14 | Bintang Pun Kalah
Gembok balai desa terbengkalai itu sudah dibuka waktu Ale datang. Suara pukulan bertubi-tubi terdengar dari dalam. Bas menghajar matras yang disandarkan ke dinding, meski Ale juga tidak yakin kenapa. Laki-laki itu tidak pernah mulai berlatih lebih dulu sebelum muridnya tiba.
"Lo gapapa?"
Pukulan brutal itu berhenti. Bas menoleh, keringat mengalir di seluruh permukaan wajahnya. Laki-laki itu mengulurkan tangan, menunjuk botol minum Ale di ransel sisi sebelah kanan. Gadis itu melempar dan Bas menangkap. Air putih diteguk habis.
"Ntar gue ganti."
Bas meletakkan botol Ale di lantai dan melangkah mendekat.
"Sini, maju."
Ale mengangkat alis. "Lo gapapa, gue tanya?"
"Gapapa." Bas mengedikkan bahu. "Kenapa?"
Jelas dia apa-apa, Ale menyimpulkan. Bas sama sekali tidak mengungkit perkara cekcok mereka terakhir kali. Padahal Ale sudah bersiap kalau ujung-ujungnya diceramahi lagi. Gadis itu mendekat dan menyipitkan mata. Jemari Ale sudah setengah terangkat untuk menyentuh memar kebiruan di rahang Bas ketika laki-laki itu menghindar. Tatapnya bertemu dengan Ale.
"Sakit?"
Bas mengangguk dalam diam.
"Udah diobat—"
"Udah," desah Bas panjang. Laki-laki itu mengikat rambut gondrongnya jadi satu. "Lo mau latihan atau mau kasih gue perhatian?"
Ale memutar mata. "Habis mukulin siapa sih, lo? Tumben bonyok."
"Di-pukulin," dengus Bas. "Dikeroyok, anjing."
"Sama siapa?"
"Ada."
Ale menggelengkan kepala. Gadis itu meletakkan ranselnya di sisi matras. "Kok gang sepi banget, ya? Tadi gue jalan ke sini, nggak ada anak-anak yang biasanya main."
"Pada takut, kali."
"Takut kenapa?" Ale bertanya bingung sementara Bas bersandar di ambang pintu, mengamati gang yang hening. "Bas?"
"Kemarin malem ada rentenir bawa anak buahnya ke sini. Nagih utang, biasa. Nggak bisa bayar, ya digebukin."
Tubuh Ale kaku. "Bukan lo, kan?"
"Bukan." Lesung pipit Bas naik, tapi getir. Tidak tengil seperti biasanya. "Bapak."
Ale langsung mencelos. "Terus?"
"Ya, terus gue tolongin." Bas menunjuk memar di wajah, kemudian menarik sedikit kaosnya ke atas. Ale berjengit melihat ruam ungu di sekitar tulang rusuk laki-laki itu. "Pengecut. Gue sama Bapak cuma berdua, mereka ramean."
"Bokap lo sekarang di mana?"
"Kontrakan."
"Nggak ke rumah sakit?"
"Al," keluh Bas malas. "Dia digebukin karena nggak bisa bayar utang. Ke rumah sakit mau bayar pake daun?"
"Tapi—"
"Makanya," Bas memotong, "makanya ayo latihan. Semakin cepet lo jago fight, semakin cepet gue bisa dapetin bayaran gue yang 50% itu."
Ale merogoh ponsel tanpa berpikir. "Gue transfer sekar—"
"Hei," tegur Bas. "Gue nggak ngemis. Bayar gue waktu kerjaan gue udah beres."
"Tapi bokap lo butuhnya sekarang. Soal kerjaan bisa kita omongin ntar."
"Al, udah lah."
"Gue transfer ke—"
"Duit lo nggak bakal nyelesein masalah gue."
Ale berhenti. Gadis itu menatap Bas yang tampak keras kepala. "Kalau ini soal pride—"
"Ini soal keluarga gue," potong laki-laki itu. "Bukan—"
"Bukan keluarga gue?"
Bas mendesah. Bukan itu poin yang ingin dia sampaikan. Laki-laki itu hanya benar-benar tidak tahu harus mengatakannya dengan cara apa pada Ale. Dia tidak ingin masalahnya jadi masalah orang lain. Dia tidak ingin merepotkan Ale karena gadis itu tidak butuh direpotkan oleh hal lain selain dirinya sendiri. Selain masalahnya sendiri. Selain bekas luka—
"Lo temen gue, Bas."
Bas mengangkat wajah.
"Gue tahu gue nggak bisa bantu banyak, tapi gue tetep pengen bantu."
Laki-laki itu entah kenapa sedikit tersenyum, melupakan topik sebelumnya. "Gue... temen lo?"
Ale mengangkat bahu. "Cuma lo yang tahu soal bekas luka gue."
Bas mengangkat alis. "Kenan enggak?"
Ale menelan ludah tidak siap. Gadis itu melangkah mendekat dan berhenti di seberang Bas, bersandar pada sisi ambang pintu yang lain. "Gue nggak mau ngancurin dia."
Bas diam. Laki-laki itu memutuskan untuk duduk di tangga kecil dekat pintu. Ale mengikutinya.
"Gue lihat foto di galeri lo."
Ale mengerutkan kening. "Hah?"
"Malem itu waktu gue nyolong HP lo dari kantor polisi."
Sekujur tubuh gadis itu membeku.
"Gue pikir orangtua lo bakal nyariin, tapi enggak. Cuma satu orang yang nge-call. Nama kontaknya 'k.' Gue penasaran, jadi gue coba buka pola sandi lo pake huruf K."
Shit.
"Satu hal yang gue tahu malem itu. Siapa pun 'k' ini, dia pasti orang yang penting banget buat lo. Hal kedua yang gue tahu, ya foto itu. Gue lagi iseng lihat-lihat galeri waktu nemu foto tangan lo—"
"Nggak usah dijelasin." Ale mengalihkan pandang demi menahan amarah.
"Al—"
"Lo ngelanggar privasi orang—"
"Lo nggak harus berantakan sendirian." Bas menandas. "Gue tahu susah, tapi nerima bantuan nggak berarti lo lemah."
Ale tertawa sarkas. "Ngomong gitu ke diri lo sendiri, Bas."
"Gue mau nerima bantuan lo, kalau lo udah mau nerima bantuan orang lain."
Ale kembali menatap laki-laki itu. Kesungguhan terpancar dari tatapan Bas. "Jadi itu alasan lo balikin HP gue gitu aja habis mukulin Kenan waktu itu?"
"Kasih tahu Kenan," tutur Bas. "Dia orang paling penting buat lo, kan? Gue yakin lo juga orang paling penting buat dia. Kalau dia nggak tahu, dan sesuatu terjadi sama lo, justru dia bakal lebih hancur lagi karena enggak bisa jagain lo." Laki-laki itu mengangkat bahu. "Seenggaknya itu yang gue rasain waktu gue gagal jagain Wulan."
Ale diam saja. Bas mengamatinya sebelum tersenyum main-main.
"Tapi kalau konteksnya lo sama Kenan, mungkin beda, sih."
Ale menyipitkan mata. "Maksud lo?"
"Yaaa, masang inisial seseorang jadi kata sandi tuh menurut gue—"
"Bacot."
Bas tertawa. "Gue yakin dia suka sama lo."
Ale mendengus. "Lo nggak kenal Kenan."
"Kalau dari semua cerita lo soal dia, udah jelas dia suka sama lo. Cowok tuh gampang ditebak."
"Ya, Kenan beda. Dia baik ke semua orang. Friendly ke semua orang. Emang dia gitu aja." Ale ngotot. "Lagian lo salah. Kenan mungkin emang orang paling penting dalam hidup gue. Gue sayang dia, tapi nggak dalam konteks itu. Gue nggak cinta Kenan."
Bas diam sebentar. "Oke."
Ale mengangkat alis. "Oke?"
"Oke, lo nggak cinta Kenan." Bas mengedikkan bahu. "Menurut lo, cinta bikin lemah ya?"
Ale mendengus. "Emang, kan?"
Kalau dia tidak cinta Mama, Ale tidak akan diam saja waktu wanita itu memukulinya.
"Gue setuju... sih."
"Tapi?"
"Tapi," lesung pipit Bas naik, "kalau lo nggak ngerasa lemah, lo juga nggak akan ngerasa kuat."
Ale menatap Bas. Memar di rahangnya. Luka di buku-buku jarinya. "Yang bikin lo sekuat ini... cinta ya, Bas?"
Bas tertawa. "Dangdut abis lo." Tapi iya.
Ale ikut mendengus geli. "Lo yang mulai duluan bahas-bahas cinta." Lo keren.
"Iya, deh, sorry. Mending berantem aja, yuk."
Ale menyambut uluran tangan Bas dan bangkit. Genggaman itu berkeringat. Hangat. Kuat.
***
"WOOOO! GILA! Lo harusnya lihat tadi waktu gue shoot last minute! Selisih sedetik aja bisa kalah kita!"
Ocehan Kenan masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri Ale. Gadis itu memutar mata, menghitung sudah nyaris sepuluh menit full laki-laki itu mendongeng soal pertandingan tadi siang. KSATRIA melaju mulus sepanjang babak penyisihan. Selanjutnya semifinal.
"Iya, iya, iya. Lo keren, lo jagoan."
Kenan refleks cemberut. "Ah! Yang tulus dong, mujinya."
"Ampun dah, itu satu sekolah udah sujud-sujud ke lo, masih kurang pujian?"
"Ya, kan, kalau lo yang muji feel-nya beda, Le."
Ale melirik sebal. Mereka sudah setengah jalan menuju minimarket dekat perumahan. Kedua tangan gadis itu dimasukkan ke saku hoodie colongan milik Kenan yang saking besarnya berhasil menutupi celana pendek sepaha Ale. Sementara yang laki-laki memasang kaos putih polos dan celana pendek selutut, bersenandung senang sepanjang jalan.
"Yaudah, iya, selamat." Ale akhirnya menyeletuk. "Hebat banget deh, lo."
Kenan nyengir. "Makasih, sayang."
"Gue tonjok juga lama-lama nih orang."
Laki-laki itu tertawa. Lengannya yang bebas merangkul Ale. "Kalau lo gimana, Le? How's your day?"
Hari gue? Oke-oke aja. Gue latihan berantem sama kriminal yang waktu itu gebukin lo. Kata Bas, gue ada progress. Gokil nggak, tuh? Tapi iya sih, gue lumayan ngerasa lebih kuat daripada sebelumnya. Walaupun gue nggak yakin gara-gara latihan fisik atau omongan-omongan ngaco Bas soal hidup. Kayaknya itu orang lebih cocok jadi motivator daripada fighting trainer.
"Leee?"
"Nggak gimana-gimana. Kayak biasa aja."
"Nggak ada yang seru?"
Banyak. "Nggak."
"Yah, cerita, dong. Apa aja deh. Gue kangen dengerin cerita lo. Belakangan ini gue mulu yang cerita."
Ale melepas rangkulan Kenan di depan pintu minimarket. "Ntar pas jalan pulang gue cerita."
Kenan langsung tersenyum antusias dan memegangi pundak Ale sementara mereka berdua melangkah menuju kulkas. Mencari minuman dingin meski malam ini sudah dingin.
***
"Bas."
"Enggak, Teh!"
"Pake otak lah! Lo mau Bapak dikeroyok lagi, hah?"
"Sampe mati juga bakalan kayak gitu! Kalau gue kasih tabungan gue buat bayar utang kali ini, kita cuma bakal gali lubang tutup lubang! Lo nggak bisa kuliah—"
"ITU NGGAK PENTING!"
"PENTING BUAT GUE!" keluh Bas. "Pendidikan lo, hidup lo, masa depan lo. Mimpi lo, Teh! Semuanya penting buat gue."
"Jangan egois—"
"Lo yang egois karena bunuh mimpi lo sendiri!"
"Gue lebih baik bunuh mimpi daripada bunuh Bapak!"
"Bapak bakal baik-baik aja! Gue yang bakal lindungin dia! Gue jaminannya!"
"GUE NGGAK BISA KEHILANGAN LO, BAS!" desis Wulan. "IBU— Ibu nggak bisa kehilangan lo. Bapak nggak bisa kehilangan lo. Lo— lo nggak boleh kenapa-kenapa."
"Wulan?"
Wanita itu tersentak ketika suara Ibu memanggil dari lantai satu.
"Jangan ribut! Udah malem, nanti Ganis kebangun."
Wulan memejamkan mata. Hatinya berdenyut sakit. Perempuan itu menatap adiknya sekali lagi. Bas masih setia dengan raut wajah keras kepalanya. Menolak tabungannya dialokasikan untuk bayar utang. Dia masih bersikeras bisa melindungi keluarga mereka tanpa harus mengorbankan masa depan kakaknya.
"Gue nggak mau kuliah."
"Teh."
"Bawa aja uang itu ke kuburan waktu kita semua mati dipukulin."
Bas ganti memejamkan mata waktu Wulan berderap menuruni tangga sempit. Laki-laki itu mengacak rambutnya kasar.
"BRENGSEK!"
Kepalan tangan Bas dihantamkan ke udara. Pikirannya berantakan. Napasnya tak beraturan. Perasaannya kacau.
"Nggak fair." Laki-laki itu menggeram putus asa. "Ini... ini nggak fair."
***
"Tapi jujur, ya. Gue nggak nyangka tim-tim sekolah lain pada sejago itu. Makin ke sini makin tipis selisih skornya. Butuh effort ekstra kalau mau menang. Anak-anak juga jadi tegang. Apalagi Leo. Dia udah nggak sesantai kemarin-kemarin. Main serius terus."
Kenan menyilangkan kedua lengannya sebagai bantal di trotoar. Laki-laki itu berbaring menatap langit malam yang sepi bintang. Jakarta sarangnya polusi cahaya. Bintang mana pun kalah dengan lampu-lampu kota.
Kadang Kenan suka membayangkan dia juga bintang yang cahayanya ditelan papan iklan. Tersembunyi, kalah bersinar, tapi ada. Jauh di sana. Jauh di tempat yang tidak dilirik Ayah-Bunda.
"Eh, tadi katanya lo mau cerita, Le?"
Ale duduk bersila di sebelah Kenan. Menenggak minuman isotonik dinginnya sampai tandas setengah. Seolah apa pun yang ingin dia ceritakan pada sahabatnya itu membutuhkan banyak ion energi.
"Lo janji nggak bakal marah?"
Kenan mengerutkan kening. "Kenapa gue bakal marah?"
Ale menoleh, sebelum akhirnya ikut membaringkan tubuh di sisi Kenan. Trotoar keras, dingin, dan berdebu.
"Karena ini bakal nyakitin lo."
Kenan menautkan alis. Dia tidak bisa membayangkan hal apa yang akan menyakitinya. Kecuali hal itu menyakiti Ale. Maka laki-laki itu jelas bisa mengerti kenapa dia akan merasa sakit juga.
"Apa?"
Ale bangun, menggulung lengan kiri hoodie Kenan yang dia pakai, dan menuang minuman dingin ke atas pergelangan tangannya. Kenan ikut bangkit waktu gadis itu menghapus concealer yang selama ini—tanpa pernah laki-laki itu sadari—menutupi apa yang ada di permukaan kulit Ale.
Hanya ada hening, percik air di trotoar, dan angkasa malam tanpa bintang.
Air mata Ale jatuh lebih dulu tanpa suara. Gadis itu tidak bisa menghapusnya karena Kenan keburu mendekapnya erat-erat. Laki-laki itu tidak bilang apa-apa.
Belakangan, waktu Ale sudah tidur malam itu, Kenan memanjat jendela kamar sahabatnya dan menyingkirkan seluruh benda tajam dari sana. Hanya menyisakan satu pisau di dapur yang sepertinya juga sudah tumpul. Beruntung Nada juga sudah tidur. Karena kalau belum, wanita itu akan menyaksikan tubuh Kenan merosot ke lantai dapur tanpa daya.
Laki-laki itu menghalangi wajah dengan lengan dan mulai menangis.
Sakit.
Kenan sakit karena Ale-nya sakit.
bersambung
Author's note:
Halooo! ><
Buat kamu yang mau baca bab selanjutnya tanpa harus nunggu hari Sabtu, tenang aja! KBKS juga aku publikasikan di KaryaKarsa SATU BAB LEBIH CEPAT dari Wattpad ;) Kamu bisa baca duluan bab selanjutnya (dan mungkin bab-bab ekstra) dengan harga yang pastinya terjangkau!
Jangan lupa ikuti aku di karyakarsa(dot)com/chocotwister juga ya! Terima kasih <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro