19
= Selamat Membaca =
___________________________
- Izinkan aku memeluk dirimu sekali ini saja, tuk ucapkan selamat tinggal untuk selama nya-
Semesta yang terbentang luas, terasa amat sesak bahkan tak ada artinya lagi bagi gadis bernama Shania Gracia. Gadis itu hanya berdiam diri di dalam kamar yang sepi, membunuh waktu semampunya, menghabis kan sisa nafas yang masih di berikan hingga detik ini.
Menikmati setiap sunyi yang mulai membunuh, perlahan tapi pasti.
Menikmati setiap luka yang setiap hari semakin menganga, tanpa ada obat nya lagi.
Tubuh nya semakin tak berisi, tatapan nya semakin kosong, kantung mata mulai terlihat jelas di wajah cantik yang kini kehilangan cahaya nya. Pipi nya semakin tirus, di tambah bibir nya yang pucat pasi, semakin menambah miris penampilan si gadis patah hati ini.
Segala cara sudah di lakukan Keluarga nya, bujuk rayu terus di lontarkan supaya bungsu keluarga Harlan ini mau makan sekalipun hanya satu suapan. Hasilnya tetap sama, Gracia tak berminat menyentuh apapun yang di berikan, kadang jika terpaksa, ia hanya akan minum seperempat gelas susu kesukaan nya, lalu sisa nya ia buang begitu saja.
Jika pun Gracia mau makan, maka ia akan makan makanan kesukaan Shani, walaupun hanya beberapa suap yang masuk ke perutnya, dan berhasil tak keluar lagi.
Rasa perih di lambung yang butuh asupan, tak pernah ia hiraukan. Rasa sakit di kepala yang semakin menyiksa, tak pernah ia pedulikan.
Karena semua rasa yang ia punya, sudah ia matikan sejak lama, kecuali rasa cinta nya pada Shani Indira.
Semua rasa sakit yang di derita di fisik nya, tak sebanding dengan rasa sakit yang di rasakan oleh hati nya.
Semua nya hanya tentang Shani Indira.
Sang mama menatap miris pada putri kecil nya, hati nya terluka melihat kondisi Gracia saat ini. Untuk kedua kali nya sang mama melihat Gracia semenyedihkan ini, dan bahkan saat ini lebih parah dari pada sebelum nya.
Setiap saat sang mama mencoba mendekat, mengikis jarak hendak memeluk erat, namun Gracia tak pernah mengizinkan nya, ia selalu menolak di sentuh oleh siapapun, dan menolak di dekati oleh siapapun.
Gracia hanya ingin menghabiskan waktunya sendiri, membunuh perlahan rasa sakit yang semakin nyeri, sekalipun percuma, karena rasa nya lebih baik mati dari pada berada dalam kondisi seperti ini.
Sang kakak, Shania Junianata menatap iba pada adik kandung nya. Ia sudah berusaha meminta maaf ratusan kali, meminta kesempatan memperbaiki hubungan nya dengan Gracia, atau minimal Gracia mau sedikit berbagi luka yang ia rasa.
Shania ingin menjadi sandaran untuk Gracia, ingin menjadi tempat Gracia mencurahkan segala rasa, namun seperti nya ia terlambat.
Shania salah mengambil keputusan, ia salah menerka, ia salah sangka. Dia mengira bahwa efek seorang Shani Indira tak akan sehebat ini, tak akan seluar biasa ini, dan tak akan membuat adik nya semenyedihkan ini.
Andai saja ia bisa memutar waktu, mungkin ia akan membiarkan Gracia pergi bersama Shani. Semurka apapun papanya nanti, Karena itu jauh lebih baik di banding harus melihat adik nya yang kini hidup, tapi seolah mati.
Laki-laki paruh baya yang di hormati sebagai sosok kepala keluarga bernama Harlan. Akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktunya di ruang kerja, membunuh waktu dengan semua pekerjaan yang ia bisa selesaikan, mencoba mengalihkan perasaan asing yang kini menelusup ke relung hati nya, perasaan sesal yang mulai menghantui setiap malam sebelum tidur nya, membuat Harlan lebih sering terjaga di banding memejamkan mata.
Laki-laki yang saat itu dengan Angkuh meminta Gracia memilih, kini mulai rapuh. Sesekali air mata nya lolos ketika ia mengintip keadaan sang putri bungsu dari balik pintu. Miris, Iba dan tak tega melihat putri nya yang kini seolah tak memiliki semangat lagi di hidup nya.
Harlan tak begitu berani menampakan diri karena penolakan yang di lakukan Gracia berkali-kali. Jangankan bertemu, melihat Harlan pun Gracia enggan. Harlan hanya bisa pasrah sambil berharap ada keajaiban yang bisa mengubah putri nya seperti dulu lagi, Harlan berharap Gracia bisa kembali jadi gadis ceria, gadis manja, dan gadis yang selalu mengukir tawa di wajah Harlan.
Namun seperti nya Harlan lupa, jika satu-satu nya semangat hidup Gracia adalah Shani Indira. Gadis yang sampai kapanpun tidak akan ia ijinkan mendekati putri nya lagi, apapun alasan nya. Karena Harlan yakin bahwa Gracia bisa hidup tanpa Shani, bisa kembali bangkit dari keterpurukan nya saat ini.
Gracia hanya butuh waktu, Harlan yakin itu.
__
Harlan masih berusaha fokus pada beberapa berkas di hadapannya, tak peduli dengan waktu yang sudah menjelang tengah malam.
Mata nya menoleh sekilas pada sang istri yang sekarang sedang menutup pintu ruangan nya dari dalam.
"Apa aku bisa minta waktu mu sedikit saja pah?"
Gerakan tangan Harlan berhenti, menghembuskan nafas kasar lalu segera menaruh pulpen di atas meja, merubah posisi menjadi berdiri lalu berjalan menghampiri sang istri.
"Ada apa?" Tanya Harlan sesaat setelah ia berhadapan dengan sang istri.
"Selama bertahun-tahun aku menjadi istri mu, kamu tau kalau aku sangat jarang meminta sesuatu kan?" Tanya Vina membuat Harlan mengangguk lemah, sambil melayangkan tatapan tanya.
"Selama menjadi istri dan mendampingi kamu, aku juga selalu menuruti apa mau kamu, bahkan untuk hal-hal yang aku kurang setuju, betul kan?"
Vina menjeda kalimat nya, melihat reaksi suami nya yang kini menatap penuh tanya, tentang apa maksud dari semua kalimat Vina barusan.
"Sebagai seorang istri, boleh kah aku meminta sesuatu pada mu Pah?" Tanya Vina penuh tuntutan.
Harlan berusaha menerka apa yang istrinya minta, berusaha menebak alur pembicaraan istri nya ini.
"Baik, silahkan" ucap Harlan setelah diam beberapa saat.
Vina menunduk sejenak, berusaha menahan air mata yang sejak tadi ingin keluar dari sumber nya.
Kepala Vina kembali mendongak, menatap Harlan penuh harap.
"Paah... tolong kembalikan Gracia ku yang dulu..tolong kembalikan kebahagiannya hikss"
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir juga. Tetesan-tetesan yang semakin deras mengalir di pipi Vina.
"Hiksss...tolong kembali kan putri ku pah... sebagai ganti nya silahkan minta apapun pada ku, asal kebahagiaan putri ku bisa kembali hikss"
Vina tak lagi kuat menahan semuanya, ia tak tega melihat putri nya yang semakin hari semakin menyedihkan.
Apapun akan Vina lakukan untuk putri nya, apapun akan ia berikan asal Gracia bisa kembali seperti dulu lagi, bahkan nyawa nya sekalipun.
Vina mengusap kasar air mata nya, sementara Harlan masih menatap datar ke arah nya. Fikiran Harlan di buat kalang kabut memikirkan permintaan dari Vina Barusan.
Vina tau jika ia tak lagi bisa berteriak pada Harlan, laki-laki yang berstatus suami nya ini terlalu keras kepala, Egois, mau menang sendiri, dan akan kukuh pada pendirian dan hal yang ia yakini.
Meskipun itu harus menyakiti keluarga nya, seperti saat ini.
"Hiksss Demi Tuhan pah, silahkan minta apapun dari ku, asal Gracia ku kembali pah hiks"
Beberapa kali Vina menghapus air mata nya, sekuat tenaga menahan sesak yang membuat nya kesulitan bernafas.
"Jawaban ku masih tetap sama, aku tidak akan membiarkan gadis itu kembali ke sisi Gracia"
Harlan berjalan melewati Vina setelah menyelesaikan kalimat nya.
Kalimat yang Harlan lontarkan sukses membuat tangis Vina semakin menjadi, tubuh nya luruh ke lantai seiring di tutup nya pintu ruangan Harlan dari luar.
"Mama janji akan kembalikan kebahagiaan kamu sayang "
__
Waktu terus berlalu tanpa sempat menunggu. Hari-hari menyedihkan masih menghantui. Mentari tak lagi seterang dulu, senja pun kelabu, malam bertabur bintang berhias cahaya bulan, tak lagi nampak indah di pandang mata.
Hanya sunyi, sepi, tak berarti.
Seolah mati, adalah opsi terbaik saat ini.
Untuk pertama kali, setelah beberapa bulan lama nya, Si gadis patah hati melangkah dengan perlahan menuju balkon kamar nya,
Udara dingin langsung menyerbu tubuh mungil yang kini semakin kurus tak ter-urus. Membuat Gracia segera memeluk tubuh nya sendiri dengan erat.
Kepala nya mendongak menatap angkasa, tersenyum miris saat menyadari tak ada satu pun bintang malam ini yang menyambut nya.
Bulan enggan menyapa, padahal Gracia ingin sekali berbagi cerita.
Gracia terus berjalan menuju pembatas balkon, berjalan di bawah gerimis yang seolah menyambut nya dengan manis.
"Indiraaa... "
Satu kata terucap dari bibir Gracia, seiring dengan di eratkan nya pegangan tangan Gracia di besi pembatas balkon, lantai dua kamar nya.
"Kamu.. Apa kabar sayang?"
Kalimat tanya yang ia lontarkan diakhiri dengan senyum menyedihkan.
"Di sini begitu dingin Indira.. Tak bisa kah kamu datang sebentar saja untuk memeluku?"
Gracia menarik nafas sebanyak-banyak nya, mengisi paru-paru yang terasa kosong, sehingga sesak.
"Disini terlalu sesak Indira.....Tak bisa kah kamu datang lalu menggenggam tanganku walau sejenak?"
Menunduk sejenak sambil memejamkan mata, menikmati rasa dingin yang mengalir hingga ke sendi.
"Disini sepi Indiraa..sepi itu berisik..."
Sangat berisik, Sepi itu Memekakkan telinga, Seperti hujan belati.. Menghunus pori-pori hati..Tak pernah terhenti, Hingga mati...
Mata Gracia berkedip, membuat cairan bening yang ia tahan sejak tadi, kini mengalir bebas di pipi yang semakin tak berisi.
"Sepi itu sesak Indiraa..."
Sangat sesak hingga kemudian dia menjelma menjadi kutub dibumi
Membekukan, mendiamkan, sangat dingin.
Gracia tersenyum miris di sela tangis nya. Tak ada yang mengusap air mata nya, tak ada yang memeluk erat tubuh nya, bahkan tak ada yang bisa menjadi sandaran nya, kecuali Shani Indira.
"Disini, Hujan mengguyur sejak pagi sayang.."
Gracia benar, sekilas mengintip dari balik gorden kamar nya yang gelap, melihat Mentari yang biasanya memberi kehangatan, pagi tadi bersembunyi entah dimana.
Menjeda kalimat sambil mengusap kasar air mata, berusaha melakukan nya sendiri, karena di sini tak ada Shani.
"Bahkan hingga malam datang semua nya masih sama, hujan masih melanda tanpa jeda"
Hujan membuat Sesuatu kembali mengusik jiwa Gracia, membawa angan kembali berkelana entah kemana.
Entah sampai kapan gadis ini bisa bertahan, merelakan kisah cinta nya yang kandas, karena sebuah pilihan.
Terlalu sakit..
"Aku tidak membenci hujannya Shani...Hanya saja setiap melihat guyuran nya, bayangan saat kamu pergi selalu mengusik jiwa"
Membuat kilasan memori melesak keluar begitu saja. Membuat Gracia semakin nyeri ketika kenyataan menampar nya lagi dan lagi, memberi tahu bahwa Shani tidak lagi disisi.
Gracia berusaha mengeratkan kembali cengkraman tangan nya pada besi pembatas, menahan tubuh nya yang mulai kehilangan energi. Lemah, dan semakin lemah setiap detik nya.
"Aku masih di tempat yang sama
Berteman dengan kenyataan pahit
Sejak kamu pergi tanpa pamit...
Aku masih setia menunggu mu disini Bersama sunyi, sepi, yang semakin tak berarti"
Tubuh gadis patah hati itu bergetar hebat, menahan tangis yang sebentar lagi mungkin akan pecah.
"Aku tidak membenci hujan nya Shani... hiksss .... Hanya saja, hujan kembali mencoba membunuh ku secara perlahan hiksss.. .hujan mengingatkan ku pada penyesalan..hujan membuatku terlambat mengejar mu saat itu Hiksss"
Untuk beberapa Saat Gracia diam sejenak, beberapa kali mengusap kasar air mata yang berbaur dengan gerimis yang masih turun dengan halus.
Lama... hingga Gracia bisa kembali mendongak, tersenyum tipis pada langit luas, menatap bayangan Shani yang seolah sedang tersenyum manis kepadanya.
"Indira....."
"Rasanya baru kemarin aku masih bisa memeluk mu, menggenggam tangan mu erat, menatap wajahmu lekat, menikmati senyumu yang membuat hati ku menghangat...."
"Indiraaa... Maaf karena aku terlalu pengecut, maaf karena aku terlalu takut, maaf jika pada akhirnya kita harus terluka, karena aku yang terlalu lama berdiam di sana...."
"Indira..."
"Rasanya bertahan bukan lagi pilihan
Karena hidup tanpa hadirmu,
Itu sama saja aku mati, walau aku masih bernafas... Aku gak mampu lagi bertahan Shan..., aku gak bisa"
"Maaf jika aku terlalu pengecut Indiraa..maaf jika aku tidak menunggu mu lebih lama, karena aku tau bahwa mereka tidak akan mengijinkan mu datang, lalu membawa ku bersama mu"
Kedua kaki Gracia naik ke atas besi pembatas, berdiri sambil merentangkan kedua tangan, merasakan hembusan angin yang menyerbu tubuh kurus nya.
Perlahan kedua mata itu terpejam sempurna, lalu tersenyum tipis sambil berkata...
"Indira... Maaf kan aku, aku menyerah "
Bibir pucat pasi itu tersenyum seraya menarik nafas dalam lalu berteriak...
"AKU MENCINTAI KAMU, SHANI INDIRA NATIO!!!"
Akhirnya Tubuh mungil itu bergerak ke depan, sempat melayang sebelum jatuh tanpa hambatan, menimbulkan suara keras saat tubuh mungil itu terbentur dan tergeletak di atas tanah lalu berlinang cairan berwarna merah.
= Pada semesta yang indah
ku titipkan cinta yang patah =
End.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro