Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15 | Semifinal

"PASS!"

Leo berteriak sekuat tenaga. Suaranya habis. Jersey-nya kuyup oleh keringat. Larinya sudah melambat sejak quarter ketiga. Musuh mereka kali ini benar-benar di luar nalar. Latihan intens yang sengaja dia program untuk KSATRIA menghadapi semifinal mendadak tidak berarti apa-apa di lapangan.

Skor mereka tertinggal. Tidak jauh, tapi riskan. Leo tidak mau gagal. Tidak sekarang.

"JORDI! JOR—" FUCK!

Leo tidak buta, kawan-kawannya jelas kewalahan. Dua orang cedera di bench. Kenan duduk di sebelah mereka, berusaha mengatur napas. Laki-laki itu sudah bermain dua quarter penuh, Leo tidak mau memaksanya turun lagi. Dia harus bisa menyelesaikan konflik ini sendiri. Dia kaptennya. Dia tidak boleh bergantung pada—

"LEO, KANAN!"

Bola itu lolos. Direbut. Three-point masuk.

"TIME-OUT!"

Tribun meledak. Euforia menjalar heboh. Selisih skor semakin tinggi. Suporter Bina Indonesia sudah duduk lemas. Berbisik-bisik. Menunjuk-nunjuk tim yang membentuk lingkaran di pinggir lapangan. Mereka tidak akan sampai final. Mereka akan kalah.

"Lo kenapa, sih? HAH?"

"Eh, Jor, udah, udah. Sabar."

"Jelas-jelas gue passing—"

"Ya jangan passing pas gue nggak fokus, goblok."

"YA LO NGAPAIN NGGAK FOKUS? BECUS JADI KAPTEN NGGAK?"

"Jor." Kenan menegur keras. Laki-laki itu membuka jaketnya, menyisakan jersey. "Gue masuk."

"Nggak."

"Leo—"

"Nggak, Ken," gertak Leo. "Simpen aja tenaga lo buat final."

"Kalau kita masuk final," dengus Jordi. "Nggak usah munafik. Lo butuh Kenan buat menang."

Leo mengepalkan jemari kuat-kuat. Kalau mereka tidak sedang ditonton satu lapangan dan bukan status Kapten KSATRIA yang dia sandang, sudah mampus Jordi dari tadi.

"Nggak apa-apa," sahut Kenan, berusaha membantu. "Gue udah istirahat tadi."

Leo masih menggeleng.

"Lo udah janji bawa kita semua ke final." Laki-laki berkacamata itu menatap kaptennya sungguh-sungguh. "Kita semua masih pegang janji lo, Capt."

Leo menarik napas panjang penuh pertimbangan. Laki-laki jangkung itu menoleh ke arah Jordi. "Lo out."

"KOK—"

"Gue bilang, out." Tatapan tajam itu membungkam Jordi. Leo mengedikkan dagu ke arah Kenan.

Wasit menyilangkan tangan ke atas. Peluit panjang berbunyi nyaring.

Semifinal berlanjut.

***

"AL! AMBIL KANAN!"

Otak Ale sudah berhenti berpikir sejak dua perempatan sebelumnya. Kakinya mati rasa gara-gara dipakai berlari dengan kecepatan maksimal. Gadis itu berbelok ke kanan mengikuti titah Bas yang sekarang entah hilang ke mana.

Ale merapatkan punggung ke balik dinding, terengah habis-habisan. Gadis itu bisa mendengar gemuruh langkah kaki mendekat. Orang-orang yang mengejar dia dan Bas sejak dari stasiun tadi. Sialan. Mereka rupanya tidak mudah menyerah. Hal seremeh dua bocah SMA menantang berkelahi tetap saja berakhir ditelusuri.

Ale harus benar-benar menonjok Bas kalau mereka bisa lolos hidup-hidup. Laki-laki impulsif semi tidak waras itu menjadwalkan 'praktik' untuk latihan hari ini. Kalau saja Ale tahu maksudnya 'praktik' adalah memancing huru-hara dengan preman stasiun, sudah kabur dia dari tadi. Biarkan saja Bas cari mati sendiri.

"Al! SSTT!"

Ale menoleh secepat kilat. Bas melongok dari tikungan, menempelkan jemari di ujung bibir. Bibirnya bergerak tanpa suara. Sini!

Ale meneguk ludah. Gadis itu celingukan, memastikan kanan-kiri aman, sebelum berjingkat menghampiri Bas. Bas refleks menarik lengan Ale begitu gadis itu sudah dekat. Mereka berdiri berdampingan, merapat di tembok gang. Tidak lama, terdengar maki-makian kasar dan langkah menjauh. Ale dan Bas bertukar tatap. Preman-preman itu sudah menyerah.

Hela napas lega meluncur bersamaan.

"Brengsek lo, Bas." Ale menggeleng, memegangi dadanya yang masih berdebar. "Nggak napas gue."

Bas juga terengah, tapi cengiran hebohnya tidak bisa dicegah. Laki-laki itu menawarkan fist bump. "GOKIL! Pukulan lo yang terakhir tadi- anjir! BANGGA GUE!"

Ale mendengus geli dan menyambut fist bump itu. "Dasar coach gila."

Bas kelihatan super puas. "Cepet juga progress lo, Al. Udah ada bakat kayaknya."

"Bakat jadi tukang pukul, maksud lo?"

"Bakat bela diri, elah." Lesung pipit Bas naik sementara sebelah tangannya mengacak singkat rambut Ale. "Udah, ah. Hari ini latihannya kelar. Sebagai hadiah karena lo udah keren, gue traktir lo makan soto paling enak satu Jakarta."

Alis Ale diangkat. "Di mana tuh?"

"Kontrakan. Hehe. Ibu masak."

Ale memutar mata meski senyumnya tersemat. "Gapapa gue numpang makan di rumah lo?"

"Gapapa, lah. Anggep aja makan di rumah sendiri."

Kalimat itu entah kenapa terdengar aneh di telinga Ale. Mungkin karena gadis itu saja lupa kapan terakhir kali dia makan di 'rumah sendiri'.

***

"Kalo berantem, kenapa lo selalu milih buat ngehindarin pukulan?"

Ale menyeruput kuah soto dari mangkok putih bunga-bunga dengan semangat. Meski cuaca sedang terik, dia tidak keberatan karena Bas tidak bohong waktu bilang soto buatan ibunya adalah soto terenak satu Jakarta.

"Lah, emangnya ada orang yang mau kena pukul?"

Di dekat jendela yang kacanya pecah, Bas menumpu lengan di satu kaki di atas tikar dan menggigit kerupuk.

"Tapi bukannya," kunyah Ale, "kalo lo ngerasain sakitnya dipukul, lo bakal berantem lebih oke?"

Bas mengerutkan kening. "Lo tuh ada apa sih sama rasa sakit?"

"Hah?"

"Barusan kedengerannya kayak lo mau belajar berantem cuma biar bisa ngerasain sakit."

Ale mengerjap. "Tapi kan, berantem emang soal rasa sakit."

"Nggak juga," geleng Bas, menuang kecap ke mangkok. "Berantem lebih soal power. Dan kontrol. Sambel?"

Ale menggeleng, membuat Bas terkekeh.

"Tampang lo doang rebel, nggak berani makan sambel." Laki-laki itu tidak bicara lagi sampai menandaskan suap terakhir dan menyalakan rokok. "Tapi lo udah jauh lebih punya kontrol sekarang. Menurut gue, ya. Daripada waktu kita pertama kali ketemu."

Ale mengangkat alis. "Pertama kali ketemu?"

"Nggak inget cutter yang mau lo pake gorok leher gue?"

Sindiran Bas membuat gadis di depannya tertawa.

"Tapi itu bukan pertama kali kita ketemu, kan?"

Bas menatap Ale dan tersenyum kecil. Laki-laki itu tidak ingat sejak kapan dia mulai sering mendengar tawa Ale. Pertama kali mereka bertemu, jelas tidak ada tawa itu. Cuma ada bentakan penuh emosi di antara kalang kabut tawuran. Api amarah. Cahaya matahari yang meledak di sela-sela helai rambut hitam merah. Kalau yang itu, Bas masih ingat. Soalnya cantik.

"Bukan." Laki-laki itu menyahut. Asap mengepul. "Waktu itu gue belum kenal lo kayak sekarang."

Ale mengangguk, menyetujui. "Belum kayak sekarang."

Gadis itu meletakkan mangkoknya yang sudah kosong dan berdiri, mengamati sekitar. Di dinding, tergantung dua bingkai foto yang sudah berdebu. Yang sebelah kanan wisuda TK Wulan. Ale tertawa kecil melihat Bas cemberut digandeng orangtuanya. Yang sebelah kiri Bas lagi, tapi kali ini mengangkat piala. Bajunya kuning mentereng berlabel Sekolah Sepak Bola.

Ale tersenyum. Membaca nama di bawah foto itu.

"Nama lo emang ada spasinya? Bas spasi Kara?"

Bas angguk-angguk. "Typo di akte."

Ale mendengus geli. "Gue kira ada maknanya."

"Loh, ada," cengir Bas. "Kalo kata Wulan, lahirnya gue bikin dia punya spasi buat dirinya sendiri. Bikin dia bisa napas dikit. Bapak-Ibu jadi ada kerjaan lain selain ngomelin dia. Alias ngomelin gue. Kan gue bandel banget tuh dulu."

Laki-laki itu mendongak dan menunjuk bekas luka di bawah dagunya. "Nih. Sembilan jahitan. Gelut sama anak Pak RT. Cewek."

"Hah?" Ale syok. "Terus itu anak Pak RT gimana?"

"Nggak gimana-gimana." Bas mengerucutkan bibir. "Bocahnya badung begitu. Badannya aja lebih gede dua kali lipat dari gue, kali. Gue dulu kan imut, jadi gue yang dipukulin."

Ale tertawa spontan. Gadis itu kembali duduk dan melepas jaketnya, kegerahan. "Dulu waktu SD, gue juga pernah mukulin anak orang sampe masuk klinik. Gangguin Kenan, soalnya."

Bas garuk-garuk tengkuk. "Kenan tuh diem aja ya kalo lo kayak gitu?"

Ale mengerutkan kening. "Kalo gue mukulin orang?"

"Kalo baju lo kayak gitu." Bas mengedikkan dagu ke arah pundak Ale yang terbuka karena potongan tank top hitamnya.

Ale refleks menendang Bas, membuat yang ditendang mengaduh keras.

"Kenan cowok baik-baik. Bukan bajingan kayak lo."

Bas terkekeh. "Dia beneran nggak notis lo, ya? Aneh banget."

Ale memutar mata dan beranjak ke dekat jendela. Meletakkan dagunya di kusen, memandangi gang yang disiram terik dan rumah-rumah saling berhimpit.

"Baskara artinya matahari, kan?"

"Iya."

"Aditya juga."

Bas diam. Laki-laki itu menatap gadis yang tenggelam dalam lamunan.

"Kalau Aletheia?" tanyanya. "Artinya apa?"

Tanpa menoleh, Ale menjawab. "Goddess of truth."

"Cocok." Bas tertawa. "Lo banget."

"Gue?" Ale mengerutkan kening. "Gue bukan orang jujur."

"Bukan, tapi seenggaknya cara lo ngelihat dunia ini jujur."

"Maksudnya?"

"Lo ngelihat dunia ini apa adanya." Bas mengisap rokok sekali lagi. "Sekacau-kacaunya. Nggak ada yang lo romantisasi dari realita."

"Ya karena nggak ada yang bisa diromantisasi dari hidup gue," dengus Ale. "Semuanya berantakan aja."

"Bukannya hidup semua orang gitu?" Bas balik bertanya. "Mereka cuma percaya di akhir semuanya bakal baik-baik aja. Lo enggak. Buat lo itu terlalu naif."

"Atau gue cuma skeptis." Ale mengangkat bahu. "Stop ngomong seolah sentimen gue soal hidup adalah sesuatu yang baik."

"Gue nggak bilang itu baik. Gue bilang itu jujur."

Ale menoleh. Bas sedang menatapnya. Sedetik terlalu lama.

"Dan gue suka itu."

Ale terdiam sebentar, sebelum perlahan tersenyum. Gadis itu sekali lagi mengalihkan pandang pada lanskap Jakarta yang sempit nan kumuh dari balik jendela.

"Kadang gue ngerasa gang ini lebih 'rumah' dari rumah gue."

Kemudian sekali itu, entah untuk alasan apa, Ale membalas tatap Bas.

"Kadang gue ngerasa lo lebih 'rumah' dari rumah gue."

Asap rokok Bas masuk tenggorokan. Laki-laki itu terbatuk.

***

"GUE KOSONG! LEO, PASS!"

Ini mungkin pertandingan paling sengit seumur hidup Kenan. Setiap kali tembakannya masuk, lawan berhasil mengejar. Defense mereka kelelahan. Latihan fisik dan segala macam upaya yang Kenan sisipkan di sela-sela bimbingan bersama Val tidak berguna apa-apa. Laki-laki itu tidak bisa bernapas. Sesak. Kalau paru-parunya bisa bicara, sudah dari tadi dia dibentak-bentak.

Satu menit terakhir.

"SATU POIN LAGI! BISA, BISA!"

Leo berlari seperti kesetanan. Kenan tahu benar kaptennya itu rela mempertaruhkan apa saja untuk kemenangan hari ini. Mati pun Leo siap kalau itu berarti Bina Indonesia masuk final.

Final. Kenan menelan ludah. Dia sudah berjanji pada Ale untuk masuk final. Laki-laki itu tidak mungkin mengecewakan sahabatnya. Terutama tidak setelah—

"WOI! FOKUS!"

Kenan menggeleng cepat, mengusir pikirannya. Sejak malam itu, Kenan tidak pernah benar-benar bisa tidur nyenyak. Sering kali, tengah malam, laki-laki itu memanjat jendela kamar Ale hanya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja. Dia tidak bisa berhenti diam-diam merasa takut. Kenan tidak bisa berhenti memikirkan cara menjaga Ale, cara melindungi gadis itu, cara membuatnya merasa aman, merasa berharga, merasa hidup.

"KEN!"

Bola dilempar di udara. Kenan melompat tinggi. Sepatunya berdecit persis di garis three-point.

"KENAN! KENAN! KENAN!"

Jejeritan di tribun pecah. Namanya diserukan luar biasa keras sampai menembus atap GOR.

"LAST! SHOOT!"

Tembakan Kenan melayang persis di lima detik terakhir pertandingan. Teriakan bersahutan. Semua tahu Bina Indonesia pasti menang kalau tembakan itu masuk. Dan karena Kenan yang menembak, sudah pasti akan-

Bola itu membentur pinggiran ring dan memantul jatuh.

"FUCK!"

Seluruh tubuh Kenan mematung waktu Leo melompat tinggi dari bawah ring dan menyelamatkan bola mereka. Satu rebound masuk. GOR meledak.

Euforia mendadak menenggelamkan seluruh tim. Bina Indonesia bersorak gila-gilaan. Atribut suporter dikibarkan. Komando nyanyian bergema. Capo menjulang di pagar pembatas. Para pemain dari bench berlari masuk lapangan, saling berangkulan.

Kenan terdiam. Matanya bertemu dengan mata Leo. Euforia tidak menyentuh keduanya.

Mereka sama-sama sadar. Ada yang salah.

Kenan menunduk, menatap kedua tangannya. Kedua tangan yang seumur hidup selalu menembak bola tepat sasaran. Kedua tangan yang tidak pernah meleset. Kedua tangan yang beberapa malam lalu mendekap Ale erat-erat di trotoar.

Kesepuluh jarinya gemetaran.

bersambung

Author's note:

Halooo! ><

Buat kamu yang mau baca bab selanjutnya tanpa harus nunggu hari Sabtu, tenang aja! KBKS juga aku publikasikan di KaryaKarsa SATU BAB LEBIH CEPAT dari Wattpad ;) Kamu bisa baca duluan bab selanjutnya (dan mungkin bab-bab ekstra) dengan harga yang pastinya terjangkau!

Jangan lupa ikuti aku di karyakarsa(dot)com/chocotwister juga ya! Terima kasih <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro