Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[07] Gerakan Cepat

Qiosya sedang menarik tanganku. Langkah kakiku terayun cepat. Kalau dia ngajak ngebut dari awal, sejam ke depan aku bakalan ngesot di lantai nggak sanggup lagi berjalan.

”Kak, Kak!” tahanku pas kami baru tiba di pintu masuk Gramedia.

”Santai, ya.”

Qiosya setuju. Namun, anak itu tidak sadar waktu beberapa langkah yang dia ambil, kakinya melaju cepat. Giliran naik tangga, tangannya lepas dariku. Aku berpegangan pada besi di pinggiran tangga. Empat anak tangga langkahku terhenti. Mengambil napas yang terengah. Posisi Qiosya hampir mencapai ujung tangga sebelum berbelok.

”Ca, pelan-pelan,” peringat Fauzan yang sekarang berdiri di sebelahku.

Qiosya mengangguk. ”Oca tungggu Papa di atas. Bu Ana,” kata Qiosya sambil dadah-dadah dan tersenyum. Anak itu selalu tidak sabaran.

Aku melirik ke Fauzan. Aneh melihat bapak-bapak bawa tas makanan.

”Kemarikan. Aku saja yang bawa.”

”Nggak apa-apa. Minum, Na?” tanyanya malah menawarkan hal lain.

”Nggak haus. Siniin tasnya, itu punyaku.” Tas itu berisi kotak makananku serta sebotol Aqua.

”Biar aku yang bawa,” tolaknya keras kepala.

Aku tak ambil pusing. Lanjut jalan masih separuh tangga lagi. Astaga! Capeknya.

”Minum,” ucap Fauzan bukan lagi menawarkan. Botol minum itu sudah dia bukakan.

Ya sudah, aku meneguk beberapa teguk. Fauzan lantas memasukkan kembali ke dalam tas setelah aku bilang cukup.

”Satu tangga lagi, bisa?” tanyanya.

”Harus bisa.” Buku adanya di lantai dua. Andai gak perlu naik tangga. Belum lagi harus keliling. Astaga. Begini banget jadi jompo dini.

Fauzan mengulurkan sebelah tangannya. ”Ayo, aku bantu.”

Aku melirik tangannya.

”Bisa sendiri.”

Dengan susah payah akhirnya seluruh anak tangga itu dapat kutakhlukkan. Tapi aku butuh duduk. Sejauh mata memandang, tidak ada tempat duduk.

”Bu Ana. Di sana!” Kumpulan cerita anak-anak.

Aku pun mengikuti Qiosya ke rak buku tersebut.

”Minum,” pintaku kepada lelaki yang sejak melewati tangga cuma ngikutin di belakang.

Fauzan mengeluarkan botol seperti tadi.

”Oca di sana aja. Bilang Papa kalau mau ke bagian lain.”

Lorong ini sempit, nggak bisa numpang duduk. Badanku terasa remuk, butuh istirahat. Ya ampun, andai sama Bang Aki, sudah kupaksa cari tempat duduk dia.

”Di sana aja.” Fauzan menghela tanganku pelan ke bagian komik. Ada dua orang sedang duduk baca komik di sana.

”Qiosya?”

”Aman. Dia sedang berburu.”

Aku tidak peduli lagi kepada sekeliling, langsung mengistirahatkan diriku di lantai. Kaki bersila. Pengin selonjoran takut menghalangi orang lewat. Fauzan langsung pergi. Haha. Ya sebelas dua belaslah sama Bang Aki. Kalau lihat aku kayak gembel gini, pilih pura-pura nggak kenal. Namun, ternyata Fauzan kembali lengkap dengan tas kecil yang masih ditentengnya. Barangkali Fauzan habis memberitahukan posisi kami kepada Qiosya. Dia duduk di sebelahku.

”Bang Pau ngapain duduk di sini? Malu.”

Barusan aku memanggilnya apa? Dia juga bereaksi mendengar ucapanku.

”Bapak,” ralatku.

”Capek,” katanya. ”Roti, Na.” Fauzan ternyata memasukkan empat bungkus roti ke tasku.

”Punya Qiosya, nggak usah.”

”Buat Ana. Oca ada dalam tasnya sendiri.” Fauzan telah membukakan plastik roti itu. ”Nah.”

Jujur, aku memang lapar. Kayaknya makan nasi di sini akan diusir deh.

”Makan, Na.”

”Nanti dimarah.”

Fauzan justru tertawa. ”Lawan. Nggak takut.” Fauzan mendekatkan roti di tangan ke mulutku. ”Makan, Ana. Nanti perutnya sakit.”

Aku menoleh ke wajahnya. Secepatnya kutolehkan lagi bawah. Ah, mungkin Fauzan tahu dari Bang Aki.

”Ini boleh, Pa?” tanya Qiosya yang mendadak muncul dengan dua buku.

”Yang ini sudah ada, Ca. Sama dengan yang Papa belikan online.”

”Apa iya?” tanyanya ragu.

”Qiosya mau roti?” tawarku, nggak enak makan sendiri depan anak kecil.

”Nanti mau cari buku dulu. Bu Ana kalau sudah nggak capek temenin Oca, ya.” Setelah bilang begitu, anak itu kembali menghilang.

”Mana tasnya?” pintaku setelah menelan empat potong roti.

”Udah kenyang?” tanya Fauzan.

”Hm. Mau cari buku.” Aku menarik tas itu dari sebelah Fauzan dan menyimpan kembali sisa roti.

Akhirnya, aku menyusul Qiosya berburu buku. Anak itu kelihatan sangat senang memilih-milih yang ingin dia baca.

”Qiosya pintar udah bisa membaca.” Aku tahu Fauzan berdiri tak jauh dariku.

”Sering dibacain cerita. Belajar bacanya sejak belajar bicara, katanya mau jadi pinter.”

Aku yang mendengar merasa takjub dengan anak itu. ”Kamu yang ajarin?” tanyaku.

”Iya.” Fauzan memperhatikan ke mana Qiosya melangkah.

”Kamu guru buat anakmu sendiri. Biasa laki-laki memang jarang memilih karir jadi guru.”

Fauzan tergelak. Kayaknya mudah banget bikin bapak ini tertawa.

”Kalau aku suka berbisnis. Nggak nyambung ya sama ijazah.” Lagi-lagi Fauzan terkekeh.

”Iya, sayang ijazahnya.”

”Nggak juga, lebih sayang kamu.”

Aku berbalik. Fauzan cuma angkat alis ketika aku menatapnya dengan sebal.

”Kacau nih orang,” bisikku geleng-geleng.

”Kalau ini, Bu?” tanya Qiosya dengan sebuah buku lainnya.

Ketika aku dan Qiosya menunduk ke buku, di belakangku ada yang berdiri amat dekat. Selangkah saja aku mundur, pasti nabrak ke tubuhnya. Dan aku gak segila itu membiarkan dia nempel-nempel kayak cicak. Aku maju, menjauh dari orang yang sekarang tersenyum jahil. Dasar biawak!

***

”Dik. Dik. Astagfirullah, Dhakiy! Abang! Adik sakit, Bang.”

Suara teriakan Ama membangunkan tidurku. Saat membuka mata, wajah panik Ama ada di dekatku. Ama menepuk pipiku. Padahal kan aku sudah bangun.

”Dik. Adik, jangan tidur.”

Aku nggak tidur. Ingin duduk, tapi tubuhku berat sekali untuk digerakkan. Lemas.

”Apa, Ma? Ana kenapa?”

”Badannya panas sekali. Bawa ke dokter, Bang. Sekarang.”

Aku hanya menyimak kerusuhan itu dari balik kelopak mata. Lambat laun mataku mengajak tertidur lagi, memeluk mimpi yang tadi masih tanggung. Kepotong akibat teriakan Ama.

Pegawai rumah makan sedang menumpahkan seafood ke mejaku. Belum-belum aku sudah meneguk selera. Bang Aki hendak mencicipi lebih dulu. Tak kubiarkan dia menang. Aku memukul sumpit di tangannya sampai tercampak jauh entah ke mana. Bang Aki kelihatan sangat marah. Aku tidak peduli. Aku ingin memakan semuanya sendirian. Bang Aki tukang bayar saja.

Capitan sumpit di tanganku segera mengambil udang yang tiduran paling atas di atas kuah berbumbu. Aku langsung melahapnya. Tak cukup itu, aku menginginkan kerang. Aku mengambil kerang dengan jari lalu memasukkan ke mulut. Sudah lama tidak makan selezat ini. Bang Aki menjilat bibirnya melihatiku makan. Lalu dengan gilanya Bang Aki memungut segala yang dapat dia genggam dengan tangannya dan memasukkan ke mulut. Aku mau muntah melihat kelakuan anak sulungnya Pak Ihsan itu.

Aku membuka mata ketika merasakan perutku bergolak. Rasa asing yang tidak biasa namun kerap datang tanpa dipinta. Benda pertama yang kulihat saat bangun tidur adalah tabung infus. Tetes-tetes air dalam tabung itu terdengar seperti penghitung waktu. Kepalaku sedikit pusing. Perut nggak nyaman. Aku ingin memanggil Ama karena merasa haus. Tak ada seorang pun di ruangan ini. Aku sendirian. Pada ke mana sih? Apa nggak ada yang menemaniku? Pikiran itu membuat kedua mataku memanas.

”Oi, kenapa? Apanya yang sakit?” Bang Aki berjalan tergesa ke tempatku berbaring. Dia memegang tanganku yang bebas dari jarum.

”Pulang, Bang ”

Bang Aki duduk. Wajahnya yang mengguratkan kekhawatiran berangsur hilang. ”Maunya sih gitu, Na. Di sini nggak bisa rebahan. Sakit semua badan. Dingin. Makanya nggak boleh sakit. Nggak enak kan di rumah sakit.”

Aku mengangguk. ”Nanti Ana bagi mata cuminya untuk Bang Aki, tapi bawa Ana pulang. Ana mau di kamar Ana. Ana pusing.”

Bang Aki menekan ujung hidungku. ”Cengeng. Siapa suruh lupa minum obat? Kalau udah sakit, nangis.”

Aku baru ingat. Kemarin melupakan jadwal dua kali minum obat. Pantas malamnya perutku nggak enak, lalu aku sengaja tidur cepat.

”Tunggu, ya. Abang tanya dokternya dulu. Mereka yang tahu kamu boleh dibawa pulang atau belum.”

Aku menggeleng. ”Ama?”

”Ama Apa baru aja pulang. Tadi nungguin bangun lama banget.”

”Bang Aki di sini aja. Ana nggak mau sendirian.”

Bang Aki lantas garuk-garuk kepala. ”Ana!” geramnya. ”Kamu tuh kayak mau ditinggal ke mana. Abang cuma cari dokter. Ya Allah. Iya, iya Abang di sini. Udah, diam.” Bang Aki mengusap-usap kepalaku. ”Maaf. Maaf. Udah jangan nangis.”

”Bang, Ana mau makan seafood tumpah.”

”Hm.” Tangan Bang Aki masih mengusap kepalaku di luar jilbab.

”Cumi dan udang. Bang Aki bagian makan kumis udangnya sama jagung boleh deh.”

”Hm. Kalau udah sehat, Abang traktir seafood. Beli cumi di pasar nanti dimasakin Ama.”

Rasa senangku langsung surut. Bukan itu yang kuinginkan.

”Yang ditumpahin ke meja.”

”Hm. Iya. Abang juga suka. Kamu temanin Abang makan, ya.”

”Ana juga mau.”

Bang Aki menekan hidungku sekali lagi. ”Mimpi aja, Na.”

Sorenya aku sudah bisa tidur di kamarku. Terbangun dari tidur karena ingin buang air kecil.

”Kapan, Ma?”

Suara Bang Aki berbicara dengan Ama kedengaran sampai ke balik pintu kamar ini.

”Sebelum kamu pulang. Kamu tidak menjawab teleponnya. Bawa HP ke rumah sakit kan?”

Mereka sedang membahas apa?

”Bawa. Nggak cek HP.”

”Kamu nih. Nggak boleh begitu. Kamu punya adik, kalau Adik diperlakukan seperti itu jadi salah kamu. Baik-baiklah kepada Ellya.”

”Iya iya, Ma.”

”Cepat minta maaf. Nggak boleh bikin anak orang sedih. Ama tidak mengajarkan Abang begitu kepada wanita. Baru bertengkar sedikit sudah bikin anak orang kalang-kabut mencarimu. Abang kalau tidak serius, lebih baik nggak usah umbar janji apa-apa.”

”Iya, Ma. Iya.”

”Yang iya ini apa?”

”Baik-baik sama Ellya. Tapi ... Abang nggak jahat, Ma.”

”Kamu botak paginya kalau Ama dengar Ellya nangis lagi karena Abang.”

Wah, ide bagus. Bang Aki rambutnya itu ganggu banget di mata.

”Bang,” panggil Ama yang suaranya memelan. Agaknya ada hal penting jadi aku penasaran. Aku mendekatkan telinga ke pintu.

”Ama setuju dengan Ellya. Dia baik. Cantik. Keluarganya Ama Apa sudah kenal baik. Mandiri. Nggak perlu lama-lama, Ellya juga sudah cukup umurnya. Segerakan, Bang.”

Tak ada tanggapan dari Bang Aki. Boleh buka pintu gak sih buat lihat muka Bang Aki?

”Mau nunggu Ana?”

Deg. Kayak ada yang menendang di jantungku.

”Boleh Abang duluan kenapa harus menunggu Ana? Abang masih bisa menjaga Adik setelah menikah.”

”Ama, sabar. Aki dan Ellya baru aja jadian. Mau pacaran dulu. Kecepatan bahas beginian, Ma.”

”Kamu ini! Kalau kamu menikah, adikmu bisa mandiri.”

”Mandiri? Haha. Ama lucu. Mana bisa.”

Aku kembali ke tempat tidur. Kali ini kututup telinga dengan bantal. Menyesal nguping obrolan mereka. Mengalihkan pikiran dari pembicaraan ibu anak itu, aku mengecek ponsel yang sudah kuabaikan sejak semalam. Ada banyak pesan di grup sekolah dan grup kelas. Grup kelas mengucapkan semoga aku kelas sehat dan dapat mengajar lagi. Grup sekolah, entahlah, kadang penting kadang tidak. Jemariku segera membuka pesan yang dikirimkan oleh nomor baru. Padahal aku masih hafal nomor itu sampai sekarang. Fauzan.

+62811223344**
Anabiya. Masih simpan nomorku?
Fauzan, Na.

Nggak sengaja masih disimpan. Tersimpan baik dalam kepala.

+62811223344**
Ana sudah di rumah?

+62811223344**
Maafkan Abang kemarin membuat Ana kecapean.
Bagaimana keadaanmu sekarang, Dik?

Pesan-pesan itu dikirim beberapa jam lalu. Padahal, nggak dibalas, kenapa terus mengirimkan pesan?

+62811223344**
Istirahatlah, Na.

Pesan itu baru saja masuk. Tapi, aku bagai mimpi mendengar suaranya di sini.

”Alhamdulillah. Mungkin kemarin karena kecapaian. Maaf, Buk. Da Aki.”

Itu beneran suaranya Fauzan. Gila. Ngapain dia ke sini lagi? Rajin sekali.

”Gak perlu minta maaflah. Udah baik-baik aja anaknya dan akan baik-baik kalau dia gak melupakan obatnya.”

”Fauzan namanya? Papanya Qiosya ndak a?” Tanggapan Ama kedengaran seperti interogasi gak suka.

”Minta maaf apa untuk Ana? Fauzan ini teman dekat Ana?”

Terdengar suara tawa Bang Aki. ”Ma. Abang kemarin yang izinkan Ana diajak jalan-jalan Fauzan sama Qiosya. Kalau marah, Ama marahnya ke Abang. Itu Fauzan nanti nggak mau ke sini lagi Ama lihatin begitu.”

”Dhakiy! Mana pikiranmu? Di rumah saja tak Ama kasih Ana kerja. Ini kamu malah izinkan Ana pergi entah apa yang dia lakukan sampai kelelahan begitu.”

”Ma.”

”Kalau kamu bosan sudah tidak bersedia lagi diajak adikmu keluar, bilang ke Ama. Ama temani. Jangan malah biarkan Ana pergi dengan orang yang tidak paham kondisinya. Begini jadinya.”

Aku hanya bisa tertawa miris. Wow! Kenapa semua orang mengatakan aku nggak bisa ini dan nggak boleh itu? Jadi, menurut Bang Aki aku tidak akan pernah mandiri? Itu makanya dulu saat aku sakit ketika mencoba hidup sendiri, dia sangat marah. Bukan karena aku malas masak dan malas bersih-bersih, Ama biarin aku tidak mengerjakan semuanya karena memang tidak dizinkan kerja. Pantas mereka nggak pernah biarkan aku mencoba berangkat sendiri, nggak bertanya apa aku sudah bisa bawa kendaraan sendiri, dan rela antar-jemput di tengah pekerjaan mereka.

”Maafkan Fauzan, Buk. Saya tidak akan mengulangi lagi. Insya Allah saya juga akan menjaga Ana.”

Hah?

***

Bersambung ....

3 April 2023

Sampai di sini, kalian bisa nangkep nggak sih Ana dibentuk oleh keluarga yang gimana? 😅 agak susah dijelasinnya. Jadi, Ana the real tuan putri di lapak Kasev. 😂 Sebelum sakit aja udah dijaga bener-bener walau sempat kabur ke Jakarta. Apalagi pas udah sakit. Sekian cuapannya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro