Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

EXTRA | CHALLENGE

RAYA

Its not like I don't love him.

Gue sayang dia, dari dulu. Nggak pernah berubah, nggak peduli berapa lama waktu yang udah gue habisin bareng, atau bahkan tanpa dia. Tapi tiap kali dia memutar topik obrolan ke arah sana, entah kenapa gue nggak pernah bisa buat nggak ngerasa takut. Ya, anggep aja gue aneh atau apa—gue tau gue freak. Pernikahan adalah sesuatu yang diidamkan oleh hampir semua cewek, nggak peduli mereka yang lagi berada dalam usia produktif macem gue, atau bahkan sampe anak SMA dan SMP yang baru aja ngerasain gimana sakitnya ngalamin masa puber yang penuh dengan kompleksitas. Namun enggak buat gue. Sejak dulu, gue selalu merasa takut dengan apa yang disebut pernikahan.

Pernikahan itu kayak kerangkeng.

Gimana enggak? Lo terjebak dengan orang yang sama seumur hidup lo. Lo bakal memulai hari dengan muka dia yang lo liat pertama kali, begitupun ketika lo menyudahi hari, sebelum lo tidur, yang ada di sebelah lo bukan cuman batal kosong, tapi sesosok wajah yang akan terus berubah dijalari garis waktu. Belum lagi kalau misalnya lo berdua lagi sama-sama capek, kemudian bakal mulai saling menuntut. Entah itu menuntut untuk mengalokasikan waktu lebih banyak untuk satu sama lain. Atau menuntut untuk punya anak. Atau menuntut untuk mengorbankan karir salah satunya demi kepuasan pihak yang lain. Nope. Dengan cuman ngebayangin itu semua aja udah bikin gue ngerasa takut. Iya, dengan cuman membayangkan bahwa mungkin gue akan harus kehilangan karir gue, atau menghabiskan waktu di rumah mengasuh anak-anak yang suka buang air dan minta makan tanpa kenal waktu akibat sesuatu yang bernama pernikahan udah bikin gue ngeri setengah mati. Apalagi untuk ngejalanin itu semua. Gue rasa gue nggak sanggup.

Tapi dia nggak pernah berhenti nyoba ngajakin gue buat ngomongin segala sesuatu yang mengarah kesana. I know that he's demanding, but I never know that he's THAT demanding. Gue sempet ngerasa bersalah ngeliat muka betenya dia ketika kita jalan ke mall tempo hari, lantas ngebiarin dia beli cincin yang harganya nggak murah, yang kemudian hanya membuat gue berakhir pada penyesalan. Geez, kita udah pernah ngomongin ini dari dulu. Dia paham banget ketakutan gue akan perubahan, ketakutan gue sama yang namanya pernikahan, kekhawatiran gue yang cemas bakal terkekang dan di atas segalanya, gue takut... gue takut seandainya nanti yang akan tinggal dalam satu atap yang sama bukan cuman kita berdua, tapi sebiji-dua biji makhluk kecil yang bakal manggil kita berdua 'papa' dan 'mama' dengan pengucapan mereka yang belom sepurna. Ah ya, satu masalah lagi. gue nggak suka anak kecil.

Dan sekarang pun begitu.

Jadi hari ini, kita semua lagi ngumpul di rumah bokap-nyokap gue dalam rangka merayakan ulang tahun bokap yang ke-53, yang nggak pernah berubah letak dan lokasinya sejak gue masih SD—yang itu berarti, deket juga sama rumah bokap-nyokapnya Jev. Ya iyalah, jarak rumah kita berdua cuman selemparan batu, dan setelah satu-persatu dari anak-anak mereka pergi—entah karena udah mapan dan punya pekerjaan sendiri, atau untuk kuliah di luar kota—kedua orang tua kita jadi makin deket satu sama lain. Well, ya gue harus mengakui kalau gue terlalu sibuk. Gue udah jarang banget balik ke rumah, meskipun jaraknya yang super-deket dari ibukota tempat gue beraktivitas. Bener kata pepatah yang bilang bahwa ketika kita udah punya kehidupan sendiri, seringkali kita terlalu sibuk buat mendewasa, tanpa sadar kalau orang tua kita pun ikut menua.

Adek gue yang masih santai dengan semester satu kuliahnya juga ikut dateng. Tiap kali ketemu gue, yang dia bisa cuman minta duit mulu, sementara begitu ngeliat Jev, mereka berdua langsung dengan gampangnya high-five ala-ala anak cowok, lantas beralih ke pojokan. Entah mereka berdua ngomongin game terbaru yang barusan dirilis atau berita pensiunnya Miyabi dari dunia perbokepan, gue nggak tau. Dan nggak mau tau juga. Gue lebih memilih buat menyibukkan diri, ngebantuin nyokap ngeluarin segala macem tetek-bengek dan makanan untuk menyuguhi para tamu (yang sebenernya kebanyakan adalah tante dan om gue yang kebetulan juga udah pada pensiun dan nggak ada kerjaan lain selain mengunjungi rumah kerabatnya buat mengisi waktu). Salah satu hal yang gue sesali, karena jujur, gue nggak menduga suasananya bakal serame itu.

Bete banget.

Ya lo tau lah kenapa.

Sudah hukum alam, ketika keluarga lagi ngumpul-ngumpul kayak gitu, pasti gue selaku salah satu dari generasi muda produktif yang lagi hits-hitsnya jadi topik relationship goals di kalangan keluarga besar diberondong oleh pertanyaan seperti...

"Kapan nikah?"

"Kapan nih papa-mama kamu bisa nimang cucu?"

"Raya nggak bosen begitu-begitu aja ama Jev?"

"Jev kapan mau ngelamar Raya?"

Yakali.

Makin bête pas dia justru malah jawab.

"Raya-nya belum mau, Tante."

What the...

"Loh, emang kenapa?"

"Kalian berdua kan sudah sama-sama mapan."

Ya lo kira aja. Emangnya mapan aja cukup buat nikah? Enggak. Gue bukan seseorang yang mengagungkan penyatuan cinta macem pernikahan, tapi buat gue, itu adalah peristiwa sekali seumur hidup. Hal yang perlu dipersiapin untuk melangkah ke jenjang itu bukan cuman dari segi materi dimana si laki-lakinya diharapkan sudah mapan dan punya pekerjaan yang kelak bisa menyangga keluarganya, tapi juga mental. Urusan kerjaan bolehlah, kerjaan dia di bidang konstruksi bisa dibilang lagi dalam masa bagus-bagusnya, begitupun gue yang lagi menikmati bidang karir yang tengah gue geluti, tapi urusan mental? Gila aja bos. Gue belom siap. Secinta apapun gue ama itu titisan petruk.

"Kalian nggak bosen apa begini terus dari dulu?" pertanyaan tante gue secara tiba-tiba membuyarkan lamunan gue. Oh geez. Seandainya dia bukan pihak yang berjasa sebagai penyedia networking bagi gue untuk masuk sebagai pegawai dari instansi perencanaan nasional, mungkin gue udah mendesis macem kucing murka di depannya. Gue menghela napas, berusaha menahan rasa jengkel yang udah menumpuk.

"Aku belum siap, Tante."

"Siap nggak siap itu urusan biasa, Raya. Nanti kalau sudah dijalanin juga semuanya gampang."

Yakali.

"Tuh, Ra. Keluarga kamu aja udah dukung kita. Keluargaku juga. Tunggu apa lagi coba?" Jev tiba-tiba nyela, dengan cengiran playful yang bikin dua dekik di wajahnya kecetak jelas. Kampret. Sebenernya nyokapnya dia ngidam apa sih pas dia masih dalem perut? Kok makin tua malah makin ganteng, kalau kayak gini bisa mati mud ague lama-lama.

"Nope."

"Raya, nggak boleh gitu dong. Perempuan kan punya batas masa produktif. Emangnya kamu mau nikah pas usianya udah terlalu tua? Resikonya lebih gede loh, entah itu untuk punya anak atau untuk perencanaan keluarga ke depannya."

Holy cowl.

Dan sekarang, gue bisa melihat bahwa yang sedang mencoba memberondong gue bukan cuman tante gue seorang, melainkan om-tante gue yang lain, bahkan hingga ke orang tua gue dan orang tua Jev yang perlahan mulai mendekat dengan satu niat yang sama : mau ikutan nimbrung mencecar gue, yang intinya menuntut supaya gue dan Jev cepat-cepat ngelanjutin ke jenjang berikutnya. Oh God. Ini salah satu alasan kenapa gue benci pertemuan dengan keluarga besar. Selalu ada tuntutan untuk menjadi ideal, yang mau nggak mau harus selalu gue penuhi walaupun itu benar-benar "bukan gue". Sesuatu yang membuat gue harus berpura-pura mengikuti standar ideal orang lain—dan gue benci ngelakuin itu.

"Aku belum kepikiran kesana sekarang ini."

"Kok gitu?"

"Nggak tau deh. Kayaknya nggak nikah juga nggak akan berpengaruh banyak buatku."

Dan dengan sebaris jawaban itu, semuanya langsung terdiam. Ya, semuanya, bahkan adek gue yang awalnya masih sibuk mainin gadget sambil chatting sama calon gebetannya di seberang sana. Termasuk Jev yang sempat menatap gue dengan pandangan yang sulit diartikan selama beberapa saat. Oh, oke. Gue harus mengakui kalau gue sudah keterlaluan. Gue nggak seharusnya bilang begitu disana, karena bagaimanapun jalan pikiran mereka terlalu sederhana buat bisa memahami jalan pikiran gue yang terlampau rumit. Tidak menikah adalah pilihan yang buruk, menurut mereka. Sebagian lainnya tentu bakal langsung mengaitkan sama dosa, mengingat konon katanya nikah adalah sebuah kewajiban dalam agama. Ck. Udah gue bilang. Gue percaya Tuhan, tapi agak ragu dengan agama. Kalau nikah mungkin akan membuat gue nggak bahagia, kenapa gue harus dipaksa menjalaninya? Bukannya agama sendiri melarang tindakan self-destruction?

"Raya," Tante gue berujar dengan hati-hati, dan air mukanya sekarang ini bener-bener serius. Semua kesan bercanda yang awalnya ada udah sepenuhnya hilang. Akhirnya gue cuman bisa menghela napas, dan meletakkan begitu aja sendok sop buah yang sebelumnya terpegang di tangan gue.

"Nah, its okay." Kata gue tanpa melihat muka mereka lagi, lantas berbalik dan melangkah pergi dari sana. Gue nggak mau ngeliat ekspresi itu—ekspresi yang menyiratkan seolah-olah gue memiliki pikiran radikal yang nggak seharusnya ada. Seakan-akan gue terlalu freak, terlalu sulit dimengerti, layaknya anomali yang nggak bisa dibiarkan begitu aja. Gue udah biasa dihujani pandangan menghakimi seperti itu sejak masa sekolah hingga masa kuliah gue. Nggak papa, selama yang menatap gue dengan pandangan seperti itu adalah orang asing. Tapi jika yang memandang gue kayak gitu adalah keluarga gue sendiri... entah kenapa... rasanya gue nggak bisa.

Gue berjalan tanpa arah, keluar dari halaman dan menyusuri jalan besar komplek rumah gue. Sendirian, dengan raut muka yang masih menyisakan kekesalan. Sampai kemudian langkah kaki gue terhenti begitu gue sampe di taman komplek, yang entah kenapa masih aja sama walaupun bertahun-tahun udah lewat. Sama kayak jalan kecil yang mengarah ke sekolah SD tempat gue dan Jev menimba ilmu dulu, taman komplek itu juga merupakan tempat yang penuh kenangan, paling nggak buat gue. Dan menyadari gimana taman itu nggak pernah berubah dari jaman gue berseragam merah putih sampe sekarang entah bagaimana membuat gue lega. Dari semua perubahan yang berlangsung begitu cepat sampai-sampai gue merasa takut untuk menghadapinya, taman ini adalah salah satu dari sedikit hal yang nggak pernah berubah.

Gue memutuskan untuk membelokkan langkah kesana, lalu duduk di salah satu ayunannya. Kaki gue terjuntai ke bawah, menyentuh tanah berumput dan mengayun ayunan itu pelan, nyoba untuk melupakan semua pandangan menghakimi yang baru aja gue dapetin dari anggota keluarga besar gue sendiri. Angin berhembus, lantas secara tiba-tiba, gue merasa seseorang meraih ayunan tempat gue berada dari belakang, mengayun ayunan itu lebih keras hingga gue merasakan semilir angin yang berhembus menerpa wajah gue seiring dengan ayunan yang berayun lebih tinggi.

"Udah gue tebak lo bakal kabur kesini." Katanya, dan tanpa nengok juga gue udah tau siapa pemilik suara itu. Jeviar. Udah terlalu lama gue menghabiskan waktu bareng dia, hingga segala sesuatu tentang dia terasa begitu familiar. Hingga gue nggak bisa membayangkan gimana jadinya tanpa dia. Aneh, karena gue tau gue butuh dia untuk menjaga dunia gue berputar di tempatnya, tapi masih aja ngerasa takut buat menghabiskan sisa umur gue cuman bareng dia.

Gue cuman diem.

"Jangan ngambek dong, Ra."

"Lo nggak marah?"

Dia masih aja mengayun ayunan gue. "Kenapa gue harus marah?" katanya balik bertanya.

"Tentang apa yang gue omongin tadi." Gue menjejakkan kaki gue ke tanah, menghentikan ayunannya secara otomatis, lalu memutar posisi badan hingga sekarang gue bisa menatap dia. "Gue nggak maksud ngomong gitu. Maaf."

Dia jongkok, matanya menatap gue dengan lekat, lalu perlahan dia tersenyum. Masih senyum yang sama—senyum khas dari anak laki-laki yang gue liat saat gue masih SD. Senyum ketika suatu pagi dia berdiri dengan rambutnya yang merah karena terbakar sinar matahari, diiringi senyum sambil sebelah tangan menyodorkan kertas bergambar Doraemon penuh glitter biru buat gue. "You are not an easy girl, are you?"

"Je,"

"Selow aja kali."

"Maafin gue."

"Bukan lo yang salah." Dia memiringkan wajah, menatap gue seolah gue adalah alasan kenapa dunianya masih berputar pada orbitnya. "Gue yang salah. Karena gue nggak cukup bagus buat bisa ngeyakinin lo untuk mempercayakan sisa hidup lo sama gue."

"Je,"

"Tenang aja. Gue nggak akan nyerah kok. Perjanjian kita waktu itu masih berlaku kan?"

"Perjanjian apa?"

"Perjanjian dimana gue harus ngeyakinin lo. Dan gue nggak akan berenti sampe lo yakin."

"Kalo gue nggak yakin-yakin?"

"Ya gue nggak bakal berenti."

"Kalo kelamaan gimana?"

"Ya bakal gue tunggu."

"Nungguin itu capek, Je."

"Tapi nggak secapek mencari lagi." dia tersenyum. Senyum lebar, yang bahkan terlihat sampai ke matanya. "Apalagi nyari yang kayak lo. Satu banding sejuta kali. Pegel banget gue kalo harus mengenal satu juta cewek lagi cuman buat ngedapetin yang kayak lo. Udah gitu, belom tentu juga dia mau gue ajak kawin."

"Emangnya gue mau?"

"You will." Katanya dengan ringan, lantas dia ketawa. Ketawa tanpa beban. Kadang gue bertanya-tanya, sebenernya dia tercipta dari apa. Kenapa dia bisa begitu baik, memaafkan semua kesalahan yang udah gue lakuin ke dia, nggak peduli seberapa besar kesalahan itu. Gue udah begitu jahat sama dia, sampe-sampe mungkin gue udah nggak pantes lagi ngedapetin dia. Tapi dia selalu balik. Dari dulu. Setiap kali gue berpikir bahwa mungkin suatu hari nanti dia bakal sepenuhnya menghilang, dia selalu kembali, seperti mau ngebuktiin kalau apa yang gue pikirin itu salah.

"Yakin banget."

"Harus-lah."

"Jangan terlalu yakin, Je." Gue menarik napas. "Nanti lo kecewa."

Tawanya hilang, dan wajahnya berubah serius. Matanya yang gelap menatap gue lekat selama beberapa saat, lalu tangannya terulur, menyelipkan anak rambut di sisi wajah gue ke belakang telinga. Dia terdiam sebentar, tapi matanya nggak pernah sekalipun berhenti memandang ke arah gue. "Semua yang udah kejadian diantara kita, apakah lo nggak paham arti dari itu semua?"

"Hng?"

"Udah gue duga." Dia ketawa, agak sedikit sarkastik. "Daridulu, lo emang cuman pinter pelajaran doang."

"Je,"

"Lo bisa pergi ke ujung dunia paling jauh sekalipun, Raya, tapi pada akhirnya, lo akan selalu balik ke gue. Begitupun gue. Gue bisa milih cewek manapun yang gue mau. Tapi pada akhirnya gue akan selalu balik ke lo. Karena nggak ada dari mereka yang bisa menjadi sesuatu yang sama seperti lo yang menjadi sesuatu buat gue. Kalau pada akhirnya lo memilih untuk nggak nikah dan tetep stay seperti ini selamanya, well, gue rasa gue juga nggak bakal keberatan."

"Gila lo. Lo nggak pengen apa kayak temen-temen lo yang lain?"

"Masalahnya, cewek gue nggak kayak cewek temen-temen gue yang lain. Jadi gimana dong."

"Kampret."

"Tapi gue tetep sayang kok,"

"Yaelah."

"Yoi." Dia terkekeh, tapi terus berenti, dan sedetik kemudian dia mencondongkan badan, mengecup pelan sisi wajah gue. "Gue cuman pengen lo bahagia."

Gue sempet cengo sebentar. "Kenapa?"

"Karena lo pantas bahagia."

Dia ketawa.

Dan gue pun ikut ketawa.

Saat itu, ngeliat dia disana, ketawa lepas hingga matanya menyipit dan dekiknya tercetak dalam, gue ngerasa kalau gue adalah orang yang sangat beruntung. Dan gue berani sumpah bahwa detik itu adalah salah satu momen paling bahagia yang pernah gue rasain sepanjang hidup gue.

He's indeed the best thing that ever happened to me.

***

"Jadi kesimpulannya gimana? Lo tetep masih mau ngegantungin dia gitu aja?" Adalah kalimat pertama yang keluar dari Hana beberapa saat setelah gue ngebacot panjang kali lebar kali tinggi pas kita meet up di restoran deket kampus yang emang udah jadi basis tempat nongkrong kita-kita dari jaman kuliah dulu—selain kantin teknik tentunya. Btw dia udah jadi ukhti sekarang—udah kerudungan gitu, tapi ya bukan tipe-tipe kerudungan yang ketinggalan jaman gitu ngerti nggak? Dandanannya udah kayak sosialita berkerudung nan fashionable macem Dian Pelangi, sampe gue mikir nggak akan ada yang ngira kalau dulunya dia adalah mahasiswi yang setia mengulang mata kuliahnya Pak Nana Supena hingga bersemester-semester lamanya. Gue sempet mengamati dia sebentar mengingat terakhir kali kita ketemu adalah beberapa bulan pasca dia kawin ama suaminya yang sekarang—yang bener-bener nggak pernah gue tebak sama sekali kalo tuh orang yang kelak jadi pendamping hidup seorang Yohana doang.

Tapi ya, hidup itu emang misteri. Ada banyak kejutan dan belokan tidak terduga di dalamnya—entah itu untuk urusan percintaan Hana, atau hidup gue sendiri. Tapi dengan sekali liat, gue tau kalau dia bahagia. Secara lahir maupun batin. Yaiyalah, kalo punya suami macem suaminya yang sekarang ya gimana nggak bahagia? Secara status sosial dia jadi terangkat abis, dianggap sama cemerlangnya kayak suaminya, belom lagi bisnis-bisnis yang udah mereka rintis berdua dari jaman mereka belom nikah—entah itu bisnis café sampe ke bisnis properti macem kos-kosan.

Hari ini adalah salah satu dari sedikit hari langka, dimana gue libur dan bisa beristirahat sejenak dari rutinitas perkantoran yang seringkali bikin jenuh setengah mati, sementara Jev masih sibuk ngurusin kerjaannya di Bandung sana. Biasanya, tiap hari libur gue nggak pernah nganggur, karena ketika gue libur, Jev selalu punya waktu luang untuk ngerencanain sesuatu buat kita berdua, mulai dari cuman jalan-jalan random di seputaran Jakarta sampe menyusuri jalanan tanpa arah. Rekor terjauh kita berdua ya paling banter cuman sampe Parung, itu juga udah pegel abis, baik karena kebanyakan ketawa di mobil, atau deg-degan parah tiap kali dia nyetir sambil ngebut. Sebenernya, hari ini dia nyuruh gue cabut ke Bandung. Sesuatu yang bikin gue sempet cengo. Ya buset ngapain juga gue kesana? Mantengin site salah satu mega proyek konstruksinya yang belom kelar? Ah gila. Sorry aja, tapi telinga gue nggak betah sama sekali ngedengerin bunyi mesin konstruksi yang berisiknya amit-amit. Gue nggak mau dateng, dan dia langsung bereaksi keras. Anehnya, perdebatan kita terputus begitu aja pas gue bilang gue mau meet up sama Hana. Entah ada kong-kalikong macem apa diantara mereka.

"Gue nggak tau," gue menjawab jujur sambil mengaduk smoothies dalam gelas gue, menyedotnya tanpa selera.

"Raya, liat gue." katanya sambil mendengus pas dia liat tangan gue masih aja hiperaktif sama sedotan. "Gue serius. Lo berdua mau begini terus selamanya?"

"Kalo kita berdua bisa bahagia dengan begini, why not?"

"Sinting." Hana berdecak. "Cinta itu nggak cukup cuman dengan kata-kata. Perlu ada tindakan."

"Lo lagi ngomongin ijab kabul, pada 'tindakan' yang itu?"

"Dua-duanya."

"Yah, kalau untuk nikah tujuan cuman kesana," gue mengedikkan bahu. "Kita berdua nggak perlu nikah buat ngelakuin itu."

Sedetik.

Dua detik.

Lalu Hana langsung melotot. "RAYA! JANGAN BILANG KALAU LO AMA DIA—"

"Kita berdua bukan orang alim, Na. He is a sinner. And so am I."

Hana mendelik. "Lo berdua bener-bener sinting ya."

Gue ketawa. "Skor kita tetep seri."

"Beda urusan. Gue ngelakuin itu semua ketika emang udah sewajarnya gue ngelakuin. Kan dia suami gue." Hana berkilah. "Lah elo berdua? Gila aja kalo bokap-nyokap lo berdua sampe tau. Digeret ke KUA kali lo pada. Anjir, jaman udah sebegini berantakannya sampe temen-temen gue bener-bener jadi iblis sepenuhnya."

"Oh." Kata gue mencibir. "Kita udah sama-sama dewasa."

"Tapi tindakan lo yang terus menerus lari dari komitmen yang dia tawarin itu bikin lo jadi keliatan kekanakan banget, Raya."

Gue cuman bisa terdiam, karena jauh di dalam hati gue tau kalo apa yang dibilang Hana itu benar. Gue kekanakan, tapi gue nggak bisa memaksa diri gue untuk mencoba berani, untuk nggak memikirkan apa yang kemungkinan terjadi di masa depan. Jujur, sampe sekarang gue nggak pernah bisa mempercayai seseorang sepenuhnya. Nggak dengan orang tua gue. Nggak dengan Hana, Adrian, Faris, Rama, atau bahkan Edgar. Nggak dengan Jev. Meskipun kecil, gue tau kemungkinan bahwa suatu saat nanti mereka nyakitin gue tetep ada. Dan gue udah puas sama yang namanya rasa sakit.

"Apa sih yang lo takutin?" suara Hana diikuti sentuhan tangannya di tangan gue membuat gue langsung terkesiap, seperti baru saja ditarik paksa dari lamunan.

"Banyak."

"Lo takut suatu hari dia nggak cinta lagi sama lo?"

Harus gue akui, salah satunya itu.

"Raya, cinta itu emang nggak akan pernah sama. Musim terus berubah. Hari terus berganti. Nothing lasts forever. Semua ada masanya, termasuk cinta itu sendiri. Tapi bukan berarti cinta itu bakal hilang. Dia bisa aja berubah ke bentuk yang lain. Berubah ke bentuk kepedulian. Rasa sayang."

"Atau kebencian."

"Lo nggak percaya dia?"

Is that even a question?

Hana berdecak. "After all these years, he never stop loving you. That should be enough, no? Dia mungkin akan berubah. Tapi setelah bertahun-tahun lewat, faktanya dia masih ada di samping lo. Masih ada buat lo. Apa lagi yang harus dia lakuin buat bikin lo yakin?"

"Gue... nggak tau."

"Karena lo nggak pernah mau tau."

Untuk kesekian kalinya, gue harus akuin kalau Hana bener. Kampret. Tumben banget dia bisa bijak gini. Pengaruh dari mas suami atau emang dia sendiri udah jauh lebih dewasa? Kenapa gue selalu berpikir kalau dia adalah Hana yang masih aja sama, temen gue, si mahasiswi teknik industri yang setia mengulang kelas kalkulus di tiap tahunnya.

"Ego laki-laki itu gede, Ra. Gede banget. Dan gimanapun juga, dia laki-laki." Hana menghela napas. "Dia udah mengorbankan egonya sendiri demi lo. Dia nggak memaksa lo. Dia mencoba bilang kalau dia baik-baik aja walaupun kalian berdua tetep kayak gini sampe seterusnya. But deep down inside, he's not alright. Satu persatu temennya udah pindah ke jenjang berikutnya. Beberapa malah udah mau punya anak. Nggak ada seorangpun yang suka berada dalam posisi yang terus menerus sama. Kecuali lo, mungkin."

"Lo narik kesimpulan dari mana?"

"Karena menurut gue, lo punya ketakutan berlebihan akan perubahan."

"Sejak kapan lo jadi psikolog?"

Hana nyengir. "Gue kasih tau ya, dalam hidup ini, bakal selalu ada perubahan. Karena hidup terus berjalan. Apa susahnya percaya sama dia sekali ini aja? Rasanya nggak adil dia udah selalu percaya sama lo, sementara lo nggak pernah sekalipun mau bener-bener percaya sama dia."

Hening.

"Raya?"

"Na,"

"Hng? Lo sebenernya ngerti nggak sih apa yang gue omongin?"

"Ngerti lah, lo kira gue selemot itu apa." Gue menyentakkan kepala. "Makasih."

"Tumben lo inget bilang makasih." Dia berujar dengan cuek sambil ngeraih sepotong mozzarella stick dari piringnya. "Mending lo mulai mikir deh. Biar pinteran dikit. Pinter dalem hidup, bukan pinter dalem pelajaran. Masak iya nanti keponakan lebih pinter dari tantenya."

Omongan Hana bikin sebelah alis gue keangkat. "Keponakan?"

"Iye. Keponakan lo." Dia langsung nyengir evil yang otomatis langsung ngingetin gue ama gaya cengiran tengilnya Rama yang super brengsek. "Anak gue."

"HAH??!!!"

"Muehehe. Syok bener. Jadi malu."

"BOHONG?!!!!!!"

"Tokcer kan?"

"SERIUS?!!!!"

"Napa sih lo kayak gapercaya banget?"

"ANJIR."

"Apaan sih!" Hana cemberut sambil nimpuk gue pake selada. "Kayak keajaiban dunia banget sih."

Kampret.

Dunia berubah begitu cepet. Terlalu cepet.

Dan apa yang Hana bilang bener. Gue emang punya ketakutan yang berlebihan sama sesuatu yang bernama perubahan. Tapi kemudian omongan Hana kembali terngiang di telinga gue.

Apa susahnya percaya sama dia sekali ini aja? Rasanya nggak adil dia udah selalu percaya sama lo, sementara lo nggak pernah sekalipun mau bener-bener percaya sama dia.

I'm screwed up.

***

Jev dateng ke apartemen gue sore harinya. Sebuah tindakan bunuh diri sih, kalau menurut gue. Ya gimana enggak, begitu urusannya di site proyek kelar, dia langsung cabut gitu aja dari Bandung ke Jakarta. Beruntung karena sekarang-sekarang ini bukan weekend, sebab kalo iya, dia mungkin masih terjebak di jalan sampe sekarang. Tau sendiri kayaknya nggak ada tempat liburan lain yang ideal menurut warga Jakarta selain kawasan Puncak dan sekitarnya. Saking demennya bolak-balik Puncak tiap minggu, mereka sampe ada yang bela-belain ngerambah ruang terbuka hijau disana buat dijadiin villa—dan lucunya, begitu kebanjiran, mereka justru nyalahin pemerintah. Well, ya, kayaknya budaya saling menyalahkan itu sendiri udah lekat banget sama sebagian besar masyarakat sini, kayak lintah yang nggak bisa dilepas lagi. Pathetic.

Gue lagi duduk di sofa sambil nyetel ulang film yang udah sering banget gue tonton dari jaman SMA—judulnya Mean Girls—ketika dia dateng. Ah ya, perlu diketahui, dia udah tau dengan detil password pintu apartemen gue, belum lagi pass-card apartemen gue yang entah gimana bisa dia dapetin begitu aja. Bukan salah pihak securitynya juga sih, ya gimana, apartemen gue udah kayak apartemen dia aja, sementara rumahnya dia yang di Bandung juga udah kayak rumah gue. Satu dari sedikit hal yang sama sekali nggak pernah berubah dari jaman kita masih bocah. Dia bawa sekotak martabak keju yang cuman dengan nyium baunya aja udah bikin air liur gue terbit dan sebungkusan makanan lainnya yang otomatis bikin gue berpikir kalau malam ini bakal panjang. Panjang buat movie marathon dan ngobrol sambil ngemil ya, in case pikiran lo mengarah pada sesuatu yang kotor.

"Nonton film?"

"Ya kali menurut lo gimana,"

Dia tertawa kecil, lalu naro bungkusan di tangannya ke atas meja sebelum akhirnya membungkuk, ngacak rambut di satu sisi kepala gue. "Jutek banget sih, mbaknya. Bikin makin naksir aja."

"Don't be touchy touchy," kata gue sambil beringsut mundur di sofa, menghindari dia. "Badan lo bau semen. Males."

"Hm, gitu ya?"

"Iya. Udah sana ih mandi."

"Males."

"Je,"

"Temenin,"

Gue melotot. "Coba ngomong sekali lagi."

Dia ketawa, lebar banget. Dan lesung pipinya kembali keliatan. Lantas tangannya bergerak, dan sambil melepaskan dua kancing paling atas kemejanya, dia berjalan ngejauh. "Galak bener sih. Abis ngomongin apa coba ama Hana tadi?"

"Mandi dulu pokoknya."

"Ck. Iya-iya." Dia ngejawab, lantas berjalan ninggalin gue menuju ke kamar mandi. Beberapa detik kemudian, pintu tertutup, diikuti suara air yang mengalir dan aroma samar shower gel di udara. Gue memilih untuk tetep stay di sofa, ngeliatin muka Lindsay Lohan meskipun pikiran gue jelas nggak berada disana. Gue bingung. Di satu sisi gue mikirin ucapan Hana dan di sisi lain gue membayangkan gimana seksinya itu petruk satu di dalem sana. Shirtless, dengan bahu yang bidang dan lengan yang cukup kredibel buat dijadiin tempat bersandar. Dia mungkin nggak se-sixpack mereka-mereka yang biasa ngabisin waktu luangnya di pusat kebugaran, tapi paling nggak dia punya badan cowok yang enak buat disenderin, juga buat diliat. Ahelah. No. Fokus, Raya. Fokus.

Apa susahnya percaya sama dia sekali ini aja? Rasanya nggak adil dia udah selalu percaya sama lo, sementara lo nggak pernah sekalipun mau bener-bener percaya sama dia.

Hana bener. Betapa sering gue udah berbuat nggak adil sama dia. Betapa sering gue udah berbuat jahat sama dia. Cuman herannya, dia selalu balik, seolah kesalahan gue nggak berarti apa-apa. Seperti bagi dia, gue nggak pernah melakukan apapun yang bikin gue pantes dibenci. Akan jauh lebih mudah bagi gue seandainya dia orang yang emang pada dasarnya pemaaf. Tapi dia bukan orang yang pemaaf. Dia adalah dia, yang tiap kali putus sama mantannya nggak pernah nggak pake cara kasar macem ribut hebat sampe satu sekolahan tahu. Bahkan sampe sekarang , jumlah mantan yang masih berhubungan baik sama dia bisa diitung pake jari. Salwa mungkin salah satunya—walaupun gue udah lama juga nggak denger kabar tuh cewek.

"Ngelamun?"

Gue tersentak ketika suara dia terdengar lagi, bikin gue secara otomatis langsung nengok dan God, kenapa dia bisa tercipta dengan sebegitu puitisnya? Rambutnya yang gelap masih basah, nempel ke pelipis dan dahinya. Ada titik air di wajahnya, dan nggak pake apa-apa dari pinggang ke atas. Sumpah. Gue udah sering liat dia begitu—malah pernah liat yang lebih dari itu. Tapi kenapa dia nggak pernah berenti bikin gue kehabisan kata-kata?

"Puas ngeliatinnya?"

Muka gue kerasa panas. "Apasi kampret."

"Lagian elo, ngeliatin sampe segitunya." Dia duduk di samping gue, ngebuka kotak martabak dan nyomot seiris. "Kenapa sih? Hm? Hana ngomong apa sampe lo bengong gini?"

Pusing. Sumpah pusing. Dengan kondisi dia yang shirtless di samping gue dan bau shower gel yang memenuhi udara, gue nyaris kehilangan orientasi.

"Raya,"

"Nggak papa. Lo pake baju dulu mending deh."

"Nggak ah."

"Je,"

"Apasih, lo udah biasa juga kan."

Elah biji korma.

"Yaelah malah diem."

Gue berdecak. "Gue bingung mau ngomong apa."

"Gue bukan atasan lo. Gue cowok lo. Tibang ngomong aja apa susahnya," dia nyomot seiris martabak lagi, terus menyodorkan tuh irisan makanan ke gue. "Aaa."

Secara refleks, gue buka mulut. Sial. Enak.

"Gue nggak tau apa yang Hana omongin ke lo." Dia bilang tiba-tiba, "Tapi jangan jadiin itu beban."

Selama sejenak, hening. Satu-satunya suara di ruangan itu bersumber dari Regina George yang baru aja ketabrak bus setelah dia ngelabrak karakter yang diperanin Lindsay Lohan.

"Gue jahat banget ya?"

"Apaan sih gue nggak ngerti,"

Gue terdiam. Rasanya kayak ada gumpalan besar yang mengganjal di tenggorokan. Sesuatu yang biasa gue rasain tiap gue mau mewek. "Gue jahat banget sama lo. Iya kan?"

Dia diem sebentar, tapi sesaat kemudian mukanya keliatan mengerti. "Raya,"

"Maaf," gue menggigit bibir. Sumpah. Kenapa suasananya jadi mellow gini sih? Gue benci drama. Benci banget. Tapi sekarang tingkah gue malah lebih murahan daripada akting aktris kacangan dalam drama pasaran. "Gue nggak maksud... tapi... gue takut."

Dia hanya diam, tapi tangannya terulur, menyelipkan rambut gue yang tergerai ke belakang telinga. Matanya masih aja menatap lembut, dan terus terang, itu yang bikin gue ngerasa makin bersalah. "Masih rasa takut yang sama?"

Gue nggak tau harus jawab apa.

"Hati manusia itu sesuatu yang susah ditebak, karena kita nggak pernah tau kapan hati kita berubah, kapan hati kita jatuh, dan kapan hati kita memilih. Gue sendiri nggak tau kedepannya bakal kayak gimana, tapi yang gue tau, dari awal gue kenal lo sampe sekarang, nggak pernah sekalipun gue nggak membutuhkan elo. Gue sayang lo, dari kemarin, sampe hari ini, dan gue berharap sampe besok-besok. Kalau lo takut suatu hari nanti gue nggak akan memandang lo dengan cara yang sama lagi, then it makes the two of us. Lo nggak tau kan kalau selama ini gue juga menyimpan ketakutan yang sama. Nggak, gue nggak pernah takut perasaan lo bakal berubah. Gue cuman takut lo bakal menghilang, karena udah berapa kali lo ngelakuin itu selama kita saling kenal."

"Jev,"

"Kalo lo masih juga nggak yakin, then its okay. Kalau lo mau kita tetep ada dalam fase kita yang sekarang, gue nggak akan keberatan. Asal lo bahagia, itu udah cukup buat gue."

"Jev," Ah sial. Kenapa jadi melankolis macem drama gini sih.

"Yaelah kenapa malah mewek sih?"

Gue merem, sebelum akhirnya ndusel-ndusel unyu di lengannya yang terekspos bebas. "Ngantuk."

"Lah, tumben."

"Ngomong ama Hana bikin otak gue ngebul."

"Kenapa? Pasca nikah dia jadi makin lemot atau gimana?"

"Nggak. Tumbenan dia bijak. Omongannya dalem banget ampe bikin gue mikir." Gue ngejawab, masih nyender di bahunya sambil merem. Badan Jev berguncang pelan saat dia ketawa, lantas tangannya bergerak dan jarinya kembali mengusap helaian rambut gue.

"Mau tidur beneran nih?"

"Iya." Kata gue sambil narik napas. Oh ya ampun. Gue jadi susah ngebedain antara aroma badannya sama aroma surga. Yah, nggak tau juga sih kan gue belom pernah mati juga jadi belom pernah sampe surga. Cuman ya itu. Salah satu tempat paling nyaman di dunia ini ya sudah pasti lengannya seorang Jev Mahardika.

"Pindah dong ke kamar."

"Nggak mau. Udah pewe."

"Tumben bener lo manja." Tapi dia sama sekali nggak beranjak dari sana. "Yaudah. Kalau mau molor, ya molor aja. Nanti gue pindahin ke kamar."

"Emangnya lo mau nginep disini malem ini?"

"Emangnya lo mau ngusir gue?"

Masih merem, gue menggeleng lalu ketawa. "Enggak. Yaudah disini aja terus."

Dia cuman diem, tapi tangannya masih di sana. Di puncak kepala gue, mengusap dengan gerakan paling nyaman yang pernah gue tau. Hening sejenak diantara kita, bahkan suara Lindsay Lohan dan Rachel McAdams pun seperti gema yang berasal dari kejauhan. Nyaris nggak terdengar. Satu-satunya suara paling jelas yang terdengar di telinga gue cuman helaan napas gue sendiri dan detak jantung sosok yang tengah gue jadikan sandaran.

"Jev,"

"Ng?"

"Gue sayang lo."

"Me too, babygirl. Me too."

Samar, sebelum gue jatuh tertidur ditelan mimpi, gue merasakan bibirnya. Di puncak kepala gue. Mengecup dengan pelan. Dan lama.

***

JEV

Gue terbangun pagi harinya saat gue merasakan temperatur udara di sekeliling gue jadi berubah begitu dingin. Dengan malas, gue mengerang pelan, lalu membuka mata. Benda pertama yang gue lihat adalah langit-langit warna nude yang langsung gue kenali sebagai warna langit-langit apartemen Raya. Secara refleks, tangan gue langsung meraba kasur di sebelah gue, hanya untuk mendapati kekosongan disana. Nggak ada kulit yang hangat, atau rambut lembut yang tersebar di sekeliling bantal. Yang ada cuman permukaan seprei yang dingin, dan sebuah sticky notes yang ditempel di meja lampu sisi tempat tidur.

Gue mendesah malas, tapi memaksa diri buat bangun.

'Good morning :) Sorry cabut gabilang-bilang. Lo tau sendiri panggilan atasan udah kayak panggilan Tuhan. Ada sesuatu di dapur. Cari aja.'

Well?

Udah lama banget sejak terakhir kali Raya ngajakin gue main misteri-misterian kayak gini. Harus gue akui gue jadi tertarik. Akhirnya gue mutusin buat langsung bangun dari kasur dan beranjak menuju dapur. Sticky notes berikutnya dengan warna hijau langsung menyambut gue, ditempel di panggangan roti—yang emang merupakan benda pertama yang gue sentuh tiap kali gue masuk ke dapur apartemennya.

'Keping kedua. Cek kulkas.'

Apa ini? Permainan mencari telur paskah? Apa Raya cuman lagi berniat ngerjain gue? Tapi gue menurut, beralih ke kulkas hanya untuk mendapati sticky notes lainnya di temple di pintu, dengan tempelan Darth Vader di sisi kanan bawahnya. Fokus pertama gue adalah Darth Vader, tapi kemudian mata gue tertarik pada tulisan di sticky notes itu, ditulis dengan tinta merah.

'Lo punya utang sama gue –RA'

Gue mengerutkan kening. Apa artinya ini? Gue pikir hari ulang tahun gue belom pindah tanggal. Tapi kenapa dia malah ngajakin gue mainan kayak gini, dengan penutup kalimat super ambigu yang mungkin memiliki banyak arti? Gue masih tercengang di tempat gue berdiri saat gue merasakan seseorang meraih pinggang gue dari belakang, memeluk gue, dan dari bau parfum yang mengambang di udara, gue tau kalau itu Raya.

"Hm. Sejak kapan gue berubah jadi atasan lo?"

Dia tersenyum saat gue berbalik. "Udah baca sticky notesnya?"

"Udah. Apa maksudnya coba? Perasaan gue nggak ada utang."

"Ada."

"Apaan?"

"Ck, lo lupa?"

"Yaelah. Gue aja lupa kemaren gue sarapan pake apa. Udah tibang jawab aja ngapa, Ra?"

"Cincin."

"Hah?"

"Lo punya utang cincin kawin sama gue."

"HAH?"

"Bayar."

"HAH??"

"Bayar buruan."

"HAH??"

"Jev, nggak ada kata lain apa?"

"Tunggu dulu. Ini gue bingung banget sumpah. Jangan bilang kalau lo—"

"Yep," Dia mengedipkan sebelah matanya. "Let's just get married."

Setelah sempat cengo selama beberapa saat, gue memutuskan untuk membalas sinar nakal yang bermain di bola matanya. "Challenge accepted."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro