Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 | Ungu

Kata Bapak, Jakarta itu sesak. Kalau tidak berdiri, kamu bisa terinjak.

Bas mendengarnya waktu enam bulan lalu mereka dapat surat informasi penggusuran. Daerah pinggir rel kereta api mau dibangun jadi stasiun sentral. Kontrakan yang sudah dihuni sejak zaman muda mau diratakan. Mungkin itu juga sebabnya Bas diajak melukis spanduk-spanduk protes yang kini sudah menggantung dari atap.

Kata Bapak, Jakarta juga pencuri. Kalau tidak waspada, kamu bisa kehilangan segalanya, termasuk harga diri. Waktu itu Bapak kedatangan tamu dengan seragam rapi. Amplop cokelat tebal di atas meja teras menanti asal mereka mau pergi. Bas tanya, kenapa Bapak nggak mau, Bu? Toh bisa ngontrak di tempat lain pakai uang itu. Ibu cuma senyum. Buat Bapak, ada harga yang nggak bisa dibeli pakai uang, Bas.

Kalau Ibu, lebih suka bilang Jakarta itu bahaya. Kalau tidak hati-hati, kamu bisa luka. Sembari membetulkan dasi Bas yang miring, lalu menyendok nasi sesuai jatah setiap piring, persis sebelum menghitung sisa gaji Bapak dari proyek serabutan kemarin.

Yaelah, Bu, Bas mah nggak takut luka. Tiap hari kerjaannya berantem mulu.

Kemudian, Wulan akan mulai mengomel. Sembari menimang Ganis yang setengah menangis, mengocok botol susu formula, menjahit kaus kaki bayi— apa saja selain belajar untuk ujian masuk kampus. Membunuh mimpi sendiri sementara adiknya ketar-ketir tidak punya mimpi. Menyabotase masa depan cemerlang sementara keluarga mereka dihantam tagihan utang.

Tapi menurut Bas, Jakarta itu berantakan. Laki-laki itu tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukan. Bahkan upaya cari uang yang dia pikir paling waras saja berujung pada perasaan tidak tahu diri yang sekarang harus mentah-mentah ditelan. Sialan.

Bas menendang kerikil terdekat membentur tiang. Area berpagar setinggi orang dewasa itu sarat warna merah muda dan biru norak. Catnya sudah mengelupas di sana-sini, mengekspos karat. Permainan-permainan anak kecil berjajar, mulai dari ayunan sampai perosotan tua tidak terawat.

Setidaknya sepuluh tahun lalu, Taman Kanak-Kanak itu masih ramai. Bas masih suka memalak jatah gorengan dari bocah-bocah lugu yang kebetulan belum dijemput orang tuanya.

"Bas."

Puncak komedi. Bas benar-benar mendengar suara yang paling tidak ingin dia dengar saat ini. Laki-laki itu menoleh, menemukan alasannya duduk sendirian meratapi langit sore seperti remaja galau yang suka dia cemooh sendiri.

"Al?"

Rokok Bas dimatikan. Laki-laki itu bangkit dari tanah, menepuk-nepuk celana yang kotor. Ale masih memakai seragam elitnya. Rok gadis itu sedikit tersingkap waktu memanjat masuk pagar. Dia melompat turun persis di hadapan Bas dan tidak ada yang bisa menghentikan otak Bas dari memutar ulang memori beberapa hari lalu.

Ciuman impulsif-semi-tolol itu.

"Gue nyariin lo dari tadi." Ale berkata sambil lalu, berjongkok mengikat tali sepatu. "Ngapain lo di sini?"

Mikirin lo. "Nyebat aja. Kenapa nyariin gue?"

"Pelajaran kita belom selesai, kan?"

Bas ingin bilang percuma dia mengajar Ale kalau ujung-ujungnya hatinya juga yang dihajar. "Jangan hari ini, dah."

"Oke."

Respons itu datang terlalu cepat, seolah Ale memang tidak datang untuk pelajaran berkelahi.

"Lo yakin cuma dateng ke sini gara-gara itu?"

Yang ditanya menatap mata Bas ragu-ragu. Ale mengangkat bahu dan menurunkan ransel ke tanah. Kakinya berjalan mengitari Bas, menuju tangga perosotan yang bolong-bolong.

Awas, ingin Bas memberitahu. Nanti jatuh.

Tapi tentu saja laki-laki itu tidak mengatakannya keras-keras. Jatuh tidak pernah jadi masalah buat Ale. Gadis itu sampai di puncak dan duduk tenang dengan kaki menyilang. Senja terlihat mengganggu di belakang punggungnya. Menurut Bas, Ale terlalu cantik untuk disandingkan dengan hal-hal indah lainnya.

"Males pulang. Tadi pagi berantem sama Mama." Gadis itu akhirnya bicara. "Takut dipukul lagi."

"Tonjok balik, lah."

Ale tertawa. Bas bersyukur tadi dia memutuskan untuk bercanda. Laki-laki itu tersenyum sedikit, memapah langkah mengikuti jejak Ale, duduk di puncak perosotan sebelah. Genteng-genteng miring milik tetangga sepanjang gang ternyata terlihat dari sini. Begitu pula pucuk-pucuk pohon dan kabel listrik. Matahari sisa sejengkal. Angkasa nyaris ungu.

"Lo nggak marah sama gue, Al?"

Ale mendengus. Tidak perlu pura-pura tidak tahu ke mana pertanyaan itu mengarah. "Marah."

"Sorry—"

"Udah lewat. Lagian gue juga nggak bisa marah lama-lama. Nggak tahu mau kabur ke mana lagi."

Bas menoleh. Dari samping ternyata Ale tidak kalah menawan.

"Sabtu nanti, mau nonton tanding basket sama gue?"

Laki-laki itu mengerjap tidak siap. "Apa?"

"Nonton tanding basket." Ale mengulang. "Finalnya Kenan."

"Oh."

Seperti anak kecil yang mainannya direbut, lesung pipit Bas perlahan memudar.

"Gue udah janji dateng. Tapi pasti bakal berisik banget. Kalau ada lo, seenggaknya gue tau ada orang waras lain yang nggak jerit-jerit manggil nama Kenan."

Bas tertawa.

"Kenapa?"

"Gue nggak ngerti, dah." Laki-laki itu menggeleng. "Kenan pentolan Bina Indonesia yang fans-nya seabrek ini, kenapa bisa sahabatan sama lo? Selain gara-gara tetanggaan, perasaan lo berdua nggak ada mirip-miripnya."

Ale ikut tertawa, tapi getir. "Kayaknya gara-gara waktu."

"Waktu?"

"Ya kalau lo stuck 17 tahun sama orang yang sama, lo bakal jadi tergantung sama keberadaan dia di dunia lo. Kalau tiba-tiba nggak ada dia... kayak kehilangan dunia lo aja."

"Terus, gimana kalau nanti lo berdua udah dewasa? Kalau dia nikah, punya anak? Lo bakalan ada di mana tuh?"

Ale mengedikkan bahu. "Mungkin gue udah nggak di sini."

"Maksudnya?"

"Nggak."

Bas terdiam beberapa saat. "Gue bisa gantiin dia."

Ale menautkan alis. "Apa?"

"Kalau nanti Kenan punya keluarga sendiri, gue bisa gantiin dia jadi sahabat lo."

Sejak tiga bulan lalu Ale mengenalnya, Bas belum pernah terdengar seserius itu.

"Tapi lo juga pasti bakal punya keluarga sendiri, ya." Laki-laki itu menggumam. "Ya, kan?"

Ale berpikir sebentar. Gadis itu pelan-pelan menggeleng. "Lo punya Ibu, Bapak, Teh Wulan, sama Ganis yang sayang sama lo, Bas. Gambaran lo soal masa depan mungkin ya punya keluarga sendiri, tapi kayaknya itu bukan bayangan gue."

"Jadi lo bakal hidup sendiri aja?" tanya Bas bingung. "Terus gimana kalau lo ketemu the right one?"

Ale refleks mendengus. "The right one?"

Bas mengangguk. "Satu orang yang secara spesifik ada di dunia ini buat lo. Apa pun kelebihan kekurangannya, rasanya dia pas aja buat lo. Dan lo nggak keberatan kalau harus hidup selamanya sama dia."

Ale memiringkan kepalanya sedikit untuk menatap Bas, mengejek. "Lo serius percaya orang kayak gitu ada?"

"Lah, gue tahu orang kayak gitu ada."

"Gimana lo bisa tahu?"

"Ya karena gue udah nemu."

Mata Bas mengunci mata Ale. Ada jeda yang terlalu panjang sebelum Ale akhirnya meledek, "Siapa tuh?"

Lesung pipit Bas naik lagi. Tatapannya beralih ke rambut Ale. "Lo harus ganti warna rambut."

Ale menyentuh rambutnya tanpa sadar. "Jadi apa?"

"Ungu."

Tatap keduanya bertemu.

"Cahaya paling kuat di spektrum, kan?"

Senyum Ale belum pernah mengembang seringan, semanis, dan sejujur itu.

"Iya," angguknya. "Paling kuat."

***

"SHOOT!"

"WOI! BALIK! DEFENSE, DEFENSE!"

Keringat mengaliri sekujur tubuh Kenan dengan lebih brutal di sesi latihan terakhir hari ini. Entah kenapa suhunya dingin, berbanding terbalik dengan kepala dan dada Kenan yang panas. Brengsek. Sebelas kali dia dapat kesempatan dari garis three-point, cuma delapan yang masuk. Tiganya melenceng.

Kenan mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Stop...

"KEN!"

Kenan melompat. Tembakan ke-dua belas.

Meleset.

"FUCK!"

"Eh, break!" Leo buru-buru mengangkat lengan, memberi isyarat pemain-pemainnya menyingkir dari lapangan.

Kenan melepas kaos putih polosnya yang sudah basah kuyup dan melemparnya ke lantai dengan marah. Dadanya bergerak naik-turun. Jantungnya berdebar luar biasa kencang. Dia tidak pernah meledak di lapangan. Lebih-lebih karena dirinya sendiri.

"Gue mundur."

"Tenang dulu, Ken. Lo tuh terlalu emosi—"

"Gue emosi karena gue nggak becus!" Laki-laki itu membalas keras. Lapangan hening total. "Performa gue sampah. Gue nggak bisa main kayak gini. Gue nggak bisa orang-orang liat gue kayak gini. Lo mau KSATRIA ancur, hah?"

"Kalau nggak ada lo, kita bakal lebih ancur." Leo menarik napas dan mendorong pelan dada Kenan mundur, menyembunyikannya dari anak-anak lain yang melongok curiga. Kapten itu membuang segala ego. Dia cuma punya satu kesempatan untuk mengusung nama Bina Indonesia ke puncak. Dia cuma punya satu kesempatan untuk dilirik manajemen profesional. Dan dia butuh Kenan.

Sesampah apa pun permainan bintang lapangan itu sekarang.

"Dengerin gue. Lo bakal baik-baik aja pas final. Asal lo tenang, man. Kontrol emosi. Kita lanjut 30 menit lagi. Oke?"

Kenan menepis lengan Leo di pundaknya dan berbalik. Langkahnya dipacu menuju toilet gimnasium. Beberapa rekan yang berpapasan buru-buru mengalihkan pandang. Seolah mengisyaratkan mereka tidak penasaran soal tembakan-tembakan gagal itu. Gagal. GAGAL.

Dengung di telinga Kenan makin menyebar, kini ke seluruh sudut kepalanya. Bergema. Toilet kosong. Kenan menatap bayangannya di cermin. Kedua tangannya mencengkeram erat pinggiran wastafel. Tembakan-tembakan itu seharusnya masuk. Akurasi sudutnya sudah sempurna, timing-nya tidak bisa lebih tepat lagi, teknik lompatannya juga seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Tidak ada yang salah. Kecuali jemarinya yang tidak mau berhenti gemetaran.

"Stop..." Kenan berbisik. Kedua tangannya dikepal dengan benci. "GUE BILANG STOP!"

Pyar!

Kaca wastafel pecah.

Jemari Kenan bersimbah darah.

Tremornya masih nyata.

"Ken! Itu suara—"

Kenan menatap lurus teman-teman satu timnya yang menyerbu masuk dari cermin. Semua berhenti melangkah. Diam. Tidak ada yang berani bicara. Seluruh bisik-bisik tanda tanya merayap di dinding-dinding lembab. Kenapa jagoan mereka sekarang tidak jagoan lagi? Ke mana Kenan Aditya yang selalu bisa diandalkan? Siapa pencundang yang sekarang bersembunyi di dalam toilet ini?

"Ken... latihan kita udah selesai hari ini."

Leo bicara dan kerumuman itu membuka jalan untuknya. Tatap dua sahabat itu bertemu.

"See you di final."

Paduan langkah kaki menjauh terdengar. Leo jadi orang yang terakhir pergi dan menutup pintu toilet. Kenan refleks merundukkan kepala ke bibir wastafel yang dipenuhi noda darah.

Muntah.

***

"Jadi, kapan pelajaran selanjutnya?"

Langkah Bas melambat mendengar pertanyaan Ale. Laki-laki itu menoleh ke sebelah, pada gadis yang berjalan di sampingnya seperti segalanya baik-baik saja. Seperti mereka tidak pernah berciuman sedetik penuh di gang sialan ini.

"Lo masih berminat ngajar gue, kan?"

"Gue masih berminat dapet duit," jawabnya asal. Pikiran Bas sudah tidak di sana. Masalah uang sekarang jadi prioritas terakhir. Belakangan, isi otaknya cuma Ale.

"Oke." Gadis itu tertawa. Manis.

Bas ingin menciumnya lagi.

"Al."

"Ya?"

"Ada yang mau gue omongin."

Apa? Apa yang mau Bas katakan? Kalimat macam apa yang bisa menjelaskan debar di pusat jantungnya, kering kerontang di pangkal tenggorokannya, atau dingin es di ujung lidahnya? Kata jenis apa yang bisa membuat Ale mengerti sespontan, setolol, dan setidak tahu diri apa perasaan yang Bas punya untuknya?

"Lo nggak penasaran, kenapa gue cium lo waktu itu?"

Ale menatap Bas seolah memutuskan lebih baik serius atau bercanda. "Momen. Karena lagi ujan, kita berduaan, nggak ada orang, gue cerita soal sesuatu yang dramatis. Lo ngeliat kesempatan dan lo ambil."

"Kesempatan?" Bas tidak pernah seingin itu memotong ucapan seseorang. Laki-laki itu mengerutkan kening. "Lo pikir, gue cium lo karena ada kesempatan?"

Keduanya kini sempurna berhenti berjalan. Gapura tinggal sisa beberapa langkah. Gerung motor melintas di aspal.

"Lo bilang, lo ngerasa gang ini rumah lo. Lo bilang, lo ngerasa gue rumah lo."

"Bas—"

"Gue juga ngerasain hal yang sama, Al. Gue ngerasa lo satu-satunya orang yang bisa ngerti gue di dunia ini. Gue ngerasa lo satu-satunya orang yang bisa nerima kejujuran gue. Gue ngerasa kita harusnya terus sama-sama. Gue ngerasa kita harusnya— jadi lebih."

Ale terdiam sebentar. "Nggak."

Jantung Bas rasanya diremat utuh-utuh. "Nggak apa?"

"Gue nggak ngerasain hal yang sama." Gadis itu menggeleng. "Gue ngerasa tempat ini rumah buat gue karena gue nggak pernah bener-bener punya rumah yang sebenernya. Tapi sejak awal kita punya kesepakatan. Lo ajarin gue berantem, dan gue bayar lo. That's it."

Bas mengerjap. "Dan lo beneran percaya urusan kita cuma sebatas itu?"

"Mau sebatas apa lagi?"

Bas menatap kedua mata Ale, berusaha mencari celah kebohongan di sana. Tapi gadis itu membalas tatapnya, menantang. Seolah ini perlombaan saling membohongi perasaan.

"Lawan gue, kalo gitu."

"Apa?"

"Lawan gue. Kita fight satu lawan satu. Kalo lo menang—"

"Lo gila?"

"—pelajaran kita selesai."

Ale memandang Bas tak percaya.

"Lo yang bilang urusan kita sebatas transaksi. Kalo gitu kita beresin hari ini juga."

Laki-laki itu mengambil langkah mundur, siap siaga ke posisi bertarung.

"Pukul, Al."

Rambut merah itu menggeram, bergerak melepas ransel dan menjatuhkannya ke tanah.

"Nggak harus kayak gini, Bas. Kita bisa—"

"Pukul," titah Bas keras kepala. Pukul biar nggak cuma hati gue yang sakit.

Ale menyerang lebih dulu. Tendangannya menuju ulu hati. Bas menghindar. Pukulannya datang belakangan. Ale merunduk. Menyikut rusuk. Bas menggeser kuda-kuda. Ale terjatuh.

Gadis itu bangkit dengan amarah. Bas tidak main-main. Laki-laki itu tidak menghadapi Ale seperti latihan mereka biasanya. Bas melawannya seperti Ale adalah musuh.

"Harusnya gue bunuh lo dari kemarin karena ciuman itu."

Ale menggertak, berusaha bernapas. Dadanya naik-turun. Rasa takut mulai menyerap percaya dirinya, mengirim ragu ke sudut-sudut pembuluh darah. Bas bisa mengirimnya ke neraka sekali pukul. Kalau laki-laki itu tidak menahan diri, Ale bisa mati.

"Bunuh gue kalo gitu. Lo marah soal ciuman itu, kan? Sini. Bunuh."

Bas sudah gila. Ale tidak tahu iblis macam apa yang merasuki laki-laki itu. Ini pertarungan bunuh diri. Ale tidak akan pernah menang.

"Bas—"

"LAMA!"

Ale terkesiap persis ketika serangan Bas datang. Tidak sekali. Laki-laki itu berputar ke kiri dan kembali menyerang lewat bawah lengan. Kepalannya menonjok perut Ale keras. Gadis itu terpental ke belakang, batuk hebat. Nyawanya serasa di ujung kuku.

Ale mundur sampai punggungnya menabrak tembok kotor gang.

Bas menatapnya dengan tatapan pembunuh.

Ale menelan ludah. Rasanya amis.

Laki-laki itu melangkah mendekat dan berhenti persis di hadapannya. Jarak mereka terlalu dekat. Persis seperti hari hujan saat Ale bercerita soal pelangi dan warna rambut. Sunyi. Persis seperti sore di pos ronda saat Bas memutuskan mencuri ciuman pertamanya.

Kini laki-laki itu berhenti.

"Gue jatuh cinta sama lo."

Ale menonjok. Kepalan tangannya menghantam sisi kiri wajah Bas sesenti sebelum ditangkap dan diputar. Kaki Ale menjejak perut Bas dengan keras. Laki-laki itu mengalungkan lengan kekarnya ke sekeliling leher Ale dengan kasar. Mencekiknya.

"Lo bohong, Al. Lo bohong kalau bilang lo nggak ada perasaan apa-apa selama ini."

Sikut Ale menusuk rusuk Bas, membuat laki-laki itu tersentak dan mundur.

"Perasaan kita nggak sama."

"Kenapa?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa nggak bisa sama? Karena gue bukan anak orang kaya? Karena gue bukan cowok baik-baik? Kenapa?"

Ale menyerang. Bas menangkap pukulannya. Kepalan gadis itu bergetar.

Kenapa?

Tatap keduanya bertemu. Batu membentur batu. Kalau sudah begini, rasanya ada terlalu banyak hal serupa di antara mereka berdua. Hidup mengajari Ale dan Bas cara menjadi keras kepala, meski lewat luka yang berbeda. Jangan pernah mau kalah. Jangan pernah mau mengalah.

Kepalan tangan Ale lolos dan menghantam telak rahang bawah Bas. Laki-laki itu mundur. Menyentuh sisi wajahnya yang kena pukul. Sakit.

"Lo menang."

Ale mengatur napas. "Apa?"

"Lo menang." Sudut bibir Bas ditarik naik sedikit, lesung pipitnya lebam. "Pelajaran kita selesai. Gue bakal kirim nomor rekening Wulan dan lo bisa transfer sisa uangnya ke sana."

Ale mengerjap. "A... apa? Gitu aja?"

"Gitu aja?" Bas tertawa, keras. "Apa? Lo mau apa lagi? Ciuman perpisahan?"

"Bas." Ale menggeleng, egonya luruh. "Lo nggak bisa tiba-tiba mutusin semuanya selesai seolah-olah kita nggak pernah kenal."

"Lo yang bilang ini cuma transaksi."

"Tapi lo temen gue."

"Temen? Gue nggak pernah anggep lo temen. Gue suka sama lo dari awal kita kenal." Satu kedikan bahu dilempar. "Dan gue nggak pernah takut buat nyatain itu, karena gue bukan pecundang."

Kepalan tangan Ale kembali mengerat. Sesuatu menyenggolnya lebih keras daripada yang seharusnya. Gadis itu mendesis. "Nggak fair."

"Lo mau tahu apa yang paling nggak fair?" desis Bas balik. "Sepuluh juta manusia di Jakarta, dan lo cuma lihat dia. Yang paling nggak fair, Al, adalah gue telat 17 tahun, dan nggak ada yang bisa gue lakuin buat ngubah fakta itu."

Ale menggeram. "Gue nggak ngerti lo ngomong apa."

"Lo ngerti gue ngomong apa. Itu masalahnya, kan? Karena gue bukan pangeran. Karena gue bukan temen kecil lo sejak 17 tahun lalu. Karena gue bukan—"

Ale mendorong dada Bas kasar. "Gue udah pernah bilang," gertaknya nyaris serupa bisikan, satu telunjuk dipancang, "gue nggak cinta Kenan."

Bas mendorong Ale balik kasar. "Bullshit!"

"Apa pun perasaan gue ke Kenan bukan urusan lo, bangsat!"

"Tapi bener, kan?" balas Bas tidak mau kalah. "Lo nggak bisa nerima perasaan gue karena lo sendiri punya perasaan buat Kenan?"

Ale menggeleng muak. Gadis itu berbalik dan memacu langkah pergi. Bas mencekal lengannya, menariknya kasar.

"Lo bakal confess, kan?"

Itu ancaman. Itu ancaman yang memukul Ale telak di dadanya karena gadis itu tahu, Tuhan tahu, itu adalah satu-satunya hal yang seumur hidup tidak akan pernah berani dia lakukan.

"Karena kalo lo bakal selamanya bohong, kalo lo bakal selamanya sembunyiin perasaan lo, kalo lo nggak akan pernah confess sama dia karena takut kehilangan sahabat—" suara Bas pecah, "—kenapa nggak bisa sama gue aja?"

Ale menatap Bas tiga detik, memutar ulang seluruh sesi latihan menyenangkan, obrolan mendebarkan, dan rasa hangat yang beberapa bulan ini membuatnya merasa nyaman. Gadis itu menyentak lengannya.

"Karena lo bukan Kenan."

Cengkeraman Bas lepas.

"Itu kan, pengakuan yang mau lo denger?"

Ale mengusap air matanya kasar.

"Karena gue cinta Kenan, dan sekali pun seumur hidup gue nggak nyatain perasaan gue, sekali pun pada akhirnya dia nggak akan pernah tahu, nggak berarti gue bakalan pernah berhenti cinta sama dia. Lo puas?"

Bas mengangguk, mundur.

Lebur.

Hancur.

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro