5 | Gapura
Gapura itu tadinya merah. Sebelum kedua pilarnya berkarat dimakan korosi. Ale memandangi sungai raksasa yang membentang sepanjang sisi kanan gang dengan sangsi. Bertanya-tanya bagaimana kalau hujan deras dan airnya meluber. Permukiman itu pasti akan tergenang.
Langkah kaki Kenan masih terdengar di belakangnya.
"Lo yakin kita nggak nyasar?"
Hidung laki-laki itu setengah dikernyitkan, mungkin karena aroma limbah yang lumayan menusuk.
Ale menggeleng serta-merta. Ada lokasi yang dilabel 'rumah' di ponsel si pencuri. Meski aplikasi peta tidak secara spesifik menunjukkan jalannya, seolah daerah ini tidak begitu penting untuk digambarkan. Seolah tidak akan ada yang mampir ke sini kecuali memang penghuni.
Terik sudah sedikit turun dari atas kepala Ale. Mereka memutuskan untuk makan dulu tadi sebelum ke sini. Kata Kenan, kalau mereka dikeroyok sampai mati, setidaknya perut sudah terisi. Ale tidak terlalu mengerti apa korelasinya, tapi dia ikut saja daripada Kenan mengoceh kelaparan sepanjang jalan.
Gang itu tanpa nama. Langkah Ale membawa mereka menuruni tangga semen kecil. Membelah perkampungan, dua buah palang rel kereta api melintang. Ale melirik pos petugasnya yang kosong dan berdebu. Gadis itu sedikit menunduk waktu melewatinya.
"Awas!"
Baik Ale maupun Kenan tersentak oleh armada bocah SD yang berlari semburat ke sembarang arah. Di sebuah sudut depan warung sembako, setumpuk sandal disusun saling menyandar. Salah satu bocah memegang bongkahan kertas tebal berteriak, mengejar kawan-kawannya ke sana ke mari.
"BAIM! ITU PAK USTADZ ADZAN DARI TADI NGGAK DENGER? PULANG ATUH, MANDI! SIAP-SIAP NGAJI!"
Sama dadakan seperti permulaannya, kericuhan itu dengan cepat mereda. Keluh kecewa anak-anak bercampur dengan langkah gontai. Si pemegang bola kertas menggandeng tangan perempuan berdaster yang baru saja berteriak. Mereka terlihat melipir ke warung, sebelum pulang menenteng kresek biru muda transparan.
Sudut bibir Ale sedikit terangkat. Ada sesuatu yang membuat gang mati ini terasa hidup.
"Le."
Kenan menyenggol bahu Ale pelan, membuat perhatian gadis itu beralih pada sebuah tiang listrik tua. Ale membandingkannya dengan foto yang dia lihat di galeri ponsel si pencuri. Brosur yang sudah semi mengelupas di permukaan berkaratnya sama persis.
"Sekarang kita tinggal cari rumahnya," gumam Ale. "Mencar aja."
Kenan langsung mengerutkan kening tidak setuju. "Kalo lo kenapa-kenapa nanti gimana?"
Ale memutar mata malas. "Adanya juga lo yang kenapa-kenapa."
"Enak aj—"
"Ken," decak Ale tidak sabar. "Ayolah. Gue lurus, lo belok ke sana. Ini gangnya bercabang. Kalo kita bareng, bisa-bisa besok subuh baru ketemu tuh maling."
Kenan menghela napas, mengalah. "Yaudah. Tapi kalo lo yang ketemu rumahnya, call gue dulu. Jangan langsung masuk. Oke?"
"Bawel."
"Oke, gak?!"
"IYA, AH!"
Kenan sedikit tersenyum waktu dia akhirnya menuruti titah Ale. Langkahnya dipatri ke sebuah kelokan sempit. Ale sudah sempat menunjukkan foto-foto dari galeri si pencuri waktu mereka makan. Rumah yang mereka cari dilapisi cat abu-abu, tapi tidak seluruh permukaan dindingnya tertutup. Beberapa masih berupa bata merah dengan semen di sela-selanya. Pintu kayu cokelat, dua buah kursi rotan bundar, meja bertaplak kain brokat—
Langkah Kenan terhenti. Setelah keluar dari kelokan sempit tadi, rumah ketiga yang laki-laki itu lihat terdiri dari dua lantai tanpa balkon. Nyala lampu di lantai atas tampak dari jendela yang terbuka. Kacanya setengah pecah.
Bagian depan rumah itu persis foto yang Ale tunjukkan, kecuali warna catnya sudah menutup seluruh permukaan dinding dan mengelupas di beberapa bagian. Sebuah spanduk raksasa berkibar. KAMI MENOLAK PENGGUSURAN. Poster kecil-kecil tersebar nyaris menutup tembok. REPRESI BUKAN ALAT NEGOSIASI.
Sekarang kalau Kenan perhatikan, nyaris seluruh gang diliputi spanduk dan poster yang sama.
Laki-laki itu baru saja akan mendekat ketika seseorang keluar dari rumah. Tubuhnya refleks mundur dan merapat ke balik dinding tikungan.
Seseorang itu seumuran dengan Kenan, mungkin lebih tua. Laki-laki berkulit kecokelatan. Tubuhnya yang berotot dibalut kaos hitam tanpa lengan dan celana pendek. Rambut gondrongnya yang sedikit ikal diikat ke belakang kepala dengan karet gelang. Di tangan kanan-kirinya ada dua kresek hitam besar terikat. Laki-laki itu memasang sandal asal dan mematri langkah.
Kenan membetulkan posisi ransel dan mengikutinya. Diam-diam bersyukur bukan Ale yang bertemu dengan laki-laki ini.
Target Kenan berjalan melintasi gang, menyapa kanan-kiri sepanjang jalan. Setiap orang yang sedang duduk-duduk di depan rumah melambaikan tangan. Ada sebuah warung yang menawarinya mampir tapi dia tolak. Di pos ronda, segerombol preman tertawa-tawa sembari menariknya mendekat.
Kenan menyimpulkan sendiri dia lebih baik tidak macam-macam dengan kriminal populer ini.
Laki-laki itu akhirnya berhenti di tepi sungai dekat gapura tadi, kemudian melempar barang bawaannya ke bawah. Bunyi tercebur terdengar dan dia menyaksikan sampah itu hanyut oleh air mengalir.
"Mana HP temen gue?"
Laki-laki itu berbalik, hampir seperti refleks. Kenan menilai telinga si pencuri pasti punya sensitivitas yang tinggi karena laki-laki itu menatap lurus persis ke arahnya, seolah dia bisa memperhitungkan di mana posisi Kenan hanya dari arah datangnya suara.
Alisnya terangkat sebelah. "Ada apaan, nih?"
"Lo. Nyuri HP di kantor polisi, kan?" Kenan tidak ingin membuang waktu. Telapak tangannya diulurkan. "Itu punya temen gue. Balikin."
"Waduh."
Bukan Kenan kalau tidak menyadari sekilas senyum yang buru-buru dilenyapkan dari bibir ketika laki-laki itu maju mendekat.
"Sori, Bos. Salah orang, kali."
"Nggak usah pura-pura. Gue udah—"
BUGH!
Kenan tidak siap. Jelas dia tidak siap. Laki-laki berkacamata itu jatuh tersungkur ke tanah. Rahangnya seperti baru saja dihantam truk muatan barang.
"Temen lo yang cewek Bina Indo itu?"
Kenan terbatuk begitu debu dan kerikil menyapa hidung dan mulutnya. Laki-laki itu memaksa dirinya bangkit, mundur beberapa langkah. Melepas ransel dan membuangnya ke tanah. Membetulkan kacamata.
"Balikin—"
Lawannya jelas tidak suka berdialog. Pukulan kedua datang sama dadakannya dengan yang pertama, tapi Kenan sudah lebih siap kali ini. Laki-laki itu menangkis dan mengarahkan pukulan balasan. Kepalan tangannya ditangkap dan ditarik. Kenan terhuyung untuk yang kedua kali, jatuh di lututnya.
Brengsek.
"Lo anak Bina Indo juga?" Terdengar tawa meremehkan. "Punya nyawa berapa lo dateng ke sini?"
Napas Kenan memburu. Laki-laki itu memilih strategi lain. Kakinya dilayangkan dalam sekejap. Secara logika, tendangan itu tidak akan dapat diantisipasi karena sudut serangannya sama sekali di luar batas pandang lawan, tapi mata Kenan melebar ketika kakinya dicekal dan dibelokkan ke arah berlawanan. Terdengar bunyi retakan. Kenan menggigit lidah agar tidak berteriak.
Laki-laki kekar itu mendesaknya ke tanah, mencengkeram erat kerah kemejanya, nyaris mencekik. Kedua tangan Kenan diinjak tanpa daya. Paru-parunya kesulitan meraup udara. Kenan belum bisa bernapas ketika perutnya dihantam oleh sikut.
"AH!"
Kali ini tulang buku jari menghantam kelopak matanya. Sekujur tubuh Kenan belum pernah berdenyut senyeri itu. Dia hanya bisa memejam ketika pukulan-pukulan selanjutnya datang. Bertubi-tubi, menggilas habis yang dia punya.
Kenan tidak tahu berapa pukulan yang dia terima ketika laki-laki itu akhirnya bangkit dan meludah persis ke tanah sebelah wajahnya.
"Mana temen lo? Nggak ikut ke sini?"
"Ikut."
Kenan mencelos waktu mendengar vokal penuh dendam itu. Dia memaksa matanya terbuka dan menyaksikan laki-laki yang baru saja menghajarnya terdesak. Punggung menabrak palang besi tepi sungai, kedua lengan terangkat di udara.
Sebuah cutter silver tujuh senti ditodongkan ke pangkal tenggorokannya.
Entah mana yang lebih tajam: senjata itu atau tatapan gadis yang paling Kenan sayang.
***
Ale jarang mendengar teriakan Kenan.
Kecuali kalau waktu laki-laki itu menonton episode final Kuroko no Basuke untuk ketujuh ratus delapan puluh tiga kalinya dihitung, tapi bukan itu poinnya.
Ale jarang mendengar teriakan Kenan, jadi waktu gadis itu mendengarnya, dia tahu pasti ada sesuatu yang salah. Kakinya bergerak cepat, berlari menyusuri gang-gang kecil tak berujung. Kalau sesuatu terjadi pada Kenan— kalau sesuatu menyakiti laki-laki itu, Ale tidak akan berhenti menyalahkan dirinya. Dia yang membiarkan laki-laki itu mengikutinya sampai ke sini, memburu bahaya. Sial, sial, sial!
"Mana temen lo? Nggak ikut ke sini?"
Ale merasakan darahnya memompa dengan keras ke seluruh tubuh. Kenan tergeletak di tanah, babak belur. Seragamnya kotor. Tag Bina Indonesia di balik jaketnya terpampang jelas.
Ale bahkan tidak sadar waktu tangannya meraih cutter di belakang punggung dalam satu gerakan cepat.
"Ikut."
Insting laki-laki itu berbalik dan insting Ale adalah menodongkan senjatanya persis ke pangkal tenggorokan si bajingan.
"Wah, sabar!"
Betapapun nada itu terdengar santai seolah laki-laki ini menghadapi ancaman mematikan setiap hari, Ale bisa mencium kewaspadaan di balik tarikan napasnya. Laki-laki itu tahu Ale tidak melakukan hal seperti ini setiap hari, tapi justru karena itu dia tidak bisa memperhitungkan apa yang bisa gadis ini perbuat. Ale bisa jadi orang gila nekat dan dia jelas tidak ingin mengambil risiko.
"Kita ketemu kemarin, inget?"
"Nggak usah basa-basi," gertak Ale. Gadis itu hanya sisa sejengkal dari menusuk leher lawan bicaranya. Dia berusaha tidak mengalihkan pandang, khususnya pada Kenan yang tidak berdaya. Ale tidak pernah tidak kesulitan mengontrol emosinya, dan menyaksikan Kenan terluka tidak akan banyak membantu. "Balikin HP gue."
Laki-laki itu menatapnya seolah mempertanyakan sesuatu, dan Ale benci itu. Cutter-nya didorong lebih dekat, ujung tajamnya menyentuh kulit.
"Balikin HP gue."
"Atau?"
"Lo masih nanya?"
"Atau lo bakal gorok leher gue?"
"Lo pikir gue nggak berani?"
"Cewek elit kayak lo?"
Ale belum sempat memikirkan balasan yang sempurna waktu tangannya dicekal dan diputar ke arah berlawanan. Gadis itu menjerit. Cutter-nya jatuh dan punggungnya menabrak dada si pencuri. Kedua lengannya dipiting kasar dengan satu tangan sementara tangan lainnya mengungkung leher Ale, mencekiknya dengan siku. Ale menggapai-gapai, kehabisan udara. Dadanya panas.
Laki-laki itu melepasnya sejurus kemudian, mendorongnya jauh. Ale terbatuk-batuk. Ketika gadis itu sadar, si bajingan sudah membongkar ransel yang tadi tergantung di punggungnya dan mengeluarkan dompet milik Ale. Seluruh lembar uang kertas di dalamnya dicabut dan diselipkan ke saku celana pendek.
"Bajingan," bisik Ale, masih bernapas pendek-pendek dari mulut. "Nggak malu lo nyerang cewek?"
Laki-laki itu tertawa kecil. "Katanya butuh kesetaraan gender?"
Dompet Ale dikembalikan ke dalam ransel. Laki-laki itu mendekat, berusaha memasangkan ransel kembali ke punggung Ale, tapi gadis itu mendorongnya kasar.
"Jangan pegang-pegang, bangsat."
Kedua tangan laki-laki itu diangkat lagi seolah menyerah sementara langkahnya mundur. Dia menendang cutter Ale di tanah jatuh ke aliran sungai. "Gue tau lo berani," senyumnya. "Tapi lo ragu. Makanya gue bisa nyerang lo."
Ale menggertakkan gigi. "Tunggu aja sampe polisi dateng ke sini."
"Polisi?" ulangnya pura-pura takut. Raut wajah itu segera berubah puas. "Kalau polisi bakal dateng, lo nggak akan ada di sini."
Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari saku belakangnya. Ale mengepalkan jemari. Itu ponselnya.
"Ada yang penting banget di dalem sini sampe lo nggak bisa nunggu polisi gerak?"
"Bukan urusan lo."
Laki-laki itu mengangguk setuju. "Kalau gitu kita barter. Gue balikin HP lo, lo balikin HP gue."
Ale mengangkat alis. "Gue nggak—"
"Nggak semua orang yang sekolah di luar Bina Indonesia tolol. Polisi nggak mungkin kasih alamat gue ke lo, jadi lo bisa nyampe sini pasti karena lo punya HP gue."
Ale tidak pernah menganggapnya tolol. Laki-laki ini apa pun selain tolol. Bahkan, kalau Ale tidak terlalu gengsi untuk mengakui, dia akan bilang laki-laki ini pintar. Setidaknya street smart— pintar ala jalanan.
"Gimana gue bisa yakin lo nggak nipu gue?"
"Gue bukan penipu."
"Oh," dengus Ale sarkastik. "Cuma pencuri, peserta tawuran, tukang pukul?"
Laki-laki itu tertawa dan mengangkat bahu. "Cuma itu."
"Le... jangan percaya dia."
Ale melirik Kenan yang berusaha menggeleng. Dia tahu Kenan hanya ingin melindunginya, tapi gadis itu tidak benar-benar punya pilihan selain membuat kesepakatan. Dia kehilangan senjatanya, dan melawan dengan tangan kosong sama sekali bukan keputusan bijak. Liat apa yang dia lakuin sama lo, desis Ale dalam hati. Lo mau gue mampus dihajar juga?
"HP gue dulu." Ale akhirnya mengulurkan tangan. "Baru HP lo."
Laki-laki itu maju mendekat. Ale perlu menahan diri agar tidak refleks mengambil langkah mundur. Aura laki-laki ini tidak intimidatif, tidak menyeramkan, tapi lincah dan berbahaya. Seolah kalau tidak waspada, Ale akan kehilangan sesuatu yang berharga. Coret itu, gadis itu sudah kehilangan sesuatu yang berharga. Itu sebabnya dia terjebak di tengah kekacauan ini.
Laki-laki itu menyodorkan ponsel Ale di udara. Ale sudah akan menyambarnya ketika ponsel itu kembali ditarik main-main. Senyum geli menghiasi bibir si pencuri.
"Siapa nama lo?"
Ale menggertak gigi. "Ale."
Laki-laki itu meraih jemari Ale dan meletakkan ponsel di atas telapak tangan si gadis. Ale menariknya dengan segera, sebelum meraih ponsel si pencuri dari saku rok dan menyerahkannya cepat-cepat. Dia ingin urusannya dengan kriminal brengsek ini segera usai.
"Makasih, Ale." Laki-laki itu mengedipkan mata seolah mereka sudah kenal lama. "Cepet sembuh buat temen lo."
Dia mengambil tiga langkah pergi sebelum berbalik seolah baru teringat. "Oh. Kalau butuh pencuri, peserta tawuran, atau tukang pukul, cari aja gue di sini. Semua orang kenal, kok."
Laki-laki itu tersenyum dan Ale baru menyadari lesung pipit menarik yang terbentuk persis di bawah tulang pipi kirinya.
"Bilang aja lo lagi cari yang namanya Bas Kara."
bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro