Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25| Sempat Resah

sudah,
tidak apa-apa
ia di sampingmu
ia tidak akan pergi
ia adalah bahumu
untuk menangis











Kepulan asap yang bersumber dari secangkir cokelat panas itu sedang menemani seorang gadis yang duduk terdiam di kursi meja makan di rumah Libra.

Bajunya yang basah masih belum mengering. Di luar juga masih hujan. Walaupun tak sebesar tadi. Rumah Libra sekarang benar-benar terasa sepi. Mungkin karena saat ini hanya Libra yang tinggal di sana.

Kemudian Aries mengesap secangkir cokelat yang masih utuh. Helaan napas panjang terdengar dari setiap hembusan. Pikirannya sekarang sedang dipenuhi oleh Libra. Entah kenapa. Karena dengan sendirinya, sosok laki-laki itu muncul begitu saja.

Pasti sulit bagi Libra meninggali rumah ini sendiri. Terlalu banyak kenangan yang tersimpan. Manis pahitnya hidup yang Libra jalani, rumah besar ini adalah saksi bisunya bagaimana kisah itu berlangsung.

Lalu kepala gadis itu mendongak, menatap lampu yang menggantung di atas sana. Memejamkan matanya beberapa saat, menikmati sepi yang menelusuk ini. Suasana seperti ini, bagaimana bisa begitu menenangkan.

"Libra ya ....." Aries mengembuskan napas panjang sekali lagi.

"Manggil?"

Libra yang baru saja menuruni anak tangga dengan membawa selimut tebal berwarna hitam miliknya dan satu pasang baju mengernyitkan dahinya. Tingkah gadis itu memang ada-ada saja. Kemudian Libra melempar baju dan celana itu kepada Aries sementara selimutnya masih ia pegang.

"Pakai! Kamu kedinginan."

"Kamu?"

"Lo maksudnya."

Aries tersenyum. "Nggak apa-apa. Libra kedengaran lebih lucu. Tetap kayak gitu, ya?"

"Terserah."

"Tapi ini punya siapa?" tanya Aries bingung.

"Pakai dan gak usah banyak nanya."

Ia tidak menolak. Aries bergegas mengganti pakaiannya. Setelah selesai, Aries langsung kembali dan duduk di bangkunya semula.

"Ari udah kayak orang-orangan sawah belum, Lib?" tanya Aries. Namum, Libra tidak menjawab.

"Libra, ih! Ari nanya juga. Masa gak di jawab?"

"Kamu lucu."

"Hah?"

Gadis itu mengedipkan matanya berulang kali berusaha memastikan apakah hal yang baru saja di dengarnya barusan itu memang sungguah, atau tidak.

"Kenapa?"

"Nggak. Ari cuma kaget aja."

"Kamu nggak mau aku sebut lucu? Ya udah."

"Habisnya ini yang pertama kali Libra muji Ari, hehe."

Kemudian Libra menyerahkan selimut hitam itu kepada Aries dan mulai menyiapkan beberapa kebutuhan untuknya memasak.

"Libra mau ngapain?"

Libra mendengkus. "Ya masak, lah, bego!"

"Ish. Ari kan cuma nanya doang." Aries mengerucutkan bibirnya. "Buat siapa?"

"Buat kamu."

"E-eh."

"Kamu harus makan."

Setelah itu tak ada percakapan lagi. Aries sibuk memerhatikan Libra yang begitu lihainya memasak. Mendadak Aries jadi iri. Ternyata Libra sangat piawai dalam memasak. Berbeda dengan dirinya yang seakan seperti bermusuhan dengan apa pun perkakas yang ada di dapur.

Dalam hati, Aries merutuki dirinya sendiri. Lagi. Apa tidak apa-apa dia bersikap seperti ini sementara Libra masih dalam keadaan berduka? Ia tahu, ini mungkin bukan waktu yang tepat. Karena Aries sendiri masih merasa terpukul dengan kepergian Emily. Akan tetapi, bukannya luka itu harus secepatnya di angkat dan di sembuhkan?

"Makan," ucap Libra sambil meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Aries lalu duduk di sampingnya.

"Kok cuma satu piring, sih? Buat Libra mana?"

"Aku gak lapar."

"Kalau gitu, Ari juga gak mau makan ah kalau Libra gak makan."

"Aku bilang makan, ya, makan."

"Kalau begitu, Libra harus ikut makan bareng Ari, ya?'

"Cih."

"Mau?"

"Iya."

***

Terjebak dari ruangan yang paling ia benci di ruamahnya bersama dengan seorang gadis bego yang selalu merepotkannya, benar-benar membuat Libra tidak tahan.

Hari ini adalah pertama kalinya ia berlama-lama diam di ruangan itu sambil menonton TV setelah beberapa tahun sejak kejadian itu berlalu. Di saat yang bersamaan, sekali lagi sakit hati kembali menyerang.

Potongan-potongan memori dari hidupnya yang kelam di masa lalu, melayang-layang di pikirannya. Memang selalu seperti ini jika sedang berada di ruangan penuh kenangan itu. Itu sebab selalu ia hindari.

"Libra buka dong mulutny––" Ucapan Aries terpotong ketika melihat Libra sedang menatap kosong langit-langit putih di atas sana. Dengan punggung yang ia sandarkan di sofa, dan duduk di karpet berbulu tebal.

"Masih sedih, ya?" tanya Aries.

Libra membuang mukanya ke arah samping, lalu berdecak.

"Kakak mana yang baru aja ditinggal adiknya pergi bisa langsung lupa gitu aja?"

"Ari cuma tanya aja, kok." Aries menunduk dalam-dalam dengan jari jemarinya yang saling bertautan memegang satu buah sendok.

"Libra juga jangan ngomong gitu. Masa Mily mau dilupain sih?"

"Bego banget, sih. Bukan gitu maksudnya."

"Habisnya Libra tadi kan bilang lupain."

"Bego."

"Ish Libra mah."

Libra tersenyum kecil. Setidaknya dengan kehadiran Aries yang selalu mengganggunya saat ini, mampu mengalihkan perhatiannya dari kesedihannya sementara waktu. Walaupun rasanya sedikit tak wajar karena waktunya yang kurang tepat, tapi Libra tak mempermasalahkannya.

Bukan berarti Libra sudah bangkit dari kesedihannya. Tidak. Laki-laki itu hanya tidak mau terus menenggelamkan dirinya dalam lembah keterpurukan lebih lama lagi. Dengan adanya Aries, secara perlahan Libra harus mulai melangkahkan kakinya, membuat lembaran baru tanpa adanya Emily di sisinya.

Sekarang ia hanya perlu lebih mengikhlaskan lagi hatinya, dengan cara mendoakan Emily semoga tenang di sana.

Kemudian Libra meraih sepiring nasi goreng yang terletak di depan Aries yang sekarang sedang sibuk menonton TV. Tontonannya tak jauh berbeda dengan anak-anak yang masih SD. Menonton kartun si celana kotak bersama dengan bintang laut berwarna merah muda.

"Buka mulut kamu," suruh Libra ketus.

"Entar, ah, nanggung. Itu si Squidwardnya lagi konser. Ari mau dengar dulu."

Libra tidak peduli. Lalu laki-laki itu menyendok nasi gorengnya lumayan banyak dan disuapkan secara paksa ke dalam mulut Aries tanpa ragu.

Tentu saja Aries kaget bukan main ketika tangan Libra menggapit kedua pipinya, lalu memasukkan sesendok penuh nasi goreng ke mulutnya. Gadis itu memekik tertahan ketika Squidward sudah mulai bernyanyi.

Buru-buru Aries mengunyahnya lalu menelannya. Padahal di sebelahnya ada satu gelas air minum. Namun, gadis itu langsung berdiri dan mengambil sehelai tisu lalu meniru gerakan Squidward yang sedang menari.

"Saat Ari menangis. Ari membutuhkan tisu. Empat lembar, empat lembar saat Ari menangis."

Libra menggelengkan kepalanya pening dengan gelagat Aries.

"Duduk, woi!"

"Apaan, sih, Libra. Entaran, ah. Nanggung, nih. Bentar lagi selesai." Aries terus melanjutkan joget-joget tidak jelasnya hingga ia lelah sendiri, barulah Aries kembali duduk dan langsung meneguk air yang masih utuh itu sampai habis.

"Haduh, Ari capek banget. Sampai keringatan gini," sambungnya setelah minum.

"Sebenarnya itu baju punya Mily," ucapnya Libra datar.

"Eh? Masa sih?" Aries menatap Libra tak percaya.

"Iya," jawabnya singkat.

"Kok bisa gede, gini? Cerita dong."

Hening datang selama beberapa menit. Laki-laki itu mendengkus panjang. Masih terlalu berat untuk menceritakan semua hal tentang Emily.

"Ayo dong."

"Jangan paksa."

Sebenarnya Aries sangat penasaran, tapi sepertinya Libra memang tidak ingin menceritakannya. Hujan sudah semakin reda. Hanya menyisakan gerimis-gerimis kecil yang masih turun dari langit. Hari sudah semakin sore, dan Aries masih berada di rumah Libra.

"Aku antar kamu pulang."

"Sekarang?"

"Tahun depan."

"Ih kelamaan, ah. Nanti Ari keburu jamuran. Jomblo terus."

"Ya sekaranglah. Bego!"

"Iya-iya."

Walau dengan perasaan kesal, Aries mengikuti Libra yang berjalan terlebih dahulu menuju garasi rumahnya.

***

Libra menepikan motornya tepat di depan pagar rumah Aries yang masih tertutup. Aries langsung turun dari motor Libra, membuka helm yang ia kenakan, lalu menyerahkannya lagi kepada Libra.

Langit masih terlihat kelabu. Sepertinya matahari enggan menampakkan dirinya lagi. Walaupun hujan sudah reda, tetap saja hawa dingin itu masih menulusuk.

"Makasih, ya. Udah antar Ari pulang," ucapnya pelan.

"Hm." Lalu Libra kembali menyalakan motornya.

"Nanti baju Mily Ari kembaliin lagi. Sekarang mau dicuci dulu. Gak apa-apa?"

Libra mengehela napas sesaat, kemudian menatap datar Aries. "Simpan aja."

"Ta-tapi, 'kan?"

"Aku pulang."

"Hati-hati."

Lalu setelahnya gadis itu membuka pagar rumahnya, berjalan gontai memasuki rumah. Entah kenapa, hatinya merasa begitu bimbang sekarang. Seperti ada gejolak yang menggebu di hatinya, sedari tadi Aries menahan agar air matanya tidak keluar di hadapan Libra.

Sebetulnya hati Aries sangat sensitif bila di hadapkan dengan hal-hal seperti ini. Namun, belum pernah ia merasa seperti ini karena orang lain. Hanya, kenapa dengan Libra berbeda?

Kemudian dengan perasaan yang tak keruan, Aries membuka pintu rumahnya dan memasukinya dengan lesu. Seperti bukan Aries yang biasanya saja.

"Baru pulang, Ri?" tanya Asih.

"Iya," jawabnya tak bersemangat.

"Loh, kamu kenapa? Tumbenan lesu." Asih terkekeh.

Tak ada angin tak ada badai, Aries memeluk Asih begitu saja, lalu membenamkan kepalanya di pundak sang mama. Air mata yang sedari tadi ia tahan, tumpah saat itu juga. Seperti sedang mencurahkan semua keluh kesahnya.

Asih sudah paham betul dengan sifat anak gadisnya. Pasti sedang ada yang mengganjal di hati Aries. Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu mengelus punggung anak gadisnya penuh kasih dan membawanya duduk di sofa ruang keluarga,

"Udah gak apa-apa," ujar Asih begitu menenangkan sambil mengcup kepala Aries.

"Mama tadi datang ke pemakaman adiknya Libra?" tanya Aries sendu.

"Mama sama Ayah datang, kok."

"Kasihan ya, Libra. Sekarang dia pasti lagi sendirian."

Asih mengangguk-nganggukkan kepalanya. Sekarang ia tahu kenapa anaknya begitu sensitif. Ternyata gara-gara Libra. Jadinya ia penasaran sendiri. Seperti apa sosok Libra itu? Karena memang selama ini Asih belum mengenalnya. Tadi pun ketika di pemakaman, ia hanya melihat dari jarak jauh saja. Ditambah lagi, Aries belum pernah mengajaknya main ke rumah. Itu juga jika Aries memaksa Libra untuk mengantarnya pulang, pasti hanya sampai gerbang depan saja.

"Mama turut berduka cita, ya, atas meninggalnya adik Libra." Lalu puncak kepala Aries Asih usap lembut.

"Iya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro