10 | Pasti Ada Rasa
"Sabtu kemarin lo ke mana?"
Ale tersedak minuman bersodanya. Gadis itu batuk-batuk, membuat Kenan refleks meninggalkan meja belajar dan mendekat ke arah ranjang. Memastikan sahabatnya baik-baik saja.
"Nggak apa-apa, Le?"
Ale memberi jempol sembari mengusap bibir. "Perpus kota," jawabnya kalem. "Kenapa?"
Kenan mengangguk-angguk. "Enggak, kemarin gue nemu es krim di kulkas. Kayaknya Bunda baru beli. Mau nawarin."
Ale berdiri. "Masih ada?"
Kenan mengangkat bahu. "Masih, kali?"
Ale segera beranjak menuju pintu, mencabut map plastik dari atas meja Kenan sebelum laki-laki itu sempat mencegahnya. Gadis itu berderap menuruni tangga.
Dapur kosong. Ale meletakkan berkas rapor tengah semester Kenan di atas kulkas. Ada sticky notes kuning yang ditempel di pintu kulkas.
Uang makan siang di tempat biasa.
Ale memutar mata. Gadis itu mencari-cari bolpoin dan menemukannya di dekat wadah kartu resep. Ale menulis persis di bawah tulisan tangan Tante Laras.
OK. Jangan lupa TTD rapor Kenan.
Gadis itu berpikir sebentar sebelum menambahkan. Thx Bun :)
Ale tersenyum puas. Meski tulisan tangannya jauh lebih jelek, setidaknya kalimat itu terdengar seperti datang dari Kenan.
Kalau cara komunikasi Ale dengan Nada adalah saling serang, maka cara komunikasi Kenan dengan orangtuanya adalah saling bertahan. Tidak ada yang mau berinisiatif memulai kontak. Rumah itu sudah lama terasa dingin.
Ale membuka kulkas. Gadis itu meringis ketika melihat kotak es krim besar rasa strawberry. Kesukaan seseorang yang Ale kenal.
Entah sampai kapan Om Alan dan Tante Laras akan membiarkan rumah ini dihantui kenangan tentang seseorang yang sudah tiada. Entah sampai kapan mereka akan menutup mata terhadap Kenan yang mati-matian berusaha membuat mereka bangga.
***
"Kenan, itu ada yang ke-skip hitungannya."
Kenan mengerjap, memfokuskan perhatiannya pada soal yang Val tunjuk. Laki-laki itu menepuk kening. "Sorry, sorry, Kak Val. Nggak konsen."
"Kenapa?" tanya Val simpatik. "Lagi banyak pikiran?"
Kenan mengembuskan napas dan menyandarkan punggung ke kursi lab Kimia. Laboratorium itu terasa terlalu luas kalau hanya untuk mereka berdua.
"Proposal OSIS buat suporter-an ditolak," keluh Kenan. "Gara-gara jadwal tandingnya banyak nabrak jam pelajaran, cuma tim yang dapet dispen berangkat."
Val mengangguk-angguk, berpikir sebentar. "Ada cabang best supporter, kan?"
"Ada, Kak."
"Setahu gue, tahun lalu suporter kita kalah gara-gara itu juga. Coba lo tunjukin Bina Indonesia udah kalah jadi best supporter berapa tahun ke Bu Nadia."
Kenan mengerutkan kening. "Terus?"
Val tersenyum kecil. "Masa lo nggak tahu kenapa Bina Indonesia jadi SMA terbaik? Ya, karena kepala sekolah lo itu kompetitif abis. Kalau ada yang bisa bikin Bu Nad berubah pikiran, itu gara-gara dia nggak mau kalah." Gadis itu mengangkat bahu. "Setiap kali lomba yang gue ajuin ditolak, gue selalu tunjukin SMA lain yang berhasil bawa trofi. Bu Nad gengsi. Akhirnya gue dikasih izin. Dan," kedip Val, "modal."
Kenan tertawa. "Gokil. Pantesan itu medali pajangan di lobi atas nama Valerie Christiadjie semua ya, Kak?"
Val ikut tertawa kecil. "Kalau ambis jangan setengah-setengah, Ken. Lo udah korbanin banyak hal, jadi seenggaknya di sini lo harus maksimal."
Mata Kenan berbinar. Laki-laki itu menahan rasa kagum di dasar tenggorokannya. Kalau ditanya apa cita-citanya sekarang, mungkin dia akan menjawab jadi Val generasi kedua.
"Thanks, Kak. Bakal gue lakuin saran lo."
"Good luck," senyum Val, sebelum menyentuh sisi kacamata Kenan yang menghadap lurus ke arahnya dan mengembalikan fokus laki-laki itu ke kertas latihan soal. "Sekarang, jangan lihatin gue. Fokus ke sini dulu, oke?"
Kenan berdeham sekali. Cengiran gugupnya tanpa sadar tercipta. Val tertawa.
***
"Lo kebanyakan mikir, deh."
"Logika dong, Bas," bantah Ale. Napasnya diembuskan kasar. "Kalau kaki kanan lo lebih deket sama gue, ya lo nyerangnya pake kaki kanan."
"Buktinya gue pake kaki apa?"
"Ya itu karena lo berantem nggak pake logika!"
"Namanya insting, Al!"
"Ah! Gue capek!" gerutu Ale, mengempaskan tubuhnya di matras.
Bangunan balai serbaguna ini sudah tidak dipakai dalam kurun waktu setidaknya tiga tahun, menyisakan aula kosong berdebu yang kadang dimasuki bocah-bocah gang kalau sedang ingin uji nyali berburu hantu.
Ale dan Bas menemukan matras usang di pojokan. Kata Bas, kalau tidak dipakai sosialisasi, balai itu juga bisa disulap jadi lapangan bulu tangkis dadakan. Makanya ada net putih raksasa yang jaring-jaringnya bolong di sana-sini. Shuttlecock berbulu mekar jatuh di sekitarnya.
"Laper, nggak?" tanya Bas, sedikit bersimpati karena hari ini Ale berlatih cukup keras. "Makan siang di rumah gue, mau?"
Ale menatap langit-langit yang tinggi, kerangka kayu reyot yang digigiti rayap. Kalau mau jujur, bangunan ini sama sekali tidak aman. Gempa sedikit saja, sudah pasti Ale dan Bas remuk tertimbuk atap.
"Di rumah lo ada siapa aja?"
Bas mengangkat bahu. "Paling Teh Wulan doang."
"Teh Wulan... kakak lo?" Ale mengingat foto perempuan yang dia lihat di ponsel Bas waktu itu.
Bas mengangguk. Tangannya terulur. "Yuk. Sebelum Bapak-Ibu pulang dari pasar. Bisa-bisa lo dikira pacar gue."
Ale menyambut uluran lengan Bas dan bangkit. "Emangnya lo nggak punya pacar?"
Pertanyaan itu meluncur tanpa pikir panjang dan Ale langsung menyesal. Gadis itu tidak berada di sini untuk mengakrabkan diri dengan berandal antah-berantah ini. Dia cuma mau belajar fighting, itu saja.
"Pacaran ngabisin duit," cetus Bas. "Temen gue yang punya pacar ngutang mulu. Buat nonton lah, buat bayarin makan lah, buat beliin boneka—" Bas pura-pura muntah. "Nggak dulu deh, makasih."
Ale spontan tertawa, membuat Bas menoleh penasaran.
"Kalau lo?"
"Kenapa gue?"
"Punya pacar?"
Ale menggeleng.
"Terus, cowok yang waktu itu dateng bareng lo ke sini?"
"Yang lo pukulin?" sindir gadis itu. "Temen doang."
"Tapi dia suka sama lo?"
"Enggak."
"Berarti lo yang suka sama dia?"
Ale mengangkat alis. "Kenapa lo nanya gitu?"
Bas mengangkat bahu. "Bukannya cowok sama cewek nggak bisa cuma temenan? Salah satunya pasti ada rasa?"
Ale mendengus. Bukan pertama kalinya dia mendengar pernyataan spekulatif itu. "Dia temen gue dari lama."
"Lama?"
"Tujuh belas tahun." Ale menjelaskan. "Rumahnya persis di depan rumah gue. Ulang tahun kita cuma beda satu bulan. Selalu main bareng dan satu sekolah sampe sekarang."
"Ohhh," angguk Bas mengerti. "Kalian berdua anak tunggal?"
Ale diam sebentar. "Iya."
"Kalau gitu, bisa aja kalian ngerasa kayak kakak-adik."
Ale menatap langkah Bas di hadapannya. "Dulu Kenan punya adik."
Bas menoleh. Alisnya terangkat. "Dulu?"
Ale mengangguk, menjajari langkah Bas. "Lo penasaran kan, kenapa gue mau ngelindungin Re?"
Bas mengerutkan kening. "Tunggu, tunggu. Apa hubungannya adik Kenan sama Re?"
"Hubungannya?" Ale mendengus kecil. "Gue nggak tahu. Tapi yang jelas hubungan mereka bikin hidup banyak orang jadi kacau."
"Kacau?"
Ale menghela napas, menatap Bas yang berjalan di sampingnya. Toh, laki-laki itu tidak akan mengumumkan apa-apa pada semesta.
"Namanya Kia." Ale akhirnya bercerita. "Kiala Amerta."
bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro