EXTRA | BE MY GROOMSMAN?
Adrian sedang duduk di depan kanvas putih berukuran sedang dengan tangan kanan menjepit kuas ketika suara seorang perempuan terdengar. Lelaki itu mengalihkan perhatian pada sumber suara, hanya untuk mendapati isterinya berada di ambang pintu. Senyumnya seketika tertarik. Senyum cerah yang tidak pernah berubah, bahkan sejak pertama kali mereka baru mengenal.
"Morning, dear. Had a good sleep?"
Isterinya tidak langsung menjawab. Mata perempuan itu lebih dahulu menatap pada seonggok bunga dalam vas yang kini menjadi objek lukisan. Lalu dia menghela napas, balik menatap Adrian dengan sorot hangat. Ah. Mata itu. Tidak peduli berapa lama pun Adrian memandangnya, dia tidak pernah merasa puas. Perempuan itu punya mata seperti blackhole. Hanya satu tatapan, dan Adrian akan tersedot keluar dari dunianya.
Tanpa menunggu lebih lama, Adrian beranjak turun dari kursi tinggi yang dia duduki setelah sebelumnya meletakkan palet dan kuas di tangannya ke atas nakas. Pria itu terlihat segar dengan setelan santai yang dia kenakan. Rambutnya lembab, dan ketika dia menunduk untuk memeluk isterinya, perempuan itu bisa mencium aroma sabun bercampur dengan bau yang benar-benar khas Adrian. Tangannya terangkat, merengkuh bahu pria itu ketika hidung Adrian terkubur di bahunya.
"I dreamed about you." Bisiknya, yang membuat Adrian tersenyum sesat setelah mereka melepaskan pelukan. Mungkin apa yang biasa mereka lakukan setiap pagi seperti bertukar kecupan di pipi atau hanya sebatas dekap sederhana adalah sesuatu yang terkesan cheesy, namun tidak bagi Adrian. Setelah tahun-tahun panjang yang berlalu, memiliki perempuan itu dalam rumahnya seperti mimpi. Adrian sudah berjanji bahwa dia tidak akan membuang barang sedetikpun tanpa menatap perempuan itu dan meyakinkannya bahwa dia pantas dicintai.
"Oh ya? Tell me."
"In My dream, we had a child. A boy.He looked like a mini version of you. His eyes..." Mata perempuan itu menatap Adrian pada matanya, lekat, kemudian turun pada lekukan hidung. "His nose..." masih senyap ketika dia mengalihkan pandangannya pada bibir Adrian. "And his lips. They're similar with yours."
Adrian memandang perempuan itu dengan dalam, lalu menunduk untuk memberikan sebuah kecupan cepat di bibirnya. "We talked about this. And my answer will still be the same."
Perempuan itu mengerucutkan bibir. "I want it. You know you want it too. So, why don't we—" sebelum isterinya bisa menyelesaikan ucapannya, Adrian sudah lebih dahulu memotong. Suaranya masih lunak, namun kali ini terkesan tegas. Tentu saja. Hingga pernikahan mereka yang sudah menginjak tahun ketiga, tidak pernah sekalipun Adrian berbicara dengan nada kelewat kasar pada perempuan itu. Mereka bilang isterinya beruntung karena bisa mendapatkan seseorang sesempurna Adrian. Dan yah, perempuan itu juga berpikir begitu.
Sebaliknya, Adrian sama sekali tidak beruntung karena mendapatkannya.
"I'm okay. I promise you that I'm okay. Everything is fine."
"No." balas Adrian.
"Kenapa keras kepala banget sih?" Perempuan itu mulai kesal.
"Because I'd rather stay like this with you than make a bet with Death."
"Konyol."
"Say that again." Adrian memberikan sebuah seringai menantang yang membuat ekspresi cemberut di wajah perempuan itu perlahan mencair, sebelum akhirnya sorot nakal merambat di matanya yang sebentuk buah almond.
"Konyol."
"Yes, but you love me." Dan hanya dengan satu kalimat itu, bibir Adrian kembali menjemput bibirnya. Cara lelaki itu menciumnya tidak pernah berubah. Selalu sama. Seperti nada-nada lembut dari lagu pengantar tidur. Tidak tergesa. Dan tidak pernah gagal membuatnya merasa dicintai. Sesi make out itu mungkin akan berlangsung sedikit lebih lama dari ritual morning kiss yang biasa mereka lakukan seandainya saja mereka tidak mendengar suara tawa tertahan. Suara yang membuat keduanya langsung terpisah sebelum akhirnya menoleh secara bersamaan ke ambang pintu.
"Gue nggak liat."
Itu Jeviar. Dan gadis yang berdiri di sampingnya dengan wajah merah padam, tentu saja adalah Raya. Ah ya. Ini hari Sabtu. Adalah wajar melihat mereka berada disini. Keduanya memang hobi datang bertamu ke rumah orang secara tiba-tiba. Tidak jauh berbeda dengan Faris. Atau Rama. Atau Hana dan suaminya yang masih dia panggil sebagai yang tercinta. Orang bilang waktu mengubah segalanya, tapi entah kenapa bagi Adrian, mereka semua masih sama. Masih orang-orang yang tertawa bersama di kantin teknik bertahun-tahun lampau, hanya saja, sekarang mereka menjelma menjadi versi yang lebih dewasa.
Adrian berdehem. "Masih pagi banget, perasaan."
"Iya. Kepagian buat main ke rumah orang. Tapi kesiangan buat ena-ena sama isteri."
"Geez!" Raya meninju bahu Jev, membuat cowok itu langsung mengeluarkan ringisan yanG tentu saja terlampau dramatis. "Greet them with proper manner, can't you?" ujarnya sambil mengomel pendek. Lantas gadis itu melangkah mendekati perempuan yang tidak diragukan lagi dicintai Adrian setengah mati, menariknya ke dalam pelukan.
"It's good to see you."
"Gue juga." Perempuan itu menjawab ucapan Raya, lalu menyipitkan mata dengan jengah pada Jeviar yang justru langsung tertawa kencang. "But it's not good to see you, you know that?"
"Ouch, I'm not hurt, believe me, darling."
Perempuan itu mendengus jengah. "What doesn't hurt you disappoint me."
"Jangan panggil bini gue pake sebutan darling." Adrian menyela cepat.
"Yaelah, posesif banget sih."
"I'll make some tea."
Tanpa menunggu reaksi dari kedua pria yang ada di ruangan tersebut, mereka berlalu begitu saja. Baik Adrian maupun Jeviar tidak mengalihkan pandang dari perempuan-perempuan itu—bahkan Jev sempat mendengar Adrian membisikkan 'hati-hati' nyaris tanpa suara sesaat sebelum isterinya mulai menuruni tangga menuju dapur yang berada di lantai bawah.
"Tumben lo memilih dateng ke tempat gue daripada tempatnya Faris." Adrian berujar sementara mereka berjalan menuju teras belakang.
"Oh, jadi sekarang lo cemburu sama itu biji onta?"
"Nggak juga sih. Emangnya lo siapa?"
"Sobat tersayang lo lah."
Adrian hanya menanggapi ucapan Jev dengan decakan, sementara yang ditanggapi sibuk senyam-senyum tidak jelas. Kadang sulit bagi Adrian membayangkan Jev sebagai salah satu pegawai sebuah perusahaan konstruksi bereputasi luar biasa baik dengan tingkahnya yang tidak jauh beda tengilnya ketika dia masih mahasiswa. Mereka berjalan menyusuri koridor rumah Adrian yang besar, kemudian berbelok menuju teras belakang. Tempat itu menghadap ke sebuah taman luas dengan beragam tanaman berbunga beraneka warna.
"Waduh, sejak kapan Taman Bunga Cipanas pindah kesini?"
"My wife is a talented gardener."
"Raya sih boro-boro, melihara kura-kura aja kura-kuranya mati." Jev terkekeh. "Tapi nggak apa-apa. Aku tetap cinta."
"Jadi, sebenernya kenapa tumben banget lo pagi-pagi udah nyatronin rumah gue?" Adrian kembali bertanya sesaat setelah mereka duduk berhadapan di atas kursi rotan. Jeviar tidak langsung menjawab. Cowok itu menatap sejenak pada sekumpulan awan yang menggantung di langit biru. Pagi ini cuacanya cerah. Sinar matahari menyirami pucuk-pucuk hijau tanaman di taman belakang rumah Adrian tanpa halangan. Mengeringkan sisa titik-titik embun di atas rerumputan.
"I wanna ask you a favor."
"Hm?" salah satu alis Adrian terangkat. "Is this even a question? You know you are my bestfriend, Mahardika. Ngomong aja."
"Be my best man."
"Maksud lo—HAH?!" Adrian tidak bisa menutupi keterkejutannya.
"Ya ampun. Keseringan ngelukis bikin lo budek ya. Gue barusan nanya, lo mau nggak jadi best man gue?"
"Best...man?"
Jev menyipitkan matanya. "Yan, mau gue anterin cek telinga ke dokter THT? Yuk, mumpung gue lagi disini juga."
"Tunggu dulu."
"Sumpah, lo bikin gue khawatir."
"Lo yang bikin gue kaget, nyet!" Adrian tidak bisa menahan seruan kesalnya. "Maksud lo— tunggu. Best man. Lah, emangnya lo mau nikah? Sama siapa?"
"Emang dia mau?"
Jeviar memasang raut wajah kecewa. "Gila, ya. Lo semua tuh temen gue bukan sih? Enggak Hana, enggak si Batak, nggak Dio, nggak Rama... Faris... bahkan lo. Ah, anying. Emangnya gue se-nggak suamiable gitu apa?! Ngedenger Hana nikah aja lo nggak kaget, lah kenapa sekarang lo masang muka seakan-akan matahari baru aja terbit dua biji?!"
"Bukan begitu... maksud gue..." Adrian menghela napas. "Gila. Lo apain dia sampe dia mau nikah sama lo?"
"Gue kasih cinta yang tulus."
"Gue serius, ler."
"Emang muka gue kelihatan bercanda?"
Kedua cowok itu bertatapan sejenak, lalu tanpa sadar, Adrian menghembuskan napas dengan sangat-sangat panjang. "Bokapnya dia setuju?"
"Yan, apakah gue se-enggak pantes itu buat dia?"
Tanpa sadar, Adrian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Yah, enggak begitu juga sih sebenarnya."
"Yaudah. Intinya gue dan dia bakal nikah. Dua bulan dari sekarang." Jev nyengir. "So, will you be my best man?"
Senyap lagi. Kemudian Jev kembali bicara.
"Etdah. Ini kenapa gue kedengeran kayak lagi ngelamar lo ya."
"Best man?"
"Sekali lo nanya lagi, gue gebuk lo pake cangkul."
Adrian buru-buru meralat. "Bukan gitu. Maksud gue, dari semuanya, dari yang lain, kenapa lo memilih gue?"
"Pertanyaan lo sama kayak pertanyaan Raya pas gue nembak dia dulu." Jev mendelik jengah. "Gue cuma minta lo jadi bestman gue, oke, Yan? Best man. Bukan pacar. Apalagi ngelamar lo. Jadi harap jangan lebay."
"Bukan gitu." Adrian berkata lagi, kali ini dengan jengkel. "Maksud gue, dari semuanya. Ada Faris. Edgar. Rama. Dio. Kenapa lo memilih gue?"
"Simply, because you are my bestfriend." Jeviar mengedikkan bahu. "Bukan berarti yang lain bukan teman gue. Cuma, gue merasa bahwa lo adalah orang yang punya rasa peduli pada Raya sebesar gue. Lo bisa tahu kenapa Raya spesial buat gue. Bukan karena lo teman gue, tapi karena lo bisa melihat jika Raya emang seistimewa itu."
Adrian ingin tertawa begitu mendengar jawaban sahabatnya. Ah ya, Jeviar tidak akan pernah tahu. Dia memang selalu memandang Raya dengan spesial. Karena seperti kata Jev, Raya memang seistimewa itu.
"Congratulations!"
"Tunggu. Jadi jawabannya, lo mau kan?"
"It's one of the happiest days for two of my best friends, how could I say no?"
"OMG! Sini gue peluk!!"
Adrian melotot, lantas bergidik jijik. "Apaan sih dramatis banget."
"Biasanya cewek kan gitu." Jeviar terkekeh. "Kayak Raya sama Hana. Dikit-dikit pelukan mulu. Iri gue jadinya. Tapi berhubung gue tau kalau pelukan cewek sama cewek nggak seenak pelukan cowok sama cewek, jadi yah gue menyabarkan diri."
"Maksudnya?"
"Lo pernah liat cewek pelukan nggak?"
"Sering."
"Tiap mereka pelukan, pasti ada yang ngeganjel."
Adrian tersadar sedetik kemudian. "Sampah banget lo, Jev."
Jeviar membalas ucapan Adrian dengan gelegar tawa. Adrian mulanya hanya memberengut, tapi kemudian dia ikut tertawa. Rasanya menyenangkan bisa menghabiskan waktu bersama teman yang sudah lo kenal lama sekali. Teman yang tahu bagaimana perjalanan lo dari nol hingga lo sampai pada titik dimana lo berada sekarang. Teman yang tahu segalanya tentang lo. Mulai dari cinta masa muda, konflik ala-ala remaja, stress karena tugas yang melanda hingga wajah memelas begitu waktu keluarnya IP semester tiba.
"Anyway, I overheard your conversation with her earlier." Jeviar mengubah topik pembicaraan. "Why didn't you just grant her wish?"
"Her wish?"
"Her wish to bear your child."
Adrian menahan diri untuk melengos. "Because I don't want to."
"Bohong."
Wajah Adrian berubah masam. ":Lo kira gue nikah cuma buat punya anak? Hell no, J. I took her as my wife because I love her. I want her to a big part of my life. Anak itu bonus, bukan sesuatu yang mesti ada."
"But she wants it. That bad."
"I almost lost her once. I won't make it twice."
"Lo trauma."
"Mungkin."
Jeviar terdiam sejenak, lantas sebuah senyum tipis bermain di wajahnya. "Gue nggak mengira kalau seorang Adrian Cetta Arsenio bisa begitu egois."
"Untuk sekali ini aja, gue mau egois. Because damn it, I love her so much. Too much. Gue yakin lo mengerti apa yang gue rasain."
"Bahkan meski itu membuat dia sedih?"
"Jev, lo dibayar berapa sama dia buat ngomong gini ke gue?"
"Hm. Ketauan ya?" Jev nyengir.
"Ah ya, lo bakal ngundang dia?" "Dia siapa?"
"Cleo."
Hening kembali menyambangi.
***
R A Y A
"Gue tadi nggak sengaja denger obrolan lo sama Adrian." Dalam perjalanan pulang dari rumah Adrian, gue akhirnya ngomong. Well, sebenarnya nggak tepat juga dikatakan perjalanan pulang karena kita nggak berencana untuk balik ke apartemen. Hari ini adalah satu dari sedikit hari dimana gue punya mood untuk pergi keluar, dan kita berencana untuk main ke Timezone. Gue pernah cerita sekali pada Jev tentang gimana gue dan Kenzo sering main dance revolution, and he was pretty jealous of it. I can tell from the look inside his eyes. Jadi yah, akhirnya hari ini dia mengusulkan untuk pergi ke mall terdekat.
Mendengar ucapan gue, salah satu alisnya terangkat. Matanya tampak sibuk membagi konsentrasi, antara memandang ke jalan dan bergantian menatap pada gue. How cute. Gue suka ketika dia terlihat berusaha banget, hanya untuk memandang gue dengan tatapan itu. Tatapan yang gue berani taruhan, punya kemampuan mengubah cokelat padat jadi lelehen. Hangat.
"Oh ya? Lo denger apa aja."
"Hampir semuanya."
"Jangan GR."
Gue ketawa. "I don't know that you love me that much."
"Kalau gue nggak sayang sama lo, gue nggak akan berani bertaruh dengan membuang semuanya hanya untuk mengejar yang nggak pasti." Matanya melirik pada gue. Oh, shit. Jangan senyum. Namun seperti bisa membaca pikiran gue, senyumnya tertarik. Lesung pipi itu kembali muncul, membuat gue lupa untuk bernapas meskipun hanya sejenak. Gila. Udah bertahun-tahun berlalu dan gue masih belum terbiasa. "Lo itu nggak pasti. Kayak danau yang dalam. Gue nggak tau apa yang ada di bawah permukaan. But I still love it. You're like blue crayon to my white paper."
"Blue crayon?"
"The one I use to light up my sky."
"Cheesy."
"Nah, sweetheart. It shows how much I love you."
"Lo ngomongin apa aja sama bininya tuh bule satu?"
"Banyak." Gue menyahut, memutar ulang percakapan yang tadi sempat kita lakukan selama berada di dapur. "She said that she is really sorry because she stole Adrian from me."
Jeviar nyaris tersedak. "HAH?!"
Gue tersenyum penuh kemenangan padanya—meskipun faktanya, ketika perempuan itu menceritakan mengenai bagaimana Adrian pernah punya semacam rasa buat gue dulu, gue juga menampilkan ekspresi terkejut yang tidak jauh berbeda. "I used to be his crush."
"BOHONG?!!!"
"Untung deh kalau gitu."
"Untung kenapa?"
"Untung dulu gue nggak biarin dia nemenin lo pas lo sakit." Cowok itu berdecak sambil membelokkan mobil di sebuah tikungan. "Kalau nggak, bisa berabe. Gue sih pede saingan sama siapapun, tapi kalau Adrian, hm, menurut lo dulu dia gimana?"
"Ganteng banget lah gila. Cuma cewek bego yang bakal nolak dia."
Jeviar merengut. "TUH KAN!"
"Kalau dipikir-pikir," Gue mengusap rahang. "kenapa dia nggak bilang aja ke gue ya? Kan lumayan, pas berantem sama lo gue bisa punya lelaki cadangan. Mana tampangnya bagus gila lagi."
"Rays,"
"Apa?"
"Dia mungkin lebih ganteng dari gue, tapi satu yang pasti," Jeviar memberi jeda. "Gue lebih jantan dari dia."
"Alah, tai."
Wajahnya mulai digurati ekspresi tersinggung. "Lo mau bukti?!"
"Enggak. Gue nggak mau kita end up ditangkap satpam karena disangka pasangan mesum dalam mobil."
"Enggak apa-apa. Biar dibawa ke KUA lebih cepet."
Gue berdecak. "Ah ya, soal yang tadi. Kenapa lo diem pas Adrian nanya lo bakal ngundang Cleo atau nggak?"
"Karena gue nggak tau gue harus jawab apa."
"Enggak apa-apa. Undang aja. Sekalian undang tuh siapa dulu namanya ayam kampus kesayangan lo... oh ya, Indira. Terus Nina. Terus siapa lagi? Buset, saking banyaknya gue sampe lupa."
"Jangan ngeledek gue."
"Ih, siapa yang ngeledek sih. Itu kan fakta."
"Cerita jaman kegelapan nggak usah dibawa-bawa lagi, dong!"
"Emang sekarang udah jaman keterangan? Yah, lo kira iklan lampu Philip."
"Kan sekarang gue udah insap."
Gue mencebikkan bibir. "Udah insap atau cuma belom bosen aja sama gue?"
"Lo tuh kalau ngomong suka—"
"Suka bener?" Gue memotong dengan alis yang diangkat tinggi-tinggi. Sengaja. Mau menantang.
"Hm, jadi lo daridulu emang udah selalu cemburu sama cewek-cewek nggak jelas itu."
"Enggak jelas juga masih lo ajak bobo bareng kan?"
"Terus gue harus ngajak bobo bareng siapa? Elo?"
Lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, membuatnya menekan pedal rem sebelum akhirnya menatap galak pada gue. "Cemburu lo lama banget ke-pendingnya. Itu udah lewat mau sepuluh tahun yang lalu dan lo baru nyinggung masalah Indira dan kawan-kawan sekarang? Sinting."
"Abisnya, gue baru ngeh sekarang kalau dulu lo tuh brengsek banget."
"Mana bisa gue ngajak lo bobo bareng."
"Kenapa? Gue kurang seksi."
"Kagak. Baru dicium aja muka lo udah pucat kayak mau pingsan." Jawabnya santai, membuat wajah gue langsung memanas. "Apalagi diajakin bobo. Bisa mati di tempat kali lo."
"Lebay lo!"
"Faktanya emang begitu, sayang."
"Enggak. Cuma lo yang berpendapat seberlebihan itu. Mau bukti? Tanya aja Kenzo." Matanya mendadak menyipit. "Lo udah diapain aja sama Kenzo?"
Gue balik membalas dengan senyum sok nantangin. "Kepo banget ya, Pak?"
"Raya,"
"Hng?"
"Ini di lampu merah. Dan kalau lo nggak jawab, gue nggak bakal peduli meskipun lampunya udah berubah jadi hijau."
Kenapa sih nih bocah kalau sekalinya ngancam bisa sebegini nakutinnya? "Bercanda doang, elah. Kenzo tuh anaknya nggak nakal kayak lo."
"Bagus. Karena pada akhirnya yang bakal nikahin lo juga cuma gue."
"Pede banget."
"Iyalah. Soalnya gue nggak pernah absen berdoa sama Tuhan."
"Doa sampe solat delapan rokaat?"
"Nggak usah bawa-bawa masa lalu," tukasnya cepat. "Berdoa biar lo nggak merasakan cinta kecuali orangnya gue.."
"You selfish jerk."
"Tapi dikabulkan kan doa gue."
"Dasar manusia egois." Gue melotot. "Gue selalu berdoa supaya lo bahagia. Sama siapapun. Nggak mesti sama gue. Dan balasan lo adalah itu? Dasar playboy cap kadal!"
"Kalau urusannya menyangkut lo sih, sama kayak Adrian, gue mau egois. Because just like how much he loves his wife, I love you that deep. Too deep, sampai-sampai gue nggak bisa membayangkan lo sama orang lain."
"Tapi lo pacaran sama yang lain."
"Asal hatinya buat lo mah nggak apa-apa kan?"
"Brengsek."
Jev tertawa, lantas kembali melajukan mobil begitu lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau. "But at least, you love me."
"Oke, stop. Jangan mengalihkan lagi. Intinya, undang aja Cleo."
"Ray--"
"Je, you don't hate her. Maksud gue, lo bukan membenci dia karena dia menyakiti gue," Gue menyela cepat. "Tapi karena dia mengingatkan lo kalau dulu lo pernah menyakiti gue. That's all. I'm okay now. And I'm happy with you. Jadi lupain aja masa lalu. Nggak bagus bersikap kayak gitu sama seseorang terlalu lama, apalagi statusnya sebagai mantan lo. Gimanapun juga, kalian berdua kan pernah saling membahagiakan."
Senyap. Tidak ada jawaban. "Je, you heard me, right?"
Sahutannya adalah sesuatu yang sama sekali tidak gue sangka. "I'm sorry."
"For what?"
"For hurting you too much. Dari dulu sampai sekarang. I'm really sorry."
Gue menatapnya, lalu tersenyum. "I don't care. Because now I have you. All mine. And also, I'm thankful that you were fighting for me."
Dia tidak menjawab, tapi ujung bibirnya tertarik ke dalam segaris senyuman. Lesung itu tercetak lagi di wajahnya.
"You are worth fighting for."
"Jadi, kita undang Indira, Nina dan kawan-kawan juga kan?" Jev mengerang. "Please, stop with this non sense."
Gue tertawa keras, sementara dia tampak memasang wajah mendung. Melihat Jev yang cemberut adalah seperti melihat dirinya di masa lalu, seorang bocah SD dengan rambut berbau matahari yang hobi membeli cokelat berbentuk payung. Sekarang dia bukan lagi bocah. Dia adalah cowok yang pelukannya menyelubungi gue dengan hangat dalam malam berhujan. Cowok yang punggungnya gue lihat saat gue bangun tidur sementara dia sibuk di depan kompor. Cowok yang akan memberikan jaketnya setiap kali gue kedinginan.
Selamanya, dia akan jadi orang paling berarti buat gue.
Gue mengulurkan tangan, meraih lengan kirinya, kemudian memeluk lengan itu seperti memeluk boneka. "I love you to the moon and back."
Dia tersenyum lebar. Senyum yang menular sampai matanya hingga sepasang mata itu berubah bentuk jadi serupa dengan lengkung bulan sabit.
"I love you to the Jupiter and back." balasnya dalam bisikan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro