Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 | Gemuruh

Mama tidak pernah menangis.

Mungkin seumur hidupnya.

Setolol apa pun tingkah laku Ale, Mama cuma akan marah. Memukul. Karena menangis cuma untuk orang lemah, dan Mama tidak lemah.

Menangis tidak menyembuhkan memar di garis pundak, goresan di bawah dagu, atau luka menahun di relung hati. Menangis tidak mengubah apa-apa. Itu sebabnya menangis selalu jadi rahasia memalukan bagi Ale. Rahasia yang sampai kapan pun juga, tidak akan pernah dia bagi-bagikan ke dunia. Sama seperti segala hal yang dia ledakkan pada Bas hari ini. Seumur hidup, Ale bahkan tidak pernah mengatakan apa yang dia katakan barusan pada dirinya sendiri, apalagi keras-keras seperti tadi.

Gue cinta Kenan. Dan sekali pun seumur hidup gue nggak nyatain perasaan gue, sekali pun pada akhirnya dia nggak akan pernah tahu, nggak berarti gue bakalan pernah berhenti cinta sama dia.

Ale menelan ludah. Selama ini dia tidak pernah tahu apa yang dia rasakan untuk sahabat sejak kecilnya itu. Dia tidak pernah mau tahu. Dia tidak pernah mau memikirkannya. Tapi segala desakan Bas dan rasa sakit bekas tonjokan di perutnya membuat Ale tidak perlu berpikir lagi. Segalanya tiba-tiba merebak ke permukaan.

Mungkin bukan cuma menangis yang menjadikan seseorang lemah. Mungkin jatuh cinta pada sahabat 17 tahun juga.

Ale menatap langkah Bas menjauh dari gapura gang. Kata maaf tersendat tak berdaya di tenggorokannya. Maaf untuk apa? Maaf untuk keras hati dan keras kepala? Maaf untuk terlalu jujur dan terlalu jahat di saat yang sama?

Gadis itu memejamkan mata.

Sejak awal mereka saling kenal, Bas tidak pernah jadi sempurna. Ada banyak hal brengsek tentangnya yang tidak Ale suka. Mungkin itu juga yang membuatnya terasa jauh lebih nyata. Dia bukan pangeran negeri dongeng atau karakter boy next door yang ada di drama romansa. Tapi Bas nyata. Bas di sini, dan Bas cinta Ale. Apa adanya.

Masalahnya cuma satu. Bas Kara bukan Kenan Aditya.

Ale menarik napas dalam-dalam.

Itu saja.

Gadis itu berbalik, siap pergi.

Langkahnya tiba-tiba terhenti.

"...Ken?"

***

"...Ken?"

Ada gemuruh aneh di telinga Kenan yang meredam segala suara dari luar, termasuk nada terkejut Ale. Gadis yang dia cari ke mana-mana hari ini. Gemuruh yang sama yang memenuhi kepalanya sejak di lapangan, sejak tembakan andalannya berubah salah sasaran, sejak beberapa minggu belakangan. Kenan merasa kehilangan, dan sekarang jadi jelas kenapa dia merasa begitu.

"Lo kenapa bisa— lo denger apa yang gue omongin sama Bas?"

Laki-laki itu menatap wajah Ale yang memucat, menahan keinginan untuk meledakkan satu Jakarta. "Gue nggak perlu denger."

"Gue tanya." Gadis itu menaikkan nadanya satu oktaf. "Lo denger apa enggak?"

"Emang apa?" bentak Kenan tiba-tiba, membuat Ale refleks mundur satu langkah. "Apa yang gue nggak boleh tahu? Apa yang segitu rahasianya sampe harus lo sembunyiin berdua sama bajingan itu?"

Kecewa. Gemuruh itu gemuruh kecewa.

Kenan menggeleng, menatap Ale dari atas ke bawah. "Ngapain sih lo di sini, Le?!"

Ale menelan ludah.

Kenan benci mengerti bahwa gadis itu lega dia tidak dengar apa-apa. Kenan benci mengerti Ale senang rahasianya masih aman.

"Gue nggak ada kewajiban," Ale mengalihkan pandang dari tatapan menghakimi milik Kenan, berusaha merangkai kata, "buat laporan ke lo setiap gue mau ngelakuin sesuatu. Dan lo juga nggak ada hak buat tahu—"

"Kata siapa?" Kenan tidak pernah tertawa semarah itu. "Kata siapa lo nggak ada kewajiban dan gue nggak ada hak? Lo gila, hah? Berapa lama lo bohongin gue? Berapa lama—"

Laki-laki itu berhenti. Tatapan tajamnya jatuh pada tangan kiri Ale yang ada di atas perut.

"Le."

"Enggak—"

Ale tidak punya tenaga yang sepadan untuk menahan tangan Kenan yang bergerak menyingkap ujung kemejanya ke atas, cukup untuk memperlihatkan ruam biru samar di permukaan kulit.

Mata keduanya bertemu.

"Gue bunuh dia."

"Ken— KENAN!"

Ale terlambat mencegah ketika Kenan sudah berlari. Mengejar pencuri yang harusnya dia habisi nyawanya sejak hari pertama.

"KENAN!"

"WOI, SINI LO!"

BRUAK!

Langkah Ale terhenti karena shock. Kenan merangsek menyusul Bas di tengah gang, menarik kerah baju laki-laki itu dari belakang. Punggungnya dibenturkan keras ke tiang listrik. Bunyi derak memuakkan terdengar kencang. Ale terpaku. Kepalan tangan Kenan gemetaran, tapi tidak ada satu pun pukulan yang meleset dari sisi kepala Bas. Lutut laki-laki itu menggasak perut, membuat musuhnya terbatuk kesakitan.

Dan Bas tidak melawan.

"KENAN, STOP!"

Ale berteriak, tapi itu bukan Kenan. Laki-laki yang memukuli Bas habis-habisan bukan Kenan Aditya yang Ale kenal selama tujuh belas tahun belakangan.

Gadis itu sudah akan nekat maju ke tengah-tengah ketika Kenan menghentikan pergerakan. Tangan pangeran itu mencengkeram kuat-kuat nadi di leher Bas dan kata-katanya tidak lebih dari desisan, tapi siapa pun bisa mendengarnya dengan jelas.

"Jangan pernah sentuh Ale gue, bangsat."

Kenan melepaskan tubuh Bas yang merosot ke tanah. Membetulkan letak kacamatanya. Menghampiri Ale.

Jemari laki-laki itu menggenggam jemari Ale dengan gemetar hebat, tapi seumur hidup suaranya tidak pernah sepenuh kontrol itu.

"Kita pulang."

***

Ale belum pernah merasa setakut itu.

Menyaksikan Mama meledak sudah biasa, tapi Kenan? Kenan Aditya. Kenan yang selalu melempar senyum sembari mengiyakan permintaan semua orang. Kenan yang paling sabar. Kenan yang tidak pernah mau menyakiti siapa-siapa.

Entah hanya perasaan Ale, atau Kenan membawa motornya lebih cepat dan lebih berisik dari biasanya. Sepanjang jalan, tidak ada percakapan di antara mereka berdua.

Kenan tidak pernah marah. Tidak pada Ale. Mereka berkelahi setiap saat, tapi Ale tahu Kenan tidak betul-betul marah padanya. Akan selalu ada satu ruang di mana Kenan bisa memaafkan ketidakpedulian dan keegoisan Ale.

Itu sebelum hari ini.

"Gimana lo bisa tahu gue ada di sana?"

Ketika akhirnya mereka sampai di rumah, Ale memutuskan dia tidak bisa masuk tanpa menyelesaikan masalah mereka.

Kenan mendengus. "Nggak penting."

"Lo ngelacak lokasi gue?"

"Kenapa kalo iya?"

"Lo sadar kan itu salah—"

"Lo lebih salah!" gertak Kenan. "Lo bohongin gue! Sejahat-jahatnya gue sama lo, gue nggak pernah bohong. Apalagi soal bajingan yang nyakitin lo kayak—"

"Bas bukan bajingan. Gue lebih banyak nyakitin dia—"

"Akrab banget lo hah, sama dia?" Kenan maju selangkah, menantang marah. "Akrab banget sampe lo belain gitu?"

Ale menggertakkan gigi. "Lo nggak ngerti konteksnya, Kenan."

"Karena lo bohong!" Kenan mendesak maju lagi. "Karena lo biarin gue buta!" Lagi. "Karena lo milih ngejauh dari gue demi—"

"STOP!" bentak Ale. "JANGAN— jangan deket-deket."

Napas gadis itu tak beraturan. Ale mundur satu langkah. Pandangannya buram oleh air mata.

"Lo... Lo terlalu deket." Gadis itu menelan ludah. "Gue butuh seseorang yang nggak sedeket lo. Gue butuh seseorang yang nggak akan nyadar kalau gue nggak baik-baik aja. Gue butuh seseorang yang nggak bakal tahu kalau gue pura-pura. Gue butuh seseorang di mana gue nggak harus jujur setiap saat. Gue capek, Ken. Gue tahu gue nggak baik-baik aja dan gue capek ngakuin itu setiap detik ke lo. Ke diri gue sendiri. Gue butuh sebentar aja, sebentar aja bohong. Bisa nggak... bisa nggak lo—"

"Enggak."

Ale mengangkat wajah dan menatap mata Kenan.

"Lo boleh ngejauh, lo boleh cari orang lain yang bisa lo bohongin sesuka hati. Terserah. Tapi kalau lo nanya bisa atau enggak, jawabannya enggak. Gue nggak bisa."

Suara Ale nyaris pecah. "Nggak bisa... apa?"

"Jauh dari lo."

Kenan mengepalkan jemarinya erat di dalam saku celana, menyembunyikannya dari Ale.

"Maaf gue egois. Tapi gue butuh lo. Gue butuh lo di sini, sama gue, gue—"

Ale menggeleng. Putus asa.

Gadis itu bergerak menutup jarak yang dia ciptakan sendiri. Berjinjit melingkarkan lengannya di sekeliling leher Kenan. Kenan balas merengkuh seluruh tubuh Ale yang terasa mungil di antara kedua lengannya.

"Gue nggak bisa kalau nggak ada lo, Le, please..."

Ale memejamkan mata. "Gue juga." Lebih dari yang lo tahu.

Kenan menarik dan mengembuskan napas dalam-dalam. Gemuruh itu masih nyata, tapi perlahan reda. Udara tidak lagi tersendat di paru-parunya. Debar jantungnya beranjak teratur.

Kenan melonggarkan pelukan, menyisipkan anak rambut Ale yang lolos ke belakang telinga. Jemari laki-laki itu tiba-tiba terhenti.

"...Ken?"

Kenan tertegun.

Tremornya hilang.

***

Hujan.

Seperti menertawai Bas yang berdarah-darah di jalanan gang, hujan turun deras. Berisik arus sungai samar-samar menembus gendang telinga yang sesekali berdenging menyakitkan. Kenan rupanya bisa membunuh kalau benar-benar mau. Bas tertawa kecil. Ulu hatinya nyeri. Laki-laki itu meludahkan darah ke tanah.

Kontrakan kosong waktu Bas sampai. Tubuhnya yang terasa remuk sana-sini didudukkan lunglai di kursi teras. Tidak seremuk hatinya. Mata Bas dipejamkan. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam dan merogoh ponsel di saku celana. Sudut kacanya pecah, tapi sisanya berfungsi dengan benar.

Tiga baris pesan datang dari Wulan setidaknya satu jam lalu.

bapak dibawa ke RS

dikeroyok di pasar

utang kemarin belum lunas

Pesan yang lebih banyak datang dari nomor yang tidak Bas simpan, tapi familiar.

re dirgantara bikin ulah lagi

nantangin naik ring

anak anak pada mau taruhan

gue bonusin semau lo

tapi dia harus mampus

aman?

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro