Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9



= Selamat membaca =

_________________________











Mencumbu rindu sepanjang waktu, memeluk bayang dikala sepi.

Hembusan angin lembut menerpa wajah seorang gadis cantik, menerbangkan beberapa helai rambut yang sengaja ia biarkan terurai begitu saja.

Jemari lentik nya menggenggam sebuah benda persegi panjang, yang layar nya menampilkan potret diri nya dan seseorang yang ia sayang.

Sudut bibir terangkat membentuk senyuman tipis, kala beberapa memori indah melesak minta di keluarkan.

Sang gadis Shani Indira, kini mendesah lelah.

"Kamu apa kabar sayang?" Gumam nya pelan "Rindu banget yaa" lanjutnya sambil terus menatap foto dirinya bersama Gracia.

"Apa papa ganggu?"

Tubuh nya sedikit tersentak, saat suara sang papa menyapu indra pendengaran nya tiba-tiba. Shani membalik tubuh nya, menatap sejenak lalu menghampiri sang papa, yang kini duduk di sebuah kursi, tak jauh dari Shani.

"Tidak pah" jawab Shani singkat, lalu memposisikan diri di samping kiri sang papa.

Natio tersenyum lembut, menatap penuh cinta pada anak bungsu nya ini. Waktu cepat sekali berlalu, rasanya baru saja kemarin ia masih menggendong Shani, sekarang tinggi Shani bahkan sudah hampir menyamai diri nya.

"Banyak hal yang terlewat ya sayang, namun papa yakin tak ada yang terlambat" Natio membuka percakapan, membuat Shani menajamkan indra pendengaran nya.

Rasanya sudah lama Shani tidak berada sedekat ini dengan sang papa. Benteng yang ia bangun selama ini, terlihat begitu jelas adanya. Rasanya canggung bahkan terkesan kaku. Namun Shani berusaha untuk tetap menikmati momen ini.

"Banyak waktu papa terbuang namun tak banyak yang bisa papa kasih buat Shani, papa sadar itu. Rasanya papa sudah pantas di beri predikat 'bukan papa idaman' ya" ucap nya di akhiri kekehan pelan, yang menular pada Shani.

Dua Natio ini sesekali saling melirik, lalu kembali fokus ke depan nya.

"Papa gak akan ber-Angan jika saja bisa memutar waktu, karena yang jelas itu tidak akan mungkin. Tapi papa ingin memaksimalkan waktu yang masih di berikan Tuhan, untuk memperbaiki semua nya"

Natio menatap ke arah Shani, tersenyum, lalu kembali menatap lurus ke depan. Menatap senja yang indah di pandangan mata, namun tetap saja lebih indah Shani indira.

"Kata maaf saja mungkin tak cukup untuk semua hal yang tidak berkenan selama ini, namun yang pasti papa tetap ingin minta maaf sama Shani, untuk banyak khilaf, banyak kelalaian, waktu yang tidak maksimal bahkan untuk banyak hal yang seharus nya di lakukan dan di berikan oleh seorang papa kepada anak nya"

Shani masih diam mencerna semua kalimat sang papa, jelas ia sangat mengerti ada penyesalan yang dalam di hati seorang Natio ini.

"Tapi Shani harus tau, rasa sayang dan cinta papa untuk Shani, tidak pernah berkurang sedikit pun. Bahkan selalu bertambah setiap hari nya"

Natio menunduk sejenak, memejamkan mata lalu menarik nafas dalam.

"Papa boleh minta satu kesempatan untuk memperbaiki semuanya?"

Shani memandang wajah penuh harap yang kini fokus menatap nya. Sudah lama sekali Shani tidak melihat wajah sang papa sedekat ini. Wajah yang selalu terlihat tegas, bahkan terkesan angkuh, namun akan berubah menjadi lemah lembut jika berhadapan dengan Mama, Shani dan juga Bobby.

Wajah yang masih terlihat tampan dan gagah, bahkan di usia nya yang tak lagi muda.

"Papa mau apa?" tanya Shani, memperjelas apa yang papa nya mau.

Natio mengusap kepala Shani, penuh rasa sayang. "Beri papa kesempatan untuk menjadi layak nya seorang papa yang bisa menjaga kamu, menjadi sandaran kamu, tempat kamu mengadu, bahkan tempat kamu berbagi. Papa ingin lebih fokus sama kamu, sama semua hal tentang Shani. Papa tidak mau menyesal jika dikemudian hari, papa gak bisa lagi megang tangan Shani, liat senyum Shani, bahkan papa tidak mau jika hadir nya papa tak lagi berarti buat Shani"

Rentetan kalimat panjang itu masuk ke indra pendengaran Shani, di cerna dengan baik oleh otak cerdas nya.

Shani tau apa yang papa nya mau, karena semua yang di ucap kan sang papa, Shani ingin kan juga. Shani butuh seseorang untuk berbagi, untuk menguatkan diri, untuk meminta banyak pendapat untuk langkah-langkah yang harus ia ambil kedepan nya.

Shani butuh bahu sang papa, peluk sang papa, bahkan kalimat-kalimat lembut yang selalu bisa menenangkan hati Shani.

Shani sudah memutuskan pilihan nya, memberi sang papa kesempatan untuk masuk pada zona yang di kehendaki nya, mendampingi Shani menjalani proses pendewasaan diri, dan membantu Shani menyelesaikan banyak permasalahan di hidup nya kini.

Shani tersenyum ketika akhirnya ia bisa menjawab "baik pah, Shani akan kasih papa kesempatan"

"Makasih sayang" Senyum haru sekaligus lega Natio tunjukkan.

"boleh papa peluk Shani?" Tanya nya penuh harap.

Shani mengangguk seraya berkata "kapanpun papa mau"

Natio menarik anak bungsu nya ini ke dalam pelukan nya, mendekap erat anak kesayangan nya yang sudah lama sekali tidak ia rasakan peluk nya.

Puas saling memeluk, Natio kembali pada posisi semula. Kembali membuka obrolan-obrolan di selingi candaan yang membuat keduanya terkekeh walau pelan.

"O iyaa sayang" ucap Natio saat ia teringat sesuatu "papa denger kabar kalo kondisi kesayangan kamu makin kurang baik"

Jantung Shani seolah di hantam keras sekali, seketika ia merasakan nyeri pada dada sebelah kiri. Sesak melesak hingga rasanya bernafas pun sulit di lakukan.

"Ma- maksud papa ?" Tanya Shani seolah tak mengerti apa yang sang papa ucap kan barusan.

"Gracia.." Jawab sang papa singkat.

"Sejak kapan papa tau?" Tanya Shani heran sambil menahan sesak yang semakin menjadi. Fokus nya pecah antara sang papa dan Gracia.

"Sesibuk apapun papa, papa selalu perhatiin kamu. Bahkan papa tau bagaimana rasa nya ketika kamu harus bersaing dengan kakak kandung kamu sendiri"

Sehebat itukah seorang Natio?

Ah Shani lupa jika sang papa memang bisa tau banyak hal dengan caranya sendiri. Semua perhatian, sikap, kepekaan terhadap sekitar, angkuh, dan hampir semua sifat Shani ia dapatkan dari Natio.

Berbeda dengan Bobby yang sifat nya lebih mirip sang mama.

Dunia memang aneh ya.

"Ceritain sama papa apa yang terjadi, sampai kamu gak mau pulang. Bahkan kamu menyuruh papa menutup semua akses kamu"

Shani menarik nafas sejenak, harus kah ia menceritakan semua beban nya sekarang? Tapi jika tidak, Shani tidak tau langkah apa yang harus Shani ambil kedepan nya.

Shani meyakinkan diri, bahwa ini saat yang tepat untuk berbagi, ia menarik nafas nya sejenak sebelum bercerita..

"Shani mencintai Gracia sejak lama pa"

Shani menoleh ke samping, memperhatikan ekspresi sang papa yang tidak kaget sama sekali, Natio hanya mengangguk sambil memasang telinga nya lebih tajam lagi.

"Shani juga gak tau kenapa bisa seperti itu, rasanya semua hal di hidup Shani hanya fokus pada Gracia. Kebahagiaan Gracia itu prioritas Shani"

Shani menjeda kalimat nya, mengambil nafas sebanyak mungkin, agar rasa sesak yang ia rasakan bisa sedikit berkurang kadar nya.

"Shani sering mencoba membunuh perasaan ini pah, nyata nya Shani belum bisa. Semakin hari semakin kuat, bahkan rasanya Shani dan Gracia itu sudah terikat"

Natio mengangguk, mencerna semua kalimat Shani, sambil mencari jalan keluar jika memang Shani membutuhkan pendapat nya nanti.

"Tapi Shani juga tau ada yang berbeda dari Gracia ketika melihat Bobby"

Natio sontak menoleh, membuat Shani meralat kalimat nya.

"Abang Bobby pah, Sorry"

"Dasar bandel" kekeh sang papa

"Abang juga udah mulai pdkt tuh sama Gracia, sampe rela anter sekolah beberapa kali. Terus terakhir makan malem sama Gracia sebelum papa nemuin Shani pingsan malam itu"

"Sakit pah rasanya" nafas Shani tiba-tiba saja tercekat, sungguh ini rasanya sakit sekali. "Liat orang yang kita sayang bahagia bersama orang lain"

"Papa tau rasanya" ucap Natio.

"Tapi bukan itu yang bikin Shani memutuskan pergi pah"

Natio merubah posisi, tubuh nya sedikit menyamping, menatap Shani dengan lekat.

"Apa?" Tanya nya singkat.

"Malam dimana Gracia jalan sama abang, terus Shani buntutin mereka sampai rumah Gracia, ternyata abang tau. Setelah itu abang kirim Pesan ke Shani, minta Shani jauhin Gracia, karena kata abang, dia udah minta restu papa Harlan buat menjalin hubungan serius sama Gracia. Dan papa Harlan menyetujui nya"

Shani menghela nafas "Shani gak tau lagi harus berbuat apa pah"

Natio mengangguk beberapa kali, sebagai orang tua dari Shani dan Bobby rasanya tak adil jika Natio memihak salah satu di antara mereka.

"Kamu udah pastiin tentang perasaan Gracia ke kamu?"

Shani mengangguk "Sering Shani bilang Shani mencintai dia, tapi dia gak pernah jawab apapun. Dia juga sering bahas abang Bobby kalo lagi sama Shani"

"Kamu yakin kalo abang bisa bahagiain Gracia? Atau kamu yakin Gracia bahagia tanpa kamu?"

Shani menggeleng "gak tau pah, tapi menyakitkan rasanya ketika melihat Gracia bersama orang lain. Dan itu bikin Shani gak bisa mikir lagi"

"Shani dengerin papa, Gracia itu sedang dalam fase dilema sayang, di satu sisi ia sedang berada dalam fase mengagumi abang, karena kamu tau pesona abang sama kamu sama-sama luar biasa. Tapi di sisi lain, dia sudah nyaman sama kamu, cuma kamu yang ada buat dia, ngertiin dia, makanya dia sering bilang apapun yang ia rasakan, meskipun itu hal yang menyakitkan bagi kamu"

Natio menjeda kalimat nya, tersenyum sekilas lalu kembali berkata "Kalo Gracia memang bahagia sama Bobby, dia gak mungkin sehancur ini saat kamu tinggalin. Kondisi nya gak akan seburuk ini, bahkan bisa papa jamin, Abang yang tiap hari nengok dia aja gak dia peduliin"

"Gracia hanya butuh waktu menggali dan meyakin kan hati. Papa yakin kalo perasaan dia sama kamu itu sama, hanya saja dia tidak berani mengungkap kan nya"

Shani diam, otak nya dibuat sibuk mencerna kalimat sang papa.

"Jangan mengambil keputusan sendiri yang akhirnya menghancurkan semua nya, perbaiki semua nya sebelum kamu menyesal"

"Iya pah" jawab Shani lemah "mmm papa kenapa gak marah sama Shani?" Tanya Shani dengan intonasi pelan di akhir kalimat.

Natio mengelus kepala Shani, menatap nya lembut lalu berkata "papa sadar kalo papa sebagai orang tua, tidak bisa memberikan kebahagiaan buat Shani. Papa tidak bisa menjamin bahagia Shani, bahkan dengan semua materi yang papa miliki. Papa mau Shani bahagia dengan apapun pilihan Shani"

Natio menjeda kalimat nya, menatap penuh cinta pada anak bungsu nya "papa hanya bertugas menjaga Shani, menjadi tempat Shani bersandar. Menguatkan Shani semampu papa"

Hati Shani lega, rasanya bahagia sekali ketika sang papa mengerti apa yang Shani rasakan. Shani menghambur ke pelukan sang papa, menumpahkan segala beban yang ia tanggung lewat air mata.

"Papa disini sama Shani, papa janji akan tebus semua kesalahan papa selama ini juga waktu yang tidak pernah papa beri untuk Shani"

"Makasih papa"

Natio dengan sabar mengusap punggung Shani, memberi ketenangan serta kekuatan pada anak nya ini.

"Tapi abang itu anak papa juga, sebagai orang tua papa akan dukung apapun yang kalian lakukan, tapi jangan sampai menghancurkan tali persaudaraan kalian. Bersaing lah dengan sehat sayang"

"Iyaa pah Shani tau. Shani pasti inget nasihat papah"

"Anak pintar"

Shani tersenyum dalam hati sambil menikmati dekapan sang papa yang jarang ia rasakan selama ini.

Angin berhembus lembut, menerpa tubuh Shani dan Natio, mengantarkan sejuk yang membuat mereka semakin betah berlama-lama diam di balkon kamar Shani.

____

Seorang pemuda tampan sedang duduk berhadapan dengan seorang pria paruh baya. Mereka berdua baru bertemu setelah dua minggu.

"Please pah, bilang sama Abang, Adek ada dimana"

Sang papa bernama Natio melirik sekilas lalu kembali fokus pada layar monitor nya.

"Pah, Abang lagi ngomong. Papa bisa gak sih fokus sama Abang dulu" kesal Bobby.

Natio menghentikan kegiatan nya, menatap dalam mata anak sulung nya ini.

"Terus kalo Abang tau Adek dimana, mau apa?" Tanya Natio lembut. Sekeras apapun, sehebat apapun Natio, dia selalu berkata lemah lembut pada keluarga nya.

"Abang cuma mau mastiin Adek baik-baik aja, biar Gracia gak kefikiran"

"Adek baik, sangat baik malah sama mama. Udah cukup jelas kan?"

Bobby mulai sedikit Frustasi "tapi pah, Gracia gak baik-baik aja, kondisi nya semakin buruk. Dia butuh Shani"

Natio tersenyum tipis, menggeleng pelan lalu berkata "tapi kan ini semua mau nya kamu kan?" Ucap nya membuat Bobby tersentak. Dengan santai Natio kembali menatap layar monitor nya "sekarang malah kamu yang nanya adek dimana" lanjutnya membuat Bobby mengeraskan rahang nya. Menahan emosi yang tiba-tiba saja muncul menguasai dirinya.

Bobby diam tak berkutik, apa salah jika dirinya hanya ingin melihat Gracia seperti biasa, ia ingin Gracia punya semangat hidup lagi. Bobby harus tau Shani dimana. Sesulit ini kah bertemu adik nya sendiri?.

"Tapi papa gak tau kan kalo Kondisi Gracia makin buruk? Apa papa tega biarin dia kaya gitu pah, bisa mati dia lama-lama pah!!"

Tatapan Natio tak lagi lembut, ia kini menatap tajam Bobby yang baru saja berbicara cukup keras pada dirinya, dengan sekali gerakan ia berdiri lalu berbicara dengan nada datar.

"Kondisi Shani gak jauh beda dari gadis itu, kamu fikir papa tega liat anak kandung papa tersiksa?" Tanya Natio penuh tekanan "kamu cuma mikirin tentang gadis yang kamu suka itu, kamu gak pernah mikirin adik kamu sama sekali"

Natio melangkah melewati Bobby, sebelum emosi nya semakin terpancing lagi, ia menutup pintu dari luar setelah berkata "jangan salahkan Shani atas apapun yang terjadi, tapi kamu tanya sama diri kamu sendiri bagaimana sikap kamu pada Shani"

__

Seorang gadis cantik bernama Shani Indira sedang berbaring di kamar nya. Termenung menatap langit-langit kamar. Fikiran nya berpusat pada satu nama yaitu Gracia.

Shani rindu saat gadis itu bermanja, Shani rindu saat gadis itu marah, kesal bahkan tak jarang mendaratkan pukulan di bahu Shani, jika ia sedang kesal.

Shani rindu menjemput gadis itu setiap pagi, sarapan bersama dan tak jarang ia minta di suapi. Shani rindu menggenggam erat tangan gadis itu sepanjang jalan, mengantar nya ke depan kelas dan memastikan dia aman.

Shani rindu gadis yang selalu minta Shani datang kapan pun ia mau, apapun kondisi nya. Bahkan Shani ingat ketika gadis itu minta Shani datang jam 5 pagi, hanya karena ia ingin di temani makan bubur di depan komplek rumah nya. Padahal tukang bubur baru ada jam 7 pagi.

Shani rindu semua tingkah gadis itu, Gadis cantik dengan sejuta pesona bernama Shania Gracia.

Ya Tuhan..

Sakit sekali rasanya jauh dari Gracia, jangan kan untuk melanjutkan hidup, bernafas pun saat ini sulit.

Shani memejamkan mata nya, menikmati rasa rindu yang semakin menggebu.

Mata nya kembali terbuka saat indra pendengaran nya mendengar suara ketukan pintu.

"Sayang" sapa Natio membuat Shani tersenyum tipis saat melihat Natio membuka pintu dan menutup pintu dari dalam "kok belum tidur?" Tanya nya lalu berjalan menghampiri Shani, dan duduk di sisi ranjang.

Shani merubah posisi menjadi duduk

"Belum pa, Gege gimana kabar nya?"

Natio terkekeh pelan, lalu menoel ujung hidung Shani "Lihat sendiri sana" goda Natio.

"Ck! Papa, Shani serius"

Natio tersenyum sekilas "kata abang, kondisi kesayangan kamu itu semakin buruk" jujur Natio membuat Shani semakin khawatir "gak jauh beda sama kamu sayang"

Shani menahan diri untuk tidak menangis lagi, rasanya ia ingin pergi dari tempat ini sekarang juga, lalu bertemu Gracia, memeluk nya dengan erat.

Shani menghambur ke pelukan Natio, sang papa dengan sabar mengusap punggung Shani, memberi ketenangan serta kekuatan pada anak nya ini.

"Kita pulang ketemu Gracia, mau?"

Shani menarik diri, menatap tak percaya pada kalimat Natio barusan.

"Papa becanda?" Tanya Shani sambil mengerjap "tapi..

"Papa serius, masalah sama abang kita selesaikan sama-sama"

Shani tersenyum seraya mengangguk bahagia, lalu kembali menghambur ke pelukan sang papa. sambil Menggumamkan kata terimakasih berkali-kali.



= Tbc =

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro