Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1| Kantor Polisi Jakarta Pusat

Waktu tidak pernah melambat di Jakarta. Dan Ale benci itu.

Kalau Jakarta adalah buku, Ale ingin cepat-cepat menulis kata "tamat". Kalau Jakarta sebuah film, Ale ingin buru-buru memutar credit scene. Yang mana saja, asal dia tidak perlu bangun pagi untuk menghadapi gedung-gedung raksasa, aroma debu di udara, dan berisik mesin kereta. Ale benci pekerja dan langkah tergesa-gesa mereka di jembatan penyeberangan. Ale benci bocah-bocah sekolahan dan segala gosip tidak penting yang mereka tukar di antrian gerai makanan. Ale benci pembangunan jalan dan arus kemacetan.

Tapi kadang dia berpikir mungkin itu bukan salah Jakarta. Kota ini hanya mendesak segala hal berlalu buru-buru, konstan, dan di luar kendali. Di sini waktu tidak pernah melambat, apalagi berhenti. Jakarta tidak pernah menanti.

Tidak seperti Ale yang sudah bosan duduk di lobi kantor polisi, high converse hitam putih kotor mengetuk lantai tidak sabar, dan bibir berdecak kesal. "Masih lama nih, Pak?"

Bunyi papan ketik yang ditumbuk jemari sekilas terhenti. Yang mengangkat wajah bukan hanya bapak-bapak usia tiga puluhan di balik komputer, setidaknya delapan murid lain dari sekolah antah berantah juga ikut melirik. Bocah-bocah tolol itu mungkin penasaran soal kehadiran satu-satunya perempuan di ruangan ini, meski sejak tadi sudah mencuri dengar percakapan Ale dengan petugas. Gadis itu harus bolak-balik menjelaskan kronologi dia berakhir di tengah-tengah bentrokan.

Dimulai dari pagi di mana Ale bangun seperti biasa, terlambat dua jam dari alarm yang sudah dia pasang. Itu pun gara-gara klakson mobil Mama berbunyi keras di teras, penanda Ale sudah ketinggalan tumpangan. Jadi Ale mandi, memakai seragam kelas sepuluhnya yang masih cukup-cukup saja meski roknya terlalu pendek, dan menyambar asal jaket yang terhampar di atas kasur. Ale masih sempat membeli susu kotak di minimarket dekat perumahan sebelum melanjutkan langkahnya ke sekolah.

Gerbang Bina Indonesia sudah tutup, jelas. Pak Satpam menghela napas begitu Ale muncul dan menggiringnya ke kantor Bu Lastri alias ruang BK. Kemudian dia diceramahi setengah jam sebelum diberi tiket pelanggaran (yang Ale buang ke tempat sampah terdekat bersama sampah susu kotaknya).

Dia bertemu Bu Lastri lagi siang harinya di perpustakaan, waktu membolos kelas Seni Budaya, dan guru BK itu mengingatkan perkara hukuman Ale (yang ternyata ada di tiket pelanggarannya tapi tidak dia baca). Ale harus membersihkan toilet siswi lantai empat sepulang sekolah. Masalahnya, lantai empat adalah lokasi studio tari dan Ale punya musuh bebuyutan yang biasanya menghabiskan waktu di sana. Jadi daripada mereka bertemu (Ale sedang tidak mood cakar-cakaran), dia kabur lewat gerbang belakang. Kemudian, secara ajaib, tentu saja jalur yang dia pilih adalah titik tawuran maut.

Dan begitulah bagaimana dia berakhir di sini.

"Saya mau pinjem HP saya bentar deh, Pak. Kasian Mama saya khawatir kalau enggak dikabarin sampe malem gini."

Bohong. Jelas. Seumur hidup Ale tidak pernah perlu memberi kabar Mama kalau wanita itu tidak bertanya. Tapi itu akan jadi alasan bagus untuk meminta balik ponselnya yang disita. Begitu Ale menggenggamnya, gadis itu bisa mematahkan lengan si petugas dan kabur lewat—

"Ibu kamu sebentar lagi datang. Tadi sudah kami hubungi."

Fuck.

"Mama saya bakal dateng ke sini?"

Kalau ada saat di mana Ale membutuhkan alasan-alasan klasik Mama muncul, ini adalah saatnya. Nggak bisa dateng, Al, ada kasus. Ada sidang. Mama ada meeting sama klien. Tapi sepertinya ini memang hari sial Ale, karena petugas itu hanya mengangguk mengiyakan.

Tidak ada yang lebih ironis dari bagaimana Mama menolak datang ke setiap pertemuan wali murid karena sibuk dan tiba-tiba memutuskan untuk jadi ibu yang bertanggung jawab persis waktu Ale ditahan di kantor polisi.

Ale spontan bangkit. Dia akan mencari cara lain untuk mengambil ponselnya nanti. Yang penting sekarang dia harus pergi. Sebelum Mama—

"Adinda Aletheia? Ibu kamu sudah di depan."

Double fuck.

"Kami sudah menjelaskan kalau ini semua cuma kesalahpahaman."

Kalau bisa tertawa, tentu Ale akan tertawa. Mana mungkin Mama peduli apa alasan Ale masuk kantor polisi? Menghubungi dan meminta wanita itu menjemput di hari kerja begini saja sudah sama dengan cari mati.

"Adinda—"

"Ya, Pak, saya nggak tuli." Ale menggertak. Gadis itu menyambar ransel dan memacu langkah keluar lobi. Otaknya sibuk berspekulasi sudah berapa menit Mama menunggu. Berapa lama batas kesabaran wanita itu. Bagaimana cara Ale bisa selamat dari—

"Ale, ya?

Ale berhenti. Yang terparkir di luar bukan mobil Mama, dan yang berdiri di samping pintunya juga jelas bukan Mama.

"Saya Angga, magang baru di firma. Tadi diminta Bu Nada untuk menjemput. Beliau masih lembur di kantor."

Tentu saja. Ale mendengus kepada dirinya sendiri. Apa yang dia harapkan?

Jelas Mama lebih memilih mengirim anak magang ingusan daripada menjemput putrinya sendiri dari kantor polisi, terlepas apa pun masalahnya. Ale harusnya sudah tahu. Ale harusnya tidak berekspektasi.

"Gue bisa pulang sendiri."

Ale tidak akan pulang.

"Tapi saya diminta Bu Nada—"

Ale sudah tidak mendengarnya, apa pun yang mau dikatakan. Gadis itu berbalik dan memacu langkah ke arah sebaliknya dari rumah. Temponya semakin cepat, seiring dengan semakin berisik suara di kepalanya.

Beliau masih lembur di kantor.

Mama selalu lembur. Mama selalu mengubur dirinya dalam tumpukan pekerjaan. Mama tidak butuh distraksi. Mama tidak butuh Ale dan segudang masalah yang muncul bersama keberadaan seorang anak perempuan.

Ale mempercepat langkah, pandangannya dipaku ke trotoar, matanya memanas. Satu kaki di depan satu kaki lainnya. Di kejauhan, gemuruh roda kereta menggilas rel terdengar. Jalan raya malam padat. Sesekali ada klakson. Protes lantang dari balik setir. Ale membiarkan bahunya ditabrak segerombol pemuda yang melintas. Tertawa-tawa. Bau alkohol. Lampu-lampu jalan terlalu terang.

"Ale!"

Lengannya ditangkap. Ale terkesiap. Gadis itu refleks menyentak lepas dan terhuyung dua langkah ke belakang.

Yang baru saja memanggil nama Ale berdiri di sana dengan wajah khawatir. Ada jaket di luar seragamnya. Laki-laki ini terlalu pintar untuk pamer atribut, dia tahu seisi kota sedang dalam hawa bahaya. Rambutnya setengah basah oleh keringat. Sepatu basketnya belum diganti. Kacamatanya berembun. Dia baru saja berlari sepanjang jalan mengejar Ale.

"Lo gapapa, kan?"

Ale berdeham. Membersihkan tenggorokan. Suara-suara di kepalanya mendadak diam. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.

"Gue kira lo bakal dijemput Tante Nada tadi."

Tentu dia mengira begitu, bahkan Ale mengira begitu. Gadis itu mendengus keras. "Lo kira dia peduli?"

Laki-laki itu mengangkat bahu hati-hati. "Mungkin Tante Nada lagi ada kerjaan?"

Omong kosong. "Dia nggak peduli."

"Mungkin ada kerjaan yang nggak bisa—"

"Nggak ada yang peduli!"

Ale benci lepas kendali. Tahu-tahu saja napasnya terengah. Jantungnya berdentum. Dia marah pada semua orang. Semua orang yang membuatnya merasa tidak berharga. Jakarta yang membuatnya merasa tidak berharga.

Laki-laki itu mengalah. Tanpa bicara apa-apa lagi, hanya tangannya yang diulur. Ransel di punggung Ale diraih dan diletakkan di pundaknya sendiri. Kemudian tangan yang lain merangkul bahu Ale, menarik gadis itu lebih dekat.

"Gue peduli."

Kalau Jakarta adalah buku, Ale ingin cepat-cepat menulis kata "tamat". Kalau Jakarta sebuah film, Ale ingin buru-buru memutar credit scene.

"Gue peduli, oke?"

Tapi mungkin Kenan Aditya adalah satu-satunya bagian dari Jakarta yang Ale ingin terus hidup.

"Berisik."

Jadi Ale hanya mendorongnya menjauh dengan satu tangan dan berjalan mendahului di trotoar. Sementara yang didorong, bisa Ale bayangkan, melengkungkan sedikit senyum di belakang.

"Galak."

Kenan Aditya.

Ale tidak pernah tahu harus mulai dari mana kalau harus bicara tentang laki-laki itu. Tujuh belas tahun lalu, mereka berdua lahir di dua rumah berseberangan. Tujuh belas tahun kemudian, di sini lah keduanya, berjalan bersisian di trotoar setelah hari panjang yang berantakan.

Kalau ada yang bertanya, mungkin Ale akan bilang Kenan sahabat seumur hidupnya.

Segala hal sekilas terasa baik-baik saja di dekat laki-laki itu. Suara-suara di kepala Ale bisa tiba-tiba menghilang. Ale tidak pernah kabur jauh-jauh, karena Kenan selalu ada di sana untuk mengantar langkahnya pulang.

"Lo mau nginep?"

Pertanyaan itu terlalu kasual. Ale menghabiskan waktunya berkelindan di sekitar Kenan, bersembunyi dari masalah-masalahnya.

"Enggak."

"Nggak apa-apa?"

Ale sering bilang Kenan punya sindrom pahlawan. Laki-laki itu bersikeras ingin menolong semua orang. Sayangnya Ale tidak pernah suka ditawari bantuan.

"Gue bilang enggak ya enggak."

Ketika akhirnya sampai dan Kenan menurunkan ransel Ale dari punggungnya, laki-laki itu masih sengaja memberi jeda. Tapi Ale keras kepala. Gadis itu tidak mudah berubah pikiran.

Jadi dia berbalik dan masuk ke rumahnya sendiri, kalau bangunan itu masih bisa disebut rumah. Lantai satu kosong. Dari jendela kamar Ale di lantai dua, gadis itu bisa menyaksikan lampu yang ikut menyala di jendela rumah seberang. Om Alan dan Tante Laras sepertinya juga belum pulang.

Ale menghela napas panjang, mendudukkan diri di lantai, di antara barang-barang yang berserakan. Kamarnya tidak pernah tertata rapi. Satu sisi dipenuhi buku-buku pelajaran bekas dihafalkan semalaman. Kemudian ada baju-baju yang belum dicuci. Palet eyeshadow berdebu. Headphone bass. Laptop. Kabel cas. Sepatu basah karena hujan. Bungkus makanan ringan. Piring kotor bekas makan kemarin malam.

Di dekat kakinya, sebuah cutter silver sepanjang tujuh sentimeter.

Ale refleks menendang benda itu ke bawah kasur. Sementara jemarinya merogoh saku, mencari distraksi.

Saat itulah gerakannya terhenti.

Triple fuck.

Ponsel Ale tertinggal di kantor polisi.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro