Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 | Matahari dan Bulan

Ale lahir persis 30 hari sebelum Kenan. Mungkin itu yang membuat alam bawah sadarnya berpikir dia lebih besar dan lebih kuat.

Waktu masih balita, Ale pernah mencengkeram tangan mungil Kenan sampai warna kulitnya berubah biru. Kia, kembaran Kenan, berteriak memanggil ayah-bundanya, lalu satu perumahan heboh. Kenan tidak menangis, tidak mengeluh, hanya cengengesan. Entah karena rasanya memang tidak sakit, atau karena dia berpikir Ale tidak akan pernah menyakitinya.

Untuk ukuran balita, Kenan punya rasa percaya yang besar pada balita lain. Apalagi balita brutal macam Ale.

Dari awal jatah cuti melahirkan habis sampai Nada jadi lawyer andalan firmanya, rumah seberang jalan selalu jadi tempat tujuan Ale. Sarapan, bermain siang-malam, lalu dijemput untuk pulang. Kadang, kalau Nada lembur, Ale menginap. Kenan dan Kia punya tempat tidur tingkat. Jadi kalau ada Ale, dia selalu tidur di kasur atas. Kenan di bawah, sedangkan Kia tidur di kamar Om Alan dan Tante Laras.

Ale dan Kenan tidak pernah bisa tidur cepat. Jadi setengah malam akan dihabiskan dengan mengobrol, mengoceh, bertengkar, apa saja. Besok beli permen biru yang waktu itu kita lihat, yuk? Rencana-rencana konyol tentang bagaimana hari mereka akan dihabiskan. Mangga yang di rumah pojok itu kayaknya bisa dicolong, deh. Perdebatan-perdebatan sepele. Ah, ntar Kia lapor Bunda. Persekongkolan khas anak-anak. Yaudah, nggak usah ajak Kia.

Ale tahu mungkin ada yang salah dengan dirinya. Sejak pertama kali diperkenalkan dengan rumah boneka dan alat masak-masakan Kia, Ale sudah tidak tertarik. Dia biasanya cabut untuk menonton Kenan menyusun arena balapan hot wheels atau mengekor bocah laki-laki itu ke teras, mengejar-ngejar bola oranye mini.

Segala sesuatu di sekitar Kenan terasa begitu menyenangkan untuk Ale, dan baru belakangan dia sadar mungkin semua itu tidak ada kaitannya dengan permainan-permainan yang Kenan punya. Karena waktu rapor kelas empat Kenan jeblok dan semua mainannya disita, Ale ikut duduk di sebelah laki-laki itu di pelataran rumah. Ale tidak suka Kenan menangis sendirian, jadi dia ikut menangis. Padahal hari itu Ale dapat ranking dua. Ranking satunya Kia.

Kia memang spesies berbeda, kalau menurut Ale. Dia juga tidak yakin bagaimana bisa Kenan dan Kia lahir sebagai saudara kembar. Kenan paling rewel kalau sudah disuruh membuka buku pelajaran, sedangkan Kia selalu jadi yang paling betah menghafal catatan. Keduanya jarang akur, dan kadang Ale ingin jadi penengah yang biasanya ada di buku paket Kewarganegaraan. Kalau ada teman yang bertengkar, kita harus apa? Jawabannya selalu mendamaikan.

Tapi Ale pikir, dia tidak punya bakat itu. Dia tidak punya kata-kata bijak untuk dituturkan. Dia cuma bisa duduk diam dan berharap keberadaannya cukup. Dunia Kia selalu terasa jauh, jadi Ale memilih Kenan. Kenan terasa dekat. Terlalu dekat.

Semakin mereka tumbuh besar, Ale sadar duduk diam saja mungkin tidak cukup. Ale sudah bilang, dia selalu berpikir dia lebih besar dan lebih kuat daripada Kenan. Jadi waktu ada bocah sok jagoan yang iseng menyembunyikan kacamata Kenan, Ale tidak duduk diam, dia berdiri. Kali ini Nada dipanggil ke sekolah untuk mengganti biaya pintu loker yang semuanya jebol Ale tendang.

Di antara mereka berdua, Ale selalu jadi yang lebih berani. Dia menghabiskan tahun-tahun berikutnya menjaga Kenan dari preman-preman sekolah. Kemudian mereka masuk SMP. Kenan belajar main gitar dan telinga Ale dipaksa mendengar nada-nada sumbang. Laki-laki itu nekat mendaftar ekskul band, lalu namanya mulai benar-benar dikenal sejak pensi 17 Agustus-an.

Kenan Aditya? Yang anak band itu? Yang gitaris, kan? Oh, yang ganteng?

Ale bahkan punya template jawaban untuk geng kakak kelas centil yang suka mencegatnya di kantin. Nggak, Kak, saya bukan pacarnya Kenan. Saya ini tetangganya, makanya suka pulang bareng. Saya juga nggak suka sama dia. Kalau mau minta nomer langsung ke orangnya aja.

Kenan tidak perlu dijaga lagi. Dia bisa menjaga dirinya sendiri. Ale bebas tugas.

Atau mungkin sejak awal laki-laki itu memang tidak pernah butuh Ale dan hanya dia sendiri yang mengasumsikan begitu. Ale tidak pernah tahu.

Yang dia tahu adalah Kenan itu sesuai namanya. Aditya. Matahari. Pusat tata surya. Laki-laki itu punya gravitasi yang terus-terusan menarik Ale untuk mengorbit di sekelilingnya dari masa ke masa, tujuh belas tahun tepatnya. Masalahnya, Ale bukan satu-satunya planet di galaksi Kenan Aditya.

Tapi dia tidak keberatan. Kenapa juga Ale harus keberatan?

Lagipula, seperti yang dia ceritakan pada Bas, mereka cuma teman.

***

"KSATRIA! KSATRIA! KSATRIA!"

Gemuruh drum yang ditabuh dan seruan serempak mengguncang gelanggang. Tribun sesak oleh pasukan murid berlencana Bina Indonesia. Siapa pun yang bukan bagian dari mereka refleks meneguk ludah. Desas-desus tentang sekolah legenda itu memang santer terdengar di mana-mana, tapi tidak ada yang menduga power mereka bisa semengerikan itu.

Tim lawan di bangku seberang sudah kegerahan. Pelatih mereka mondar-mandir keliling bench. Skor tertinggal jauh.

KSATRIA bermain total hari ini. Leo bilang, mereka harus unjuk taring sejak laga pertama. Intimidasi berperan penting dalam strategi laki-laki itu. Sebagai kapten, Leo ingin memastikan musuh sudah tremor duluan sebelum masuk lapangan. Jelas, nama besar Bina Indonesia dan sedan-sedan berlambang yang mengangkut suporter mereka sangat membantu. Leo sepertinya harus menyembah-nyembah Kenan untuk itu.

Tepatnya untuk proposal mobilisasi suporter yang akhirnya Ketua OSIS itu loloskan, dan tentu saja, permainan brilian Kenan hari ini. Dia dijaga setidaknya tiga lawan, tapi percuma, karena shooting guard andalan Leo itu hanya perlu melompat dari titik mana saja di lapangan. Sudut lemparannya selalu sempurna. Yang perlu Leo lakukan hanyalah mengomando agar sesering mungkin bola jatuh ke tangan Kenan. Lalu dia tinggal menunggu laki-laki itu menciptakan keajaiban.

Mereka menang telak. Di akhir quarter ke-empat, tangan Leo dijabat kapten lawan erat-erat.

"Sampai final, Capt?"

Leo memberi cengiran penuh hormat. "Sampai final, Capt."

Begitu mereka sampai ruang ganti, sorak-sorai membahana sampai setidaknya koridor depan. Setelah euforia itu reda, Leo mendekat ke arah Kenan yang sedang melepas sepatu.

"Good job, Bro! Itu baru sohib gue."

Kenan terkekeh. "Jadi gimana, Capt? Udah boleh skip pertandingan minggu depan?"

Leo mengerucutkan bibir. "Emangnya olimpiade lo dari pagi sampe sore? Beneran nggak bisa join? Satu quarter, dah!"

Kenan mendecak. "Eh, tim lo bukan gue doang. Sabi, kali, satu game tanpa gue. Tuh, Jordi juga udah pengen banget nyobain jadi SG."

"Iya, sih, Jordi juga oke..." Leo garuk-garuk kepala. "Yaudah, tapi game selanjutnya lo ikut terus ya! Awas aja lo pas final tiba-tiba olimpiade lagi."

"Widih, udah ngomongin final, nih?"

Leo nyengir dan menonjok bahu Kenan. "Iya, lah! Sombong aja dulu!"

Kenan ikut tertawa dan mengusir Leo pergi. Kaptennya itu akhirnya menjauh sembari memikirkan strategi minggu depan. Melepas Kenan hanya di satu pertandingan, harusnya aman. Semoga aman.

***

"Sibuk banget, tuh, kayaknya."

Ale menyeletuk pada punggung laki-laki yang duduk di meja belajar, serius mencoret-coret kertas buram. Kenan menoleh, wajahnya tampak penat.

"Pusing gue, sumpah."

"Apa sih, itu?" Ale mendekat, penasaran. "Buat olimp minggu depan?"

Kenan mengangguk, membiarkan Ale melihat-lihat soal yang sejak tadi dia garap tapi tidak kunjung menemukan titik cerah.

"Ini tulisan siapa?" tunjuk Ale.

"Kak Val," balas Kenan. "Tahu, kan? Kakel yang menang perak IChO tahun lalu."

"Val..." Ale mengerutkan kening. "Yang mana, sih?"

"Ck, ah. Yang cakep. Rambutnya panjang, suka dikepang. Wangi bunga."

Ale mengangkat alis. "Sampe wangi-wanginya tuh lo apal?"

Kenan tertawa baru sadar. "Lah, iya juga. Gue ketemu dia mulu, sih. Jadi notis."

"Oh," respons Ale cuek. "Nggak kenal gue."

"Iya lah," sahut Kenan. "Lo aja jarang sekolah. Kalo nggak bolos ya di ruang BK. Val mah, nggak bakal deket-deket situ."

Ale pura-pura muntah. "Cocok deh lo sama dia. Sama-sama murid teladan yang nggak punya dosa."

"Tapi dia udah punya cowok, Le. Sedih banget nggak, sih?"

"Yeee!" Ale menjitak kepala Kenan. "Kalo dia udah punya cowok, ya lo jangan ganjen!"

"Aduh!" keluh Kenan, mengusap kepalanya yang bekas dijitak. "Kata Leo, cowoknya Val nggak ada apa-apanya sama gue."

"Dih, dewa Yunani lo?" decih Ale. "Mau-mau aja lagi dijilat sama si Leo. Dia bilang gitu soalnya KSATRIA di-carry sama lo, kali."

"Enggak, ah. Kita main as a team, kok. Cuma kebetulan aja gue banyak megang bola."

"Ya karena mereka lempar ke lo terus, tolol." Ale memaki gemas. "Udah lah, mending lo pelajarin tuh tulisan kakel idaman yang udah punya pacar."

"Kertasnya masih wangi dia loh, Le," goda Kenan. "Cium, deh."

"Najis!"

***

"Yang kemarin makan di sini tuh pacar lo, Bas?"

Bas berjongkok di sebelah kakaknya di tangga belakang rumah. Mengawasi air menetes dari pakaian basah yang baru digantung berjajar memenuhi tali jemuran. Tangannya meraih sebatang rokok dari kotak yang Wulan genggam, sementara perempuan itu menyalakan korek sepintas untuknya.

Asap mengepul ke langit. Malam ini purnama.

"Bukan."

"Temen sekolah?" tanya Wulan lagi. "Kayak anak orang kaya."

"Emang, Teh," tawa Bas pelan. "Sekolahnya aja di Bina Indo."

Wulan mengerutkan kening, membiarkan asap keluar dari mulutnya. "Kok bisa temenan sama lo?"

Bas mengisap tembakaunya dalam-dalam. "Panjang ceritanya."

"Tiati, Bas."

"Tiati apa?"

Wulan hanya mengangkat bahu, membuat Bas terkekeh. Laki-laki itu paham apa yang kakaknya maksud. "Gue tahu diri lah, Teh."

"Namanya perasaan, nggak ada yang tahu, kan?" cetus Wulan. "Lihat aja gue sekarang."

Jemari Bas sedikit mengepal. "Bukan salah Teteh."

"Apa yang bisa dicegah, ya dicegah." Wulan mematikan rokok. Bas baru sadar ini pertama kalinya dia melihat Wulan merokok setelah Ganis lahir. Mungkin ada yang sedang benar-benar menghantui pikiran wanita itu.

"Apa lagi sekarang lo udah kelas 12, bentar lagi lulus. Udah mau kuliah. Jangan aneh-aneh."

Bas terdiam. "Teteh aja." Laki-laki itu menatap kakaknya. "Teteh dulu yang kuliah."

Wulan menggeleng. "Gue udah nggak mungkin."

"Mungkin, Teh. Punya anak nggak berarti hidup lo harus berhenti, kok."

"Kalo gue kuliah, hidup kita berlima yang berhenti." Wulan menoleh, balas menatap mata adiknya. "Setelah gue dapet gelar, terus apa, Bas? Gue nggak bisa kerja jauh-jauh dari rumah. Gue nggak bisa kejar mimpi tinggi-tinggi. Ada Ganis yang butuh ibunya."

Wanita itu sedikit menelan ludah.

"Tapi lo bisa. Lo bisa jadi sarjana dan cari kerjaan yang naikin martabat keluarga kita. Lo bisa—"

"Teh, gue nggak pinter kayak lo." Bas membantah. "Gue nggak pernah dapet ranking di sekolah. Gue bahkan nggak punya cita-cita. Lo jauh lebih pantes dapet pendidikan lebih tinggi—"

"Bas." Wulan memotong, tegas. "Gue udah ngabisin duit Bapak-Ibu buat lahiran Ganis. Gue udah bikin mereka utang sana-sini demi Ganis bisa hidup setahun ini. Lo pikir gue tega minta duit mereka lagi buat biayain gue kuliah tanpa prospek masa depan yang jelas?"

"Gue punya tabungan."

Wulan mengerutkan kening. "Dapet duit dari—"

"Gue punya tabungan yang cukup buat bayar ongkos masuk kampus." Bas memotong. Laki-laki itu bangkit. "Tapi gue cuma mau tabungan itu dipake kalau Teh Wulan yang kuliah."

Wulan memejamkan mata ketika adiknya beranjak pergi. Tak lama, terdengar suara tangis bayi dari dalam rumah. Wulan menghapus air matanya dengan cepat.

Rengganis tidak perlu tahu ibunya juga habis menangis.

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro