EXTRA | A LITTLE LONGER THAN FOREVER
Langit di luar belum terang saat Raya terbangun dari tidurnya. Apa yang pertama kali gadis itu lihat adalah langit-langit kamar tidurnya yang temaram terkena cahaya lampu tidur. Udara terasa dingin, selain karena temperatur air conditioner yang rendah juga karena matahari pun belum benar-benar bergerak naik dari ufuk timur. Raya menarik napas panjang, berusaha keras menahan dorongan untuk kembali tidur meski hari ini sudah termasuk dari satu minggu hari cuti yang dia ambil dari tempatnya bekerja. Dia sudah punya janji bertemu dengan Hana jam tujuh pagi ini, dan jika dia terlambat, bisa dipastikan Hana akan menciptakan amukan yang lebih ganas dari badai Katrina.
"Go back to sleep, babe."
Raya gagal beranjak dari tempatnya terbaring karena lengan Je yang berada di sekeliling perutnya menahannya untuk bangkit. Laki-laki itu belum benar-benar bangun, tapi dekapannya pada tubuh Raya masih saja erat. Raya tidak langsung menyingkirkan langkahnya, memilih untuk menatap sosok yang berada di sampingnya selama sejenak. Setelah bertahun-tahun berlalu, wajah Je yang sedang tidur masih saja menjadi favorit Raya. Matanya benar-benar terpejam dan rambutnya berantakan. Ekspresinya yang biasa tengil tidak terlihat, terganti oleh raut wajah polos yang membuatnya jadi terlihat begitu lugu. Raya tersenyum tipis sebelum mengulurkan tangannya untuk menyentuh helai rambut di puncak kepala Je.
"What a big baby."
Mayoritas orang mungkin akan menganggap aneh tentang fakta keduanya yang tinggal serumah dan masih tidur dalam satu kamar beberapa hari menjelang pernikahan. Namun mengingat Je dan Raya sama-sama tipikal orang yang menganut paham liberal, mereka tidak merasa harus merepotkan diri untuk serangkaian acara yang tidak akan berpengaruh terlalu banyak pada hari pernikahan mereka. Awalnya, keluarga mereka sempat tidak setuju. Tapi pada akhirnya, para orang tua mengalah. Lagipula, mereka selalu berpikir kalau Raya dan Je tidak pernah melakukan sesuatu yang kelewat batas dan sudah cukup dewasa untuk dapat bertanggung jawab atas konsekuensi dari setiap pilihan mereka.
"Just go back to sleep." Je meracau lagi masih dengan mata yang tertutup rapat.
"Gue punya janji sama Hana." Raya menyahut sambil menyingkirkan tangan Je dari atas perutnya. "Jam tujuh pagi ini."
Je merengut. "Jadi Hana lebih penting dari gue?"
"Untuk pagi ini, iya." Raya terkekeh seraya bangkit dari ranjang, lalu dia menunduk dan memberi satu kecup lembut di pelipis Je. "Sorry, darl."
Je menanggapinya dengan omelan lirih tidak jelas, tapi dia tidak melakukan apa pun dan sesaat setelahnya kembali terlelap.
"What a big baby." Raya bergumam, sekali lagi tangannya tergerak menyetuh rambut Je yang berantakan dengan senyum penuh pengertian.
***
"What the hell, Yohana?"
"Makin lo tua mulut lo tuh makin ganas aja." Hana mendengus keras. "Kenapa? Apanya yang what the hell?"
"Lo minta gue dateng pagi-pagi ke rumah lo cuma buat mandiin kucing?"
"Kenapa? Lo keberatan?"
"Bukan gitu." Raya berdecak sembari menggulung lengan bajunya sampai ke siku. "Cuma... kalau tau urusannya nggak urgent kayak gini sih, mending gue sarapan dulu bareng Je."
"Eh, jangan salah, masalah Yonga mandi atau nggak itu urgent banget, tau!" Hana jelas kelihatan tersinggung. "Yonga itu separuh hati gue."
"Bukannya separuh hati lo itu laki lo?"
"Dia separuh hati yang sebelah kiri. Yonga separuh hati yang sebelah kanan."
"Terus anak lo nanti gimana? Kasihan banget dia, belum lahir aja udah harus rebutan tempat sama kucing obesitas."
Hana melotot. "Jangan menghina Yonga!"
"Gue nggak menghina. Aduh, sensi banget ya ibu-ibu jaman sekarang."
"Gue bukan ibu-ibu!"
Raya memutar bola matanya, namun memilih diam karena dia sudah tau, jika dia terus bicara, perdebatan mereka tidak akan terhenti bahkan hingga menjelang tengah malam nanti. Selain itu, Raya sudah tau jika urusan mandi-memandikan kucing obesitas peliharaan Hana (namanya Yonga) bukan satu-satunya alasan mengapa perempuan itu memintanya datang berkunjung sepagi ini. Hana pasti tengah kesepian selama beberapa minggu belakangan karena suaminya memiliki banyak kesibukan yang harus diurusi terkait pekerjaan. Yah, menurut Raya itu sudah risiko, terutama dengan pekerjaan suami Hana yang seperti itu.
Butuh waktu hampir setengah jam bagi Raya untuk menyelesaikan ritual mandi Yonga. Meski punya badan yang kelewat gemuk untuk ukuran kucing seusianya, Yonga tergolong kucing lincah yang benci air. Raya harus rela menerima satu cakaran Yonga di lengan kanannya dan terkena cipratan air hingga bajunya basah dimana-mana. Beruntung Hana langsung mengambil alih urusan bersih-bersih badan Yonga begitu tiba saatnya untuk mengeringkan bulu binatang itu, karena jika tidak, Raya rasa lengan kirinya juga akan jadi korban cakaran.
"Yonga itu manis banget, kan?" Hana bertanya waktu mereka duduk berdua di sebuah gazebo yang berada di halaman belakang rumah besar suaminya.
"Manis banget." Raya membalas sarkastik seraya mengulurkan lengan kanannya, menbiarkan Hana mengoleskan antiseptik dan kapas berbalut obat merah disana. Goresan itu adalah jenis goresan tipis yang tidak begitu dalam, kemungkinan besar sudah akan hilang tanpa bekas dalam waktu dua hari. Hana berharap begitu, karena kalau Je sampai tau, eksistensi Yonga sudah pasti akan terancam. "Terlalu manis sampai dia nggak pernah nggak mencakar gue setiap kali gue pegang."
"Yonga emang sensian sama orang baru. Tapi kalau udah dekat, Yonga baik kok." Hana tertawa kecil. "Kayak lo."
"Hm?"
"Yonga itu kayak lo."
"Lo nyamain gue dengan kucing?"
"Oke, gue ralat. Lo itu kayak Yonga."
"Sama aja."
Hana justru tersenyum lebar sebelum kembali menatap sahabatnya. "Apa kabar Je?"
"Baik." Kening Raya dirambati kerut heran. "Emang kenapa? Tumben lo nanyain."
"Nggak apa-apa. By the way, melihat gimana bebasnya lo berkeliaran sekarang, rasanya nggak akan ada yang percaya bahwa beberapa hari lagi lo bakal jadi pengantin dan jadi istri orang."
"Gue bukan tipe yang suka repot. Begitu pun Je."
"Gue juga." Hana menyambar. "Tapi sayangnya, baik keluarga gue mau pun keluarga suami gue nggak begitu."
"Alah, ngibul banget lo. Siapa ya yang dulu pas acara resepsi ngotot banget minta dicariin sepatu, gaun dan head piece ala-ala Putri Disney biar acaranya kelihatan kekinian dan megah banget? Kalau nggak salah sih itu lo."
Wajah Hana memerah. "Soal itu... wajar, dong. Kan gue nikahnya sama pangeran!"
"Gue nggak nyangka bahwa hari ini akan tiba." Raya tertawa geli. "Hari di mana lo manggil dia dengan sebutan pangeran."
"Oh, shut up." Hana memutar bola matanya. "Tapi bukannya emang itu yang dilakukan oleh waktu? Dia mengubah semuanya. Bahkan membuat kita jadi mau melakukan apa yang dulu kita pikir nggak akan pernah kita lakukan. Dan itu nggak hanya berlaku sama gue, tetapi juga berlaku sama lo."
"Mmm..."
"Yaelah, tanggapan lo nggak asik banget, deh." Hana berdecak lagi. "Tapi emang benar, kan? Siapa yang mengira kalau lo bakal bersedia menikah dengan seseorang kalau ingat soal pandangan lo terkait pernikahan sejak dulu."
"Lo bicara seolah-olah gue fobia kawin."
"Idih, mana ada orang kayak lo fobia kawin. Fobia nikah sih mungkin, tapi fobia kawin?
Bukannya kawin adalah salah satu dari kegiatan favorit lo bareng itu Kutu Kupret?"
"Sialan ya lo."
Keduanya berpandangan sejenak, lantas tawa mereka pecah.
"But you're right, tho." Raya akhirnya kembali bicara. "Waktu memang mengubah segalanya. Mengubah lo. Mengubah gue. Mengubah yang lain. Gue hanya berharap, pada akhirnya kita semua akan bahagia."
"Oh, itu pasti."
"Lo kedengeran begitu yakin."
Hana tersenyum. "Apa yang udah gue lewatin membuat gue percaya bahwa setiap orang selalu punya happy endingnya masing-masing. Di akhir, semuanya bakal bahagia. Gue tau takdir itu memang nggak bisa ditebak, tapi gue percaya kita semua akan bahagia saat waktunya tiba. Kalau kita belum bahagia, berarti itu belum akhirnya."
"Super sekali, Mbak Yohana."
"Buktinya, sekarang lo bahagia, kan?"
"I think so."
"Raya Alviena,"
"Apa?"
Ada ketulusan di mata Hana saat perempuan itu membalas, "Gue senang pada akhirnya lo menemukan kebahagiaan lo sendiri. Dan gue nggak mengharapkan apa pun selain untuk kebahagiaan lo agar tetap berlangsung seterusnya. Selamanya. Karena sekarang, gue sudah bahagia. Gue ingin sahabat gue juga merasakan sesuatu yang sama."
"I will. And the same goes for you too. Stay happy for—ah no, stay happy for a little longer than forever. Promise me?" Raya berujar sembari menyodorkan jari kelingking tangannya yang diraih Hana juga dengan jari kelingkingnya.
"I promise."
"And one more thing, thank you for being you." Raya tidak tau mengapa ada hangat yang meletup dalam bola matanya. "Thank you for being the sister I got to choose."
"You're welcome."
"Gue nggak tau bakal jadi apa gue kalau nggak punya teman kayak lo."
"You'll be nothing, of course." Hana berkata dengan lagak jumawa. "Because without me, you're just an aweso. But with me, you're awesome."
Raya menyeringai. "Indeed."
Mata mereka kembali bertemu, dan pelan-pelan senyum kedua perempuan itu kembali muncul.
***
Jarum pendek jam dinding telah merambat melewati angka dua dinihari ketika Je melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Wangi khas dari rangkaian bunga dan cahaya kuning gading yang menimbulkan kesan mewah saat berpadu dengan interior dominan putih langsung menyambutnya. Setiap senti bagian tubuh Je berteriak minta diistirahatkan setelah serangkaian acara menguras mental dan tenaga yang telah dilaluinya sepanjang hari ini, tetapi begitu matanya menangkap sosok seorang perempuan yang terduduk di tepi ranjang bertabur ratusan kelopak mawar, seluruh penatnya terbasuh hilang begitu saja tanpa jejak.
Ayah Je selalu bilang kalau laki-laki tidak seharusnya menangis kecuali dalam tiga fase penting dalam hidupnya. Pertama, adalah ketika dia dilahirkan. Kedua, adalah saat dia menikah. Dan ketiga, adalah waktu dia menjadi seorang ayah. Tetapi anehnya, Je justru tidak merasa ingin menangis hari ini. Bukan berarti karena dia tak menganggap hari ini sebagai hari yang penting. Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah buatnya; hari di mana dia mengucapkan selamat tinggal pada masa-masa kesendirian sekaligus hari di mana salah satu impiannya jadi nyata.
Hari di mana seorang Raya Alviena benar-benar menjadi miliknya.
"Beautiful." Je berkomentar saat dia sudah tiba di dekat Raya, lalu tangannya bergerak melepaskan sisa-sisa head piece dari helai rambut Raya yang mengeras karena semprotan hairspray.
Raya tersenyum, menatap pada guratan henna di punggung tangannya. "Yes, this place is indeed beautiful."
"No, not the room." Je meletakkan head piece terakhir yang ditariknya lepas dari rambut Raya ke atas nakas di sisi tempat tidur, kemudian dia berpindah posisi hingga kini dia berjongkok di depan Raya sambil meraih jari-jari gadis itu dalam genggamannya. "Bukan tempatnya yang cantik, tapi lo."
Senyum Raya terkembang kian lebar.
"Lo banyak tersenyum hari ini. Nggak seperti biasanya."
"Karena hari ini, gue bahagia."
Je memiringkan wajah. "Berarti hari-hari sebelumnya nggak pernah bahagia?"
"Bukan gitu." Raya membantah. "Maksudnya, hari ini adalah salah satu hari di mana gue merasa sangat-sangat bahagia.
"Karena gue?"
"Karena lo."
Dahi Je justru berlipat dibuatnya. "Tumben lo mau mengakuinya segampang itu. Biasanya lo jual mahal banget kalau udah urusan kayak begini."
Raya tidak segera menjawab, namun tangannya balik meraih jari-jari Je sehingga kini jari laki-laki itu yang berada dalam genggamannya. "Because today is my first day as your wife. And because today is your first day as my husband."
Je tercekat, matanya menatap pada Raya dengan teramat lekat. "Thank you for marrying me, Mr. Mahardika."
Je membalas ucapan tulus itu bukan dengan kata-kata, melainkan dengan satu ciuman yang dijatuhkan di atas bibir Raya. Ciuman itu adalah salah satu dari beberapa ciuman yang bagi keduanya paling istimewa, karena ciuman itu adalah ciuman pertama mereka setelah dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Kontak fisik tersebut baru berakhir saat Je menggeser kecupannya ke sudut bibir Raya, lalu terus merambat hingga garis rahangnya dan terhenti pada leher.
"The pleasure is mine, Mrs. Mahardika."
"Raya Mahardika kedengeran jelek."
Je menyentakkan kepala, "Mulai lagi, deh."
"Hehehe, jadi tambah jelek deh kalau ngambek." Raya nyengir. "Bikin gue makin suka."
"Lo nggak jago ngegombal, jadi tolong nggak usah dicoba." Je mencibir. "Let's have a session of knock-knock game."
"Knock-knock game?" "Knock-knock game." "Fine, then. Let's try."
Jawaban Raya membuat Je mengerling sebelum lanjut bicara. "Knock-knock-knock."
"Who's there."
Je mengelus punggung tangan Raya dengan ibu jarinya. "A homeless heart."
"Oh, what a poor creature."
"Do you mind to help this homeless heart?"
"Hm... I guess I don'tmind."
"Can you be a home for this homeless heart?"
Raya terkekeh, kemudian secara tidak terduga, dia membungkuk dan meraih tubuh Je yang masih terbalut jas ke dalam dekapanya. "Well, I am now."
Je menarik napas panjang, mengisi rongga paru-parunya dengan harum yang menguar dari rambut Raya sebanyak yang dia bisa. Lantas kedua tangannya terangkat. Satu bergerak untuk balik mendekap punggung Raya, sementara tangannya yang lain terkubur dalam helai rambut gadis itu. Pelan, jarinya mengelus rambut Raya.
"And now, finally I'm home."
***
Biasanya, Adrian tidak pernah tiba di rumah selarut ini, bahkan karena urusan pekerjaan. Meski memiliki workshop kecil milik sendiri dan bekerja pada sebuah perusahaan, Adrian selalu berusaha untuk sampai di rumah sesore mungkin, sehingga dia masih punya waktu untuk mengobrol atau menghabiskan waktu duduk-duduk di ruang keluarga bersama Azalea. Tapi tentu saja penyebab Adrian pulang larut malam hari ini adalah sesuatu yang berbeda. Late bachelor party yang diadakan oleh Faris serta teman-teman mereka yang lain untuk merayakan hari-hari terakhir Je sebagai pria lajang bukan jenis acara yang bisa dia lewatkan—meski sebetulnya sekarang Je sudah bukan lajang lagi. Mereka tidak sempat mengadakan acara bachelor party sebelum hari pernikahan Je dan Raya karena kesibukan yang tak bisa dihindari.
Mengingat karakter Faris dan Rama, Adrian sudah punya firasat bachelor party untuk Je tidak akan berakhir dengan singkat. Maka dia sengaja membawa kunci cadangan supaya dia tidak perlu membangunkan Lea di tengah malam seperti ini. Untung saja ada orang yang cukup punya akal sehat seperti Dio dalam lingkaran pertemanan mereka, karena jika tidak, bisa dipastikan pesta bujangan tersebut baru akan berakhir besok pagi. Kehadiran Dio juga menjadi penjamin pasti soal tidak adanya striptease girls atau unsur-unsur sejenis dalam pesta tersebut sehingga Lea juga tidak banyak bertanya dan mengizinkan Adrian menghadirinya.
Well, Lea yang dulu berbeda dengan Lea yang sekarang. Kalau Lea di masa kuliah adalah Lea yang tidak terlalu peduli tentang masalah cinta atau pasangan, Lea yang kini sudah menjadi istri Adrian adalah tipe perempuan yang mudah cemburu. Kehamilannya turut berkontribusi terhadap sikapnya yang makin clingy akhir-akhir ini, di mana Lea bahkan pernah tidak bisa tidur jika tidak dipeluk oleh Adrian. Cukup merepotkan, namun mengatakan Adrian tidak senang dengan perubahan sikap Lea adalah sesuatu yang tidak benar.
Adrian menikmati setiap saat yang dihabiskannya bersama Lea, tanpa kecuali.
Lampu ruang tamu sudah dimatikan, tetapi lampu ruang tengah masih menyala saat Adrian masuk. Di kejauhan, terdengar suara kentongan pos ronda dipukul dua kali, menunjukkan jika sekarang sudah jam dua pagi. Adrian terus melangkah masuk, namun langkahnya langsung terhenti ketika melihat Lea tengah terbaring di atas sofa. Perempuan itu berada di bawah selimut berwarna biru muda dengan tangan kanan menjuntai hampir menyentuh karpet tebal yang tergelar melapisi lantai. Wajahnya begitu polos dengan mata yang terpejam dan hela napas lambat yang teratur.
Adrian berdecak pelan, mengomel tanpa suara karena sebelumnya dia sudah bilang pada Lea untuk tidak menunggunya pulang. Tetapi tentu saja, Lea adalah Lea. Sejak dulu, perempuan itu punya watak keras kepala yang tak tertandingi.
Awalnya, Adrian berniat mengangkat Lea ke kamar. Tapi Lea terlihat tidur dengan begitu nyenyak, membuat Adrian berubah pikiran dan memilih untuk tidak membangunkannya. Laki- laki itu hanya melangkah mendekati sofa tempat Lea terbaring dengan mulut terkunci rapat, lalu dia menarik selimut yang terhampar di atas tubuh istrinya hingga sebatas dagu. Adrian juga menyelipkan kembali tangan Lea yang terjuntai ke atas sofa, kemudian dia mengamati wajah tertidur perempuan itu sepuas yang dia mau.
"I'm so sorry, Sweetheart." Adrian berbisik seraya membungkuk untuk memberikan satu kecupan lembut di dahi Lea. Kecupan itu begitu lembut sampai-sampai tak membuat tidurnya terganggu. Lantas Adrian turut berbaring, meski tidak di atas sofa. Dia merebahkan tubuhnya di atas hamparan karpet bulu, matanya menatap langsung pada wajah Lea yang tertidur di atas sofa yang berada di depannya.
"Sleep tight, Darling." Katanya lagi dalma gumam tanpa suara sembari tangannya terulur untuk menyentuh perut istrinya. "Sleep tight, Kiddo."
***
Dingin yang merambati pipinya adalah apa yang membuat Azalea terbangun dari tidur sesaat sebelum fajar menjelang. Mengerang pelan, perempuan itu menyentuh dahinya sebelum bulu matanya bergetar samar diikuti kedua mata yang terbuka. Pada detik pertama, Azalea mengerutkan kening karena intensitas cahaya yang menyerbu indra penglihatannya. Namun begitu matanya sudah terbiasa dengan cahaya terang lampu ruangan, dia lagi-lagi dibikin mengernyit ketika mendapati sosok Adrian tengah tertidur di atas karpet tepat di depannya.
Laki-laki itu tertidur dengan posisi berbaring menyamping dengan berbantalkan lengannya sendiri. Azalea mengerjapkan mata, lalu merasa penasaran bagaimana bisa Adrian tetap terlihat sedemikian angelic bahkan saat sedang tertidur. Meski sudah tinggal satu rumah sebagai suami-istri selama beberapa lama, Azalea tidak pernah bisa benar-benar terbiasa dengan Adrian. Setiap hari, selalu ada sesuatu yang pria itu tunjukkan, yang membuat Azalea bertanya-tanya apa yang sudah dia lakukan hingga dia bisa mendapatkan sosok sesempurna Adrian sebagai pendamping hidup.
Yah, meski pun katanya tidak ada orang yang sempurna. Tapi setidaknya, buat seorang Azalea Pramudita, Adrian adalah manusia paling sempurna yang pernah dia kenal. Selain punya penampilan menawan, laki-laki itu kelewat perhatian. Jika Azalea pikir-pikir lagi, selama menikah, belum pernah sekali pun Adrian bersikap keras padanya. Mungkin beberapa kali Adrian memang pernah melarang Azalea melakukan sesuatu yang menurutnya akan berpengaruh buruk pada istrinya, tapi tentu saja, Azalea sudah cukup dewasa untuk bisa membedakan kekerasan dan ketegasan.
"Stupid husband." Azalea berkata lirih sambil mengulurkan tangannya dari atas sofa untuk menyentuh sejumput rambut hitam yang jatuh di atas kening Adrian. "Tidur kayak gini cuma bakal bikin kamu pegal. Ujung-ujungnya nanti aku juga yang repot mijitin."
Tidak ada jawaban. Mata Adrian masih saja terpejam. Tubuhnya terus saja diam. Kombinasi dua hal tersebut justru membuat senyum lembut Azalea tertarik.
"Your daddy is so ethereal, isn't he?" Azalea berbisik sambil menyentuh perutnya dengan tangan kiri. "But I promise you, he'll be the best Dad ever in the world."
"And this one hell of a woman in front of me will be the best mother ever in the world." Azalea hampir terpekik saat tiba-tiba saja Adrian menangkap tangan kanannya, disusul kedua mata laki-laki itu yang perlahan terbuka.
"Kamu bikin aku kaget." Azalea merengut.
Adrian justru terkekeh meski matanya menatap sayu pada Azalea karena kantuk yang masih bergelayut. "Hello, lovely sleepy head."
"Idih. Jelas yang sekarang mukanya ngantuk banget itu kamu."
"Iya, kan aku baru pulang jam dua tadi."
"Betah banget ya pesta-pesta?" Azalea memberengut. "Ngapain aja kamu sama teman- teman kamu yang error itu?"
"Nggak ngapa-ngapain. Cuma ngobrol. Minum. Mengenang kejayaan masa lalu."
Azalea hampir tersedak. "Kejayaan masa lalu? Emang kamu punya kejayaan masa lalu?"
"Bukan kejayaanku, sih. Mungkin lebih ke cerita petualangan cinta yang lainnya. Kisah cinta mereka kan pada dramatis banget. Yah, nggak jauh beda sih sama aku. Tapi berhubung ceritaku cuma melibatkan satu perempuan, kayaknya nggak tepat disebut kejayaan."
"Oh, jangan salah. Bisa menikahi aku itu salah satu kejayaan yang nggak akan bisa dicapai dalam perang mana pun."
"Aku nggak tau apa ini memang beneran karakter kamu atau bawaan dedek." Adrian terkekeh. "But yes, indeed it is. You're my greatest victory."
"Husband,"
"Iya, Sayang?"
"Kesiniin tangan kamu."
"Mau buat apa?"
"Siniin aja."
Meski bingung, Adrian menurut. Dia menyerahkan telapak tangan kanannya pada Azalea, yang lantas Azalea lekatkan ke perutnya sendiri. "Katanya Acil kangen."
"Acilnya atau mamanya yang kangen?"
Azalea tersipu. "Dua-duanya."
"Halo, Acil. Maaf ya tadi Ayah pergi sebentar. Mudah-mudahan besok-besok nggak harus pergi malam-malam lagi ya. Bukan karena Papa takut kamu kangen, tapi Papa takut kalau besok-besok Papa pulang malam lagi, Mama kamu bakal kalap dan bikin rumah ini banjir air mata."
"Aku nggak gitu!"
"Iya, Sayang. Kamu nggak gitu."
"Papa Acil nggak minta maaf ke Mama Acil juga?"
"Nggak. Soalnya Mama Acil belum bilang terang-terangan kalau Mama Acil kangen sama Papa Acil." Adrian tertawa pelan, membuat wajah Azalea kian memerah.
"Ih, pilih kasih."
"Makanya, kamu bilang dulu dong kalau kamu kangen sama aku."
"Yaudah."
"Yaudah apanya?"
"I miss you."
"I miss you too."
"I miss you."
"I miss you too." Adrian tertawa. "Aku masih ngantuk. Sini."
"Sini kemana?"
"Come here. Sleep in my arms."
Azalea menggeleng. "Nggak, ah. Lebih empuk di atas sofa."
"Come here, Sweetheart."
Azalea menggeleng lagi, tapi pada akhirnya dia tetap bergerak turun dari sofa yang memang tidak terlalu tinggi dan merebahkan tubuhnya di atas karpet bulu, tepat di sebelah Adrian. Hangat menyelubunginya saat kepalanya mendarat di atas bahu Adrian dan laki-laki itu merangkul tubuhnya.
"Ah, finally."
"Finally apa, Husband?"
"Finally, I'm home."
Senyum lebar Azalea kembali tertarik. "Well, welcome home."
"Let us be like this a little longer, will you?"
"A little longer than forever?"
"A little longer than forever."
***
You were the earth
And he used to be your sun
Then I came between both of you
And I was the blackhole
"Matanya mirip kamu."
Mendengar ucapan suaminya yang baru saja membaringkan anak pertama mereka di dalam boks bayi, Hana langsung tersenyum lebar. "Berarti nanti pas udah gede, dia bakal cantik banget kayak aku."
"I guess it's true." Laki-laki itu menjawab diiringi tawa kecil, kemudian dia bicara tentang sesuatu yang lain. "Tadi pagi aku dengar kamu terima telepon dari dia."
"Dia?" Hana mengernyit, tapi sesaat kemudian paham tentang siapa yang dimaksud suaminya dengan sebutan dia. "Oh. Maksud kamu dia?"
"Iya. Dia."
"Hubby, kamu nggak lagi cemburu, kan?" Hana tertawa geli. "Kita cuma ngobrolin... kenangan lama."
"Soal drama-drama kita waktu jaman kuliah dulu."
"Iya."
Hening sejenak, hingga Hana berinisiatif bicara lebih dulu. "Kamu nggak lagi cemburu, kan?"
"Nggak. Cuma aku baru terpikir sesuatu."
"Jangan keseringan mikir. Nanti botak." Hana berkelakar. "Tapi sekarang kamu bisa terus- terang aja sama aku. Kamu mikirin apa?"
"Aku merasa bersalah sama dia."
"Kenapa gitu?"
"Karena aku merasa aku udah merebut kamu dari dia. Yah, walau pun sebenarnya nggak begitu." Suaminya mengedikkan bahu. "You were the earth. And he used to be your sun. Then I came between both of you. And I was the blackhole."
"Aduh, kamu konyol banget."
"Serius, Sayang." Laki-laki itu menjawab dengan raut wajah tak main-main. "Waktu ketemu dia di pernikahannya Je dan Raya kemarin-kemarin, aku sempat ngobrol sama dia. Sampai sekarang, ternyata dia masih sendirian. Dulu, kalau bukan karena aku, pasti kamu udah sama dia."
Kata-kata suaminya membuat Hana terdiam sejenak, sebelum segaris senyum bijak tergurat di wajahnya. Tanpa mengatakan apa pun, perempuan itu menghampiri suaminya, lantas tangannya terulur menyentuh pipi laki-laki itu. "Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan sebahagia aku yang sekarang."
"Really?"
"Really." Hana menjawab cepat degan keyakinan. "Even now, you're still the blackhole. You have this dark, twisted and gloomy side of yours. But you know what? I love you from your curves to your edges."
Laki-laki itu tersenyum lebar saat mendengar kata-kata istrinya. "Quoting John Legend, huh?"
"Well, it is a really old song, isn't it?"
"Yap." Jawabnya sambil meraih pundak Hana dan memeluk perempuan itu dari belakang. "I'm a blackhole, even now. A proud blackhole."
"Indeed." Hana membiarkan suamianya menjatuhkan rahang di bahunya. "My favorite blackhole, you're the first and the last that I love with all of me." Sambungnya lagi, kali ini seraya mengangkat kedua tangannya dan balik mengelus pelan telapak tangan laki-laki yang hingga kini masih memeluknya dari belakang.
"Well, not really the first and the last, I think. You had crush in lot of boys back then." Suaminya membalas cepat. "Siapa aja ya yang dulu pernah kamu taksir? Hm, coba aku ingat- ingat. Senior kamu di teknik industri, Je, Adrian, terus—"
"Well, you're my last."
"Nggak. Aku juga bukan yang terakhir." "Maksud kamu?"
"Anak kita bakal jadi yang terakhir. Bukan aku."
"Demanding deh." Hana tergelak sambil membalikkan badan hingga posisinya jadi berganti menghadapi suaminya. Matanya sempat menatap sejenak pada wajah laki-laki di depannya, mulai dari rambutnya yang sudah sedikit lebih panjang dari biasanya, sepasang alis tebal yang menaungi kedua matanya hingga jejak kehijauan di rahangnya karena belum sempat bercukur selama beberapa hari ini. Seiring dengan tahun yang berlalu, penampilan laki-laki itu jauh berubah jika dibandingkan dengan waktu mereka masih mahasiswa dulu. Namun bagaimana pun bentuknya, Hana tau seraut wajah di depannya akan selalu jadi salah satu wajah favoritnya. "Bahkan kamu nggak mau saingan sama Calla."
"Iya. Aku sudah cukup bersaing sama dia dulu. Aku nggak perlu bersaing sama yang lain." Laki-laki itu membalas.
Kemudian, dia menunduk dan pada detik berikutnya, bibir mereka bertemu.
***
Keheningan di workshop Adrian siang itu terpecah ketika secara tidak sengaja sikunya menyenggol kotak wadah tube-tube cat minyak yang berada di atas meja. Suara berisik khas dari benda keras yang saling beradu langsung memenuhi seisi ruangan, menyisakan cipratan cat dalam wadah-wadah kaca di atas permukaan lantai. Adrian mengernyit, merasakan ada sebentuk firasat tidak enak menelusup ke dalam benaknya saat sedetik kemudian ponselnya berdering. Ada telepon dari rumah yang masuk dan tanpa pikir panjang, Adrian menjawabnya.
"Halo?"
Tidak ada kata-kata yang menjawabnya, namun jelas suara tangis di seberang sana adalah suara milik ibunya. Tanpa bertanya, Adrian langsung meletakkan kuas dan paletnya ke atas meja, lantas menitipkan workshop pada salah satu karyawannya dan mengemudikan mobilnya menuju tempat yang tadi sempat disebut ibunya di sela-sela isak. Dia beruntung kondisi jalanan tidak terlalu padat, karena jika dia harus terjebak kemacetan dalam situasi semacam ini, bisa dipastikan dia akan kehilangan kesabaran dan melakukan tindakan bodoh seperti melakukan pelanggaran lalu-lintas atau menyerempet kendaraan lain karena terlalu tergesa-gesa.
Adrian tidak pernah menyukai suasana rumah sakit, terutama setelah peristiwa beberapa tahun lalu saat Azalea mengalami kecelakaan tepat di depan gedung tempatnya mengadakan pameran fotografi. Lorong panjang rumah sakit yang berbau obat tidak pernah gagal membangkitkan kenangan buruk tentang darah Azalea yang melumuri kedua tangannya. Kini, dia kembali harus mengalaminya. Sekarang, dia kembali terjebak dalam situasi yang sama. Azalea berada disana, lagi-lagi meregang nyawa meski untuk penyebab yang benar-benar berbeda.
"Adrian!" Abby berseru saat dia melihat Adrian mendekat, kemudian langsung mendekap adik laki-lakinya itu dengan erat.
"Lea di mana?"
"Di dalam. Karena kamu sudah sampai di sini, mending kamu langsung nemuin dokter. Tadi beliau nyariin kamu."
Adrian punya firasat tidak enak soal ini. Namun dia menuruti kata-kata kakak perempuannya dengan mulut terkunci. Ditemani oleh Aileen yang turut menyertai mereka, kedunya menyusuri koridor rumah sakit lebih jauh dan berakhir di sebuah ruangan tempat dokter yang dimaksud menunggu.
Ternyata, dugaan Adrian terbukti benar. Meski terlihat menjelaskan dengan tenang, dari sorot mata sang dokter, Adrian tau jika kondisi Azalea tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Setelah memberikan sederetan keterangan yang membuat kepala Adrian terasa pening, dokter tersebut meminta Adrian membuat pilihan tentang keselamatan siapa yang diutamakan. Azalea mengalami pendarahan hebat setelah jatuh di kamar mandi hari ini, membuatnya mengalami keguguran spontan. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa perempuan itu sekarang adalah dengan melakukan prosedur kuretase, yang berarti Adrian harus merelakan calon anaknya.
"Pak Adrian?"
Adrian menarik napas, lalu menatap dokter itu dengan mata kalut bercampur lelah. "Bagaimana pun caranya, dokter bisa melakukan apa saja untuk menyelamatkan istri saya."
"Saya tau ini keputusan yang sangat berat, tapi kita memang harus melakukan ini karena kalau tidak, kemungkinan besar kita tidak akan bisa menyelamatkan istri anda." Dokter itu berujar sambil memandang Adrian dengan pandangan menguatkan. "Saya turut berduka untuk kehilangan anda."
Adrian mengucapkan terimakasih sebelum beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan ruangan tersebut diikuti oleh kedua kakak perempuannya yang sama-sama tak mengatakan apa-apa. Mereka melangkah dalam keheningan hingga kembali tiba di deretan kursi ruang tunggu tempat kedua orang tua Azalea dan Mama Adrian berada. Mewakili Adrian—yang terlihat seperti sudah tidak punya energi lebih untuk bicara—Abby dan Aileen menjelaskan apa yang terjadi di ruangan dokter pada mereka. Adrian sendiri lebih banyak diam, sebelum akhirnya dia melangkah pergi dengan alasan ingin membeli secangkir kopi di kantin rumah sakit.
Ditemani secangkir kopi panas yang tak kunjung disentuhnya, Adrian menatap hampa pada udara kosong. Tidak, dia bukannya disambangi nelangsa karena dia terlampau sedih merelakan calon anaknya tak jadi terlahir ke dunia. Apa yang lebih dipikirkan Adrian sekarang adalah tentang bagaimana perasaan Azalea nanti saat dia sudah sadar. Perempuan itu pasti akan menangis atau mungkin marah padanya. Adrian tidak siap menghadapi itu semua. Dia tidak bisa melihat perempuan menangis, terutama jika perempuan itu adalah perempuan yang dia cintai.
Adrian tetap duduk sendirian di sana hingga satu setengah jam berikutnya. Laki-laki itu hampir tidak bergerak. Jika saja matanya tak berkedip, mungkin orang-orang akan mengira sosoknya merupakan sebentuk patung lilin yang entah bagaimana dibiarkan berada di salah satu kursi kantin rumah sakit. Kopi di atas meja sudah mendingin tanpa sempat Adrian sentuh. Pikirannya bekerja keras, mencoba memilah-milah cara paling tepat untuk menyampaikan berita duka ini pada Azalea setelah perempuan itu sadar.
"Adrian," Satu remasan dari tangan Aileen tiba-tiba saja menarik Adrian dari lamunan. Dia tenggelam dalam angannya sendiri terlalu dalam, hingga tak mendengar suara langkah Aileen yang mendekat mau pun menyadari kehadirannya.
"Iya?"
"Lea udah dipindah ke ruang perawatan biasa."
Adrian mengembuskan napas. "Oke." katanya sambil beranjak bangkit dan meraih cangkir kopinya. Laki-laki itu menelan tiga-empat teguk, lalu meletakkan kembali cangkir tersebut di atas meja sebelum berjalan mengikuti Aileen melintasi koridor menuju kamar yang dimaksud. Kedua orang tua Azalea, Mama dan Abby telah berada di depan kamar perawatan saat Adrian tiba di sana. Wajah mereka diselimuti mendung, namun sebelum Adrian berjalan masuk ke kamar perawatan, ayah mertuanya sempat meremas pelan bahunya sambil memberikan satu anggukan yang menyiratkan dukungan moral. Gestur itu di balas Adrian dengan satu tarikan senyum muram sebelum tubuhnya hilang di balik pintu kamar yang segera ditutup.
Azalea terlihat sangat pucat dalam balutan pakaian rumah sakit biru langitnya. Rambutnya yang dipotong sebahu tergerai di sekeliling kepalanya. Warnanya hitam, membuat kulit wajahnya terlihat kian sakit. Tidak ada rona di pipinya. Matanya terpejam. Ada jarum infus menusuk punggung tangannya.
Adrian berdehem pelan, berusaha melegakan tenggorokannya yang terasa tersumbat oleh gumpalan pahit. Tangannya meraih jemari Azalea yang terasa dingin di bawah sentuhannya. Lantas Adrian menarik napas panjang sambil membawa jari-jari lunglai perempuan itu ke hidungnya. Matanya menutup sementara dia menarik napas dalam-dalam, seperti berusaha menghirup apa pun yang bisa dia hirup dari tangan Azalea.
"I'm so sorry, Sweetheart." Bisiknya dengan pedih. "I'm so sorry. But I can't let something bad happens to you. You have every rights to be angry with me. I deserve it. But please, don't cry."
Seolah menjawab semua ucapannya, jari-jari Azalea bergerak pelan, disusul matanya yang kemudian terbuka. Pandangannya amat sayu, namun perempuan itu tetap berusaha memaksakan senyum lemah. Menyaksikan ekspresinya yang seperti itu, ada bagian dalam dada Adrian yang seolah-olah ditusuk berkali-kali dari dalam.
"Hello."
Adrian berusaha memaksakan senyum. "Hello." "Aku tidur kelamaan ya?"
"Nggak." Adrian mengusap punggung tangan Azalea dengan sepenuh rasa sayang. "Nggak apa-apa. Akhir-akhir ini aku juga banyak bikin kamu capek. Nggak apa-apa. Tidur aja lagi. Aku bakal selalu ada disini nemenin kamu."
Azalea menggeleng. "Acil... gimana?"
"Kita omongin ini nanti aja, ya? Sekarang kamu tidur aja."
"Kalau kamu ngomong kayak gitu, sepertinya aku udah bisa nebak artinya apa." Azalea menggigit bibirnya. "Acil... udah nggak ada, kan?"
"Azalea—" Kata-kata yang hendak terlontar dari mulut Adrian langsung terhenti seketika ketika dia melihat air mata meleleh di kedua belah pipi Azalea. Dengan cepat, tetesan air mata perempuan itu diikuti oleh sedu-sedan hebat hingga bahunya bergetar tanpa kontrol. Duka menghimpit dada Adrian melihat Azalea yang seperti itu. Menggigit bibirnya sendiri untuk menahan kesedihannya, Adrian meraih kepala Azalea ke dadanya. Laki-laki itu mendekap Azalea dengan erat, seperti ingin menahan agar gadis itu tak pecah menjadi kepingan- kepingan. "Sayang, jangan begini. Ini bukan akhir dari semuanya. Kamu masih punya aku, oke? Aku akan selalu ada buat kamu."
Azalea tidak menjawab karena napasnya telah sesak oleh isak.
"Lea, Sayang, dengerin aku. Nggak apa-apa, oke? Nggak apa-apa. Kita bisa coba lagi. Bukan berarti kamu nggak boleh sedih, tapi tolong..." suara Adrian kian mengecil. "... tolong jangan begini. Demi aku."
Namun Azalea tetap saja menangis. Gadis itu seolah tidak mendengar ucapan Adrian sama sekali. Air matanya membanjir, terus mengalir tanpa henti hingga baju Adrian basah kuyup dibuatnya.
***
"Husband, bangun."
Sentuhan hangat di pipi Adrian adalah apa yang membuat mimpinya pecah menjadi kepingan-kepingan berantakan sebelum pelan-pelan terganti oleh sosok seorang perempuan berambut hitam sebahu yang membungkuk, mengernyit padanya setelah meletakkan kotak Tupperware di atas meja—tepat di sisi kepala Adrian yang tergeletak di atasnya berbantalkan lengan.
"Lea?"
"Kamu ketiduran." Azalea berujar lembut sambil membuka tasnya, menarik sehelai tissue basah dari sana untuk membersihkan bekas noda cat yang mengering di pipi Adrian. "Aku tadi telepon asisten kamu di sini. Tapi dia lagi keluar buat makan siang. Katanya tadi kamu lagi sibuk melukis. Kamu suka lupa waktu kalau melukis, jadi aku pikir sebaiknya aku kesini, bawain makan siang buat kamu—eh, kamu kenapa? Pipi kamu basah. Kamu nangis?"
"Oh, ini." Adrian menyentuh pipinya sendiri, sadar jika kini wajahnya basah oleh air mata. "Kayaknya karena aku mimpi."
"Mimpi?"
"Iya. Tadi aku mimpi sedih."
"Itu gara-gara akhir-akhir ini kamu keseringan nyuekin aku sama Acil dan terlalu sibuk ngurusin kerjaan di workshop dan di kantor." Azalea bergurau. "Kamu kualat sama Acil. Acil kesal kali, soalnya papanya lebih milih ngurus kerjaan daripada merhatiin dia."
"Mungkin." Adrian bergumam penuh rasa syukur karena ternyata peristiwa menyedihkan itu hanya mimpi. "Kamu kesini sama siapa?"
"Minta dianterin sama Kak Aileen. Tapi dia udah pergi. Katanya mau ketemuan sama pacarnya."
"Mmm..." Adrian bergumam. "Kamu masak sendiri?"
"Iya."
"Masak apa? Bukan tumis rebung, kan?"
Azalea memutar bola matanya. "Kamu setrauma itu ya sama tumis rebung buatan aku? Apa rasanya emang se-nggak enak itu?"
"Bukan gitu." Adrian berusaha mencari alasan walau faktanya, tumis rebung yang dibawakan Azalea minggu lalu dalam kotak makan siangnya memang masakan Azalea dengan rasa paling absurd. "Rasanya nggak sejelek itu, kok. Cuma aku kan emang nggak suka rebung."
"Halah, pada dasarnya kamu emang nggak doyan sayur." Azalea mendengus. "Tapi hari ini aku nggak masak rebung. Aku bikin sambel ati-kentang-pete, perkedel jagung sama kangkung rebus buat kamu. Khusus untuk kangkung rebusnya harus dihabisin. Kalau nggak, nanti Acil marah."
Adrian menarik napas, lalu berujar. "Iya, Sayang. Iya."
"Tapi emangnya kamu mimpi apa, sih?"
"Nggak apa-apa. Lupain aja."
"Yaudah kalau kamu emang nggak mau cerita." Perhatian Azalea teralih pada lukisan setengah jadi yang terpampang di depannya. "Kamu nggak melukis aku ya?"
"Nggak."
"Ini pesenan klien?"
"Nggak juga."
Azalea mengerucutkan bibir. "Ih, kok nggak ngelukis aku?"
"Hm, emangnya aku harus selalu melukis kamu?"
"Bukan gitu." Azalea meremas-remas jarinya, membuat Adrian terkekeh karena menurutnya tingkah Azalea sangat cute. "Tapi biasanya kan kamu ngelukis aku."
"Untuk lukisan yang ini, nggak. Coba tebak, aku ngelukis siapa?"
"Siapa?"
"Tebak."
"Bukan Aries, kan?" Pandangan Azalea berubah jadi mematikan. "Kalau kamu sampai ngelukis dia—"
"Aku bingung ini bawaan bayi atau emang karakter kamu," Adrian berdecak. "Tapi aku nggak melukis Aries. Aku melukis... seseorang yang lebih spesial lagi. Masa kamu nggak nyadar sih? Coba kamu perhatiin dulu."
Ucapan Adrian membuat Azalea memiringkan wajah dan mengamati lukisan setengah jadi tersebut dengan teliti. Kemudian, dalam hitungan detik, kesadaran menghantamnya dengan telak. Diantara gambar kasar kelopak bunga, Azalea melihat gurat-gurat yang membentuk lukisan seorang bayi. Posisinya meringkuk seperti posisi janin dalam kandungan, lengkap dengan lukisan tali pusar di bagian perutnya. Di sekelilingnya, ada warna jingga pastel yang meengelilingi, membuat lukisan tersebut terkesan begitu lembut.
"Kamu..."
Adrian membungkukkan badan, menyentuh perut Azalea dengan telapak tangannya diikuti satu tarikan senyum lebar yang membuat kedua matanya membentuk lengkungan serupa bulan sabit. "Lukisan pertama Papa buat Acil."
"Untuk pertama kalinya, Papa bikin Mama cemburu sama Acil." Azalea menyahut sambil menyeka bawah matanya sebelum dia betul-betul menangis karena haru.
"Biarin. Biar Mama terbiasa." Adrian terkekeh, kemudian melanjutkan. "Anak Papa harus kuat ya. Pokoknya anak Papa nggak boleh kenapa-napa. Anak Papa nggak boleh cengeng, jadi nanti bisa bantuin Papa ngejagain Mama."
Azalea tersenyum lembut. "Anak Mama harus pintar juga, biar bisa bantu Mama ngejagain papanya dari perempuan-perempuan ganjen di luar sana."
Jawaban Azalea membuat Adrian tertawa. Lantas dia sengaja berlutut, membiarkan telinganya melekat pada perut Azalea seperti tengah berusaha mendengar respon calon anaknya dari dalam sana. Lalu secara tidak terduga, laki-laki itu mengecup pelan perut Azalea dengan penuh kasih. "Papa loves you. Mama loves you. But take your time in there to grow, okay? Be healthy. Be strong. Papa and Mama will see you when the time comes. Deal, Kiddo?"
"Namanya Acil, bukan Kiddo. Dia kan nggak terbuat dari Kinderjoy." Azalea protes.
"Aku lebih suka Kiddo."
"Pokoknya namanya Acil!"
Adrian kembali berdiri, lalu memeluk Azalea erat-erat sambil berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan membiarkan satu pun peristiwa dalam mimpinya barusan menjadi nyata. "Iya, Sayang. Iya."
Azalea tertawa gembira sebelum balik melingkarkan lengannya pada tubuh Adrian, mendekap suaminya erat-erat dan membiarkan dirinya lebur dalam pelukan hangat.
FIN.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro