13 ☂️
Bantu Aku
Aku menghabiskan nasi goreng yang sebelumnya kami pesan. Si Alan bilang kalau tidak dihabiskan berarti aku tak menghormati Bibik Kantin yang sudah repot memasaknya. Juga sayang sama uangnya yang sudah dibayar buat beli nasi gorengnya.
Selesai makan nasi goreng. Kami pergi berdua ke atas atap sekolah. Bukan untuk bunuh diri bersama. Si Alan bilang dia hanya ingin cerita-cerita denganku. Entah apa yang ingin dia ceritakan padaku. Aku ikut saja, tadi 'kan dia sudah traktir aku nasi goreng.
Tapi bukan berarti kalau dia tidak tratir aku tidak mau ikut dengannya. Aku tetap akan ikut dan mendengarkan dia cerita-cerita.
Lagipula jika mendengarkan dia cerita-cerita. Aku bisa mendapat kesempatan untuk dekat dengannya, melihat wajah cakepnya, dan mendengar senandung suara indahnya. Membayangkan itu saja sudah sangat membuatku senang. Aku senang bisa bersama dengan Si Alan. Kalau bisa, ingin terus bersamanya sepanjang hari. Sayang sekali sekolah hanya setengah hari, itupun kami hanya bisa bersama disaat jam istirahat.
"Kamu mau cerita apa?" tanyaku pada Si Alan yang hanya diam saja setelah sampai di atap.
"Bantu aku mati. Kamu mau gak?" balas Si Alan, menatapku dengan senyuman tipisnya, senyuman yang menyakitkan.
Aku menggeleng pelan. "Aku gak mau kamu mati."
"Tapi aku harus mati."
"Kenapa harus?"
Mata Si Alan berkaca-kaca sebelum akhirnya buliran air mata menetes di pipinya. "Aku sudah gak kuat lagi. Rasanya semakin sakit."
Aku hanya bisa terdiam membisu. Menatap wajahnya yang kini sudah berlinang air mata. Mulutku berat untuk mengucapkan sesuatu. Ada sesuatu yang menahanku untuk berbicara padanya di saat seperti ini.
"A-Apanya yang sakit?" ucapku pelan dan terbata-bata. Suaraku terdengar serak menahan tangis yang akan tumpah juga.
Si Alan meraih tangan kananku. Lalu menepelkan tanganku pada dadanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berirama tak beraturan. Sangat cepat dan kacau.
"Di sini yang sakit," lirih Si Alan menatapku dengan tangis yang semakin menjadi. Tetesan air matanya berjatuhan membasahi tanganku yang menempel di dadanya.
Aku mendongak pada langit. Kali ini rintik hujan mulai berjatuhan dari atas langit bersamaan dengan air mata yang mengalir di ujung mataku. Aku tak sanggup menatap lebih lama pada Si Alan yang kini sudah terduduk lemas di hadapanku.
"Kumohon, bantu aku untuk mati!" teriak Si Alan memegangi tanganku.
Hujan semakin lebat, membasahi rambutku, baju seragamku dan sepatuku. Aku menarik pelan tanganku dari genggaman Si Alan. Setelahnya aku berlari dari sana. Meninggalkan dia sendirian di atas atap sekolah. Siswa-siswa lain menatap heran padaku yang kini berlarian dengan keadaan seragam yang basah kuyup.
Aku sangat takut pada Si Alan. Dia sepertinya serius dengan ucapannya. Aku tidak berniat membantunya untuk mati. Tapi melihat sorot matanya tadi, aku merasa sangat kasihan padanya.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Si Alan? Apakah dia gila? Aku pernah mendengar kabar yang bilang kalau seseorang sudah terlalu jenius, dia cenderung memiliki pikiran yang aneh atau bisa disebut gila.
Tapi Si Alan tidak terlihat gila bagiku. Dia hanya putus asa dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap hidupnya. Mati, hal yang kebanyakaan manusia di bumi ini sangat takuti. Justru sesuatu yang Si Alan itu inginkan.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro