Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[04] Dikasih Senyum

Fauzan Alfajar itu memang semakin ganteng. Namun, Rizky Nazar bukan idolaku lagi, walau nggak  pernah menggeser layar ketika dia muncul di Reels. Artinya aku tidak langsung suka kepada Fauzan kayak dulu. Melihat Fauzan tidaklah sesenang dulu. Perasaanku biasa saja. Alih-alih suka aku malahan kesal, sebal, marah, dan pokoknya nggak suka aja.

Reaksi Fauzan waktu aku berlagak memberinya tinju cuma tersenyum. Itu maksudnya dia senyumin aku kan? Biadab emang suami orang. Dia muncul tanpa rasa bersalah. Kabar baiknya tadi malam aku nggak sampai begadang mengingat pertemuan kembali di toko roti.

Tahun-tahun kepergian Fauzan aku selalu diingatkan akan dirinya. Aku akhirnya pilih menyibukkan diri dengan organisasi dan kegiatan sosial. Melupakan sosok yang udah nempel begitu lengket di otak tidak semudah membalikkan tangan. Butuh usaha yang gigih. Hingga sampailah aku pada satu keputusan. Aku ingin hidup sendirian menikmati kebebasan. Takkan pernah membuat komitmen apa pun lagi dengan orang yang baru. Dari sana aku semakin mantap untuk menjemput kebebasanku. Fauzan tidak lagi muncul dalam ingatanku.

Karena masuk organisasi, aku memiliki relasi. Setamat kuliah, Safira menawarkanku posisi untuk mengajar di sebuah SD negeri di Jakarta. Harusnya itu milik Safira. Ternyata setelah berniat akan merantau, Safira malah menerima lamaran yang datang. Dia nggak jadi ambil posisi itu. Aku yang pergi.

Nggak mudah mendapatkan izin kedua orang tua ditambah perizinan sulit dari Bang Aki. Entah maunya apa semua orang hingga aku tidak dibolehkan kerja jauh. Aku pergi tanpa mengantongi restu. Ibarat kalian nggak direstuin oleh orang tua, tetap menikah, lama-lama restu itu turun juga kan. Pakai cara itu aku habiskan lima tahunku di Jakarta. Setahun terakhir aku harus mendapatkan balasannya.

Hidup bebas yang aku inginkan benar-benar tercapai. Bangun tidur mepet jam masuk, mandi kilat asalkan tidak telat. Makan sembarangan asalkan kenyang, bahkan nggak jarang menahan lapar karena kebanyakan mager nonton series Indonesia. Pulang sekolah nongkrong sendirian minum kopi biar nggak ngantuk untuk begadang malamnya. Berteman dengan semua orang sampai satpam di pengkolan juga aku deketin. Biar kontrakanku dijagain. Masih ada rasa takut tinggal sendirian sebagai anak gadis baik-baik.

Hingga suatu hari aku terkapar di lantai. Kalau bukan satpam yang ngetuk pintu membawa pesanan ketoprak milikku, aku mungkin menjadi penghuni sebuah makam. Beruntung aku mendapat pertolongan pertama. Nggak ada ceritanya merahasiakan keadaanku. Saat itu, aku telepon orang rumah. Merekalah yang mampu mengurusku yang untuk buang air kecil saja harus dibantu setelah menghabiskan dua malam di rumah sakit.

Sebulan lamanya Ama di kontrakan mengurusku. Bang Aki dan Apa mengantar Ama dan hanya tinggal beberapa hari. Selama ada Bang Aki yang ada aku diomelin setiap waktu.

”Kapok nggak? Ngeyel dibilangin orang tua. Apa gunanya pergi jauh-jauh kalau di tempat yang dekat juga bisa cari duit. Di pelosok negeri sana banyak juga SD. Apa yang kamu cari ke sini?” Salah satu omelan Bang Aki dan banyak yang lebih panjang dari itu.

Ama membujukku untuk pulang. Aku tetap nggak mau. Udah nyaman dengan teman kerja. Sampailah pendaftaran ujian P3K tahap 3. Ama memaksaku memilih sekolah di Padang. Menimbang keadaan, aku pun menyerah. Aku tetap tinggal setahun lamanya menunggu SK di sekolah yang baru terbit.

Bang Aki diberi mandat sebagai pengasuhku. Aku nggak melebihkan, dia memang seperti seorang baby sitter. Siapa yang buatkan aku makan kalau bukan Bang Aki? Siapa yang gendong aku ke kamar mandi kalau bukan Bang Aki? Siapa yang antar jemput bekerja kalau bukan Bang Aki? Dan siapa yang pergi belanja kalau bukan dia? Siapa yang membujukku minum obat kalau manjaku kumat? Menangis tanpa suara, siapa yang menghibur kalau bukan dia.

Perasaanku selama sakit dulu sangat bervariasi. Sudah mirip orang mau mati Magrib dan ingat akan dosa-dosanya. Sedih terus padahal nggak mikirin apa-apa. Hanya karena susah sisir rambut karena tanganku lemas, pecah sudah tangisanku. Bang Aki yang akhirnya sisirin rambutku. Dan segala kebutuhanku dipenuhi oleh Bang Aki. Di sanalah Bang Aki bekerja sambil ngomel-ngomel.

Harusnya suami kamu yang melakukan ini semua, Dik. Cuci baju dan pakaian dalam, masa kamu suruh Abang? Kalau kamu sehat, kamu yang sepatutnya cuciin Abang.” Dhakiy memberikan kuliah setiap tangannya lagi sibuk kerja.

”Melamun aja.”

Aku mendapati Ama duduk di sebelahku. Pagi ini aku bangun cepat dan sudah mandi sebelum merenung di meja makan. Makin tua usiaku, malah semakin merepotkan keluargaku. Aku memeluk Ama erat. Aku nggak tahu apa hubungan pikiran, lambung, dan saraf air mata. Tiap aku lagi mikirin apa aja yang salah dalam hidupku, maka aku langsung sedih sampai yang melihat aku nangis menepuk punggungku sambil tertawa. Nggak Apa, Ama, Bang Aki, juga Milly. Nggak jarang aku seperti ingin muntah dan perasaanku kacau saat itu juga. Ujung-ujungnya menangis di pojokan biar nggak diketawain.

”Ana mau makan baby cumi. Pakai cabe hijau, bawang, pasti enak.”

”Enak, Na. Yang makan biar Ama, kamu amati saja, ya.”

Ama tertawa setelah melemparkanku pada kebenaran yang harus dihadapi.

”Oh ya, Dik. Kemarin di pestanya Zaskia, Ama bertemu Tante Irma.” Ama cerita sambil membasuh baby cumi di keran. Beneran mau goreng itu, tapi pasti khusus untukku nggak dikasih pedas.

”Katanya kalian ngobrol. Kamu masih ingat Irga nggak, Dik?”

”Dia kan di Jakarta juga. Kalian nggak pernah ketemu?”

Aku saja baru tahu hal itu sekarang. ”Nggak tahu, Ma. Ana mana ada ketemu kenalan Ana di sana. Kan Ana hidup bagai terlahir dari bayi lagi, kenalan sama orang baru semua.”

”Sayang, ya, Dik.”

Aku mengernyit. Ngomong kalau nggak sepotong-sepotong kenapa? Ternyata Ama memasukkan cumi ke minyak goreng, bikin berisik.

Ama duduk lagi di tempat tadi. ”Kata Tante Irma, Irga  pulang akhir tahun ini. Ini Ama mau tanya Adik, gimana dengan Irga? Apa Adik mau mempertimbangkan untuk menikah dengan Irga?”

”Gimana, Ma?”

Wah, apa yang sudah diperbuat Tante Irma kepada ibuku?

”Irga sama dengan kamu, Dik. Yang dipikirkan pekerjaan terus. Belum ada jodohnya sampai sekarang. Tante Irma bahas kamu dikit-dikit, eh Irga mau serius dengan Adik kalau Adik juga mau.”

Kalau sudah membahas pernikahan, sudah nggak menyenangkan sama sekali.

”Ana nggak, Ma. Ana belum kepengin menikah ... cepat-cepat.” Kalau mengakui nggak mau menikah selamanya, Ama mungkin akan jantungan. Itu akibat pertama. Parahnya aku dibuang ke Bangladesh. Di sana siapa yang memberiku makan? Mana obatku made in Indonesia semua.

”Cepat apanya? Kamu udah mau dua lapan bukan delapan belas.”

”Ana mau cari uang yang banyak buat liburan.”

Ama mencubit hidungku, ”Cepat sehat dan kuat, Ama akan izinkan kamu liburan ke mana saja asal ada mahrom yang menemani.” Ama berdiri untuk mengangkat cumi yang gosong.

Kami batuk karena asapnya. Anak-anak cumi hangus itu berakhir di tempat sampah. Ama menggoreng yang baru dengan minyak jernih.

”Bang Aki kan bisa, Ma. Pasti mau. Ana bayarin transport dan makan tiga kali sehari.”

Ama tampaknya masih belum bosan membahas ini. Begitu api dimatikan dan isi wajan dipindah ke piring, Ama membawa piring itu ke depanku.

”Eh, Na, anaknya teman Ama yang lebaran tahun lalu ke sini. Kamu ingat orangnya? Masih single, Na. Mau Ama tanyakan ibunya?”

Pura-pura bodoh aja. ”Nanya apa, Ma? Mau jadiin supir kalau Bang Aki bosan antar-jemput Ana?”

”Nah, itu kamu mau kan artinya?”

”Ama yang bayar bulanan? Bukan potong gaji Ana?”

Ama malah menepuk meja, ”Hei! Mana ada pakai bayar. Suami, Na, bayarnya pakai pengabdian. Melayani suami ikhlas lahir dan batin.”

”Ana makan, ya. Ama belum bikin sambal untuk cuminya.”

Walau sambil berdecak, Ama bergerak ke kulkas. Mendapatkan cabai hijau serta bawang, lalu mulai bekerja. Aku tak memperhatikan lagi. Seru makan sambil melihat postingan terbaru Milly tentang toko roti gandum yang kemarin. Oh iya, Milly ini dalam video Instagram-nya selalu pake bahasa Minang. Sudah cantik cinta daerah. Entah kenapa dia belum mendapatkan pria yang cocok hingga menemaniku mengarungi kehidupan jomlo sampai sekarang.

”Milly kesibukannya apa, Dik?”

Rupanya ada yang mengintip. Ama masih melongok ke ponselku tanpa rasa malu.

”Endors sih, Ma. Milly nggak suka kerjaan kantoran. Selain itu, sebenarnya Milly punya toko pakaian dan sepatu, tapi cuma dikontrol dari jauh, sekali-sekali dilihat kalau nggak ada jadwal endorsan. Sibuk sekali orang itu.”

”Jangan terlalu sibuk bekerja. Ingat juga berkeluarga. Ama lihat kalian ini sama-sama santai masalah rumah tangga. Perlu Ama ingatkan lagi usia kalian hm?”

”Ya masak Ana lupa umur, Ma? Nggak mungkin,” jawabku sambil mencari alasan yang bisa diterima, ”Pasti akan datang sendiri si jodoh kalau sudah waktunya, Ma.”

”Ikhtiar juga, bukan hanya menunggu. Ini Ama bantu mencarikan nan katuju di Adiak.”  (yang sesuai dengan keinginan Adik).

”Iyo iyo, Ma.”  Iyakan biar selesai.

”Abang Milly, siapa namanya, Dik? Millo ndak a?” (Millo kan?)

Aku mengangguk. Masa nama mereka dilupakan? Tidak kembar, tetapi nama mereka seperti pasangan kembar botak dari jiran sebelah. Millo Milly.

”Dia baik ndak, Dik? Mau tidak, ya, dia dengan anak Ama?”

Lah! Melenceng sudah pagi-pagi pikiran ibunda tercintaku. Kenapa jadi kebelet pengen mantu gini? Apa mungkin karena dipanas-panasi oknum saat pesta Zaskia? Hiii. Beruntung Apa dan Bang Aki ikut gabung untuk sarapan. Cerita bergulir ke hal lainnya secara random.

Waktu diantar sekolah, Bang Aki ikutan turun. Mau apa lagi ini bapak-bapak? Enak sekali jadi Bang Aki kerjaannya santai, masuk kapan saja terserah. Like father like son. Beda nih dengan anak perempuan. Eh ada untungnya juga untukku. Mereka bisa antar dan jemput aku ke mana saja dan kapan saja.

”Ana! Kemarin di kelas satu heboh, ya? Sekarang sudah sehat, Na?” Pertanyaan pertama dari Kak Fifi yang mengapaku ketika kami akan melangkah ke gedung kantor.

Cepat-cepat aku mengalihkan karena masih ada Bang Aki di sini. ”Udah, Kak Fi. Yah itu lumrah di hari pertama mereka sekolah.” Aku segera mengambil tangan Bang Aki untuk salim dan mendorong lelaki sulung Ama ke dalam mobil. ”Assalamualaikum, Abang Terbaik! Hati-hati nyetir. Jemput seperti biasa aja, Bang.”

”Oh iya maaf, Na. Kakak lupa. Hampir ketahuan.” Nah akhirnya Kak Fifi paham. ”Jangan terlalu banyak pikiran, Na. Lepas semua, keluarkan. Jangan disimpan. Itu yang menjadi sumber penyakit ke lambungmu.”

”Hm. Ana padahal nggak mikirin apa-apa, Kak.”

Kak Fifi cuman senyum manis dan mengizinkanku menggandeng lengannya.

”Mau tukar kelas kita, Na?” tawarnya. Kak Fifi adalah guru kelas empat.

Tawaran yang menarik. ”Nggak usah, Kak. Ana bisa meng-handle.”

”Bu Ana!”

Teriakan itu berasal dari belakangku. Dari gerbang seorang anak perempuan dengan kuncir kuda berlari-lari. Ranselnya ikutan ke kanan dan ke kini. Ternyata ketika berdiri bersisian, ada rentang lebih dari dua senti antara aku dan Qiosya. Aku yang 148 cm dan Qiosya mungkin 140 cm. Cukup tinggi untuk anak seusia dia.

”Hore! Bu Ana sekolah!” Qiosya bertepuk tangan. ”Kita nanti udah belajar kan, Bu?”

Ck. Semangat sekali anaknya Fauzan ini. Aku melihat ke arah bapak anak ini. Ternyata Fauzan masih berdiri di luar mobilnya. Melihati ke arah kami. Jangan bilang dia takut aku akan meninju muka anaknya juga.

”Iya, Kak, kita belajar.”

”Senang sekolah SD, Qiosya?” tanya Kak Fifi setelah melihat name tag di dada Qiosya.

”Senang sekali! Sekolah SD seru!” katanya dengan wajah berbinar.

Anak manis itu membuktikan semangat belajarnya di depan kelas. Hingga tak terasa jam pelajaran kelas satu berakhir. Aku menunggu Bang Aki di kantor.

Lagi khusyuk makan, Pak Edo, satpam sekolah muncul di kantor. ”Bu Ana sudah datang jemputannya. Sudah dari tadi.” Pak Edo dengan senyumannya segera keluar lagi dan tinggallah aku dengan perasaan kesal.

”Nggak WA nih orang. Pasti lagi nyangkut di mana. Kalau nggak Pita, Ersa.” Satu guru PAI satunya tukang jaga perpustakaan. Kadang bukan cuman mereka saja yang diajak ngobrol Bang Aki, semua guru. Sudah jadi bestie semua teman-temanku di sekolah ini.

Menyudahi makan, aku menyimpan seluruh peralatan ke dalam tas. Tas kecil kugendong, tas nasi kutenteng. Aku siap pulang.

Mataku menangkap kriwil-kriwilannya Bang Aki di bawah pohon akasia. Duduk berdua dengan seorang laki-laki. Mengedarkan pandangan ke seisi halaman sekolah, anak SD yang harusnya udah pulang dari tadi lagi main sendirian di tanah. Nampaknya sedang menulis-nulis sesuatu sambil menunggu bapaknya mojok dengan bujangan.

”Orang nungguin dari tadi!” Tanpa melirik orang di sebelah Bang Aki, kupukul punggung kakak lelakiku itu.

Bang Aki teriak ’Aw’ dengan superlebay sambil mengusap bekas kekerasanku.

”Abang kira kamu ada urusan lain.”

Posisi mereka yang membelakangiku kini sah menghadapku. Termasuk Fauzan. Iya, bapaknya Qiosya itu bahkan memperhatikan kami dengan senyum. Kemarin aja tuh orang pura-pura nggak kenal, tidak ada teguran sama sekali. Cuman senyum seperti ini waktu aku tegur pake kepalan tinju.

”Ayo.” Aku sudah memegang tangan Bang Aki untuk ditarik, suara lelaki di sebelahnya bikin kami menoleh.

”Pakabar, Na?”

”Kabar baik.” Aku makin kesal karena Bang Aki malah menatapku dengan pandangan rumit, eh marah.

”Ayo, jujur.” Bang Aki menatapku kayak yang mau melemparku ke kandang anaconda.

”Perasaanku jadi nggak enak,” ungkapku jujur.

”Oca Cantik, Ocantik! Sini, Ca!” Tangan Bang Aki melambai ke Qiosya.

Oca? Qiosya berlari.

”Gimana sekolahnya kemarin?”

Qiosya menoleh kepadaku. ”Tadinya Bu Guru bilang mau kenalan satu-satu murid. Trus nggak jadi. Bu Ana-nya jatuh dari kursi. Untung Bu Ana katanya nggak amnesia, Om.”

Muka Bang Aki juga kelihatan kesal sama Qiosya. Perihal 'om' sih pastinya. Tak lama, Bang Aki melipat tangan di dada menatapku.

”Jatuh, Na?”

”Pingsan bu gurunya, Om. Digotong Pak Andi!” kata Qiosya semangat menjelaskan apa yang dia saksikan kemarin.

Kayaknya anak kelas satu ceritain topik ini ke orang tua maupun tetangga tentang hari pertama mereka sekolah. Aku menunduk saja. Mau injek kakinya Qiosya takut dijewer bapaknya. Lebih tepatnya takut aku menjewer dia balik. Gimanapun ini sekolahan tempatku kerja.

Fauzan udah berhenti senyum. Berhasil, Pak, kamu ngajarin anakmu bercerita. Lancar sekali itu beritanya keluar dari bibir Qiosya.

”Lain kali lapor Abang. Para guru pada ngapain semua nggak ada yang wasap Abang!” Bang Aki merangkul bahuku berjalan ke mobil. Alhamdulillah, Bang Aki nggak sampai ngamuk banting aku.

Aku melambaikan tangan ke Qiosya pamit. Eh, yang tersenyum malah bapaknya.

***


Bersambung...
30 Maret 2023

Lancar kan puasanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro