Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EXTRA | CINCIN

JEVIAR

Secara refleks dan begitu tiba-tiba, gue menghentikan langkah gue begitu sesuatu yang terpajang di sebuah etalase. Mata gue tertuju kesana, mengamati lengkungan benda-benda cantik berkilau yang tergeletak di atas permukaan beludru biru. Mereka semua indah, tapi pandangan gue langsung tertancap ke salah satu yang keliatan begitu sederhana dari kejauhan, seakan benda itu hanya polos tanpa ada tambahan ornamen apapun, namun kalau diperhatikan secara seksama, lo bakal ngeliat kilau mata berlian mungil yang awalnya nggak keliatan. Gue masih menatap kesana, sementara Raya yang berada di samping gue keliatan heran karena gue berhenti secara mendadak macem cewek metroseksual baru ngeliat tagline diskon gede-gedean hingga 70% di store baju favorit.

"Kenapa sih?" katanya bertanya sambil mengikuti arah pandang gue, dan saat dia mengerti, dia langsung mendengus pelan. "Ya ampun, Jev."

"Liat-liat dulu yuk?"

"Jev,"

"Cuman liat doang kok, Ra."

"Tapi kan—"

Gue nggak ngerti kenapa dia nggak pernah mau diajak ngomongin sesuatu yang menjurus ke pernikahan. Gue yakin dia sayang gue, dan begitupun sebaliknya, lantas apa lagi yang harus dipertanyakan? Tapi dia nggak pernah mau ngomong. Dia nggak bilang apa-apa, cuman setiap kali kita jalan ke mall, dia selalu berusaha menarik diri jauh-jauh dari yang namanya toko perhiasan ataupun gaun-gaun yang berhubungan dengan pengantin dan pernikahan. Gue menarik napas, ngeliatin dia lama banget.

Mukanya keliatan ngerasa bersalah. "Maaf, tapi bukan maksud gue—"

"Kenapa?"

Dia menggigit bibirnya. Nggak bisa ngasih jawaban apapun. Matanya keliatan bingung, dan gue benci ketika gue liat ekspresi kayak gitu di wajahnya. Gue lebih suka Raya yang percaya diri, yang matanya bersinar karena antusiasme berlebihan tiap kali dia menceritakan apa yang dia suka, entah itu soal kerjaannya atau business abroad trip dia yang minimalnya dilakuin dua minggu sekali. Tiga puluh detik lewat dan dia sama sekali nggak menjawab, hingga gue memutuskan untuk meraih salah satu tangannya yang tadi gue gandeng, mengusap permukaannya dalam pola lingkaran dengan perlahan.

"Its okay. Yaudah yuk mending lanjut cari tempat makan aja."

"Ng... liat-liat ke tempat itu dulu juga boleh kok. Tapi sebentar aja ya?"

Gue terdiam, tapi lantas tersenyum dan mengangguk. Senyum gue bisa dipastiin bikin dia lega, karena gesturnya jauh lebih rileks daripada sebelumnya. Pramuniaga toko perhiasan itu langsung memasang setelan senyum ramah nan resminya waktu kita berjalan masuk, dan saat dia membungkuk, samar gue mencium aroma parfum yang pekat di udara. Well, satu hal lainnya yang bikin gue benci belanja di gerai ekslusif adalah kemewahan dan keramahan mereka yang menurut gue begitu artifisial. Palsu. Serta segambreng penjelasan tentang kualitas produk yang menurut mereka berkelas. Lucunya lagi, pelayanan sok ramah itu nggak mereka kasih buat semua pelanggan, tapi hanya beberapa yang secara fisik menurut mereka cukup "mampu" untuk ngebeli barang yang mereka jual.

Kalau bahkan nilai seorang manusia dinilai dari baju yang dia pake, tas yang dia bawa, dan make-up yang dia templokin ke muka, bukankah itu artinya manusia nggak ada bedanya sama benda? Konyol.

"Kenapa?" Raya bertanya lagi begitu dia ngeliat gue mengerutkan hidung.

"Gue nggak suka bau parfum tuh mbak-mbak," kata gue sambil nunduk, bernapas tepat di bawah daun telinganya yang bikin dia ngerasa kegelian.

"For God's sake, J, we are in public."

"Bentar doang. Buat netralin idung gue."

"Ck." Dia memutar bola matanya, lantas menyikut rusuk gue hingga gue nggak punya pilihan lain selain mengerang pelan sambil menarik wajah gue menjauh. Sikutannya hampir nggak kerasa, tapi ya paling nggak lebih powerful daripada sikutannya beberapa bulan yang lalu. Kayaknya rajin ke gym ngasih efek yang lumayan bagus buat dia, yah meskipun dia masih aja cewek sok cool yang belagak keliatan kuat ketika buat ngebuka tutup botol saos ABC aja masih minta tolong ke gue.

Kita melangkah, menatap satu-persatu benda berkilau yang terpajang di etalase sambil mendengarkan pujian kosong dari si mbak-mbak gerai yang menurut gue nggak penting. Dia bilang kita cocok. Raya ngebales tuh pujian dengan satu kalimat terimakasih sementara gue mengabaikannya, hanya memandang penuh konsentrasi pada jajaran benda-benda bulat dengan bentuk mata yang berbeda-beda di atas hamparan beludru.

"Suka yang mana, Ra?"

"Hah? Apaan?"

Gue menyentakkan kepala. "Suka yang mana?"

"Semuanya bagus."

"Bisa bangkrut gue kalo kudu ngebeliin lo semuanya, Ra. Lagian jari manis lo cuman ada dua."

"HAH? EMANGNYA LO MAU BELIIN BUAT GUE?"

Ya Tuhan. Pengen rasanya gue ngejitak nih anak satu. Heran, gimana bisa dia nyampe Jepang dan diterima di salah satu instansi bergengsi negeri ini dengan kapasitas otaknya yang kayaknya nggak nyampe satu liter. Lemotnya nggak ketulungan, untung gue sayang. "Ra,"

"KATANYA TADI LIAT-LIAT DOANG??"

Muka si mbak-mbak gerai pada berubah. Mereka justru merhatiin kita berdua cekcok nggak penting dengan salah satu alis terangkat.

"Raya,"

"Je, kalau mau ngasih cincin mah beli aja cincin gocapan di abang-abang tuh sekalian pake ukiran nama. Ngapa juga beli mahal-mahal disini?"

"Raya, mana ada orang tunangan pake cincin abang-abang?"

Pelototannya makin gede. "LO MAU TUNANGAN AMA SAPA? AMA GUE?"

Gemes. Asli. Kalo udah kayak gini gue pengen makan nih orang. "Ra, gue jitak juga nih lama-lama."

"Je,"

"Hah? Cepet pilih lo suka yang mana?"

"Je, lo serius nggak sih?"

"Gue serius."

"Tunangan?"

"Maunya sih langsung nikah, Ra."

Mukanya langsung horror abis. Dia ngeliatin gue seakan gue baru aja melorotin kolor bokapnya sampe lepas. "Je,"

"Serius deh. Gue udah dilangkahi ama tuh Yohana Butarbutar masa nanti gue kudu tetep ikhlas dilangkahin ama Faris atau ama Adrian atau ama Rama? Please ya, harga diri kita berdua mau dikemanain coba, Ra?"

"Yaudah sana nikah duluan."

"Ra,"

"Je,"

"Ahelah." gue menghembuskan napas. "Tinggal pilih aja mana yang lo suka."

"Emang lo punya duit?"

Beneran minta dijitak. Yaudah. Karena gue udah terlanjur gregetan, akhirnya gue jitak begitu aja kepalanya. Si mbak-mbak gerai masih aja ngeliatin kita dengan pandangan sumpah-lo-tinggal-pilih-terus-bayar-aja-cok-jangan-banyak-bacot sementara Raya sibuk ngusap bagian atas kepalanya sambil merengut. Cute banget, bikin gue harus memohon sama Tuhan biar gue dikasih kekuatan untuk nggak langsung nyosor dan nyipok dia disini. Gila aja lo, nggak elit banget cipokan ditontonin sama mbak-mbak gerai perhiasan.

"Sakit tau." Katanya menggerutu.

"Lagian lo bacot banget tinggal pilih aja satu. Udah kan kelar."

"Serius deh, jangan main-main. Harganya juga kan nggak murah."

"Ya Tuhan, Raya Alviena, emangnya muka gue keliatan kayak lagi main-main?"

Dia mengamati muka gue sebentar. "Muka lo kaga pernah keliatan serius. Suer."

Gue melepaskan satu hela napas frustasi dari mulut gue sambil menatap cewek di depan gue dengan pandangan bertanya-tanya. Bertanya-tanya kenapa gue bisa sayang setengah idup ama nih bocah satu. Bertanya-tanya kenapa juga Raya bisa lemot banget macem anak SMP yang baru pertama kali nonton bokep. "Raya,"

"Hah?"

"Kok lo ngeselin sih?"

Dia ngegigit bibirnya. Keliatan banget kalo dia bingung mau jawab apa. Astaga. Oke, gue ngerti kalau dia bukan kayak tipe cewek kebanyakan yang bisa dengan gampangnya ngomongin komitmen. She has a very open-mind, I can see that clearly since the very first day that we met. Komitmen adalah sesuatu yang agak sedikit terlalu mengerikan buat orang yang pengen punya kebebasan sebesar-besarnya kayak dia. Bukan berarti dia nggak membutuhkan orang lain, hanya aja, dia terlalu takut membayangkan terikat sama seseorang seumur hidup, ketika hati seseorang nggak akan pernah sama selamanya. Musim selalu berganti, dan gue nggak bisa memastikan apakah hati gue bakal tetep sama besok-besok. Tapi untuk sekarang, gue sayang ama dia, terlalu sayang sampai-sampai gue cukup egois untuk nggak mau biarin dia pergi lagi.

Anggap gue sinting, anggap gue posesif, tapi itu bukan sepenuhnya salah gue. Entah udah berapa kali dia menghilang begitu aja dari hidup gue, belom lagi business tripnya yang kadang begitu dadakan, hingga pernah beberapa kali gue dateng ke apartemennya cuman untuk nemuin sticky notes nempel di kulkas, ngasih tau kalau dia bakal ada di negara A selama berapa minggu dan baru balik di akhir bulan. Stress? Nggak usah ditanya. Gue cabut Bandung-Jakarta begitu kelar kerja di hari Jumat buat apa lagi selain buat nemuin dia? Pas ditelepon dia malah cuman cengar-cengir sambil minta maaf. Kan kampret, jadinya gue nggak bisa marah.

Kalo dia gini terus, gue jadi kesel. Bukan cuman sama dia. Tapi sama diri gue sendiri. Segitu belangsaknya kah gue sampe dia bahkan nggak yakin buat ngabisin sisa hidupnya sama gue? Plis ya, kita udah kenal dari jaman gue lari-lari di jalan komplek pake kolor spiderman karena menghindar dari nyokap gue yang nyuruh gue mandi sore. Itu artinya, dia udah terjebak bersama gue selama belasan tahun. Apa yang bakal bikin beda seandainya suatu saat nanti kita tinggal serumah, bersama versi mini dari kita berdua yang lebih lucu?

Gue melengos, mau melangkah pergi dengan jengah pas Raya tiba-tiba ngeraih tangan gue.

"Je,"

"Hn."

"Jangan marah."

"Gue nggak marah."

"Lo marah."

"Yaudah. Tuh udah tau."

"Plis."

"Terserah lo aja deh, Ra."

"Jangan marah. Plis. Lusa udah Senin dan kita baru bisa ketemu lagi minggu depan. Gue nggak mau waktu kita habis buat marah-marah." katanya, "Yaudah. Gue pilih. Gue pilih satu yang paling gue suka."

"Really? Yang mana?"

"Itu." katanya sambil nunjuk salah satu, bikin mata gue langsung terarah kesana. Well, she always has that good taste in almost everything. Bentuknya sederhana, namun ada gores detail di permukaan logam lengkungan tuh cincin yang baru keliatan ketika lo bener-bener memperhatikan. Detail yang indah, kayak sulur bebungaan atau apa, gue nggak tau.

"Kenapa yang itu?"

"Emang kenapa? Lo nggak suka?"

"Bukan gitu. Biasanya kan lo milih sesuatu karena ada filosofinya. Inget gimana lo ngasih gue bunga bakung pas gue sakit dulu?"

"Bukan bunga bakung, bodoh. Bunga Daffodil."

"Alah sama aja."

"Ck. Kampung ah. Tapi ya, gue milih itu, soalnya sulurnya kayak mistletoe."

"Jangan bilang karena lo masih demen ama tuh Bieber-Bieber. Ya ampun, Ra, its so yesterday. Please, lo kan bukan anak SMP lagi."

Mukanya memerah sedikit waktu dia meninju bahu gue pelan. "Apa sih, kampret. Gue kan bukan fangirl lagi sekarang ya, plis."

"Bukan fangirl tapi masih menggeliat najis tiap kali liat Thomas Sangster."

"Namanya juga cewek." Dia berdecak. "Ahelah lo nih mau dengerin alesan gue milih tuh cincin apa enggak?"

"Iya-iya, buru ngomong."

"Soalnya ya, mistletoe itu kayak semacem lambang cinta abadi gitu nggak sih? Kan ada mitos katanya kalo orang nyium orang yang dia sayang di bawah mistletoe, cinta mereka bakal abadi. Eh ya nggak sih?"

"Hm."

Mukanya memerah lagi. "Apaan lo ngeliatin gue kayak gitu."

"Abadi lo bilang?"

"Iya, kenapa emang hah?"

"Gue nggak nyangka kalau lo pengen selamanya bareng sama gue."

"Kat—ah sial." Dia menghela napas. "Iya. Gue emang selamanya mau bareng sama lo. Kenapa? Masalah? Lo nggak mau? Lo keberatan?"

Gue terdiam sejenak, sempet kaget karena nggak biasanya dia langsung ngomong blak-blakan gitu. tapi ngeliat mukanya yang merah malu campur kesel kayak gitu bikin gue nggak bisa nahan diri buat nggak ketawa. Gue ketawa kecil sambil ngeliatin dia, lantas ngasih kode ke mbaknya untuk memproses transaksi biar gue bisa bawa pulang tuh cincin bergurat mistletoe-atau apalah itu. Si mbak langsung bergerak dengan cekatan, namun Raya masih aja cemberut waktu gue ngeluarin sekeping kartu plastik dari dompet gue. Lucu banget minta dicubit.

"Napa lagi sih, Ra? Cemberut gitu. Lo pikir cantik?"

"Tau ah."

"Ra,"

"Bodo." Katanya sambil ngeloyor pergi. Gue ngeliatin punggungnya, sambil masih ketawa, kemudian ngikutin dia ketika acara transaksi blablablanya selesai. Dia masih aja ngambek. Tapi paling enggak gue masih bisa ngerasa seneng karena berhasil bawa pulang satu kotak cincin yang udah dia pilih. Sebuah kemajuan. Untuk saat ini cukup, sampai gue bisa nemuin waktu yang pas buat mindahin tuh cincin dari kotak beludru ke jari manisnya.

***

Gue mendengus sambil ngelempar kaleng Pringles yang udah kosong ke sesosok cowok di depan gue. Dengan gesit, tuh cowok menghindar lantas ketawa terbahak, bikin empat cowok lainnya ikutan ketawa puas. Temen-temen macem apa mereka, bukannya ngasih saran malah sibuk ngetawain sana-sini. Kan nyebelin. Padahal siapa coba yang dibebanin pas mereka lagi struggle ama kisah cinta masing-masing yang dramatisnya kayak serial murahan di tv kalau bukan gue? Pas gue susah dulu aja, mereka boro-boro ada. Faris kabur keluar negeri waktu itu, Edgar sibuk ngurusin persahabatannya ama Hana yang hampir ancur, begitupun Dio yang sibuk ngapalin isi diktat segede dosa sambil masih mikirin Hana yang tiba-tiba ngejauh. Gue nggak perlu juga kan nyeritain Adrian yang harus direpotin ama masalah dua kakak ceweknya, ataupun cewek jutek bernama Aries yang sekarang entah dimana kabarnya? Kalau Rama sih nggak usah ditanya. Dia masih aja berkutat di samping matahari senja kesayangannya sampe sekarang. No progress, sejauh yang gue liat. Hubungan mereka gitu-gitu aja.

"Gue sakit hati kalo kayak gini caranya. Kenapa juga kalian pake ketawa?"

"Abis lo lucu." Dio berkomentar dengan tawa geli. Komuk-komuk cerah ala pengantin baru. Kampret nyebelin.

"Gue bukan pelawak."

"Hidup lo tuh panggung lawak," Faris berkomentar santai. "Tibang lamar aja, jeder dia pake kotak cincin. Kalo perlu berlutut sekalian. Udah kelar kan. Lo-nya aja yang terlalu mendramatisir."

"Atau mungkin Raya nggak yakin buat kawin ama lo?"

"Bukan sepenuhnya salah dia sih," Adrian cengar-cengir. Ganteng, tapi bikin gue pengen ngehantem mukanya pake asbak. "Siapa juga yang yakin buat hidup selamanya bareng ama lo? Salwa yang penyabar aja kabur."

"Nggak usah bawa-bawa mantan gue plis."

"Gini deh, Jev, menurut gue lo ajakin aja dia kawin langsung." Ujar Rama.

"Kalo dia nggak mau?"

"Yaelah tong, gitu aja repot," Faris nyamber, "Ya ajak lagi lah! Lo jangan menghancurkan martabat kita sebagai anggota perserikatan lelaki kece pantang ditolak dong! Terus aja desak dia sampe dia nggak bisa menghindar."

"Sadis."

"Kalau gue nggak sadis, gue nggak bakal bisa dapetin cewek yang gue sayang, bro."

"Jadi gimana?"

Edgar keliatan mikir. "Lo ketemu lagi sama dia kapan?"

"Minggu depan."

"Pacarannya weekend doang, itu pacaran ama rekreasi keluarga?"

Gue ngelempar Rama pake gumpalan tissue di tangan gue. "Bacot."

"Ck. Yaudah gini deh," Edgar kembali mengarahkan pembicaraan ke jalur yang benar. "Nanti pas weekend lo ama dia ada rencana kemana? Kalo bisa arahin ke tempat yang romantis yang instagramable-lah, yang bakal bikin dedek gemes meneriakkan kata-kata 'relationship goals' dengan mupeng tingkat kabupaten. Cewek dimana-mana bakal luluh kalo lo romantisin macem ending cerita dongeng, Jev."

"Masalahnya, Raya nggak suka baca dongeng. Dia terlalu realistis."

Faris ngegaruk lehernya. "Lagian lo juga sih, macarin cewek yang terlalu fokus ama kariernya kayak Raya."

"Yah gimana dong kalau gue udah mentok di dia, gue bisa apa?"

"Mampus rasain tuh karma," Adrian mencibir. Wajar sih, karena daridulu dia adalah pihak yang paling vokal kalo udah menyangkut urusan gue sama sederetan penghuni asrama puteri gue. "Btw lo ama Raya mau kemana weekend ini?"

"Apartemennya-lah. Movie marathon."

"Sama main kuda-kudaan." kata Faris, lagi-lagi nyeletuk dengan senyum mesum ala om-om yang bikin gue pengen nyumpel mulutnya pake kaos kaki baunya Rama. Sial emang nih bocah. "Jangan melotot kayak gitu dong, Jev. Gue bener kan tapi? Mustahil banget kalo lo berdua bisa berada di apartemen yang sama semaleman tanpa ngapa-ngapain."

"Bukan urusan lo ya."

"Yah, siapa juga yang mau ngurusin? Gue udah puas sama yang gue punya kok. Maap-maap nih."

"Apa sih nggak jelas."

"Yaudah deh." Edgar menghembuskan napas. "Gue nggak ngerti Raya harus digimanain. Dan rasanya sia-sia juga kalo lo nanya ke kita-kita, soalnya lo udah lebih lama kenal ama tuh cewek daripada kita-kita. Jadi otomatis lo lebih ngerti dong? Lo tau dia. Lo paham apa yang jadi ketakutan dia, apa yang bikin dia jadi terlalu realistis ampe susah banget cuman buat diajak kawin-eh nikah doang. Bicara dari hati ke hati aja. Nggak peduli berapa kali lo harus nyoba, gue yakin lo bakal berhasil. Pertama, karena dia sayang banget sama lo. Dan kedua, karena lo berdua udah sama-sama mentok sama satu sama lain. stuck. Terjebak. Nggak bisa diapa-apain lagi."

"Anjir master percintaan!" Adrian berseru. "Lo bisa ngasih advice bijak ke nih kutu kasur satu, tapi napa lo diem aja pas gue curhat soal Aries ke elo?!! Nggak adil!"

"Kalo soal lo sama Aries sih gue angkat tangan, Yan. Lo berdua mah masalahnya dibuat-buat sendiri."

"Tai banteng lo."

Edgar malah ketawa. Lalu tawa itu disusul tawa yang lainnya, termasuk gue. meskipun begitu, diem-diem gue berpikir dalam hati.

Apa yang bikin Raya takut sama komitmen dan lebih terfokus sama kariernya yang sekarang?

Gue menghela napas, saat serangkaian kata-kata yang pernah dia ucapkan terngiang lagi dalam benak gue, kayak klip suara yang tersimpan, yang terputar begitu aja tanpa bisa gue tahan.

Kenapa lo lebih fokus ama karir lo sih? I mean, lo nggak ada keinginan untuk nikah kayak temen-temen lo yang lain, Ra?

Gue nggak tau. Commitment is not my thing. Soal karir, gue nggak tau. Mungkin karena suatu hari nanti, karir gue nggak akan pernah terbangun tiba-tiba dan bilang kalau dia udah nggak cinta lagi sama gue?

Maksud lo?

Hati manusia selalu berubah, Je. Hati lo. Hati gue. Dan gue terlalu takut untuk menghadapi perubahan itu. Gue nggak mau ada yang berubah.

Gue akan selalu ada untuk lo, Raya.

Gue tau.

Dan dia ketawa saat itu.

Duh.

Raya, apa aja yang sebenernya udah lo lewatin selama gue nggak ada, yang bikin lo jadi begitu takut untuk komitmen dan pikiran akan hidup bersama orang yang sama untuk seumur hidup lo?

***

It's 2 AM and all I did was sitting there, beside the sleeping version of the most precious woman in my life, after my Mom, of course. Gue mengamati dia, bertanya-tanya gimana dia bisa tetep keliatan adorable bahkan dalam keadaan nggak sadar kayak gitu. Dia terlihat seperti puisi. Rambutnya yang berantakan tersebar di bantal, nutupin sebagian wajahnya. Gue menghela napas, kemudian mengumpulkan helai rambut dia dengan tangan gue, sampai wajahnya terlihat jelas dan selama sejenak, pandangan mata gue terpaku sama lehernya.

She is mine. Not only her soul, but her heart, and also the whole of her body.

Satu hela napas lagi, dan bayangan akan apa yang terjadi beberapa jam belakangan membuat gue kembali ngerasa useless, karena sampe sekarang cincin yang minggu lalu gue beli masih tersimpan rapi dalam kotaknya, sama sekali nggak tersentuh apa lagi berpindah tempat ke jari manis nih cewek yang sekarang terlelap pulas di deket gue. Seperti yang gue bilang minggu lalu ke Faris dan gerombolan penjahat kelamin yang entah gimana bisa menyamar jadi sohib gue paling setia, gue bakal nyoba buat ngajakin Raya nikah—oke, agak sedikit terlalu nggak enak istilahnya, tapi dibilang ngelamar juga kayaknya rada-rada kurang bergengsi, jadinya gue bingung. Ya lo sebut apalah itu, mau ngajakin nikah atau ngelamar, terserah, yang jelas gue bertekad untuk bisa ngebuat tuh cincin berpindah dari kotaknya ke tangan Raya sesegera mungkin.

Gue bukan tipikal orang yang suka dating di tempat rame macem mall atau lokasi fine dining super-hits dimana para couple dunia maya memposting foto mereka berada disana, yang lantas dapet komentar dari satu skuad dedek gemes, dengan bunyi yang relatif sama, pastinya nggak jauh dari kata-kata 'relationship goals' banget. Bullshit. Relationship goals palelu, hah. Kecanggihan socmed tanpa sadar bikin generasi kita jatuh cinta sama ilusi, merasa iri sama sesuatu yang bahkan belum tentu ada. Yakali mereka keliatan bener-bener jatuh cinta satu sama lain dalam foto, but you'll never know their facial expressions, their gestures to each other when cameras are not around. Relationship goals adalah ketika lo bisa ngerasa hepi bareng pasangan lo, bahkan dalam kesederhanaan sekalipun. Tanpa perlu embel-embel tempat makan romantis, bunga sebanyak dosa umat manusia dari jaman nabi Adam, atau kata-kata manis sok ngegombal.

Ahelah, kenapa gue jadi khotbah.

Intinya gitu. Dan Raya sendiri adalah orang introvert yang masih aja punya sedikit-banyak karakteristik yang sama dengan dirinya yang dulu, entah saat SMA ataupun saat kuliah. Dia nggak punya masalah bergaul sama siapapun, atau berkomunikasi dengan orang lain, tapi bersosialiasi menyedot banyak energinya. Dia nggak terlalu suka keramaian, dan itulah yang membuat acara movie marathon ditemani sejumlah menu delivery dari restoran favorit kita jadi pilihan yang tepat buat ngabisin hari jumat malam kita berdua.

Kita mesen sejumlah menu khas restoran Padang, ditambah beberapa snack, soft-drink, dan well, bir kalengan murahan yang bisa lo temuin dengan gampang di minimarket semudah lo nemuin akua botolan. Bir kalengan itu, entah bagaimana selalu berhasil buat dia maupun gue tersenyum geli satu sama lain, lantas bertatapan dan tau kalau kita sama-sama teringat ke kejadian yang sama. Kejadian ketika gue dan dia nonton konser ketika kita masih kuliah dulu, yang juga jadi pengalaman pertama dia nyobain minuman beralkohol kayak bir—walaupun kadarnya rendah banget dan nggak ngasih efek apa-apa buat gue.

Lantas gue dan dia duduk bareng di ruang tengah apartemennya, di atas sofa, dengan posisi yang selalu jadi favorit dia—dimana dia ngejadiin paha gue sebagai bantal sambil membungkus badannya rapat-rapat pake sehelai selimut tartan tipis. Bukan posisi favorit gue, karena gue lebih suka gue yang tiduran, tapi yah, berhubung Raya adalah pribadi yang sangat langka buat bisa bermanja-manja, gue nggak punya pilihan lain selain mengalah sama dia. Lagipula sejujurnya, ngacak-ngacak rambutnya adalah salah satu hal yang paling demen gue lakuin tiap kali gue lagi sama dia.

"Ra," gue mengawali sambil melirik dia yang masih menatap serius ke layar kaca, ngamatin muka datarnya Benedict Cumberbatch yang lagi berperan jadi Sherlock. Geez, gue nggak suka ngeliat dia segitu terfokusnya ngeliatin muka cowok lain, apalagi tuh cowok cuman om-om bule dengan freckles di muka yang jelas bukan apa-apa dibandingin gue.

"Hn?"

"What's so scary about marriage?"

Pertanyaan gue keliatannya berhasil bikin konsentrasinya bener-bener terpecah. Dia menarik napas, lantas mengalihkan pandangan matanya dari layar televisinya ke gue, yang bikin gue balik menatapnya. "Karena gue udah melihat terlalu banyak pernikahan yang gagal, Je."

Ya, gue tau apa yang dia maksud. Di keluarga besarnya sendiri, ada lebih dari dua familinya yang pernikahannya nggak berhasil, belum lagi kerabatnya yang memilih untuk nggak menikah sama sekali. Dia dikelilingi sama orang-orang yang skeptis akan cinta bahkan dari dia kecil, meskipun kehidupan keluarganya bisa dibilang harmonis. Tapi dia nggak bisa terus-menerus berpikir begitu. Enggak ketika dia punya gue dalam hidupnya.

"Kita bukan mereka, Raya."

Dia menghela napas. "What's so important about marriage, Je? Gue suka kita yang kayak gini. Lo dan gue. Kita. Bahagia. Buat gue itu semua udah cukup."

"Tapi nggak buat gue."

Dia terdiam.

"You are a free soul. And I need to make sure that you will always have at least a reason to come back home. To me."

"You are my home, Mr. Mahardika. You always are."

"Please, Raya."

"Kenapa sih?"

"Gue cuman takut... suatu hari nanti lo bakal nemuin rumah baru." Gue berujar. "Karenanya gue ngerasa perlu ngiket lo."

Dia menatap gue, dengan pandangan yang... entah, apakah itu pandangan kaget? Tapi ada sorot itu di matanya. Sorot teduh yang selalu gue liat tiap kali dia lagi tersentuh karena sesuatu. Sorot yang nggak pernah nggak berhasil bikin gue lemah, bahkan sejak jaman kita masih SMP. Tiap kali gue mau pergi tawuran ama sekolah lain, gue nggak akan pernah berkutik kalau dia udah ngasih tatapan itu sambil bilang kalau dia nggak pengen gue celaka. Selalu berakhir dengan gue yang mengalah, meminta maaf ke temen-temen gue kalo gue nggak bisa ikut dan malah end up nemenin dia baca buku sastera lama di perpustakaan.

"Are you too dumb to realize? Gue bisa pergi sejauh yang gue mau, tapi pada akhirnya gue selalu balik ke lo kan?"

"Raya,"

Dia memutus ucapan gue ketika dia bangkit dari pangkuan gue, kemudian membungkuk dan meraih bibir gue dengan bibirnya. Siasat yang bagus, karena dia terlalu paham karena bibirnya udah jadi semacam candu buat gue. Enggak ada kata-kata yang terlontar sesaat setelahnya, hanya ada suara hela napas dan degup jantung, berbaur bersama bunyi pengait yang terlepas dan risleting yang ditarik turun. Untuk sesaat, hanya insting yang mengambil alih. Lalu disinilah gue sekarang, menatap dia yang tertidur dengan dengkur halus yang nggak kentara. Nyaris sebagian besar badannya tenggelam dalam balutan selimut, cuman menyisakan kepala hingga bahu yang terekspos jelas.

Gue menatapnya lagi, lama, lantas membungkuk dan mencium satu titik di bawah telinganya. Kemudian bernapas disana sebentar. Oh God, even her after-sex smell was great. Gue hampir sibuk tenggelam dalam fantasi liar gue yang lainnya yang berpotensi menyebabkan hormon mengalir deras dalam diri gue ketika dia menggeliat, lalu matanya yang mengantuk terbuka, menatap gue sayu diiringi beberapa kerjapan pelan.

"What a jerk." Dia bergumam. Terdengar sedikit terlalu seksi buat gue

"Hello, sleepy-head. Nggak maksud bangunin lo kok. Serius deh."

Dia memutar badannya yang semula memunggungi gue jadi menghadap ke gue. Wajahnya yang khas orang baru bangun tidur terarah ke gue, matanya masih aja menatap dengan pandangan mengantuk. "Lo belom tidur?"

"Pengen tapi nggak bisa."

"Kenapa?"

Gueikut berbaring dengan posisi menyamping, balik menatapnya. "Gara-gara lo."

"Loh, kok gue?"

"Obrolan kita yang tadi belom selesai loh."

Dia terlihat bingung sebentar, tapi kemudian wajahnya menunjukkan raut penuh pengertian. "Oh. Yang itu?"

"Menurut lo?"

"I'm not ready for this, Je."

"Kenapa? Karena lo terlalu takut sama ketidakpastian?" gue mengangkat sebelah alis. "Denger ya, Raya, enggak ada satupun yang pasti dalam hidup ini, kecuali ketidakpastian itu sendiri. Gue nggak tau kenapa lo begitu takut sama komitmen. Sama pernikahan. Jujur, gue juga nggak bisa janji kalau gue bakal selalu sama untuk seterusnya, dan gue yakin begitupun elo. Enggak ada orang yang tetap sama. Semua orang berubah, termasuk gue, termasuk lo, dan gue mau, kita ngejalanin segala perubahan itu sama-sama."

"Je,"

"Just tell me why."

Dia menggigit bibirnya. "Karena gue nggak mau suatu saat nanti lo berpikir kalau lo udah ngambil keputusan yang salah."

"Yaelah." Gue berdecak. "Udah berapa tahun lewat dan mindset lo masih gini aja?"

"Bukan cuman itu. Gue terlalu mencintai karir gue. Gue bukan perempuan pada umumnya yang bisa lo harapkan bakal terus menerus stay di rumah buat mengurus keluarga. Gue nggak sekolah tinggi buat terjebak di rumah, dengan siklus kehidupan yang jauh-jauh dari dapur-sumur-kasur. Analoginya seperti itu. Gue hanya nggak mau lo menyesal suatu hari nanti, karena itu bakal bikin gue sakit lagi."

Gue menghela napas, menatap dia dalam diam. Pengen marah rasanya. Kenapa susah banget buat dia ngerti kalau gue yakin gue nggak akan menyesal, dan kalau gue bakal selalu ngedukung dia buat ngeraih semua mimpi yang dia punya? Tapi gue nggak ngelakuin itu. Justru, gue mengulurkan tangan, mengacak rambut di puncak kepalanya dengan lembut.

"Udah ngomongnya?"

"Je,"

Gue merunduk, membenamkan hidung gue di lekukan lehernya, lantas bernapas frustrasi disana, "Is it that hard to make you mine?"

"I am mine before I'm ever somebody else's."

Gue mengeluh pendek. "Lo bener-bener nggak ada niat jadi bini gue ya?"

"Hm. Gue nggak tau. Gue masih belom yakin buat saat ini." Lalu dia ketawa. "Tapi mungkin, kalo lo nemuin cara yang bagus buat yakinin gue, who knows? Gue sendiri nggak pernah nyangka kalau sampe sekarang... gue bakal selalu stuck ama bocah kurus bergigi drakula yang gue kenal waktu gue masih anak-anak."

Gue menarik kepala gue, menatap dia lagi. "So that's all I have to do?"

"Apa?"

"Convince you?"

Dia tersenyum, bikin satu lesung pipinyaterlihat. "Convince me."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro