20
Sebelum nya, terimakasih untuk semua pembaca, untuk semua yang sudah menyempatkan meninggalkan komentar dan menekan bintang.
Terimaksih sudah mengapresiasi karya sederhana ini. Mohon maaf apabila ada banyak hal yang di luar ekspektasi kalian, atau mungkin ada beberapa yang kecewa dan gak suka dengan jalan cerita nya.
Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik semampu ku di setiap tulisan yang aku buat, untuk kurang lebih nya, mohon di maafkan dan Terimakasih banyak.
Salam hangat : MinRaa
=Selamat membaca=
___________________________
Pada semesta yang baik hati,
Aku meminta sedikit belas kasih untuk kisah yang patah, agar bisa merasakan kembali bahagia, lewat keajaiban yang kau cipta.
Langit ku kelam,
Rintik hujan menghujam,
sedingin malam-malam temaram,
Sesepi rasa yang perlahan padam.
Satu nama pemilik jiwa,
Tak nampak lagi di pandang mata,
Membuat fungsi hati tak lagi sempurna
Jatuh dalam setapak kisah,
Yang entah kapan, berakhir sudah.
Gadis cantik bernama Shani Indira, duduk di bangku yang terletak di balkon apartemen nya, mata coklat nya menatap nanar ke arah langit luas.
Sejenak mengais ingatan, mengulang beberapa momen manis bersama gadis kesayangan nya, yang hingga saat ini masih ia jadikan sebagai salah satu obat untuk menguatkan jiwa.
Shani ingat setiap malam-malam yang terlewat, diselingi canda tawa tanpa arah, menembus ruang dan waktu tanpa lelah.
Ber-angan melewati batas mampu,
Berkhayal melewati batas maksimal,
Berimajinasi melewati garis semesta,
Saling berdo'a agar semua baik-baik saja.
Malam-malam terlewat yang indah, sebelum mereka harus terpisah.
Shani menutup mata sejenak menahan sesak.
Hari, minggu, bulan terlewat sudah,
Namun tak ada yang berubah,
Semua rasa masih tetap sama,
Berpusat pada sosok bernama Shania Gracia.
Ada rasa yang berbeda malam ini, rindu ini memeluk sangat erat, perasaan resah menghantui, sejak saat Shani membuka mata pagi tadi. Hingga tengah malam, perasaan gundah dan gelisah itu tetap ada, semakin kuat menghantam jiwa.
Ada apa semesta?
Shani kembali menatap kosong ke arah langit sana, bertanya tentang arti gundah dan rasa takut yang ia rasa malam ini.
Shani ingin sekali pergi dari tempat ini sekarang juga. Ingin menarik gadis nya ke dalam pelukan, mengecup pipi nya bergantian, serta mencurahkan segala rasa yang ia punya lewat ciuman mesra.
Namun apa daya, semua tak lagi sama.
Sungguh Shani masih ingin dan akan berjuang sekali lagi, mencoba berdamai dengan semesta, mencari jalan terbaik untuk dirinya dan Gracia agar bisa bersama selamanya. Menua bersama hingga nafas tak tersisa.
Aamin paling serius, untuk semua harap dan do'a.
Shani menghembuskan nafas kasar, sedikit frustasi dengan hidup nya saat ini. Otak nya masih bekerja ekstra, mencari cara untuk meyakinkan papa Gracia.
Apapun akan Shani lakukan, apapun akan Shani berikan. Ia yakin bahwa masih ada kesempatan untuk memperjuangkan cinta nya bersama Gracia.
Kisah ini belum usai, kisah ini masih bisa di perjuangkan.
Bukankah semesta selalu punya cara untuk memisahkan begitupun menyatukan setiap insan?
Bukankah semesta selalu punya kejutan?
Bukan kah semesta selalu punya keajaiban?
Shani masih menunggu kapan saat itu tiba.
Lamunan Shani buyar, sempat terkejut sebentar saat kepalanya menoleh ke samping kanan dimana layar ponsel nya tiba-tiba menyala. Menampilkan Foto Gracia yang selama ini selalu menjadi walpapernya.
Bungsu Natio itu menaikkan sebelah alisnya, heran dengan apa yang di lihat nya barusan. Seingat Shani, ponsel nya sudah ia matikan sejak tadi, lalu kenapa tiba-tiba bisa menyala sendiri?
Ya Tuhan.. Ada apa ini?
Jantung Shani berdegup kencang sekali, hingga tangan kanan nya ia angkat, menyentuh dada sebelah kiri, merasakan detak jantung nya yang tak biasa. Semakin dibuat heran saat rasa takut dan gelisah yang sempat ia lupa walau sejenak, kini kembali ada. Semakin gila.
Shani mencoba menghilangkan kemungkinan-kemungkinan buruk di kepala nya, menggeleng beberapa kali berharap asumsi jelek tentang gadis nya tak bersarang difikiran nya.
Keringat dingin menetes dari kening hingga ke leher Shani, bahkan telapak tangan nya ikut berkeringat, padahal udara disekitar sangat dingin ditambah angin yang berhembus cukup kuat.
Tak ingin memperburuk kondisi, Shani meraih Gelas berisi air putih yang belum sempat ia minum tadi, tubuh nya berubah posisi, berdiri sekali gerakan.
Sejenak menatap ponsel nya yang masih menunjukkan foto Gracia sedang tersenyum ke arah nya.
Sempat terlena, membuat Shani ikut menaikkan sudut bibirnya, membayangkan jika Gracia berada di hadapan nya saat ini, menunjukkan senyum dengan gigi gingsul yang mempesona.
Belum sempat gelas yang Shani pegang menyentuh bibir pucat nya, gelas itu jatuh menimpa layar ponsel milik Shani, hingga pecah berhamburan.
Dengan panik, Shani segera melihat kondisi ponsel nya, terkejut saat melihat layar ponsel tersebut pecah tak beraturan, hingga membuat gambar yang di tampilkan tak lagi sempurna.
"Geee... "
Belum sempat Shani mencerna apa yang terjadi, indra pendengaran Shani di buat terkejut di susul dengan tubuh nya yang melemas saat ia mendengar sang papa berteriak...
"Shan..... Gracia kritis!!"
__
Disini, gadis patah hati itu sedang di perjuangkan agar tetap bisa hidup.
Disini, gadis mungil itu diperjuangkan agar tetap bisa bernafas, walau dibantu puluhan alat penunjang kehidupan.
Disini, gadis bergigi gingsul itu tergeletak tak berdaya, di kelilingi beberapa orang yang ahli di bidangnya. Berusaha sekuat tenaga agar gadis ini bisa selamat dari masa kritis nya.
Disini, gadis bernama Shania Gracia itu di perjuangkan, karena seperti nya gadis itu tak lagi ingin berjuang, pasrah dengan keadaan, kalah oleh kenyataan.
Sekali lagi, dipatahkan oleh pilihan.
Sementara, Seorang wanita paruh baya yang sejak tadi menangis dalam dekapan anak sulung nya, kini mulai lelah dan lemah. Isak nya masih terdengar walau samar.
Dengan lembut anak tertua keluarga Harlan ini mengelus bahu mama nya, memberi sedikit ketenangan yang bahkan ia pun tidak punya, memberi sedikit kekuatan walaupun ia sama saja lemah nya.
Sementara laki-laki paruh baya bernama Harlan duduk tak jauh dari tempat anak dan istri nya, menunduk menahan sesak, sambil memaki diri sendiri, menyesal dengan semua yang telah ia lakukan hingga hal ini terjadi.
Penyesalan memang selalu menyakitkan.
Tapi apa gunanya penyesalannya saat ini? Semua sudah terjadi.
Putri nya sedang berada di dalam sana, diantara hidup dan mati. Harlan tidak bisa membayangkan bagaimana hidup nya nanti, jika putri nya tidak bisa tertolong lagi.
Vina menarik diri dari pelukan Shanju, mengusap kasar air mata nya lalu menatap penuh harap pada pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat.
Sejenak menarik nafas dalam, sebelum ia berdiri membuat Shanju melayangkan tatapan tanya pada sang mama.
Dengan langkah gontai Vina berjalan menuju tempat dimana Harlan berada.
Harlan mendongak saat merasakan kehadiran seseorang di hadapan nya, tatapan nya di sambut dengan tatapan penuh kecewa, luka serta takut yang luar biasa.
Demi Tuhan Harlan menyesal melihat istri yang sangat ia cintai, terlihat semenyedihkan ini.
Harlan berdiri mensejajarkan diri, hendak menarik Vina dalam pelukan, namun tak sempat. Terlambat karena Vina lebih dulu menarik kerah kemeja putih Harlan, yang kini berhias darah merah dari tubuh putri nya.
Harlan sempat terkejut, sebelum akhirnya pasrah menerima kemurkaan istri nya.
"Demi Tuhan Harlan, tak akan pernah ada maaf untuk mu, jika putri ku tidak bisa tertolong"
Harlan memejamkan kedua mata, saat kalimat Vina menyerbu indra pendengaran nya, kalimat yang kini seolah menjadi virus mematikan bagi Harlan. Kalimat yang kini menelusup ke hati, hingga menyebar ke setiap sendi-sendi di tubuh nya.
Tatapan Vina masih tajam saat Harlan membuka mata, bibir Harlan terkatup rapat, tak mampu mengucap apapun sekalipun hanya kata Maaf.
"Satu hal lagi Harlan" Ucap Vina penuh penekanan "Jangan pernah lagi ikut campur tentang kebahagiaan kedua putri ku, apapun akan aku lakukan untuk mereka. Aku akan memperjuangkan kebahagiaan mereka, bahkan jika kamu sendiri yang menjadi penghalang nya"
Harlan membeku di tempat nya, otak nya mendadak kosong, seolah semua kalimat yang biasa ia ucapkan hilang berhamburan. Semua kesombongan nya lenyap, semua keangkuhan nya musnah, hilang tanpa wibawa.
Harlan merasakan cengkraman pada kerah kemeja nya mengendur, saat Shanju menarik pelan lengan sang mama.
"Maah udah yaa" Ucap Shanju lalu menarik Vina ke dalam pelukan, membawa nya berjalan sedikit menjauh dari Harlan.
Kembali kedua nya duduk, menunggu keajaiban datang, diiringi doa yang tak pernah terhenti mereka rapalkan dalam hati.
Sementara Si gadis penuh kekawatiran kini sedang duduk tak tenang di tempat nya, hati nya sibuk merapalkan do'a tanpa henti, demi keselamatan kekasih hati.
Natio yang berada di kursi kemudi mencoba fokus ke jalan raya, sesekali menaikkan kecepatan saat jalan raya terlihat tidak padat pengendara.
Natio sama kawatir nya, ia dibuat kalang kabut saat Bobby memberi kabar mengenai apa yang terjadi pada Gracia.
Semesta masih mendukung, karena beruntung Natio dan Shani belum berangkat ke Australia karena Shani berencana melanjutkan sekolah nya di sana. Beruntung karena rencana itu beberapa kali di undur, karena melihat Shani yang masih belum stabil kondisinya.
Sesekali mata Natio melirik pada putri bungsu nya yang sedang memalingkan wajah ke arah jendela, beberapa kali putri bungsu nya itu mengusap kasar air mata nya.
Natio tau bahwa Shani tak sabar ingin segera menemui gadis kesayangan nya, Natio juga bisa merasakan secemas apa Shani saat ini. Karena ia pun sama cemas nya.
Perjalanan panjang masih harus Natio tempuh, untung saja tengah malam seperti ini jalanan sepi, sehingga Natio bisa terus memacu kendaraan nya sambil terus berusaha untuk hati-hati agar tidak terjadi hal di luar kendali.
Tak jauh dengan Natio, Bobby juga sedang berkendara menuju rumah sakit dimana Gracia berada, disamping nya ada sang mama karena kebetulan Bobby sedang ada di rumah. Sementara Shani, selama ini tinggal di apartemen bersama Natio.
__
Waktu terus berlalu, pintu kamar ruang operasi belum juga terbuka, lampu yang menyala masih belum berubah warna.
Hening.
Shanju, Vina bahkan Harlan hanya diam sambil menatap kosong. Bergelut dengan fikiran masing-masing, sama-sama menyesal dengan apa yang terjadi pada bungsu keluarga Harlan itu.
Do'a-do'a terus di Aaminkan, terus di rapalkan, terus di semogakan. Tanpa lelah.
Dua jam berlalu, Shani dan Natio turun dari mobil setelah mesin mobil di matikan, bergegas masuk ke rumah sakit, bertanya dimana tempat Shania Gracia berada saat ini.
Dengan tergesa Shani menuju tempat yang telah di beritahukan, tak peduli dengan nafas nya yang ter-engah, menahan sesak serta menahan semua akumulasi dari rasa yang bercampur malam ini.
"Gee.. Aku datang sayang"
Gumaman lirih Shani terdengar sepanjang ia berjalan, sementara Natio berusaha mengejar langkah Shani yang cepat sekali, cukup membuat ia sedikit kewalahan.
Langkah gadis berpostur tinggi itu terhenti beberapa meter dari ruang operasi, kedua mata nya menajam saat melihat sosok Harlan yang duduk sambil menunduk.
Shani bisa melihat dengan jelas bagaimana kemeja putih yang di kenakan Harlan hampir berganti menjadi warna merah seluruh nya.
Shani meringis membayangkan berapa banyak cairan merah yang keluar dari tubuh kekasih nya itu.
Kedua mata Shani beralih pada mama nya yang sudah lebih dulu tiba, sedang mengusap bahu Vina, Sementara Shanju kini berada dalam pelukan Bobby, kakak kandung nya.
Shani menarik nafas dalam, lalu menghembuskan nya, berulang-ulang, sebelum ia mengusap wajah cantik nya, membersihkan dari air mata. Karena Shani tau, Gracia akan ikut sedih jika melihat Shani menangis.
Dengan langkah mantap Shani berjalan menghampiri pintu ruang operasi, sementara Natio memilih duduk di samping Harlan, menepuk beberapa kali pundak lelaki yang kini rapuh, tak memiliki kekuatan lagi.
"Shani..." Lirih Vina saat melihat Shani di hadapan nya. Memunggungi nya.
Ada perasaan sedikit lega di hati Vina ketika melihat gadis yang di cintai oleh putri nya itu. Setidak nya, Shani sekarang disini, ikut memberi kekuatan pada Gracia yang masih di perjuangkan di dalam sana.
Tangan kanan Shani terulur menyentuh daun pintu dengan telapak tangan nya, ingin sekali ia mendorong pintu tersebut, berlari kedalamnya lalu memeluk Gracia.
Namun ia tak bisa.
Shani memilih menempelkan kening nya pada pintu "Geee...jangan tinggalin aku" Lirih Shani.
Air mata yang sudah ia pastikan hilang dari wajah nya, kini kembali mengalir dari mata coklat nya.
Takut akan segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada kekasih nya di dalam.
Sampai kapan pun Shani tidak akan pernah siap jika harus kehilangan Shania Gracia.
"Geee ku mohon, berjuanglah"
Shani masih berdiri di depan pintu, bahkan hingga setengah jam berlalu.
Masih setia menunggu, memberi kekuatan yang ia yakin bisa sampai pada Gracia, lewat Do'a.
Di dalam sana, Shania Gracia masih di perjuangkan hidup dan mati nya, sekalipun beberapa dokter dan suster terlihat mulai kelelahan.
Mereka masih terus memperjuangkan walau belum banyak kemajuan.
__
Malam beranjak pamit, mempersilahkan Fajar untuk terbit.
Semua masih diam di tempat masing-masing, kecuali Bobby yang baru saja tiba setelah membeli beberapa botol air mineral.
"Minum dulu dek"
Shani tidak menggubris sama sekali saat Bobby menyodorkan satu botol air mineral. Indra pendengaran nya ia tulikan, menolak mendengar apapun yang Bobby ucap kan.
Sedikit pun ia tidak menoleh, membuat Bobby mundur lalu kembali duduk di samping Shanju.
Shani masih tetap tegap berdiri, menunggu di depan pintu, tak peduli berapa kali pun Sang mama mau pun Natio menyuruh nya duduk.
Shania Gracia, gadis patah hati yang sudah menyerah, gadis patah hati yang hilang arah, gadis patah hati yang tak lagi mampu bertahan. Kini mulai melemah.
Kondisi mulai panik ketika keadaan tidak terkendali, detak jantung Gracia mulai melemah. Perlahan semakin melemah.
Beberapa kali alat pacu jantung di tempelkan, berusaha sekuat tenaga agar Gracia bisa bertahan.
Gelengan lemah mulai di tunjukkan oleh dokter yang sejak tadi menangani Gracia. Raut wajah yang semakin sulit di artikan, seiring detak jantung Gracia yang semakin lemah...semakin sangat lemah.
Sementara di luar, Shani kembali menempelkan kening nya pada daun pintu, berharap Gracia tau bahwa ia menunggu nya selalu.
Masih menunggu, akan selalu menunggu.
"Shania Gracia" Lirih Shani "Aku mencintai mu, sangat. Rasakanlah bagaimana aku mempengaruhi fikiran mu, rasakan bagaimana aku menarik pandangan mu" Shani menjeda kalimat nya, menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan nya.
"Jangan menunggu keajaiban, Ada jalan yang sulit di depan kita, banyak rintangan dan kebahagiaan di masa depan yang tak kita ketahui. Buka lah matamu perlahan, lalu rasakan bagaimana cinta ku menarik mu kembali. Rasakan bagaimana cintaku meminta mu kembali. Bangun lah, aku disini....."
"....Demi hati kita yang terluka, bangun lah lalu kita perjuangkan cinta kita"
Sang dokter kembali mencoba, terakhir kali sebelum memastikan kondisi Gracia. Dengan doa dan harapan yang juga ikut di Aminkan, sang dokter kembali menempelkan alat pacu jantung nya, sekali, dua kali, tiga kali, lalu berhenti saat mendengar suara yang berkata...
"Dok, detak jantung pasien mulai kembali normal"
Pada Tuhan, semesta dan seluruh isinya. Terimakasih untuk cinta yang luar biasa.
____
Matahari mulai menunjukkan eksistensi, menghangatkan jiwa-jiwa lelah yang masih berusaha membuka mata, menunggu keajaiban dari balik pintu, berharap dokter segera keluar memberi berita.
Lampu ruang operasi berubah warna, tak lama pintu terbuka membuat Shani Indira yang sedang duduk dilantai depan pintu, langsung berdiri.
"Dok bagaimana keadaan Gracia?"
Tanya Shani penuh harap.
Sang dokter tersenyum lega "pasien berhasil melewati masa kritis nya, tapi kita masih harus menunggu ia sadar"
Semua yang mendengar langsung mengucap kan syukur, menangis haru karena bahagia mendengar kabar dari Gracia.
Sang dokter berlalu setelah pamit pada Shani, membuat Shani mengerjap. Perlahan air mata nya menetes, bahagia. Amat sangat bahagia.
Natio menarik Shani ke dalam pelukan, membuat tangis Shani pecah dalam dekapan. Dengan lembut Natio mengusap punggung Shani, memberi kekuatan pada putri bungsu nya ini.
"Papa janji gak akan membiarkan kamu jauh dari Gracia lagi"
Shani mengangguk dalam pelukan, mengeratkan kedua tangan yang melingkar di pinggang sang papa.
"Makasih papa, makasih"
___
Semesta indah di pandang mata,
Seindah senja berwarna jingga,
Angin malam berhembus pelan,
Membawa jiwa dalam kedamaian.
Shania Gracia masih menutup mata di tempat tidur nya, masih belum ada tanda-tanda ia akan sadar sepertinya.
Shani masih setia duduk di kursi, samping tempat tidur Gracia. Memperhatikan dengan seksama wajah cantik kekasih nya yang kini penuh luka.
Tak terhitung berapa banyak perban yang membalut kepala, tangan, kaki dan bagian tubuh lain nya. Tak terbayang bagaimana rasa sakit yang ia derita.
"Kamu ganti baju dulu, sama mama udah disiapin. Setelah itu makan ya" Natio berbisik, tangan nya mengusap kepala Shani, lalu mengecup nya sekilas "kamu harus kuat, demi Gracia"
Shani menutup mata lalu mengangguk lemah, papa nya benar, Shani harus kuat, karena Shani harus menjaga Gracia.
Selesai dengan kegiatan mandi dan makan nya, walau hanya tiga suap, kini Shani beranjak menuju sofa tak jauh dari tempat Gracia. Merebahkan punggung nya di sandaran sofa lalu memejamkan mata sejenak.
Hanya ada Shani disini. Karena Harlan harus mengurus banyak administrasi, Shanju dan Vina dipaksa untuk beristirahat sejenak, sementara Bobby, sang mama dan Natio sedang makan di kantin rumah Sakit.
Hanya Shani yang tetap memaksa berada disini, karena Shani tidak ingin meninggalkan Gracia, sekalipun hanya sebentar saja.
Kedua mata Shani terbuka sempurna saat merasakan seseorang duduk di samping nya.
Tak perlu ia menoleh, karena ia sudah tau siapa yang kini melayangkan tatapan penuh penyesalan kepada nya.
"Abang tau kalo abang mungkin terlambat" Sebuah kalimat pembuka yang sukses mengundang helaan nafas kasar dari bibir Shani.
"Abang minta maaf untuk semua hal. Abang belum bisa jadi kakak yang baik buat kamu, abang terlalu egois karena memaksa kan kehendak abang. Abang sadar kalo abang bukan memperjuangkan, tapi memaksakan. Padahal jelas-jelas hati Gracia cuma buat kamu"
Bobby menunduk sejenak, merasa kecewa karena Shani tidak merespon apa-apa.
"Abang minta maaf, sungguh abang menyesal Shan. Abang janji gak akan lagi mengganggu atau merebut kebahagiaan kalian lagi, abang janji Shan"
Setetes air mata jatuh di sudut mata laki-laki yang kini menutup erat kedua mata nya, menyesal karena merasa ikut andil dalam kejadian yang menimpa Gracia.
"Tak apa, jika saat ini Shani belum bisa maafin abang. Abang yakin suatu saat Shani bisa memberi abang kesempatan untuk menjadi abang yang baik, dan mendapat maaf dari kamu Shan"
Bobby berdiri sekali gerakan, menyeka air mata sebelum berjalan beberapa langkah meninggalkan Shani.
"Abang..."
Langkah Bobby terhenti saat mendengar suara Shani memanggil diri nya. Bobby berbalik lalu menatap Shani penuh tanya..
"Aku maafin, tapi abang tau kan, kalo semua nya gak bisa sama lagi, mungkin untuk beberapa waktu ke depan atau mungkin selamanya"
Bobby tersenyum seraya mengangguk, mengerti kalimat yang Shani ucap kan barusan "setidak nya, Shani sudah maafin abang. Itu lebih dari cukup. Terimakasih"
Shani berdiri lalu memeluk Bobby, hal yang jarang sekali ia lakukan selama ini "pandangan aku tentang kalian pasti berubah, tapi aku akan berusaha untuk ikhlas memaafkan"
Bobby membalas pelukan Shani "Abang tau, abang terima segala konsekuensi nya. Terimakasih yaa"
Shani melepas kan pelukan nya, tersenyum tipis membuat Bobby mengusap pelan kepala Shani.
"Abang nunggu di luar ya.. kalo ada apa-apa, panggil abang"
Bobby berlalu setelah Shani mengangguk. Gadis itu kini kembali duduk di samping Gracia.
"Geee... aku disini sama kamu. Kamu boleh minta apapun sama aku asal kamu bangun gee"
Di malam yang semakin kelam, semua harap dan Doa masih terus di Aaminkan.
__
Embun pagi menyejukkan hati,
Menghangat dipeluk mentari,
Membentuk senyuman manis,
Di wajah cantik seorang gadis.
Shani membuka mata lalu tersenyum ke arah Gracia yang masih terlelap di tempat nya, sejak malam Shani tak beranjak sedikitpun dari sisi Gracia.
"Selamat pagi sayang" bisik Shani "Aku sayang kamu" lanjut nya sambil mengusap pipi tirus kekasih nya dengan lembut, sebelum beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Wajah cantik nya sudah cukup segar setelah di basuh dengan air dingin, kembali Shani duduk di samping Gracia, meneliti setiap inci wajah cantik nya.
"Nanti kita beli skincare yang banyak ya, kamu kan seneng banget pake skincare. Atau kamu mau beli sempol sama gerobak-gerobak nya? Boleh kok"
Shani meneteskan air mata sambil terus mengajak Gracia bicara, mengalihkan semua rasa takut yang ia rasa.
"Atau kita beli ciki sama cemilan kesukaan kamu satu toko ya, gak papa. Kamu gak gendut kok, kamu tetep cantik di mata aku"
Shani menunduk menahan sesak, air mata nya terus mengalir, tak habis walau ia usap berkali-kali.
"Gee...bangun yaa sayang"
Shani kembali menghapus kasar air mata nya, mengerjap beberapa kali saat melihat jemari Gracia yang mulai bergerak, sangat pelan.
"Gee... sayang"
Shani berdiri, dengan seksama ia memperhatikan gerakan Gracia, perlahan tapi pasti kedua mata indah itu terbuka. Mengerjap dengan pelan beberapa kali menyesuaikan dengan cahaya.
"Geee kamu bangun hiksss"
Air mata bahagia mengalir deras di pipi Shani "hiksss Sayang"
Shani bisa melihat mata indah itu terbuka, meneteskan air mata di sudut mata nya "jangan nangis sayang kumohon jangan nangis"
Gracia tidak merespon apa-apa, mata indah yang tadi sempat terbuka perlahan kembali menutup membuat Shani panik sambil menggelengkan kepala nya..
"Gak Gee.. bangun sayang, jangan tidur Gee"
Shani segera memencet tombol untuk memanggil dokter.
"Sayang jangan tidur hikss"
"Paa!! Maa!! Panggil dokter !!!" Teriak Shani sambil terus menatap Gracia.
Mata Gracia semakin menutup, membuat Shani panik bercampur takut yang semakin membuat nya kalut.
"Gee.. Gracia.."
"Gee....
"Graciaa!!!"
___
Semesta punya peran penting dalam banyak cerita, menentukan lewat takdir yang sudah menjadi garis kehidupan setiap manusia.
Waktu terus berlalu, tanpa sempat menunggu.
Seorang gadis cantik sedang menatap pantulan diri nya di cermin, sudut bibir nya terangkat saat melihat betapa sempurna penampilan nya saat ini.
Salah satu mimpi nya terwujud, kerja keras nya selama beberapa tahun ini terbayar sudah hari ini.
Hari dimana ia lulus dari Universitas terbaik di kota ini, dan sekaligus menjadi hari terakhir nya menginjakkan kaki di negri ini.
"Shan.. sudah siap?" Teriak sang mama cukup keras "ayo dong, nanti kita terlambat" lanjutnya.
"Iyaa mama, bentar"
Shani segera keluar dari kamar nya, menghampiri sang mama yang sudah siap untuk pergi menemani Shani.
"Papa mana?" Tanya Shani
"Papa udah di mobil sama abang, kamu lama banget tumben"
Shani hanya tersenyum "tadi telpon Anin dulu maa" ucap Shani "ayo kita berangkat nanti telat"
Shani dan sang mama berjalan menuju halaman depan, dimana Natio sudah menunggu.
"Lama nyaaaa" ucap Natio dengan nada mengejek saat Shani masuk dan duduk di kursi penumpang di belakang.
"Papa aja yang gak sabaran" jawab Shani membuat Natio dan Bobby terkekeh.
"Yaudah ayo berangkat, katanya mau ke pemakaman dulu, udah siang ini" ucap sang mama
"Siap berangkat Nyonya" ucap Bobby yang berada di balik kemudi.
Perjalanan cukup memakan waktu, 28 menit berlalu keluarga Natio tiba di sebuah pemakaman khusus. Bobby memarkirkan mobil lalu turun menyusul Shani, Natio dan mama nya yang sudah berjalan lebih dulu.
Mereka semua tiba di sebuah makam yang cukup sering Shani kunjungi, memanjatkan doa bersama, meminta pengampunan serta tempat terbaik bagi seseorang yang berharga bagi mereka, di alam sana.
__
Rangkaian acara telah selesai di laksanakan, Shani kini berjalan menghampiri keluarga nya.
"Selamat ya sayang" Ucap Natio dengan bangga sambil memeluk Shani Indira.
"Makasih papa" ucap Shani lalu melonggarkan pelukan nya "makasih untuk banyak hal pah"
"Apapun untuk shani" ucap Natio sambil mengusap kepala anak bungsu nya itu.
"Mama makasih ya" ucap Shani lalu memeluk sang mama "Shani sayang mama" lanjut nya.
"Selamat ya sayang, hebat banget anak mama" ucap nya sambil melonggarkan pelukan nya "Mama yang makasih, karena kamu selalu memberikan yang terbaik, dan selalu menjadi kebanggan mama sama papa" lanjutnya membuat Shani mengangguk.
"Cepet banget tau-tau udah wisuda aja... adek abang emang terbaik" puji Bobby membuat Shani terkekeh.
Hubungan duo Natio itu semakin hari semakin baik, bahkan Shani sudah bisa berinteraksi lebih sering bersama Bobby "selamat ya Shan, abang bangga sama kamu"
"Makasih ya Bang, makasih"
Shani menatap bergantian papa, mama serta abang nya, tersenyum bahagia karena masih bisa berkumpul bersama.
Mereka kini berjalan menuju parkiran, Shani berhenti sejenak menunggu seseorang yang akan datang menemui nya.
"Shan...."
Shani menoleh pada seseorang yang memanggil nya, tersenyum manis melihat betapa cantik nya gadis di hadapan nya ini.
"Anin"
Shani berjalan menghampiri Anin lalu memeluk nya "Selamat ya Nin" ucap shani tulus.
"Loe juga Shan, selamat karena loe udah bisa jadi lulusan terbaik tahun ini"
Shani tidak merespon apa-apa, sejenak ia hanya diam sambil tetap memeluk Anin.
Gadis yang selama ini begitu kuat menyembunyikan rasa cinta nya pada Shani, walau Shani tetap bisa merasakan nya.
Gadis yang selalu tersenyum dan berpura-pura baik-baik saja, padahal hatinya terluka karena cinta nya tak di terima.
"Nin.. gue minta maaf karena gak bisa bales perasaan loe, terimakasih untuk semua cinta yang loe punya buat gue, yang gak pernah bisa gue bales sampe kapan pun"
Setetes air mata Anin jatuh, di susul tetesan lain nya.
Bukan salah Anin karena mencintai Shani, tapi juga bukan salah Shani karena tidak membalas perasaan Anin. Semua sudah takdir nya.
Tugas Anin saat ini adalah tetap mencoba melupakan perasaan nya pada Shani, dan mulai membuka hati untuk orang baik lain nya, yang mungkin bisa menggantikan posisi Shani di hati nya.
"Gue gak tau kapan kita bisa ketemu lagi, dan gue gak tau kapan gue akan kembali kesini. Yang jelas, sampe kapanpun loe tetep temen gue, dan loe salah satu orang istimewa di hidup gue"
Shani melonggarkan pelukan nya, mengusap pipi Anin yang berderai air mata "Cari kebahagiaan loe jangan di satu titik, gue yakin loe bisa nemuin orang yang jauh lebih baik dari gue, yang bisa bales perasaan loe, bisa mencintai loe, dan ngejaga loe sampe tua nanti"
Anin hanya bisa tersenyum sambil mengangguk.
Anin Ikhlas, sangat ikhlas melepas Shani. Walaupun mungkin proses melupakan shani, akan memakan waktu yang panjang nanti nya.
"Gue tunggu kabar baik nya ya" ucap Shani sambil menepuk kepala Anin pelan "Dua jam lagi gue berangkat ke Paris. Kita pasti bisa ketemu lagi, di waktu yang jauh lebih baik dari saat ini. Percayalah, semesta selalu punya cara"
Anin kembali memeluk Shani untuk terakhir kali, menumpahkan semua rasa yang ia punya lewat pelukan.
"Thanks Shan, gue pasti kangen loe. Dan gue Janji bakal ngabarin loe setelah gue berhasil ketemu sama seseorang yang lebih keren dari loe"
Shani terkekeh di sela pelukan nya. Kepala nya menoleh saat mendengar suara papa nya.
"Shan, ayoo"
Shani menoleh lalu mengangguk.
"Anin.. Hubungin gue kalo loe butuh bantuan gue, gue pasti ada buat loe. Sekali lagi, makasih untuk semua nya. Bahagia yaa Nin, gue sayang sama loe"
Air mata Anin mengiringi langkah Shani yang kini berjalan menjauh dari pandangan mata Anin, kedua matanya terpejam erat, tak mampu menatap Shani yang kini tengah masuk ke mobil, lalu pergi meninggalkan Anin yang masih berdiri di tempat nya.
Kedua mata nya terbuka, seiring hilang nya mobil Shani dari pandangan nya. Anin menghapus air mata di pipi, menarik nafas sebanyak-banyak nya.
Anin yakin masih banyak Shani-Shani di luaran sana yang bisa ia gapai hati nya. Sekalipun bukan Shani yang Anin mau, tapi Anin tetap percaya bahwa ia akan menemukan nya.
"Selamat jalan Shan, gue cinta sama loe" ucap Anin di akhiri senyuman nya.
"Gue juga Nin!!"
Tubuh Anin terlonjak saat mendengar sebuah suara, semakin kaget saat melihat seseorang yang berdiri di samping nya, sedang tersenyum sambil menyodorkan bunga.
"Apaan sih loe Raka, rese banget!" Kesal Anin sambil mendengus.
"Lah kan tadi loe bilang cinta sama gue"
"Ngimpi!!" Ucap Anin "mana ada ya gue manggil nama loe"
"Loe tadi manggil Shan kan?, kan nama gue Raka Shandaga"
Anin memutar bola mata nya malas "bodo amat" lalu berjalan meninggalkan Raka yang kini mengejarnya.
"Tunggu Nin, elah ini bunga nya di terima dulu" ucap Raka "Anindita.. astaga cepet banget jalan nya"
"Loe gak cape apa gangguin gue mulu" ucap Anin sambil tetap berjalan cepat meninggalkan laki-laki yang sudah lebih dari satu tahun mengejarnya.
"Gak akan pernah cape, karena gue lagi memperjuangkan cinta, bukan lagi bersihin taman kota"
"Haish... serah loe. Jauh-jauh loe Rak, pait.. pait..pait..pait.... !!!"
__
Seorang gadis cantik baru saja tiba di bandara, kini ia sedang berjalan dengan langkah pelan. Tangan kiri nya menyeret sebuah koper ukuran sedang. Tangan kanan nya terulur melepas kaca mata hitam yang di pakai nya, menyimpan nya di tas kecil yang menyampir di bahu nya.
Ia hanya sendirian, karena keluarga nya masih ada beberapa urusan yang harus di selesaikan.
Dengan langkah penuh semangat ia berjalan menuju pintu keluar, tersenyum tipis saat melihat suasana di tempat ini.
Tempat ini yang selalu Shani rindukan, tempat yang selalu menjadi tujuan Shani beberapa tahun terakhir ini.
Tempat yang membuat Shani hidup kembali, tempat yang selalu memberi energi bagi Shani, dan tempat dimana ia bisa menemui sang kekasih hati.
"INDIRA!!!"
Demi Tuhan Shani rindu suara teriakan barusan, hati Shani langsung menghangat padahal ia belum sempat melihat, kekehan ringan terdengar dari mulut Shani sebelum membalik tubuh nya, melihat seseorang yang kini berlari ke arah nya.
"Ahhh kaaaangeeeeeennn......"
Shani cukup kaget saat gadis nya berlari dan menubrukan tubuh nya pada tubuh shani, memeluk Shani erat membuat Shani membalas tak kalah erat.
"Kangeennn bangeet" rengek nya lagi membuat shani mengusap kepala nya lembut.
"Aku juga kangen banget sayang" ucap Shani sambil mengecup beberapa kali puncak kepala gadis nya "kangen nya udah jadi rindu, numpuk banyak banget nih" lanjut Shani membuat keduanya terkekeh.
Puas saling memeluk akhirnya Shani melonggarkan pelukan nya, menangkup kedua pipi kekasih nya lalu menjatuhkan ciuman di kening nya cukup lama.
"Makin cantik aja pacar aku" ucap Shani sambil menoel hidung mancung nya.
"Iya dong, biar kamu gak oleng kemana-mana" jawab nya "btw, Ciee lulusan terbaik cieee" goda nya membuat Shani tertawa.
"Rese banget kamu, tau dari mana?" tanya Shani, pasalnya ia memang belum bercerita apa-apa.
"tau lah, aku gitu loh.. Ayo pulang ah, mama udah masak banyak banget" ajak nya sambil merangkul lengan kanan Shani
"iya ayo sayang" ucap Shani lalu berjalan beriringan.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba Shani menghentikan langkah nya. Membuat gadis nya bertanya "kenapa?"
"Koper aku ketinggalan Gee...."
__
Shani keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri, tersenyum tipis saat melihat Gracia sedang mengecek isi ponsel nya sambil berbaring di tempat tidur. Selalu seperti itu, semenjak mereka jarang sekali bertemu.
Shani menghampiri Gracia yang kini merubah posisi menjadi duduk.
"Udah?" Tanya nya membuat Shani mengangguk lalu ikut duduk di tempat tidur berhadapan dengan Gracia "cepet banget" lanjutnya sambil menyimpan hp Shani di atas meja.
Shani malah tersenyum, Tangan kanan nya terangkat mengelus pipi Gracia, mata coklat nya meneliti setiap inci wajah cantik kekasih nya ini.
Gracia diam menikmati setiap sentuhan Shani, sentuhan yang selalu membuat nya rindu pada sosok yang sekarang merapikan poni Gracia ke samping. Menelusuri wajah Gracia dengan jari telunjuk nya, hingga Jari telunjuk Shani berhenti di sebuah bekas luka di sudut kanan kening Gracia. Bekas luka yang selalu mengingatkan Shani pada hari dimana Gracia berjuang hidup dan mati.
Shani yang kala itu sangat panik melihat kondisi Gracia, langsung segera memanggil dokter. Beruntung dokter segera mengambil tindakan cepat, sehingga kondisi Gracia bisa kembali stabil.
Selama satu bulan lamanya Gracia berada di rumah sakit, dan butuh waktu 1 tahun Bagi Gracia untuk pulih serta bangkit dari kondisi nya. Dan selama itu juga Shani selalu ada di sisi Gracia.
Luka ini juga mengingatkan Shani pada sosok Harlan. Laki-laki yang dulu dengan keras menentang cinta Shani dan Gracia akhirnya luluh juga. Takut akan segala kemungkinan yang terjadi, lebih takut lagi jika Gracia nekat mengakhiri hidup lagi. Shani bahkan masih ingat ketika Harlan meminta maaf pada dirinya, bersujud di hadapan Shani meminta pengampunan untuk segala khilaf serta salah yang ia lakukan.
Melihat kesungguhan Harlan, Shani tak sampai hati untuk tidak memaafkan. Shani mencoba ikhlas menerima semua nya, menerima takdir yang sudah di rancang Tuhan untuk dirinya.
Gracia juga bersikap demikian, setelah kondisi nya mulai pulih akhirnya ia mau di temui oleh Harlan, berbicara empat mata, dari hati ke hati. Gracia Memaafkan semua hal yang sudah terjadi, semua hal yang sudah terlewati.
Gracia bersyukur karena beruntung Tuhan masih memberi nya kesempatan untuk hidup dan kembali pada pelukan orang-orang yang mencintai nya.
Namun, Takdir kembali mengambil peran, menunjukkan banyak rencana tak terduga dan tak pernah di bayangkan sebelum nya. Harlan menghembuskan nafas terakhir nya dua Tahun lalu karena penyakit jantung yang di derita nya. Sebuah pukulan yang cukup keras bagi Gracia juga keluarga nya.
Hal itu juga yang membuat Vina memutuskan untuk pindah ke negara ini, memulai hidup baru dengan semua hal yang baru, sekaligus mewujudkan mimpi Gracia yang ingin menetap di negara ini. Sekalipun rintangan terberat nya adalah Graciaa harus menjalani hubungan jarak jauh dengan Shani yang saat itu sedang melanjutkan pendidikan nya.
Tak apa, semua nya terbayar lunas karena Shani sekarang ada disini, di hadapan nya, bisa memeluk Gracia kapan pun, bisa menjadi tempat Gracia mencurahkan semua rasa, dan bisa menjadi sesorang yang selalu bisa menjaga Gracia, tanpa pernah merasa lelah.
Seberuntung itu Shania Gracia bisa memiliki Seorang Shnai Indira Natio. Gadis cantik dengan sejuta pesona, yang mampu membuat siapapun terlena.
Namun sayang mereka yang menginginkan Shani harus mundur dan kalah sebelum berjuang, karena Shani hanya milik Gracia seorang.
lagi, Semesta memang punya banyak rencana dan cerita untuk setiap manusia.
"kamu ngelamun?"
Shani mengerjap saat suara Gracia membuyarkan lamunan nya, sebelah pipinya sudah di tangkup oleh Gracia, entah sejak kapan.
"enggak sayang" ucap Shani lalu mengambil tangan Gracia yang berada di pipi nya, membawa nya kedepan bibir nya, mengecup pinggung tangan Gracia cukup lama.
"bohong banget sih" ucap Gracia sambil mencubit pelan lengan Shani.
"beneran Gee.. cuma nostalgia saja" jawab Shani
"skill ngeles kamu makin bagus saja ya" kekeh Gracia "mmm.. kamu ketemu papa dulu gak sebelum kesini?"
Shani mengangguk "iya dong pamitan dulu, kan aku gak tau kapan aku bisa balik. atau mungkin gak akan balik lagi karena hidup aku ada disini" ucap nya sambil mengelus pipi Gracia.
Gracia mengulum senyum nya, menarik pelan hidung Shani lalu berkata "Gombal ajaa terus"
"beneran sayang, aku ke makam papa Harlan sebelum berangkat ke kampus sama mama, papa sama abang juga. Aku juga bilang ke papa, anak nya yang manja ini kangen katanya, tapi gak tau kapan bisa pulang, karena Paris terlalu indah untuk di tinggalkan"
Gracia tercengang saat tau bahwa Shani benar-benar menyampaikan semua pesan Gracia. Gadis ini selalu tidak terduga, selalu menuruti apa kata Gracia. Bagaimana Gracia tidak makin Cinta jika apapun yang ia minta maka akan di berikan oleh Indira.
Gracia tidak menampik jika ada perasaan rindu yang selalu bersemayam di hati Gracia, rindu canda tawa bersama sang papa, rindu semua hal tentang sang papa. Rindu yang sampai kapanpun tidak akan lagi berbalas temu.
"papa bahagia gak ya disana?" tanya Gracia lirih
"Papa pasti bahagia kalo keluarga nya bahagia sayang"
Gracia mengangguk lalu menghambur ke pelukan Shani "aku sangat bahagia, karena sumber bahagia aku, ada dalam pelukan aku sekarang"
Kalimat-kalimat manis yang dilontarkan kekasih nya membuat Shani tak lagi bisa berkata, ia hanya mengulum senyumnya sambil menikmati debaran jantung nya yang bersautan dengan debaran Gracia. menikmati setiap kehangatan yang menelusup ke hati, kehangatan yang selalu bisa Shani dapat hanya dari kekasih nya Shania Gracia.
Gracia menarik diri, kembali menatap Shani dengan tatapan penuh cinta, tatapan penuh puja yang juga mendapat balasan yang sama. Gracia menarik nafas dalam sebelum mengikis jarak lalu menjatuhkan kecupan di bibir Shani, hanya kecupan sebelum Shani menarik tengkuk nya dan memperdalam ciuman mereka, saling mengecap rasa hingga mereka terlena.
Oh, Jangan lupakan bagiamana nasib si sulung Harlan, Shania Junianata yang kini sukses menjadi wanita karir dan sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan nya dengan seorang laki-laki tampan bernama Bobby Natio.
Siapa sangka dua insan manusia yang pernah bertengkar di halaman depan rumah Harlan, sebentar lagi akan bersanding di pelaminan.
Jodoh memang selucu itu.
Lagi-lagi, Semesta selalu punya cerita.
Cerita cinta ini memang belum berakhir, masih banyak hal yang akan terjadi di masa depan. Namun satu hal yang pasti Shani dan Gracia siap dengan segala hal yang akan terjadi, siap menerjang badai bersama, siap melangkah menapaki jalan kehidupan yang sudah pasti akan banyak rintangan nya.
Selama mereka bersama, maka mereka yakin akan bisa melewati semua nya.
Kepada semesta yang indah,
ku titipkan cinta yang tak kalah indah.
=Selesai=
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro