Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 | Palang Kereta Api

"Aw!"

Bas terkesiap ketika Ale mundur dari posisi fight, menyentuh pipinya yang berdarah. Kuku ibu jari Bas tanpa sengaja menggores kulitnya.

"Al! Sumpah, maaf, maaf! Gue nggak—" Laki-laki itu memeriksa luka di wajah Ale, sebelum akhirnya menatap mata gadis itu. "Gue nggak sengaja."

Ale meringis. "Santai. Kegores doang."

Gadis itu memerhatikan Bas yang sekarang merogoh saku, mencari uang yang terselip.

"Gue beliin plester dulu."

"Eh, nggak usah." Ale menahan lengan Bas. Lengan itu terasa terlalu besar untuk telapak tangan mungil Ale. Gadis itu melepasnya seketika. "Nggak sakit. Jangan lebay."

Bas pun mengangguk. "Istirahat dulu, deh."

Mereka berdua akhirnya duduk di matras. Saling menghela napas lelah.

"Lo lagi ada masalah, ya?"

Bas menoleh, tersenyum sedikit. "Kelihatan banget?"

Ale mengedikkan bahu. "Gue Leo."

"Jadi?"

"Peka."

Bas tertawa. "Si paling zodiak tuh."

Ale balas tersenyum kecil. "Lo apa?"

"Januari akhir, apa?" Laki-laki itu balik bertanya.

"Aquarius, pantes," angguk Ale.

"Kenapa tuh?"

"Kalo ada masalah dipendem sendiri."

Bas tertawa lagi. "Nggak juga. Gue bisa cerita."

Tatapnya bertemu dengan Ale yang seolah menanti, dan Bas menarik napas panjang sebelum membaringkan tubuh ke matras. Memandangi langit-langit reyot.

"Teh Wulan itu harapan keluarga."

Laki-laki itu menggumam.

"Dia beda dari Bapak, Ibu, gue. Dia beda dari semua orang di gang sampah ini. Buat gue, dia genius. Gue yakin dia bisa masuk sekolah lo seandainya keluarga kita punya duit buat biayain dia."

Laki-laki itu bangkit dan menatap Ale sungguh-sungguh seolah meminta persetujuan. "Nggak adil, kan? Bayangin, ada orang yang seharusnya bisa pergi dari sini. Ada orang yang seharusnya bisa bebas dari lingkungan ini. Teteh itu calon orang hebat. Semua orang tahu, Al. Cuma dia yang ditanyain tetangga mau kuliah di mana waktu lulus SMA."

Raut wajah Bas mengeras.

"Tololnya, dia malah jatuh cinta. Sama anak pensiunan tentara yang bapaknya punya pangkat di pemerintah. Hamil lah, ditinggal kabur ke luar pulau lah. Tahu-tahu, gang ini mau dijadiin stasiun. Kontrakan mau digusur." Bas mengacak rambutnya kasar. "Tolol, bangsat!"

Ale menelan ludah. Diam mengamati Bas hati-hati. Laki-laki itu tampak tenggelam dalam emosi.

"Gue..." Bas menghela napas lagi. "Gue marah, iya. Sedih, iya. Takut... banget. Takut kehilangan rumah gue. Takut Teh Wulan nggak bisa kuliah. Takut Ganis tumbuh besar dan nanya siapa bapaknya, bapaknya di mana, kenapa bapaknya segitu pengennya dia lenyap sampai harus gusur rumah orang satu gang? Fuck, lah."

Bas menoleh karena Ale diam saja.

"Eh, sorry, sorry." Laki-laki itu refleks menggaruk tengkuk dengan kikuk. "Jadi berat banget yak, bahasannya? Lo pasti nggak relate sama masalah orang miskin gini."

"Ganis... nama anak Teh Wulan?" Ale bertanya pelan.

"Bapak yang kasih nama." Bas mengangguk. "Rengganis. Artinya putri jelita dari Gunung Argapura. Kampung Ibu."

Ale sedikit tersenyum. "Kalau dia besar nanti... bilang aja dia itu hadiah. Buat Teh Wulan, buat lo, buat Bapak-Ibu lo. Bilang sama dia, dia bukan kesalahan. Bilang sama dia walaupun ayahnya nggak cinta sama dia, bukan berarti dia nggak pantes dicintai sama semua orang. Gue tahu dia bikin lo khawatir karena Teh Wulan jadi nggak bisa bebas kuliah atau kejar mimpi-mimpinya, tapi gue harap lo juga kasih Ganis pengertian, kalau dia nggak salah apa-apa. Dia bukan... dosa."

Bas mengerutkan kening. Tanggapan Ale meleset jauh dari inti ceritanya.

"Janji sama gue, Bas," pinta Ale tiba-tiba. "Janji sama gue lo bakal bilang semua itu ke dia suatu hari nanti."

Tatap mereka bertemu. Mungkin hanya perasaan Bas saja, tapi laki-laki itu merasa dia bisa mengerti alasan Ale memintanya berjanji.

"Lo hadiah," ucapnya. "Lo bukan kesalahan. Lo pantes dicintai semua orang. Dan... lo nggak salah apa-apa. Lo bukan dosa."

Ale menelan ludah. Pandangannya dialihkan. Selama sedetik yang entah nyata ataupun tidak, Bas bisa melihat kilau basah di sudut mata gadis itu.

"Gue janji bakal bilang semua itu ke Ganis suatu hari nanti."

Ale menoleh kepadanya lagi. Kali ini, seluruh topengnya pudar. Gadis itu tersenyum tulus, tanpa sarkasme. "Makasih."

Bas mengangguk, mengikuti instingnya untuk menyentuh darah kering di pipi Ale. Ale menepis jemarinya galak.

"Jangan pegang-pegang."

Bas tertawa. Ale versi lembut sepertinya hanya bisa bertahan beberapa detik. "Oke, lah. Udah cukup istirahatnya?"

Ale tersenyum sedikit dan bangkit, membunyikan tulang lehernya ke kiri dan kanan, kemudian memosisikan kuda-kuda fighting-nya. "Gas."

***

Upacara Senin pagi itu berlangsung lebih meriah dari biasanya. Tepuk tangan membahana memenuhi lapangan Bina Indonesia waktu Bu Nadia memanggil maju Kenan ke depan untuk mengalungkan medali emas berlambang molekul atom yang baru saja dia bawa pulang di akhir pekan.

"WOOOOOO! BANG KENAN! BANG KENAN!"

Yang paling heboh sudah jelas Leo dkk. Dari pojok barisan, anak-anak basket yang kemejanya tidak dikancing demi pamer jersey baru karena sudah menang babak penyisihan dua kali berteriak-teriak mengalahkan jerit fanatik adik-adik kelas 10 perempuan yang sudah bolak-balik kena lirik. Tinggal tunggu waktu saja sebelum mereka dilabrak.

Ale memilih menulikan kupingnya dengan earphone dan menyaksikan euforia itu secara bisu. Tidak ada yang membuatnya lebih muak dari puji-pujian Bu Nadia seolah Kenan superhero yang baru saja menyelamatkan satu Jakarta dari serangan alien. Buat Ale, Kenan ya Kenan. Cowok yang pernah mengompol di kelas tiga SD, disembunyikan kacamatanya oleh geng bully, menangis delapan jam karena lututnya luka waktu jatuh dari sepeda— kalah balapan ekstrim versus Ale di turunan curam dekat perumahan mereka. Itu saja.

"Val! VALERIE!"

Teriakan itu—entah bagaimana—menembus lagu di telinga Ale. Gadis itu melirik tertarik, melepas sebelah earphone. Saking masa bodohnya Ale pada upacara tidak penting ini, dia tidak pernah berbaris di barisan kelasnya. Gadis itu baru sadar dia ada di barisan kelas 12. Sepertinya tidak ada yang mau repot mengusirnya juga. Entahlah. Mungkin kakak kelas sekalipun takut diterkam Adinda Aletheia.

"Kenan beneran cuma bimbingan sama lo dua minggu? Gokil, sih."

"Ah, enggak! Itu mah emang dia yang genius. Gue nggak ngapa-ngapain."

"Aduh, nggak usah sok merendah deh lo, Val. Tapi bisa jadi karena kalian pasangan kimiawi kali, ya. Chemistry-nya langsung dapet, materinya auto masuk otak!"

"Hahaha, apaan tuh pasangan kimiawi?"

Tawa manis itu menusuk-nusuk pendengaran Ale. Gadis itu menggertak gigi.

"Tapi gue mau kasih apresiasi deh, buat Kenan. Menurut lo, gue kasih apaan ya?"

"Hm... ajakin jalan, sih. Lo beneran udah putus sama cowok lo yang anak UI itu, kan?"

"Iya... udah. Mau fokus UN sama SBM. Tapi emangnya ngajak jalan nggak too much?"

"Enggak. Anggep aja refreshing abis belajar mulu. Lagian waktu berdua sama lo kayaknya lebih berharga dari sekadar barang nggak, sih?"

"Yaelah, tapi emangnya gue siapa sih mau ngajakin jalan Kenan Aditya?"

"Valerie Christiadjie, please! Kalau Kenan pangeran Bina Indonesia, lo tuh Cinderella-nya! Kalau ada sepatu kaca juga udah gue pakein ke lo sekarang!"

Ale memasang balik earphone-nya, menyetel volumenya ke arah maksimal. Tidak sudi mendengar lebih lanjut soal Cinderella dan rencana jalannya bersama pangeran. Pangeran tai kucing, misuh Ale dalam hati. Si Valerie-Valerie ini jelas tidak tahu apa-apa soal Kenan. Tidak sepertinya. Tidak ada yang kenal Kenan seperti Ale.

***

"Dih, ganjen tuh si Val-Val."

"Ya, kan?" salak Ale, melonggarkan dasi Bina Indonesia-nya dengan emosi. "Mana ada orang kasih apresiasi ngajak jalan? Dia doang. Narsis. Huek."

Bas tertawa lepas. Asap rokok mengepul dari bibir. Seragam negerinya juga belum lepas, cuma tiga kancing yang dibuka. Topi bekas upacara tadi pagi dipasang terbalik di kepala, mencegah rambut gondrongnya mengembang berantakan.

Kalau ada orang yang kebetulan melihat mereka berdua duduk di atas palang kereta api tua ini, memerhatikan langit ungu khas senja, mungkin Ale dan Bas akan dikira baru selesai tawuran, saking berlawanannya atribut sekolah mereka.

"Lucu lo kalo lagi cemburu."

Ale mengangkat alis. "Gue nggak cemburu?"

"Terus apa?"

"Ya... kesel... aja?" dengus gadis itu. "Satu Bina Indo tahunya Kenan yang perfect abis. Nggak ada yang bener-bener kenal siapa dia."

"Tapi—"

"Dan Kenan-nya juga seneng-seneng aja." Gerutuan Ale rupanya belum rampung. "Dia suka tuh orang-orang ngelihat dia sempurna. Dia bohongin semua orang, tahu nggak sih, Bas? Orang-orang jadi selalu berasumsi dia nggak punya beban. Anak-anak basket jadiin dia jaminan menang pertandingan. Selalu lempar bola ke dia. Kalau ada olimpiade apa-apa, yang dipanggil Kenan. Kenan lagi, Kenan terus. Dia tuh capek sebenernya, tapi dia nggak pernah nolak. Gue kesel."

"Jadi lo bukan cemburu, tapi peduli?"

Ale mengangkat bahu. "Mungkin."

Gadis itu tiba-tiba menoleh pada Bas serius. "Tapi gue salah nggak, sih?"

"Salah kenapa?"

"Ya, gue nggak suka lihat pencapaian dia. Kayak, gue seneng sih dia berhasil dalam ini-itu. Tapi dia ngejar semua itu bukan karena kemauannya sendiri, cuma buat nunjukin ke orang lain kalau dia juga bisa." Ale mengepalkan jemari. "Kalau nggak cuma Kia yang bisa."

"Menurut gue, wajar kalau Kenan butuh validasi. Mungkin validasi yang dia kejar selama ini belum berhasil dia dapetin, makanya dia masih berusaha keras."

"Iya, validasi dari Om Alan sama Tante Laras, kan?" keluh Ale. "Masalahnya mereka tuh batu, Bas. Kalau bisa gue ajak berantem juga udah dari dulu gue ajak berantem."

Bas tertawa lagi. "Nggak semua masalah hidup bisa dikelarin pake fight, Al."

"Ya, itu, makanya gue males hidup." Ale mendengus. "Maksud gue, males sama masalah hidup," ralatnya seketika.

Bas menoleh tanpa bicara. Rokoknya dituntaskan sampai ujung sebelum laki-laki itu melompat turun. Menepuk-nepuk celana yang kena debu dari palang.

"Mau makan di kontrakan, nggak? Gue mau mandi. Ntar malem ada nobar MU. Harus keliling gang ngumpulin duit judi."

Ale menggeleng tidak percaya. "Sibuk bener ya lo."

"Sibuk nyari duit, iya," kekeh Bas. "Nggak semua orang bisa bolos bimbel mahal kayak lo sekarang."

Ale mengerjap, sebelum menelan ludah penuh rasa bersalah. "Lo tuh sebenernya ke-offense ya, sama kelakuan gue, Bas?"

Bas nyengir, mendekatkan ibu jari dan telunjuknya ke wajah Ale. "Dikit... segini. Secaur-caurnya gue, gue juga mau dibayarin les, kali. Ngeri banget nggak lulus nih, Dek, udah kelas 12 masih goblok aja."

Ale mendengus geli. "Kalau bisa tukeran hidup juga gue mau, Bas."

"Cih." Bas meludah ke tanah. "Bullshit lo."

Ale mengangkat alis tersinggung. "Kok—"

"Bullshit, tahu nggak?" tawa Bas. "Kalau lo anak orang kaya, seenggaknya masalah hidup lo udah kelar 90%. Jangan sok-sokan mau tukeran hidup sama masyarakat kelas dua kayak gue, lah."

"Oh, gitu?" Ale balas tertawa sarkas. "Lo pikir punya duit bisa nyelesaiin semua masalah? Bisa beli kebahagiaan?"

"Duit bisa beli apa aja, Al. Bisa beli hidup!"

"Terus kalo gitu kenapa gue pengen mati?"

Bas terperangah. Ale turun dari palang, raut wajahnya keras. Kedua tangannya mengepal kuat. Gadis itu memancang tatapnya dengan berani.

"Orang-orang kayak lo," decihnya, "yang selalu mikir mereka orang paling malang di dunia ini. Yang paling perlu dikasihanin. Yang masalahnya paling berat! Lo boleh nilai gue kurang bersyukur, tapi sadar! Lo juga harus bersyukur punya keluarga yang saling sayang! Punya Bapak, Ibu, Ganis, Teh Wulan. Punya rumah yang bener-bener bikin lo ngerasa bisa pulang!"

Ale menarik napas tajam.

"Lo mau tahu kenapa gue minta lo ngajarin gue fighting? Karena gue mau kabur. Karena gue mau pergi jauh setiap weekend, setiap nyokap gue ada di rumah. Karena gue takut dipukulin Mama! Karena gue nggak tahu harus pergi ke mana lagi. Karena belajar fighting sama lo adalah satu-satunya hal yang bikin gue punya niat bangun setiap pagi. Karena gue pengen ngerasa kuat. Karena gue nggak mau sendirian di kamar gue, karena gue nggak mau kepikiran nyari cutter buat nyakitin diri sendiri! Karena gue nggak mau sakit!"

Tidak ada air mata di sana. Ale tidak sedih, dia marah. Marah karena meledak, marah karena Bas membuatnya meledak, marah karena seluruh perasaannya tumpah.

Sebuah kereta api melintas di kejauhan dengan berisik.

Bas mengepalkan jemari, menahan seluruh animo diri untuk merengkuh Ale, mendekap gadis itu, melindunginya dari segala hal yang menyakiti.

"Emang kenapa kalau sakit?"

Pertanyaan laki-laki itu membuat emosi di mata Ale sedikit memudar.

"Kenapa kalau berantakan? Kenapa kalau kacau? Kenapa kalau nggak bahagia?" Bas ikut menarik napas. "Kalau hidup lo nggak sempurna, bukan berarti lo harus mati, kali. Jangan jadi pengecut. Percuma gue ngajarin lo fight kalau lo sendiri nggak berani fight buat hidup."

Laki-laki itu tampak kesulitan merangkai kata, sebelum maju mendekat. Bas melepas gelang hitam di pergelangan tangannya sendiri dan menarik kasar lengan Ale, memakaikan gelang itu persis di sekeliling bekas luka sayatan tanpa peduli gerak penolakan refleks Ale.

"Gue curi gelang itu dari warung depan rumah." Nada Bas keras kepala. "Gue tahu ada kelewat banyak hal berharga yang udah dicuri dari lo. Entah itu keluarga, rumah, kebahagiaan, apa pun. Tapi nggak berarti hidup lo akan jadi kurang berharga dari sebelumnya. Nggak berarti lo akan jadi kurang berharga dari sebelumnya."

Ale membisu sementara Bas mundur dan memungut ranselnya dari tanah. Tidak bergerak sampai laki-laki itu menghilang di tikungan gang. Samar-samar, azan dari langgar terdengar berkumandang.

Senja, palang kereta api, dan gelang hitam curian.

Entah satu di antara tiga hal itu, atau justru sentuhan kasar Bas pada bekas lukanya yang membuat jantung Ale berdebar.

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro