13 | Janji? Janji.
"Bun!"
Denting bel terdengar waktu pintu kaca Gemini Florist mengayun terbuka. Kenan melangkah masuk dengan cengiran lebar, di dadanya menggantung medali emas berkilauan.
"Kenan menang loh, olimpiade yang kemarin."
Laras menoleh sedikit dari batang-batang mawar yang sedang digunting. Tersenyum tipis menatap putranya. Seolah memikirkan hal yang lain.
"Bagus."
Cengiran Kenan memudar sedikit, tapi laki-laki itu masih berusaha tersenyum. Posisi ranselnya di pundak dibetulkan. "Bunda tutup toko jam berapa? Kenan tungguin, ya."
"Pulang duluan aja, Kak. Bunda masih lama."
"Tapi—"
"Bunda sibuk hari ini, masih banyak pesenan yang mau diambil."
"Kenan bisa bantu!"
Laras menghela napas. "Kakak belajar aja di rumah."
Kalimat itu entah kenapa terdengar salah. Mungkin karena Laras mengatakannya pada anak yang salah.
"Maksud Bunda, Kakak... bisa main basket, atau—"
"Kenan mau belajar kok," potong Kenan, memasang senyum lagi. Meski tidak setulus tadi. "Yaudah, sampai ketemu di rumah, Bun. Semangat kerjanya."
Kenan keluar dari toko bunga dan mengebut sepanjang jalan pulang. Menahan keinginan untuk berhenti di pinggir jalan dan membuang medali emas itu ke tempat sampah. Tidak ada gunanya.
Laki-laki itu tidak pulang ke rumahnya sendiri. Kenan membanting pintu kamar Ale terbuka, mengejutkan gadis itu. Ale menutup laptop dan menatap sahabatnya.
"Kenapa?"
Laki-laki itu tersenyum sedih. "Capek."
Satu kata itu cukup untuk membuat Ale bergeser, memberi tempat Kenan di ranjangnya. Kenan merayap naik, meletakkan kepalanya di pangkuan gadis itu. Memejamkan mata.
Ale menatap medali emas yang dikalungkan ke leher Kenan dengan perasaan campur aduk. "Yaudah berhenti, Ken."
Kenan membuka mata. "Berhenti apa?"
"Berhenti jadi orang yang bukan lo."
"Maksudnya?"
"Berhenti bawa pulang medali-medali sampah kayak gini."
"Medali sampah?" Kenan bangun, alisnya tertaut sempurna. "Medali sampah, lo bilang?"
"Lo ngerti apa maksud gue."
"Nggak." Kenan berdiri. "Gue nggak ngerti apa maksud lo."
Tentu laki-laki itu mengerti. Jelas Kenan paham. Medali itu cuma sampah karena tidak ada yang bisa dilakukannya selain membuat Ayah-Bunda makin teringat kepergian Kia. Medali itu cuma sampah karena medali itu tidak bisa membuat Kenan dicintai orangtuanya.
"Kenapa sih, Le?" Laki-laki itu mendengus getir. "Kenapa lo nggak pernah dukung usaha gue? Kenapa lo nggak pernah suportif setiap kali gue ikut olimpiade atau apa pun? Waktu gue jadi Ketua OSIS? Waktu KSATRIA menang pertandingan? Waktu gue jadi ranking 2?"
Rasa sakit di puncak dadanya membuat nada Kenan menaik.
"Kalo lo nggak mau gue saingin, bilang!"
Ale menatap laki-laki itu tidak percaya.
"Lo dengerin diri lo sendiri nggak sih, Ken? Apa lo udah tuli gara-gara kepala lo kegedean? HAH?" bentaknya. "Udah sepinter apa sih lo? Udah sejago apa, gue tanya?"
"Oh, jadi itu masalahnya? Lo nggak mau gue lebih jago dari lo? Ini soal ego?"
"Wah." Ale menggeleng, mencari cara lain meluapkan amarahnya selain menonjok Kenan sampai mampus. "Sakit lo emang."
"Ya kenapa, Le? Jawab gue! Apa masalahnya?"
"Masalahnya sampai kapan pun lo nggak bakal bisa jadi Kia!" Ale menatap Kenan tajam. "Karena Kia udah—"
"Stop."
"—mati! Kia udah mati, Ken!"
"STOP!"
"LO YANG STOP!" Ale berdiri dan mendorong dada Kenan keras. "Pake otak, Ken! Nyari kesibukan sampe lo gila kayak sekarang nggak bakal bikin Kia hidup lagi, tolol!"
Kenan menangkap pukulan Ale di dadanya, dan Ale tertegun ketika menyadari jemari itu gemetar. "Gue nggak punya pilihan."
"Nggak punya pilihan gimana—"
"Gue merasa bersalah." Kenan menatap Ale. "Dan perasaan bersalah itu nggak ilang apa pun yang gue lakuin."
Ale menelan ludah. Brengsek.
"Perasaan bersalah itu nggak bikin gue pengen Kia hidup lagi, Le. Perasaan bersalah itu bikin gue pengen ikut Kia mati."
"KEN!" Ale menggertak kasar. "Diem. Diem, stop, stop! STOP!"
Bibir gadis itu digigit kuat. Tidak, tidak, tidak. Kenan tidak mungkin merasa seperti itu. Kenan tidak boleh merasa seperti itu.
"Jangan." Ale menggeleng, mundur. "Jangan gitu."
Kenan berusaha meredakan debar jantungnya sendiri. Laki-laki itu melangkah maju dan menyentuh Ale. "S-sorry. Gue nggak—"
Ale menepis tangan Kenan. "Kalau... kalau nggak ada lo—"
Ribuan kata dalam benak gadis itu, tidak ada yang mampu mewakili. Ale tidak pernah bersahabat dengan kata-kata. Bagaimana caranya memberitahu Kenan apa yang dia rasakan? Bagaimana caranya mengungkapkan bahwa Kenan adalah satu-satunya Ale masih bertahan?
"Gue nggak ke mana-mana, Le. Dengerin gue." Kenan memegang kedua bahu Ale. "Gue... gue mungkin capek, tapi gue nggak ke mana-mana."
Ale menatap Kenan persis di matanya, kemudian mengangguk perlahan. "Janji?"
Ketakutan di mata Ale menyerap habis rasa takut Kenan. Laki-laki itu balas mengangguk, mencubit kecil hidung Ale. "Janji, galak."
***
"STOP CLINGY SAMA GUE!"
"GUE NGGAK—" Kenan cemberut karena digertak. "Gue nggak clingy."
"Yaudah stop nyender-nyender di gue."
"Yaudah lo mau gue nyender-nyender di Kak Val?"
"Lah, bodo amat."
"Leeee!"
"Apa, sih, berisik!" Ale emosi. "Kerjain tuh, tugas lo!"
"Gue nggak ngerti. Ajarin."
Ale menatap Kenan sebal. "Bohong. Lo kemarin jawab soal itu di kelas gabungan."
"Iya, gue sok tahu aja. Terus ternyata bener. Tapi gue tetep nggak ngerti."
Ale menghela napas. "Lo nggak capek pencitraan terus begitu?"
"Nggak apa-apa." Kenan mengangkat bahu. "Yang penting lo tahu gue yang sebenernya gimana."
"Itu bukan solusi."
"Gue nggak butuh solusi." Gue butuhnya lo, meski tidak Kenan ucapkan. Laki-laki itu hanya tersenyum sedikit. "Udah ah, ajarin. Buru!"
"Udah nyuruh-nyuruh, bacot! Sabar! Tugas gue belum kelar!"
Kenan mengerucutkan bibir sementara Ale kembali sibuk dengan tugasnya sendiri. Laki-laki itu memainkan helai-helai kemerahan sahabatnya, sesekali menyentuh luka gores di pipi yang Ale mengaku tidak tahu berasal dari mana.
Yah, jangan heran, dinamika mereka berdua memang lumayan aneh.
Setelah meledak-ledak bak melodrama, sekarang mereka berdua sudah kembali duduk manis berjajar di kasur, menekuni kewajiban sebagai pelajar Bina Indonesia yang taat aturan. Sebenarnya jarang-jarang Ale mau mengerjakan tugas tanpa Kenan paksa, tapi entah kenapa belakangan ini gadis itu jadi sedikit lebih rajin. Tetap lebih banyak malasnya, sih. Tapi Ale sudah lebih sering muncul di tempat les, jarang bolos, dan setiap minggu ke perpus kota. Entah buku motivasi macam apa yang dia baca di sana.
Kenan sudah sejak lama ingin ikut, tapi kesibukannya sendiri saja sudah cukup mencekik. Laki-laki itu merasa waktu yang dia habiskan bersama Ale berkurang banyak. Separuh dari diri Kenan menyesal, separuhnya lagi merasa Ale pasti paham. Kenan hanya berharap Ale tidak akan merasa sendirian.
"Lo nggak kangen gue, Le?"
Ale mencebik muak. "Apa lagi sih?!"
"Nggak." Kenan urung bertanya, sebal duluan. "Galak banget."
"Bodo. Udah kelar, nih. Jadi mau diajarin nggak, lo?"
Kenan nyengir dan menegakkan tubuh. "Iya, iya, gimana Bu Adinda?"
Ale memutar mata dan mulai menerangkan soal yang tadi Kenan tunjuk. Sementara laki-laki itu tidak bisa menahan diri untuk tidak memandangi wajah sahabatnya.
"Dateng ke pertandingan gue, dong."
Ale berhenti bicara. Gadis itu menatap Kenan emosi. "LO NGGAK DENGERIN—"
"Please. Ya, ya, ya? Sekali aja! Lo nggak pernah mau nonton gue tanding! Padahal gue keren bang—"
"Nyenyenye."
"Lo tahu gue join basket beneran karena gue suka, kan? Bukan karena rasa bersalah gue ke Kia?"
Ale mendadak berhenti meledek. Gadis itu balas menatap Kenan yang menatapnya sungguh-sungguh, sebelum menghela napas. Ale membaringkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit. Hal terakhir yang dia inginkan adalah berdesakan di tribun dengan seribu orang lain yang jatuh cinta pada Kenan.
"Kalau lo sampai final—"
"JANJI?" Kenan melompat, memaku kedua telapak tangannya di kanan-kiri sisi tubuh Ale. Kedua matanya berbinar. "JANJI DULU!"
"IYA, AH! SANA!" Ale refleks mendorong laki-laki itu menjauh. "Jangan deket-deket! Gerah gue!"
Kenan terdorong ke samping, tapi cengirannya tidak hilang. Laki-laki itu ikut berbaring di sebelah Ale, menatap langit-langit.
"Gue pasti sampai final, sih."
"Jangan kepedean."
"Demi lo, apa sih yang gue nggak bisa?"
Ale pura-pura muntah. Kenan tertawa. Laki-laki itu tiba-tiba teringat sesuatu dan mengubah posisi menghadap Ale. Kepalanya ditumpu siku.
"Eh, percaya nggak? Kak Val kemarin ngajak gue jalan, tahu."
Ale balas menatap laki-laki itu dengan wajah datar. "Terus?"
"Terus gue tolak. Kan, dia udah punya cowok. Kata lo, gue nggak boleh ganjen?"
"Bukannya dia udah putus?"
"HAH?" Kenan tampak shock. "Sumpah? Lo tahu dari mana?"
Ale menyipitkan mata. "Jadi kalau lo tahu dia udah putus, lo bakal jalan sama dia, gitu?"
"Lah, ya iya lah?"
Ale menyambar guling dan memukuli wajah Kenan, membuat yang dipukuli mengaduh keras. "ADUH, AMPUN!"
"EMANG DASAR GANJEN!"
"AMPUN, LE, AMPUN!"
***
"BAS! BAS KARA!"
Bas sudah setengah jalan menuju alam mimpi waktu tirai pengganti pintu kamarnya disibak. Wulan, masih dengan Ganis dalam gendongannya, merangsek ke tempat tidur.
"BANGUN! BAPAK DIKEROYOK!"
Kantuk langsung menguap lenyap dari kepala Bas. Laki-laki itu duduk tegak. "Hah? Gimana, Teh?"
"TOLONGIN, CEPETAN!" Wulan mengguncang lengan adiknya panik. "Di gang sebelah—"
Bas tidak perlu aba-aba lain. Laki-laki itu bahkan tidak sempat memakai kaos. Kakinya berlari sekuat tenaga keluar kontrakan. Melewati Ibu yang menangis di teras, melewati kepala-kepala tetangga yang muncul di depan pagar karena penasaran, melewati seluruh rasa takutnya yang tiba-tiba mewujud nyata.
Bapak.
Bapak adalah orang paling disegani di kampung mereka. Dia yang paling keras, yang paling berbahaya. Kalau ada yang berani menyakiti Bapak, itu cuma bisa berarti satu.
Bas menghitung tabungannya dalam kepala. Bertanya-tanya berapa banyak yang harus Bapak bayar pada lintah darat itu.
Kaki telanjangnya berdarah menginjak kerikil. Bas tidak berhenti berlari. Bas tidak pernah takut mati.
Dia hanya takut orang-orang yang dia sayang pergi.
bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro