Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua Puluh Empat - Perfect

RAYA

           Kosan kembali sunyi begitu yang lainnya mutusin buat balik ke rumah atau kosan masing-masing satu setengah jam kemudian. Tapi sampai mereka semua cabut, sama sekali nggak ada tanda-tanda kalau Jev bakal muncul. Gue cuman bisa menghembuskan napas, natapin bekas kue yang udah nggak keliatan lagi bentuk aslinya, juga setumpuk kotak aneka ukuran yang dibalut kertas kado warna-warni. Ngeliat kondisi kosan gue yang bisa dibilang nggak beraturan, dengan banyak foto polaroid di tembok juga sketsa Doraemon aneka warna yang cuman sekali liat udah bisa gue ketahui bikinan siapa, mendadak mata gue kerasa panas lagi. Gue nggak pernah dapet surprise dari orang lain sebanyak ini sebelumnya. Ritual ulang tahun yang gue lewatin tiap tahunnya selalu sama, paling cuman surprise kecil-kecilan dari keluarga dimana Jev selalu termasuk di dalamnya, yang lantas bakal dilanjut pake acara makan-makan bersama. Dan sekarang, dapet kejutan mendadak dari sekumpulan orang yang bahkan gue pikir nggak bakal nganggep gue temen, entah kenapa rasanya... bener-bener nggak tertahankan. Jenis perasaan dimana lo bakal bingung apakah lo harus ketawa atau nangis, dan begonya, sekarang gue lagi dalam proses ngelakuin keduanya.

Oke. Lo nggak seharusnya jadi emosional kayak gini, Raya.

Gue memutuskan untuk menghela napas, terus beringsut ke tumpukan kotak kado aneka bentuk dan ukuran, mulai melucuti bungkus kertas kadonya pake tangan gue. Kado pertama yang gue buka adalah kado yang dikasih Edgar—dan konon katanya, sepaket juga sama Hana. Hana bilang, ada cinta tulus dia di dalem kado Edgar. Dasar kampret. Tuh anak pasti cuman alibi aja, pasti deh duit bulanannya udah mulai menipis, makanya dia kagak modal pake nebeng hadiah Edgar segala. Gue ketawa sendiri aja dalam hati, tapi kemudian cengo begitu gue udah sepenuhnya ngerobek kertas pembungkus kado pemberian Edgar. Isinya lukisan yang udah dibingkai—jenis lukisan dengan komposisi warna yang nggak beraturan, sebenernya, tapi entah kenapa terlihat indah dan cukup berbentuk karena gue bisa ngeliat siluet cewek berbalut coat musim dingin di tengah Lapangan Santo Petrus. Indah, bikin gue bakal terpana lebih lama seandainya gue nggak nemuin ada tanda tangan Hana nyempil tepat di sebelah tanda tangan Edgar, di sebelah kanan bawah lukisan. Bocah dajjal. Tapi gue ketawa.

Berikutnya adalah kado dari duo Faris dan Rama. Bentuknya kotak dan kemasannya bulky banget, waktu dibuka ternyata isinya kamus bahasa Jerman—dimana mereka tau kalau Jerman adalah salah satu negara idaman gue untuk ngelanjutin S2. Ada beberapa kartu di selipan dalem tuh kamus, salah satunya ucapan selamat ulang tahun dari Rama, pembatas buku dan voucher belajar gitar gratis bersama Faris Rafandra sampai mahir boleh ngulang kalau dirasa belom mahir. Gue ketawa lagi. Buset, mereka ini kenapa sih sebenernya?

Terakhir adalah kado dari Adrian. Album foto ukuran kecil yang udah didekor macem scrapbook, dan beberapa halaman di dalemnya udah terisi sama foto gue, foto Hana juga komuk-komuk geng kambing gunungnya Jev. Ada juga foto polaroid Doraemon dari film Stand By Me disana. Di bagian paling belakangnya, ada selembar kertas berisi tulisan model-model renaissance, yang ternyata sebuah puisi. Begini bunyinya puisi itu kira-kira.

"A mutual relationship so carefree

Carefree as a child who questions the world

Carefree as a scream that goes unheard

Carefree as an adult blessed with a dream

Carefree as water flowing downstream

Within you, I've found the perfect friend

With whom I can be real, and never pretend

You've always been someone unique from the rest

You hold a piece of me no other can possess

Within you, is reason to live every moment in time."

Gue bengong selama beberapa jenak. Ya ampun. Gue nggak mengira kalau Adrian bisa seahli ini dalem urusan ngasih kado ke orang lain. Gue menghela napas. Oke, tenang. Ini cuman kado dari Adrian. Cuman puisi. Cuman album foto, dan karenanya lo nggak perlu nangis gara-gara ini semua, Raya. Tapi sialan, kampret. Gue terharu, sampe akhirnya gue nggak bisa ngapa-ngapain begitu setetes-dua tetes air mata gue jatoh. Gue mungkin udah mulai mewek Bombay cirambay kalau mata gue nggak tiba-tiba terpaku pada bungkusan segede kotak korek apa yang ngegeletak begitu aja di lantai, deket nampan bekas kue yang udah belepotan krim. Gue langsung tercekat saat gue ngeliat benda itu ; kado dari Jev. Kado yang entah apa isinya, sama aja kayak pemberinya yang sekarang entah ada dimana.

Sempet ragu sejenak, akhirnya gue ngebiarin tangan gue terulur buat ngeraih tuh kotak kecil. Selama beberapa saat, gue cuman bisa mengamati kotak itu dengan kening berlipat penuh tanya. Apaan sih sebenernya yang Jev masukkin ke dalem sini? Kenapa juga dia nggak nongol-nongol di kosan? Apa jangan-jangan isinya bubuk anthrax? Atau lintingan ganja? Atau racun tikus? Siapa tau aja dia udah dendam sama gue gara-gara tindakan keterlaluan yang gue lakuin kemaren-kemaren terus dia pengen gue mokad? Kalau enggak, ngapain juga coba dia nitipin pesan ke Adrian biar gue buka kotak ini pas lagi sendirian?

Oke. Stop disana.

Jev nggak sejahat itu. Kalaupun dia mau gue mati, dia cukup bilang kalau kita nggak bisa jadi apapun lagi, bahkan sebatas sahabat. Dia bakal nyuruh gue angkat kaki atau dia yang nyari kosan baru biar nggak ketemu gue. Cara halus macem nyantet atau ngeracun mah cara khasnya Hana, bukan sesuatu yang Jev banget. Oke. Perlahan, tangan gue gerak untuk ngebuka pembungkus tuh kotak. Kecil banget, dan makin keliatan kecil begitu kotaknya udah terlucuti dari kertas pembungkusnya. Dengan penuh rasa penasaran, gue ngebuka kotak itu, hanya untuk mendapati sebatang USB di dalamnya sedetik kemudian.

Jev ngasih gue flashdisk?

Flashdisk itu masih baru, bentuknya kepala Doraemon dengan permukaan kanvas kasar dan perkiraan gue, bahannya juga glow in the dark, menilik dari komposisi warnanya. Gue bengong, ngeliatin flashdisk itu sebentar, lalu nyadar kalau Jev nggak mungkin cuman ngasih gue flashdisk dalam kotak korek api, bahkan tanpa kartu ucapan selamat ulang tahun sedikitpun. Berpikir sebentar, akhirnya gue memutuskan untuk meraih laptop dan nancepin flashdisk itu di port USB. Tebakan gue bener. Ada sesuatu dalam flashdisk itu, meskipun cuman satu file, dan alunan petikan gitar langsung kedengeran tiga detik setelah gue ngeklik file itu.

Isi flashdisk itu adalah sebuah lagu.

Lagu yang nggak pernah gue tau, tapi punya lirik yang bikin gue terpaku di tempat, nggak tau harus gimana.

Made a wrong turn

Once or twice

Dug my way out

Blood and fire

Bad decisions

That's alright

Welcome to my silly life

Mistreated, misplaced, misunderstood

Miss, no way its all good

It didn't slow me down

Mistaken,

Always second guessing

Underestimated

Look, I'm still around

Setetes-dua tetes air mata kembali jatoh. Sialan. Kenapa sih gue cengeng banget hari ini? Kenapa juga semuanya jadi dramatis, dan dengan begonya, ngapain juga gue duduk di depan laptop yang menyala, dengan lagu asing berlirik dalem yang mengalun dan air mata yang nggak bisa berenti mengalir? Bahu gue terguncang seiring dengan isakan gue yang makin keras, dan mungkin gue bakal udah mewek macem ibu baru kehilangan anak kalau satu ketokan pelan di pintu kosan gue yang kebuka bikin gue langsung tersentak kaget, juga otomatis secara refleks langsung nengok ke pintu sembari bangun dari posisi duduk gue.

Dia ada disana.

Dia ada disana dengan kaos dan hoodie yang dia pake serampangan, bersama sebuah kantong plastik yang keliatan berat di salah satu tangannya. Dia senyum, meletakkan kantong itu begitu aja di lantai dan jalan mendekati gue, sementara lagunya masih kedengeran, memenuhi seluruh ruangan, menjadi satu-satunya suara yang mendominasi selain helaan napas dan isakan gue yang mati-matian coba gue sembunyiin.

Pretty, pretty please

Don't you ever, ever feel

Like you're less than,

Less than perfect

Pretty, pretty please

If you ever, ever feel

Like you're nothing

You are perfect to me

"Rays," katanya, sambil senyum sampe lesung pipinya kecetak dengan begitu dalem di wajahnya. "Happy birthday."

Gue nggak bisa jawab karena sibuk mewek. Tokai kuda.

"Ra, jangan nangis dong." dia ketawa lagi, bikin gue pengen nabok mukanya bolak-balik pake bakiak. Tapi dia kayak nggak terpengaruh ama pelototan gue—yah mana mungkin pelototan gue keliatan serem ketika muka gue bersimbah air mata kayak gini. Pengen kubur diri rasanya. "Lo kan lagi ulang tahun, masa nangis sih."

Gue masih nangis. Bersama lagu yang masih terdengar.

You're so mean

When you talk

About yourself

You are wrong

Change the voices

In your head

Make them like you

Instead,

So complicated

Look how big you'll make it

Filled with so much hatred

Dia menghela napas, masih menatap gue yang jelas-jelas lebih pendek dari dia, lantas dalam hitungan detik, dia narik gue ke dalem pelukan. Telapak tangannya di punggung gue, berusaha menenangkan dengan cara yang entah bagaimana bisa bikin gue nyaman. Sentuhannya, selalu sulit buat gue definisikan, seakan nggak ada kata-kata yang bisa ngegambarin itu semua dengan jelas.

Such a tired game

It's enough

I've done all I can think of

Chased down all my demons

See you do the same

"Raya, jangan nangis." Dia ngelepas pelukannya, terus natap gue. "Jangan nangis. Kenapa juga lo harus nangis?"

"Karena," suara gue jelek banget, mana gue ngomong sambil ngusep mata gue yang basah pake jari. "Karena lo. Karena lo ngeselin. Karena gue kesel. Karena gue pengen berenti ngomong sama lo, tapi nggak bisa. Karena lo datengnya telat. Karena lo bikin kesel—"

Dia malah ketawa. Terus dengan gampangnya, dia ngacak-ngacak rambut gue pake tangannya, kemudian dia nunduk, dengan cepet jarinya menyapu kulit di bawah mata gue, berusaha menghapus jejak basah disana. "Yaelah."

"Lo emang ngeselin." Gue jawab lagi, masih sambil tersedu.

"Sori. Tadi macet soalnya." Dia ketawa. Bener-bener minta disepak sampe Abu Dhabi. "Udah dong, jangan nangis. Gue jadi ngerasa bersalah kalau gini."

"Emang. Emang harusnya lo ngerasa bersalah."

"Suka lagunya nggak?" dia ketawa. "Nggak deng. Suka suara gue nggak?"

"Apaan sih. Cempreng gitu juga." Raya benar-benar pendusta besar.

"Yah." Dia masih aja ketawa ringan, jenis ekspresi yang entah kenapa selalu jadi ekspresi favorit gue. Ketika dia ketawa kayak gitu, lesung pipinya bener-bener kecetak dengan dalem, dan matanya... Tuhan, sekarang gue mengerti kenapa Bruno Mars bilang kalau cahaya mata seseorang bisa membuat bintang seakan nggak bersinar. "Padahal kalau lo bilang bagus, mau gue upload di soundcloud."

"Nggak, jelek." Gue jawab dengan ketus sambil membersit ingus gue pake ujung baju. Jorok sih, tapi daripada gue buang ingus di hoodienya yah mending gue ngotorin baju gue sendiri. Nggak enak dong kalau suasana yang syahdu (apaan sih coba) kayak gini terusak sama insiden buang ingus sembarangan. Astaga. Kenapa gue jadi mirip Hana sekarang. Apalah itu juga sejak kapan gue peduli sama yang namanya suasana? Damn you, Raya Alviena. Tapi yah tetep. Enak aja tuh lagu mau diupload ke soundcloud. Kan spesial buat ulang tahun gue, masa jadi konsumsi orang lain. Eh ya nggak sih? Tapi kan tadi tuh USB dibungkus kado, berarti itu emang buat ulang tahun gue kan?

"Kalo jelek, kenapa lo sampe mewek gitu?"

Gue masih ngehabisin sisa-sisa tangis gue, terus ngucek mata yang basah macem bocah SD yang permennya baru aja jatoh. "Saking jeleknya suara lo."

Dia nggak ketawa, cuman ngeliatin gue dengan senyum yang ketahan. "Selamat ulang tahun. Jangan nangis lagi, ya? Apalagi nangisnya karena gue."

Gue cuman bisa terdiam.

"Anyway, potongan kue pertama kan harusnya buat gue."

"Udah abis. Suruh siapa lo dateng telat."

"Yaelah. Gue telat juga karena nyariin Looking for Alaska buat lo."

Gue tersentak kaget. "Hah?! Seriusan?!"

"Yoi. Nggak usah ditahan kalau lo mau meluk gue, peluk aja sekarang mumpung gue ada disini."

"Idih, amit-amit GR banget lo." Akhirnya gue senyum. Entah kenapa ada perasaan lega yang mengalir, seolah dengan begini, gue berpikir kalau segalanya bisa balik lagi seperti sebelumnya. Balik lagi ke masa dia care sama gue dan gue care sama dia. Waktu dimana kita bakal nonton film-film action penuh darah atau horror mainstream bareng-bareng, yang biasanya bakal diakhiri begitu gue ketiduran duluan—atau dia yang ketiduran, tapi itu cuman kejadian sekali sih, pas nonton Twilight. Rasanya kayak... ada harapan buat gue bisa ngedapetin sahabat gue lagi.

Dia diem sebentar, cuman senyum aja sambil ngeliatin gue.

"Jev,"

"Hm."

"Soal yang kemaren-kemaren... maafin gue." gue memulai dengan susah payah. "Gue tau gue egois. Gue udah bilang kalau lo dan gue, kalau kita, nggak mungkin bisa berhasil, that its not going to work in any way. Tapi gue nggak mau... kalau lo berenti jadi sahabat gue. Gue bakal selalu sayang lo."

"I know that too well cause the same goes with me, little Dora." Dia ngulurin jarinya, nyentuh sisa jejak basah di bawah mata gue. "Gue kangen lo."

Gue ketawa, dan gue nggak tau, tapi gue pikir dia keliatan lega. "Gue juga."

"Jadi, gue bakal nganter lo ke kampus besok?"

"Kalau ada yang marah?"

"Siapa?" dia miringin wajahnya. "Lo denger gosip darimana lagi sih sebenernya?"

"Hehehe. Yaudah. Oke."

Dia nyengir, kemudian menyapu seisi ruangan pake pandangan mata sebelum akhirnya kembali menatap gue. "Foto-foto gue ganteng juga."

"Masih kalah ganteng sama Adrian."

"Tapi masih banyakan fans gue daripada fans Adrian." Katanya kepedean. "Boleh nginep sini nggak malem ini?"

"Kalau lo mau kita digrebek sama ibu kos terus disangka ngapa-ngapain, yaudah."

"Oh, jadi nggak boleh."

"Ya menurut lo aja gimana. Masih pake ditanya juga." gue ketawa lagi, tapi ketawa gue langsung berenti begitu dia nunduk untuk nyium sisi wajah gue, tepat di atas hairline, beberapa millimeter dari telinga gue, yang otomatis langsung bikin gue membeku di tempat.

"Happy birthday, my dearest Raya Alviena." Katanya begitu dia udah narik wajahnya menjauh. "Best wishes in life for you."

Gue pengen nangis. Seriusan. Kenapa sih ada orang sebaik dia?

"Jangan nangis lagi, dong."

"Abis lo bener-bener... lo jadi cheesy begini diajarin siapa deh? Faris? Edgar?"

"Tapi lo suka kan?" katanya sambil menyeringai.

"Nggak. Nggak suka. Cuman kaget. Dan terharu. Sial. Tapi makasih." Duh. Gue bahkan jadi bingung harus ngegunain kata-kata yang gimana.

"Makasih aja nggak cukup."

"Lah terus? Jangan jadi oportunis deh."

"Serius kali." Dia berlagak mikir. "Gini aja. Kasih gue dua permintaan. Gimana?"

"No skinship. No crazy nor those non-sense dare-to challenge. And I'll grant a couple of your wishes, Mister Mahardika."

"Ck. Lo jangan suuzon gitu dong. Nggak bagus kalau kata ustadzah Yohana mah," dia mengerling jahil. "But okay. The first is... go stargazing with me in the end of this weekend?"

Nggak ada alesan buat gue untuk nolak, jadi akhirnya gue ngangguk.

"Terus yang kedua?"

"Gampang banget." Dia natap gue, matanya yang sayu namun tajem bikin gue lupa gimana caranya bernapas selama sepersekian detik. "Jangan pernah ngejauhin gue kayak kemaren lagi."

Gue mengangguk. "Oke."

"Then we have a deal, no?"

"Deal."

[][][]

EDGAR

          Begitu gue nyampe di restoran tempat Hana ama Dio janjian buat ketemuan, mata gue langsung tertancap ama sesosok cewek yang lagi duduk di salah satu kursi. Dia sendirian, dan lagi sibuk nunduk, keliatan banget berusaha nyembunyiin matanya yang sembab dan wajahnya yang banjir sama air mata dari pandangan orang lain. Itu jelas aja Hana. Gue menghela napas, lantas jalan masuk ke restoran dengan cepet tanpa mempedulikan tatapan dari beberapa pengunjung yang terarah ke gue. Hana nangis adalah sesuatu yang nggak biasa. Dia bukan jenis orang yang bakal gampang nangis, apalagi di tempat umum dimana orang-orang bakal bisa ngeliat kalau dia lagi nangis. Begitu gue sampe di deket mejanya, nggak ada apapun disana kecuali segelas minuman dingin yang esnya udah meleleh sepenuhnya, sementara permukaan gelasnya dipenuhi embun. Tanda sederhana kalau dia udah lama duduk disini sendirian, dan sama sekali nggak punya cukup mood untuk nyentuh minuman yang udah dia pesen.

Gue nggak bilang apa-apa begitu gue sampe di deket dia. Gue hanya diam, menarik kursi terdekat dan duduk di sebelah dia. Dia menyadari keberadaan gue, kemudian ngangkat wajahnya yang emang bener-bener banjir air mata. Gue nggak pernah ngeliat Hana nangis separah ini sebelumnya, kecuali pas kejadian dimana kucing piaraannya mati gara-gara obesitas. Tuh cewek sampe ngabisin satu minggu untuk hari berkabung, masang muka muram dan penuh duka selama tujuh hari penuh gara-gara ditinggal mati kucing. Dramatis. Tapi kali ini penyebabnya pasti jauh lebih serius, karena dia sempet nyebut nama Dio pas dia nelpon gue tadi.

"Kenapa ama Dio?" gue nanya setelah lima menit yang terasa panjang berlalu.

"Dio..." dia masih aja terisak, dan gue akhirnya memutuskan buat narik dia ke dalam pelukan, ngebiarin dia ngebasahin bagian bahu baju yang gue pake. Dia adalah cewek paling geser, cewek paling dodol sekaligus periang yang pernah gue kenal, dan ngeliat dia jadi kayak gini... pucat dan sembab karena kebanyakan nangis, rasanya nggak tertahankan. Gue nggak pernah biasa ngeliat cewek nangis, apalagi kalau ceweknya Hana. Bocah dajjal keras kepala yang nggak bakal nangis walaupun dibully sama murid satu sekolah sekalipun.

"Its okay." Kata gue, ngelusin bahu dia sementara dia nangis. "Nangis aja. Nggak papa. Nangis aja. Gue disini."

Hana terisak. Kenceng banget, jauh lebih parah daripada terakhir kali gue ngeliat dia berkabung gara-gara kucing obesitasnya yang segede anak kambing mati tiba-tiba—mungkin tuh kucing kena serangan jantung kali yak secara badan udah gede banget gitu. Ngeliat dia kayak gini bikin gue ngerasa ada sesuatu yang patah, jauh di dalam dada gue. Iya, gue ama Hana emang nyaris nggak pernah manggil satu sama lain atau ngobrol tanpa melotot juga ngeluarin cercaan kasar, tapi bukan berarti gue nggak sayang sama Hana. Gue sayang dia. Dia temen gue, orang yang selalu bikin gue ketawa, bahkan sejak pertama kali gue ketemu dia dalem kostum cosplay betmennya di belakang tembok sekolah, dia udah bisa bikin gue ketawa, paling nggak dalam hati. Hana harusnya jadi orang yang ceria, yang selera humornya jongkok karena ngetawain sesuatu yang gapenting macem tipo sepele, bukan orang yang bakalan nangis kejer ampe sesak napas kayak gini—apalagi karena cowok.

Apalagi karena Dio.

Gue nggak tau Dio udah ngapainin dia, tapi itu pasti parah banget. Gue butuh penjelasan, jadi gue bisa mutusin apakah besok sebaiknya gue nyamperin Dio ke fakultasnya terus nonjok dia, ataukah gue cuman mara-mere nggak jelas ke Dio bilang betapa jahatnya dia kemaren karena udah ninggalin Hana nangis sendirian di Bebek Salero. Tapi tentu aja gue nggak bisa maksa dia cerita dalam kondisi begini, kondisi dimana dia bingung untuk bagi energinya, entah untuk nangis atau untuk ngomong. Gue harus, dan bakal nungguin dia sampe dia tenang.

Setengah jam kemudian, dia narik dirinya lepas dari pelukan gue, menyisakan jejak basah dan bekas ingus di sejumlah tempat di baju gue. Gue nggak pernah keberatan, selama itu bisa bikin dia ngerasa jadi lebih baik. Tapi tetep, bukan Edgar namanya kalau nggak pake ngejutekin dia dikit.

"Kampret. Lo liat nih kelakuan lo. Baju gue jadi belepotan ingus sama air mata." Kata gue, yang bikin dia langsung melotot walaupun matanya masih bengkak karena sembab. "Lo harus bayar ongkos laundrynya ya nanti."

"Perhitungan banget sih lo, Tak. Najis. Jarang-jarang ini juga kan gue mewek. Biarin sekali-sekali baju lo kena tanda cinta dari gue." dia udah mulai bisa melotot sambil menyahut galak. Bagus, karena itu tandanya dia udah mulai bisa menguasai perasaannya sendiri.

"Mending gue kena iler tireks daripada nampung ingus bocah dajjal."

"Tega. Nggak tau apa gue lagi sedih."

"Sedih kenapa?" gue akhirnya ngeluarin pertanyaan yang udah gue tahan lebih dari setengah jam terakhir. "Percaya nggak gue sampe ninggalin Rinjani di café deket kosan Raya cuman buat nyamperin lo kesini? Buruan cerita yang jelas."

"Lo ninggalin Rinjani sendiri?"

"Iya. Emang kenapa?"

"Buset, Tak." Hana nyengir, keliatan lucu di mukanya yang masih bengkak karena barusan tersedu sedan dengan dahsyat macem Rose yang baru aja ditinggal mati Jack. "Gue nggak nyangka kalau gue seberarti itu buat lo. Ngaku deh lo, sekarang."

"Ngaku apa?"

"Kalau lo sebenernya naksir gue kan?" Hana senyam-senyum najong. "Kalau Rinjani itu cuman kamuflase lo doang biar perasaan lo nggak ketauan sama gue, karena lo takut ditolak. Iya kan??? Ngaku aja deh loooooo."

Gue mengerjapkan mata, menatap nih cewek depan gue dengan takjub. Buset. Nyokapnya pas lagi hamil dia ngidam apa sih, ampe keluarnya bocah ajaib kayak gini? Komuk sih boleh manis dan kalem macem Kiko Mizuhara abis ketabrak tronton, tapi kelakuan jangan ditanya. Sekarang gue ngerti kenapa Pak Nana Supena sampe dendam abis ama nih bocah satu sampe-sampe dia nggak rela Hana bisa melewati masa ngampusnya dengan mudah.

"Tai curut." Kata gue kesel. "Tentu aja karena lo sama Rinjani beda, bolot. Rinjani, dia gue tinggalin juga pasti bakal ngerti, lagian dia juga bawa mobil sendiri dan ujung-ujungnya juga bakal sama aja. Gue nggak perlu nganterin dia ke kosannya, karena apa? Karena dia cewek mandiri. Beda sama lo."

"Maksud lo gue bukan cewek mandiri gitu?"

"Yaelah. Coba aja nih misalkan gue kaga dateng, paling besok juga lo udah mokad terus berita kematian lo masuk koran lampu merah."

"Anjing."

"Beneran. Nanti judul headlinenya kayak gini nih," gue ngejek. "Diduga patah hati, seorang mahasiswi teknik industri ditemukan tewas setelah tertabrak angkot karena nyeberang jalan sambil ngesot."

"Nggak lah. Emangnya gue norak kayak gitu."

"Lah, lo baru nyadar?"

Dia ngelemparin tissue yang ada di kepalan tangannya ke gue. "Lo kesini mau ngeledekin gue apa sebagai bentuk solidaritas sebagai bespren nih?"

"Makanya. Kan daritadi gue udah suruh lo cerita."

"Dio..." Hana mendadak mellow banget. Ajaib gila gimana cara emosi Hana bisa berubah dalam sekejap cuman dengan nyebut nama Dio. Damn you, Dio Alvaro. Kalau udah gini, gue suka iri sama Dio. Kenapa? Ya karena ada cewek yang begitu naksirnya ama dia, bahkan cuman dengan nyebut namanya aja bisa bikin cewek itu senyum atau sedih dalam hitungan sepersekian detik. Kesel nggak sih? Degem gue boleh banyak, tapi yang model tiada kata menyerah maju terus pantang mundur go big or go home macem Hana? Kayaknya nggak ada deh. Oh iya lupa. Dia kan spesies langka macem Pitecanthropus erectus.

"Kenapa ama tuh calon ayah dari anak-anak lo di masa depan?"

Hana mendengus, terus mulai mellow lagi. "Dia nggak dateng malem ini. Gue coba ngehubungin hapenya. Berkali-kali. Tapi nggak bisa. Terus sekalinya bisa... ternyata..."

"Ternyata apa?"

"Suara orang yang ngangkat teleponnya..." oke. Mata Hana mulai berkaca-kaca lagi. "... cewek."

"Hah?"

Air mata Hana jatoh lagi. "Orang yang ngangkat teleponnya cewek, Tak. Jam segini. Dia nggak dateng ke tempat dia janjian sama gue, dan yang ngangkat teleponnya ternyata cewek. Gue... gue ngerasa..." Kelar. Ucapannya kelar sampe situ, karena dia udah keburu nangis duluan. Gue menghela napas, menunduk sedikit buat ngehapus jejak air mata dari wajah dia, tapi air mata itu masih aja terus ngalir karena dia nggak berenti juga nangis. Oke. Untuk kali ini, dia berhak buat nangis—karena jauh di dalam hatipun gue lagi bertanya-tanya apa yang sebenernya Dio lakuin.

Hana terisak lagi. Jauh lebih keras. Dan gue nggak punya pilihan lain selain ngebiarin tubuh gue gerak dengan sendirinya, ngeraih dia ke dalem pelukan gue dan ngusap punggungnya dengan perlahan. Tangisnya berbaur di dada gue, bercampur bersama detak jantung sementara air matanya membentuk rembesan basah di kemeja yang gue pake. Duh, Hana. Lo nggak seharusnya nangis kayak begini, apalagi cuman gara-gara seorang Dio Alvaro. Pathetic. Mungkin akan lebih baik kalau lo nggak jatuh cinta sama orang yang salah, karena dari semua orang di dunia ini, lo adalah salah satu yang nggak boleh untuk disakitin—atau orang yang nggak mau gue liat tersakiti.

"I'm here, Yohana. I'm here." Kata gue, berbisik di telinganya. Dan dia nggak bilang apa-apa. Dia hanya menumpahkan semua perasaannya di dada gue.

Sial.

Gue harus minta penjelasan dari Dio.

Atau ngasih dia sedikit tonjokan.





Bersambung.

[][][]

a/n : hello.

Hehehe, everything will be okay in the end, because if its not okay, its not the end.

Soundtrack untuk chapter ini sekaligus lagu yang Jev kasih buat Raya di hari ulang tahunnya adalah lagu Perfect dari Boyce Avenue, dan untuk yang nanya siapa yang jadi Rinjani, dia adalah Park Sooyoung aka Joy from Red Velvet. Gue demen Red Velvet hehe entah kenapa, terutama Wendy dan Seulgi dan Irene dan Joy dan Yeri ya ampun intinya semuanya wkwk xD Pengisi konten multimedia chapter ini adalah Adrian muehehe

Okedeh. See you in the next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro