2 | Mengejar Api dan Pencuri
"Dicuri? Maksudnya?!"
Kenan membetulkan posisi ransel di bahunya— separuh gugup, jujur saja. Dari tempat duduknya, suara Ale di ruang sebelah terdengar.
"Ini kantor polisi loh, Pak! Kok bisa ada maling lolos? Bapak makan gaji buta di sini?"
O... ke. Kenan berdiri, mendekat ke jendela. Laki-laki itu mengintip masuk ke dalam ruangan, kalau-kalau Ale butuh bantuan (meski seringnya tidak).
Gadis itu sedang melipat kedua lengan di depan dada, satu sisi rambutnya diselipkan ke belakang telinga. Matanya menyorot tajam ke arah pria berseragam yang sibuk menggerakkan tetikus komputer, kemudian berusaha menunjukkan sesuatu di layar. Ale mengangkat alis, sebelum menyipitkan mata. Gadis itu meminta layar diperbesar. Jemarinya mengepal.
Kenan sudah mengamati Ale praktis sepanjang hidup untuk mengenali gestur gadis itu. Amarah terkesan natural di sekelilingnya. Luka kecil di buku-buku jari karena menonjok sesuatu terlalu keras. Baret di siku karena tergores waktu menutup pintu dengan buru-buru. Plester di lutut karena jatuh membentur lapangan saat kabur dari guru BK.
"Dasar brengsek!"
Kenan mengerjap waktu pintu dibanting terbuka. Ale muncul dengan derap cepat, menyambar ranselnya, dan melaju keluar. Kenan bergegas menyusul.
"Le! Tungguin! Kenapa?"
Mereka menyusur trotoar seperti sedang mengejar sesuatu. Atau seseorang, Kenan tidak tahu.
"Cowok itu. Gue udah tahu dia emang bajingan dari pertama kali—"
"Cowok apa? Siapa?"
Ale mengerang frustasi. Gadis itu menyodorkan sebuah ponsel asing pada Kenan. "Waktu ditangkep polisi kemarin, HP kita semua disita di satu box. Harusnya gue ambil HP gue waktu pulang, tapi gue lupa. Abis gue pulang, anak-anak dari sekolah lain juga dibebasin. Petugasnya nyuruh mereka ambil HP masing-masing dari box tadi. Tapi—"
"Tapi cowok ini ngambil HP lo?"
"Emangnya kurang jelas?" gertak Ale. "Lo dengerin gue nggak, sih?"
"Dengerin." Kenan buru-buru menyahut. "Terus ini HP siapa?"
Ale melambatkan tempo napasnya dan menatap Kenan. "HP dia."
Alis Kenan terangkat. "HP cowok yang nyolong HP lo?"
"Iya, Ken, siapa lagi?" cebik Ale. "Dia pasti mikir kalau dia ambil dua HP bakal bikin curiga. Jadi dia ambil HP gue dan ninggalin HP-nya. Polisi otomatis mikir HP yang nggak diambil adalah punya gue yang ketinggalan."
Kenan mengerutkan kening. "Terus ngapain polisi kasih HP dia ke lo?"
"Mereka nggak ngasih." Ale mengedikkan bahu. "Gue curi balik."
Pertama, itu bodoh. Kedua, itu kedengaran seperti hal yang bakal Ale lakukan.
"Buat apa?" Kenan bertanya meski dia tahu jawabannya.
"Buat ngelacak bajingan ini karena polisi nggak mau kasih alamatnya."
Persis dugaan.
"Emangnya lo nggak ada Find My iPhone di laptop?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Ya karena gue nggak mikir HP gue bakal dicolong berandalan tengik di kantor polisi, apa lagi?!"
Kenan memijit pelipis. Ale selalu begitu. Sembarangan. Dia bukan tipe yang berjaga-jaga dan memastikan segala hal aman. Gadis itu lebih suka melompat sana-sini menghindari bahaya, dan kalau berpapasan, refleksnya adalah menyerang.
Jadi dibanding membiarkan polisi mengusut kasus ponselnya yang hilang, gadis itu memilih melakukan manuver asal. Mencuri balik ponsel pencurinya. Cuma Adinda Aletheia yang begitu.
Kabar baiknya, Kenan sudah terbiasa. "Menurut lo, dia nyolong HP lo buat dijual?"
Ponsel yang ada di tangan Kenan datang dari brand terjangkau. Dibandingkan dengan ponsel Ale yang keluaran terbaru, sudah jelas jauh perbandingan harganya.
"Itu nggak penting," desah Ale. "Terserah dia mau jual atau gimana. Gue cuma butuh data gue."
"Emangnya lo sama sekali nggak ada back up di—"
"Bukan masalah itu," sahut Ale tidak sabar. "Gue nggak mau ada orang lain yang liat data-data gue. Itu kan privasi!"
Kenan mengangkat bahu. "Yah, kita bisa coba cari tahu identitasnya dari sini."
Laki-laki itu menekan tombol power. Ponsel itu tidak dikunci— yang mana cukup aneh, menurut Kenan. Di belakang sejumlah ikon aplikasi, ada wallpaper seorang wanita dengan paras cantik, mungkin usianya sekitar dua puluh tahunan.
"Pacarnya?" Ale mengusulkan.
Kenan memiringkan kepala tidak yakin. Laki-laki itu menggeser layar. Tidak banyak aplikasi yang cowok ini miliki. Di galeri, album kamera dipenuhi dengan foto-foto blur dan tidak jelas. Tiang listrik di malam hari. Sepatu dengan tali tidak terikat. Kereta api melintas.
Kenan menggulir ke album lain. O-ow. Laki-laki itu refleks mematikan ponsel dan mengantonginya ke celana. Membuat mata Ale langsung menyipit curiga.
"Kenapa?"
Kenan pura-pura angkat bahu. "Nanti pulang sekolah aja kita lacak. Udah mau telat, nih."
Ale cemberut, yakin baru saja dibohongi. "Ada album bokep ya?"
"ALE!" Kenan membekap mulut Ale kesal, menoleh ke kanan-kiri. "Mulut lo tuh! Dijaga!"
"IH!" Ale mendorong Kenan jauh-jauh, alisnya ditekuk. "Gue tuh lebih tua dari lo!"
"Iya, iya, tapi nanti aja dilanjutinnya." Kenan ikut emosi. "Sekarang kita sekolah dulu, oke? Lo mau dimarahin lagi sama Bu Lastri?"
Ale tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan telapak tangan. "Tapi gue aja yang bawa HP-nya."
"Enak aja," geleng Kenan. "Lo mau bolos buat nyari dia, kan?"
"Enggak!"
"Enggak apa?"
"Enggak, gue nggak bakal bolos, Kenaaan! Sini HP-nya!"
Kenan menyipitkan mata. "Gue nggak percaya. Mending sekarang lo bareng gue aja ke sekolah."
Ale mendengus, akhirnya mengalah. "Yaudah. Tapi lo duluan. Gue pesen ojek."
Kenan tersenyum puas. "Mau gue tungguin sampe ojeknya dateng?"
"Nggak usah!" Ale menolak galak, sebelum menunjuk ke belakang punggung Kenan. "Tuh, ojek gue udah dateng."
Kenan menoleh. "Mana—"
Yap. Kesalahan fatal.
"ALEEE! STOP!"
Kenan berseru heboh menyaksikan Ale berlari kabur. Tangannya menggenggam ponsel colongan yang dia colong ulang dari kantong celana Kenan. Lima detik kemudian gadis itu sudah lenyap di tikungan.
Luar biasa.
Kadang Kenan benar-benar lupa sahabatnya itu punya skill maling profesional. Kalau Ale baru saja mencuri ponsel itu dari kantor polisi, apa yang menghentikannya mencuri dari saku seragam Kenan? Tentu saja tidak ada.
Laki-laki itu mengembuskan napas, setengah kesal.
Elemen Ale memang api. Segala sesuatu di sekitar gadis itu dengan cepat terbakar. Energinya eksplosif dan terlalu keras kepala untuk dilawan. Kenan tidak bisa menghentikan Ale, jadi dia hanya bisa mengikutinya ke mana-mana, berusaha menjauhkan gadis itu dari bahaya. Meski Ale tidak pernah mau, bukan berarti tidak perlu.
Kenan merogoh ponselnya sendiri dan menempelkannya ke telinga, sembari berlari kecil menuju tempat parkir.
"Ajeng? Iya, sorry, sorry, boleh minta tolong nggak kabarin anak-anak rapat OSIS nanti di-cancel? Gue agak nggak enak badan, nih. Progress divisi setor aja ke gue, paling ntar malem gue review. Aman ya? Oke, oke, thanks, Jeng. O-oiya, ada Leo nggak di situ? Bilangin dia gue skip sparing hari ini dulu ya. Makasih, Ajeeeng."
Begitu panggilan ditutup, langkah Kenan selanjutnya adalah mengetik pesan singkat pada wali kelas dan kakak pembina olimpiade. Kenan juga sebenarnya bisa saja sekalian menitipkan izin sakit untuk Ale, tapi sayangnya gadis itu memaksa Kenan pura-pura tidak mengenalnya di sekolah.
Alasannya? Sejak dulu Ale memang selalu benci keramaian dan pusat perhatian. Sementara Kenan, yah... dia akan bohong kalau bilang dia bukan pusat perhatian. Di SMA Bina Indonesia, Kenan menjabat sebagai Ketua OSIS. Dan anggota inti klub basket. Dan perwakilan sekolah untuk Olimpiade Kimia. Dan— oke. Intinya, dunia Kenan terlalu riuh untuk Ale yang suka keheningan.
Api dan hening mungkin memang bukan perpaduan yang klop, tapi begitulah Ale. Selain di buku catatan pelanggaran, namanya juga bisa ditemukan di daftar pengunjung perpustakaan. Ke situlah dia membolos setiap kali bosan mendengar guru mengajar. Ale tidak bisa duduk diam di satu tempat. Dia bukan penyabar. Ale harus terus bergerak. Karena kalau tidak, gadis itu akan merasa terjebak.
Kenan bisa saja seharian membicarakan Ale sampai mulutnya berbusa, saking banyaknya detail yang dia serap selama bertahun-tahun mengenalnya. Tapi sepertinya hal-hal lain tentang gadis itu harus menanti kalau mau diceritakan.
Kenan menyalakan mesin motornya.
Ada Ale dan ponsel curian yang harus dikejar.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro