EXTRA | MAKE IT WORKS
Je baru saja menghentikan mobilnya di parkir basement gedung tempat apartemen mereka berada ketika Raya tiba-tiba saja berdehem. Tanpa perlu bertanya, Je tau apa artinya itu. Raya ingin membicarakan sesuatu dengannya sebelum mereka naik ke atas. Tangan cowok itu langsung bergerak mematikan pemutar musik yang sedari tadi mengalunkan serentetan ballad Sinatra sebelum kepalanya tertoleh, menatap pada gadis berambut hitam yang tak diragukan lagi merupakan salah satu dari sedikit perempuan di dunia ini yang dia cintai setengah mati.
"Kenapa?"
"Sebelum gue ngomong, tolong janji lo nggak bakal marah."
"Kalau lo ngomongnya begitu, kayaknya apa yang bakal lo kasih tau ke gue bakal bikin gue marah." Je menarik napas panjang, namun dia kembali meneruskan. "But you don't have to worry. Just go ahead. Lagian, setelah semuanya, gue rasa gue udah nggak bisa lagi marah sama lo."
"Lusa, gue harus pergi ke Hongkong."
Je langsung melotot. "What the hell, Raya?!"
"Tuh kan." Raya berkata sambil meniup pelan sejumput rambut yang jatuh di dahinya. "Gue baru ngomong satu kalimat aja reaksi lo udah menyeramkan begitu."
"Gue serius."
"Gue juga serius." Raya tidak mau kalah. "Urusan mendadak. Harusnya bukan gue yang cabut. Tapi berhubung yang harusnya berangkat nggak bisa berangkat karena ada keperluan keluarga, jadi gue yang ditunjuk."
"Oh hell, emang divisi lo kekurangan orang atau gimana? Bukannya banyak yang lebih senior daripada lo?"
"Kebanyakan kandidat potensial udah pada punya agenda sendiri."
"Lo juga udah punya agenda sendiri." Je menyela dengan nada tegas. "You'll marry me in ten days. Itu agenda yang menurut gue sangat-sangat penting. Atau menurut lo, itu udah nggak penting lagi?"
"Kan masih sepuluh hari lagi, Je."
"Kita itu bakal nikah, Raya. Ni-kah. Bukan main rumah-rumahan atau janjian main monopoli. Lo bisa serius dikit nggak, sih?"
Raya tidak tau kenapa, tapi nada bicara Je membuatnya kesal. "Lo bicara seolah-olah lo adalah satu-satunya pihak yang direpotkan dengan semua tetek-bengek acara yang rangkaiannya kepanjangan itu. For your information, Mr. Mahardika, sebagian besar dari persiapan itu diberesin oleh gue dan Hana. Bukan lo."
"Raya, gue nggak mau berantem."
"Gue juga." Raya membalas tidak kalah cepat. "I don't care. I'm still going."
"Kalau gue larang?"
"You have no right to. At least not until I become your wife."
Je mencengkeram roda kemudi. "Raya Alviena,"
"Whatever, Je. Gue capek."
Raya tau dia tidak seharusnya bersikap seperti itu pada Je ketika memang sudah sepantasnya cowok itu yang justru merasa marah. Hari besar mereka akan dilangsungkan sepuluh hari mendatang, dan disinilah dia, meminta Je memaklumi dan membiarkannya pergi ke luar negeri demi sebuah urusan yang mengatas namakan pekerjaan. Cowok normal mana pun pasti akan merasa kesal, dan mungkin bakal melakukan tindakan fisik seperti menahan Raya untuk tetap berada dalam mobil hingga mereka selesai bicara, tetapi tentu saja, Je bukan tipe orang seperti itu. Je membiarkan Raya keluar dari mobil, walau Raya bisa melihat jelas bagaimana kuatnya genggaman kedua tangan Je pada roda kemudi hingga buku-buku jarinya memutih.
Mereka berjalan melintasi basement dan masuk ke koridor dalam diam. Koridor sepi, mungkin karena sekarang akhir pekan. Masih tidak ada kata yang terlontar saat keduanya berada dalam lift. Raya benci situasi semacam itu, tapi dia khawatir kata-katanya hanya akan memicu pertengkaran. Je tidak menyetir selama dua setengah jam dari Bandung ke Jakarta hanya untuk cekcok dengannya. Seperti punya pikiran yang sama, Je juga membisu. Matanya menatap lurus nyaris tanpa ekspresi pada bayangan Raya yang terpantul di cermin yang melekat pada dinding lift.
Kesunyian terus menyertai hingga mereka berdua tiba di unit apartemen mereka. Raya memilih langsung masuk ke kamarnya untuk membasuh tubuhnya yang lelah dengan satu sesi mandi air panas, sementara Je pergi ke balkon. Sepanjang berada di dalam kamar mandi, Raya tenggelam oleh lamunannya sendiri. Separuh dirinya berkata jika dia sudah keterlaluan pada Je dan menganggap responnya yang wajar itu sebagai sesuatu yang tidak beralasan. Separuh dirinya yang lain menegaskan jika urusan pekerjaan, bagaimana pun juga adalah urusan yang sangat penting dan tidak seharusnya dinomorduakan, terutama dalam situasi yang tidak darurat seperti sekarang.
Pernikahannya sepuluh hari lagi. Sepuluh hari lagi. Raya bisa saja berangkat ke luar negeri lusa, kemudian kembali dengan penerbangan paling akhir keesokan harinya atau penerbangan pertama pada hari berikutnya dan dia akan kembali berada di Jakarta beberapa hari sebelum acara besar mereka dilangsungkan. Tidak ada yang perlu dikorbankan, kalau saja Je mau berpikir terbuka dan tak keburu berasumsi kalau Raya tidak menganggap hari bahagia mereka sebagai momen yang penting.
Raya pasti berada agak sedikit terlalu lama di bawah guyuan air dari shower karena begitu dia tersadar, kesepuluh jari-jarinya telah memutih dan keriput. Gadis itu menghela napas panjang seraya meraih bathrobe yang tersangkut pada gantungan baja, lantas menyempatkan diri mengeringkan rambutnya yang basah dengan hairdryer sebelum berjalan keluar dari kamar mandi. Je masih belum masuk ke kamar dan itu membuat Raya langsung mengerti kalau dia memang harus meminta maaf.
Je bukan tipe orang yang mudah marah, bahkan meski Raya melakukan sesuatu yang tidak dia sukai sekali pun. Cowok itu memang pernah beberapa kali ngambek atau menolak bicara, terutama kalau tiba-tiba saja Raya membatalkan janji makan malam mereka atau langsung tidur tanpa mengatakan apa-apa begitu keduanya tiba di apartemen, tapi Je tidak pernah mengabaikan Raya atau alpa mengetuk pintu saat dia khawatir karena Raya menghabiskan waktu terlalu lama di dalam kamar mandi. Sepertinya Je benar-benar tersinggung dan kesal karena pembicaraan mereka di basement tadi.
Sesuai dugaan Raya, Je masih berada di balkon. Cowok itu membelakangi pintu, berdiri tepat di depan pagar balkon dan menatap pada pemandangan malam Kota Jakarta yang gemerlap oleh nyala titik-titik lampu beraneka warna. Angin malam mengacak rambutnya, membuatnya jadi terlihat seperti sebentuk karya sureal yang hanya bisa Raya lihat dalam gambar-gambar pada situs estetik di internet. Sebatang rokok yang ujungnya menyala terjepit diantara jemari tangan kanannya.
"Mau sampai kapan di situ terus?"
Je tidak menoleh. "Gue lagi nggak butuh partner merokok."
"Bagus, karena gue juga lagi nggak berminat menemani lo merokok."
"Tidur aja." Je membalas dingin. "Tadi lo bilang lo capek."
"Gue emang cape, tapi gue nggak bakal bisa tidur kalau lo terus-terusan marah kayak gini sama gue." Raya membalas.
"Gue nggak marah."
"You're not a good liar, "
Je menarik napas dalam-dalam. "Raya—" Namun ucapannya terputus saat dia merasakan kedua lengan Raya memeluk perutnya dari belakang. Aroma khas dari shampo dan shower gel gadis itu mewarnai udara, membuat Je merasa hampir kehilangan akal sehat.
"I'm sorry."
Je tidak menjawab.
"Gue tau gue salah. Wajar kalau lo kesal. Harusnya gue nggak balik nyolot ke lo. Untuk itu, gue minta maaf."
Masih saja senyap. "Je?"
Dengan sekali gerakan, Je menekankan ujung rokoknya pada asbak untuk mematikan bara yang menyala, lantas berbalik untuk menatap Raya. Je tidak pernah tidak menyukai Raya, tidak peduli bagaimana pun gadis itu terlihat, namun Raya yang sekarang adalah jenis Raya yang menjadi favoritnya. Rambut gadis itu lembab, tidak sepenuhnya kering dengan aroma khas shampoo miliknya yang menguar ke udara, menyerang indra penciuman Je tanpa jeda. Wajahnya pucat, tapi pipinya kemerahan karena efek mandi menggunakan air panas. Jenis Raya yang seperti ini adalah jenis Raya yang selalu mampu membangkitkan pikiran-pikiran terliar dalam otak seorang Jeviar Mahardika.
Dalam hitungan detik, Je membungkuk, menjemput bibir Raya dengan bibirnya. Ada hangat yang mereka bagi selama sejenak. Je berbau seperti perpaduan nikotin dan angin malam, tapi jelas itu bukan kombinasi yang tidak Raya sukai. Ciuman mereka diakhiri saat telapak tangan kanan Je menyapu pipi Raya, lantas kini ganti mata mereka yang saling terkunci.
"Gue nggak marah."
"Kalau udah dikasih cium tapi masih marah, namanya keterlaluan."
"Seriously." Je memutar bola matanya lalu tersenyum geli. "Gue nggak marah. Gue cuma kesal."
"Apa bedanya?"
"Pokoknya beda." Je ngotot. "Gue kesal karena—"
"Karena lo berpikir gue nggak menganggap hari pernikahan kita itu penting. Iya, kan?"
"Salah." Je tertawa kecil sambil memainkan ujung rambut Raya yang lembab. "Hari pernikahan kita jelas penting buat lo. Kalau nggak penting, lo nggak akan mau repot-repot bolak-balik fitting baju dan ngeladenin semua protes Hana tentang konsep, tema sampai suvenir yang nanti bakal dibagiin ke tamu undangan. Lo nggak akan merasa perlu meluangkan waktu nemuin mantan-mantan gue dan cewek-cewek random yang pernah jadi friends with benefits gue waktu kuliah dulu untuk ngasih undangan. Dan, kalau lo nggak pernah menganggap ini sebagai sesuatu yang penting, lo nggak akan menerima lamaran gue dari awal. Gue bisa melihat kalau lo menganggap pernikahan ini sebagai sesuatu yang penting, sama kayak gue."
"Terus kenapa?"
"Karena gue nggak rela membiarkan lo merayakan ulang tahun lo sendirian di negeri orang."
Jawaban Je kontan membuat Raya tercekat—dia baru ingat jika beberapa hari mendatang adalah hari ulang tahunnya.
"Lo—"
"Gue menghitung semua hari ulang tahun lo yang gue lewatkan setelah lo pergi ke Jepang. Setelah lo menghilang dari hidup gue. Gue mengingat semuanya, tentang gimana setiap hari ulang tahun lo tiba, gue hanya bisa diam-diam berharap kalau lo baik-baik aja dan bahagia. Sekarang, saat pada akhirnya lo kembali sama gue, gue kepingin merayakan ulang tahun lo kayak gimana kita dulu. Gue dan lo, di depan kue, meniup lilin, perang krim, apa pun itu." Je berkata lagi, membuat Raya tidak tau harus menjawab apa. "Kalau lo pergi lusa, itu berarti lo bakal merayakan ulang tahun lo sendirian."
"Je,"
"But you're free to go." Je buru-buru menukas. "Gue nggak akan melarang lo, karena gue sadar gue juga nggak berhak melarang. You're yours before you're ever somebody else's. You're yours before you're mine."
"Je,"
"Tenang aja. Gue nggak marah. Tapi janji, lo harus langsung pulang setelah urusan pekerjaan lo disana selesai. Deal?"
Seulas senyum lembut tertarik di wajah Raya ketika tangan gadis itu terangkat menuju wajah Je. Jari-jarinya melekat di pipi cowok itu, merasakan permukaan kasar kulitnya yang kehijauan karena dia belum sempat bercukur hari ini. Berada dalam jarak yang begitu dekat, Raya bisa melihat setiap detil pada sosok laki-laki di depannya; mulai dari alis tebal yang menaungi kedua matanya, lekuk rahangnya, hingga kemejanya yang tidak lagi rapi. Kombinasi dari semua hal favoritnya yang membuat Raya tersadar jika rumah itu bisa saja berupa suatu sosok dengan sepasang lengan yang hangat dan satu degup jantung.
"I will not celebrate my birthday alone."
"Hm, tapi urusan kerjaan lo?"
"Gue bakal langsung pulang besoknya dengan pesawat terakhir. Gue janji." Raya berjinjit, memberi satu kecup di pipi Je. "Makasih udah mengerti."
"Well, sebenarnya gue nggak sepengertian itu."
Raya memiringkan wajah. "Maksud lo?"
"Lo melakukan kesalahan dengan mendatangi gue saat lo hanya memakai bathrobe kayak sekarang." Je meraih pinggul Raya, menarik tubuh gadis itu mendekat padanya. "Anak nakal harus dihukum."
"Tapi gue nggak—"
Terlambat, Je sudah lebih dulu mendaratkan satu ciuman di garis rahang Raya. Geraknya terus berlanjut seiring dengan waktu yang berlalu. Pada menit demi menit yang terlewati, Raya sadar jika malam ini akan jadi malam yang amat panjang.
***
Akhir pekan mereka terlewati tanpa terasa. Setelah perdebatan keduanya yang ditutup dengan satu sesi makeout di balkon—yang untungnya tidak berlanjut sampai sesi yang lebih jauh karena Raya terlalu lelah untuk dibuat terjaga sepanjang malam—pada hari Sabtu malam, mereka memilih menghabiskan hari Minggu dengan tidak pergi kemana-mana. Mengabaikan fakta soal Raya yang sudah punya rencana untuk mengecek ulang venue dan konfirmasi dari vendor penyedia suvenir pernikahan bersama Hana, Je memaksa perempuan itu untuk terjebak bersamanya seharian. Meski terpaksa, Raya tidak bisa bilang jika dia tidak menyukai tindakan tunangannya. Kesibukan pekerjaan yang membuat mereka harus terpisah jarak Bandung – Jakarta selama lima hari dalam satu minggu membuat perdebatan kecil tentang topping saus atau topping lada hitam di atas telur mata sapi mereka saat sarapan atau perselisihan ketika memilih serial televisi mana yang akan mereka tonton adalah sesuatu yang langka.
Je kembali ke Bandung pada hari Minggu malam dengan jenis ekspresi wajah yang membuat Raya merasa lega. Kalau Raya pikir lagi, Je adalah sosok paling sabar yang bisa dia dapatkan sebagai pasangan. Kebanyakan laki-laki tentu akan lebih mementingkan ego mereka dan melarang Raya untuk pergi. Bukan berarti itu sesuatu yang buruk, karena bagaimana pun juga Raya sadar jika keputusannya untuk melakukan perjalanan kerja sepuluh hari menjelang salah satu hari terpenting dalam hidupnya tidak bisa dibilang benar.
"Gue kira lo udah pergi."
Sebuah suara familiar yang tiba-tiba terdengar membuat Raya tersentak kaget sebelum menolehkan kepalanya ke ambang pintu. Di luar ekspektasinya, Je berada disana. Cowok itu sudah tidak lagi mengenakan jaket dan celana panjang hitamyang dipakainya saat meninggalkan apartemen semalam. Kaus berwarna abu-abu gelap yang tampak nyaris hitam dan blue jeans melekat di tubuhnya, mengingatkan Raya pada penampilan cowok itu saat mereka masih kuliah dulu. Rambutnya agak basah, mungkin karena dia baru mandi.
"Kenapa tiba-tiba lo nongol disini?"
"Nggak boleh?" Je justru balik bertanya sembari melangkah masuk ke dalam kamar. Perlahan, cowok itu membantu Raya memasukkan beberapa helai pakaian dan barang-barang keperluannya yang lain ke dalam sebuah carry-in luggage. Gerak tangannya berhenti saat jemarinya menyentuh sehelai bra berenda warna hitam. Sebentuk seringai tergurat di wajahnya. "This piece is still my all-the-time favorite, you know that?"
"Stupid pervert." Raya mendesis sambil merebut bra tersebut dari tangan Je. Tindakannya sukses membuat gelak tawa laki-laki itu pecah.
"You're too cute when you're blushing." Je berkomentar dengan nada geli. "Sini. Gue bantu."
Raya menyerah dan membiarkan Je melakukan apa yang dia inginkan. "Kenapa lo masih ada disini?"
"Emang nggak boleh?"
"Semalem katanya pamit mau balik ke Bandung?"
"Niatnya sih gitu."
"Terus?"
"Aduh, jadi berasa kayak diinterogasi sama istri."
"I'm indeed your soon-to-be wife." Raya membalas dengan tangkas.
Senyum lebar Je terkembang. "Akhirnya lo nggak segengsi itu juga buat mengakui kalau sebentar lagi lo bakal benar-benar terjebak bersama gue... dalam waktu yang lebih lama dari selamanya."
"Nggak usah berlagak jadi pujangga. Mending jawab pertanyaan gue tadi."
"Niatnya mau balik ke Bandung. Tapi anak-anak ngajak ngumpul. Dan setelah gue pikir-pikir lagi, kenapa nggak? Toh gue juga udah mengajukan resign. Paling tinggal balik untuk rapihin meja dan bawa sisa barang-barang dari kontrakan di sana ke Jakarta, dan itu nggak mesti hari ini."
"Anak-anak yang mana?"
"Istri tuh di mana-mana selalu secerewet ini ya?"
"Lo keberatan?"
"Nggak. Sama sekali nggak. Gue seratus persen rela." Je terkekeh. "Lo tau-lah siapa. Anak- anak. Full team. Eh, nggak deng. Adrian nggak datang. Katanya istrinya lagi rajin-rajinnya muntah-muntah dan jadi clingy abis."
"Hah? Muntah-muntah? Jangan bilang kalau—"
"Yap." Je membenarkan dugaan Raya. "She is pregnant."
"Adrian pasti udah sinting."
"Terlalu cinta emang bisa bikin sinting. Sama aja kayak apa yang lo lakuin ke gue."
"Idih, itu sih pilihan lo."
"When it comes to you, I guess I have no choice but to be insanely mad." Raya mendengus.
"Flight lo nanti jam berapa?"
"Jam sebelas siang."
"Hm, berarti nanti lo ke bandara bareng gue." Je langsung menjawab begitu saja seraya menutup risleting koper dan mengacak kombinasi angka pada bagian pengunci koper. "Now get your lazy ass up because I'll serve you breakfast."
"Doesn't sound good."
"Skill masak gue mungkin nggak sehebat Dio, tapi gue bukan tipe orang yang benar-benar buta dapur." Je menyahut engan wajah tersinggung. "Come on."
Sesi sarapan pagi itu adalah salah satu dari sekian banyak momen bersama Jeviar Mahardika yang tak akan bisa Raya lupakan. Tidak, itu bukan karena Je tiba-tiba mengejutkannya dengan memasakkan deretan hidangan-hidangan ala chef Gordon Ramsay. Je hanya memasak dua telur mata sapi yang salah satu kuningnya pecah sebelum diangkat dan dua piring mi instan goreng. Tetapi karena dalam hidangan yang amat sederhana, Je menyajikan banyak kenangan tentang mereka.
"Mau tau sesuatu nggak?" Je tiba-tiba bertanya saat Raya sibuk menggulung mi instannya pada moncong garpu.
"Apa?"
"Selama gue nggak ketemu lo, gue jadi alergi sama mi instan goreng." "Hah?"
"Atau lebih tepatnya meng'alergi'kan diri." Je mengoreksi. "Karena mi instan goreng mengingatkan gue sama lo."
Raya terdiam. "Kok malah diam?"
Masih ada senyap yang memberi jeda cukup lama hingga akhirnya Raya meneruskan diiringi satu helaan napas panjang. "I'm sorry."
"Buat apa?"
"For everything." Raya batal menyuapkan mi instan yang sudah tergulung di garpu ke mulutnya. "Karena gue selalu bersikap egois dan memaksa lo mengerti ketika sebenarnya lo punya hak untuk nggak mencoba mengerti. Bahkan sampai hari ini, gue masih bersikap egois."
"Geez." Je berdecak. "Lo memang egois. Gue tau pasti soal itu." Raya tergugu.
"Tapi lo tau Raya, mengharapkan partner yang sempurna ketika lo sendiri nggak sempurna hanya dilakukan oleh orang-orang brengsek yang nggak tau diri. It's okay. Lo punya kekurangan. Gue punya kekurangan. Tapi lo juga punya kelebihan. Dan gue pun punya kelebihan. Setelah semua yang kita lewatin, gue sadar gue akan selalu mencintai setiap bagian dari diri lo, bahkan sampai yang paling buruk sekali pun. Karena itu, gue dengan nggak tau dirinya mau bertindak egois dan meminta lo terjebak bersama gue selama sisa hidup lo." Je menerangkan. "Because I'm sure that together, we will make it works."
Mata Raya kini sepenuhnya mengarah pada Je.
"Well, aren't you suppose to answer that with at least a short 'I love you too'?" "And why would I?"
"Because you love me too."
"Still a jerk who is so full of yourself, huh?"
Je tertawa. "Can't help it, because I know I'm that lovable."
Raya tertawa kecil.
"Walau pun begitu, lo tetap harus pulang besok ke Jakarta. Sesegera mungkin. Gue bakal nungguin lo di bandara. Kalau lo nggak menepati janji, jangan salahin gue kalau terjadi sesuatu yang nggak lo harapkan."
"Sesuatu yang nggak gue harapkan? Misalnya?"
"Misalnya, gue berubah jadi Saint Seiya dan memporak-porandakan seisi Soekarno – Hatta."
Raya tertawa geli. "I promise." "Really?"
"Janji."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro