku gak bakalan pernah ninggalin kamu. Aku sayang kamu. “ Ia melepas pelukannya. Sungguh, di saat seperti ini hanya Rendy yang mampu menguatkanku. Perihal ucapannya barusan, aku berharap Rendy akan selalu menepatinya, dan tidak akan meninggalkanku.

Kami pun lanjut berjalan. Kami berjalan menuju lift, kemudian menuju ruangan dokter Andrew yang berada di ujung lorong sebelah kiri. Sebelumnya, aku sudah membuat janji dengan dokter Andrew, sehingga aku langsung menuju ruangannya saja. Aku mengetuk pintu ruangan itu dengan perlahan, namun tidak ada balasan. Aku mencoba mengetuk lagi, namun benar-benar tidak ada jawaban dari dalam sana. Aku menatap Rendy, dengan tatapan bertanya. Seolah mengerti maksudku, Rendy mengedikkan bahunya.

“Permisi, Dik. Adik mau cari dokter Andrew, ya?” Seorang suster bertanya padaku, dan Rendy. Aku lantas mengangguk.

“Iya, Sus. Dokter Andrewnya kemana ya, Sus? Soalnya, daritadi saya ketuk, tidak ada jawaban dari dalam. Mau masuk, hanya saja terkesan kurang sopan,” jawabku.

Suster dengan name badge bertuliskan “Marissa Lestari” itu tersenyum kepadaku.

“Dokter Andrewnya kebetulan sedang keluar, Dik. Ada urusan mendadak. Tadi, dia menitipkan pesan kepada saya agar adik menunggu sekitar 15 menit dulu di ruangan. Dokter Andrew akan segera kembali.”

“Oh gitu ya, Sus. Kalau begitu, saya dan pacar saya menunggu di rooftop saja dulu. Sekalian cari angin di sana. Terima kasih informasinya, Sus.”

Suster Marissa mengangguk, kemudian kembali ke tugasnya. Sedangkan, aku mengajak Rendy untuk pergi ke rooftop saja untuk mencari angin.

Sesampainya di rooftop, aku langsung menghirup kuat-kuat angin segar sebisaku menghirupnya. Rasanya, benar-benar sejuk. Kulihat Rendy juga melakukan hal yang sama denganku. Kami lalu memilih duduk di tepian rooftop. Aku meluruskan kakiku yang sedikit sengal.

Aku menepuk-nepuk kakiku, berusaha menghilangkan sedikit rasa sengal itu. Namun, hanya sekejap, karena, sedetik setelahnya, pandanganku terkunci pada warna jingga yang mulai menghiasi langit. Benar-benar pemandangan yang indah. Tidak rugi juga jika aku harus menunggu dokter Andrew terlebih dahulu, karena ternyata matahari terbenam turun lebih cepat dari biasanya.

“Biasa aja, Key, mulutnya. Jangan sampai menganga seperti itu, nanti kemasukan lalat,” ledek Rendy yang membuatku kesal. Aku memukul lengannya pelan. Ya, pelan-pelan saja. Setidaknya itu cukup untuk mewakili perasaan kesalku.

“Kamu nih, hobi banget ngeledekin aku.”

Aku memasang wajah cemberut, berharap Rendy akan membujukku agar tidak kesal lagi. Akan tetapi, bukannya membujuk, ia malah dengan keras menertawakanku.

“Kok kamu ketawa, sih?”

Rendy menyudahi tawanya, kemudian berdehem sejenak. “Aku ketawa, habisnya pacarku ini lucu banget.”

Mendengar ucapan Rendy barusan, aku langsung memalingkan wajahku. Aku malu, jika Rendy harus melihat wajahku sekarang, yang sudah dapat aku pastikan wajahku kini berubah menjadi semerah kepiting rebus.

“Senja itu indah, ya,” ujar Rendy tiba-tiba. Aku yang masih memalingkan wajahku, hanya bisa diam.

“Seandainya saja aku bisa ngelukis, aku pengen banget ngelukis senja di atas kanvas putih. Pasti, hasilnya akan sangat menakjubkan.”

Aku menyetujui kata-kata Rendy di dalam hatiku. Ya, memang benar, Rendy itu tidak pandai menggambar, ataupun melukis. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara menggambar matahari yang baik dan benar. Padahal, itu kan mudah sekali. Hanya cukup menggambar bulat menggunakan bantuan jangka, dan tinggal diberi garis-garis yang menunjukkan sinarnya. Ah, aku ini seperti pandai menggambar saja, padahal aku sama seperti halnya dengan Rendy. Kami sama-sama tidak pandai di bidang ini. Sebuah kecocokan yang membuat aku percaya, bahwa Rendy ini memang jodohku.

“Sayangnya, keindahan senja itu masih kalah bagi aku. Masih ada satu hal lagi yang jauh lebih indah dibandingkan jingganya senja.”

Aku tidak tahan untuk tidak menoleh ke arah Rendy. “Memangnya, apa yang lebih indah dibanding jingganya senja?”

Rendy balas menolehku, dan tersenyum. “Hal yang jauh lebih menarik dibanding jingganya senja adalah manisnya senyummu.”

“Kamu apaan, sih. Gombal banget. ” Aku memukul lengan Rendy dengan pelan, bisa-bisanya dia menggombaliku di saat seperti ini.

“Ya, gak apa-apa dong gombal sama pacar sendiri,” ucapnya.

“Ya iyalah, kalau kamu ketahuan gombalin cewek lain, aku bunuh kamu,” ujarku dengan penuh penekanan di 3 kata terakhir.

Rendy tertawa, kemudian merangkul bahuku agar mendekat ke pelukannya. “Mana mungkin aku gombalin cewek lain selain kamu. Hati aku itu udah terekat sempurna sama kamu.”

“Rekatkannya pakai apa tuh?”

“Pakai lem bernamakan cinta.”

🎗️🎗️🎗️

“Jadi, kamu mau konsultasi apa Key?” tanya dokter Andrew. Saat ini aku dan Rendy sudah berada di ruangan dokter Andrew, setelah asyik menikmati senja bersama.

Mendengar pertanyaan dokter Andrew, aku pun mulai menjelaskan beberapa kejanggalan yang mulai aku alami beberapa akhir ini.

“Selain mimisan, dan memar-memar, apa ada keluhan lain yang kamu dapati?” tanya dokter Andrew lagi, sambil menulis beberapa tulisan di kertasnya, yang tentunya tak bisa aku baca karena itu tulisan khusus yang dipelajari di kuliah fakultas kedokteran. Ya, begitulah informasi yang aku dapatkan dari dokter Andrew sebelum-sebelumnya pada saat aku bertanya.

“Ehm, Key suka ngerasa nyeri sih di bagian persendian, kadang juga di tulang belakang. Trus Key juga sering sakit kepala,” jelasku padanya. Sejenak aku menoleh ke arah Rendy yang duduk di sebelahku.

“Apa nafsu makan kamu turun?” tanya Dokter Andrew.

“Iya dok, nafsu makan saya juga menurun.“ Setelah mendengar jawabanku, dapat kulihat rawut wajah khawatir terpampang di wajah Dokter Andrew yang sudah tak berusia belia lagi.

“Keyra, apa papa kamu tahu soal kondisi kamu yang sekarang ini?”

Aku menggeleng. “Enggak tahu Dok. Key belum sempat kasi tahu.”

“Baiklah, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kondisi kesehatan kamu, ikut saya sebentar ya.“

🎗️🎗️🎗️

Di dalam kamar, aku mulai keringat dingin. Hatiku selalu bertanya-tanya, kenapa sebetulnya denganku. Tadi setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dokter Andrew meminta aku dan Rendy pulang terlebih dahulu. Surat diagnosanya baru akan keluar besok siang. Dokter memintaku untuk mengambil surat diagnosanya bersama-sama dengan papa. Untungnya besok hari minggu, jadi baik papa maupun aku tidak terikat oleh jam sekolah dan kerja.

Walaupun besok aku akan mengetahui hasilnya, tetap saja aku cemas. Bagaimana kalau aku didiagnosa mengidap penyakit yang serius? Aku sungguh takut.

Ah, aku baru terpikir, mengapa aku tidak mencari saja di google. Aku mengetikkan beberapa kata yang sekiranya sesuai dengan gejala yang aku alami. Tak butuh waktu lama, mbah google dengan sekejap menampilkan sederetan link yang berkaitan dengan gejala penyakitku.

Aku klik salah satu linknya, dan mulai membaca setiap kalimat dalam penjelasan tersebut. Hingga mataku berhenti tepat di salah satu kata yang menguras segala pikiranku.

LEUKEMIA.

»»----------------¤----------------««

Jadilah seperti senja, yang walau hanya sejenak, namun bisa memberikan warna baru yang menenangkan hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro