24| Kepergian Terakhir
catatan terakhir
perjalanan hidup seorang manusia
adalah kepergian
akan ada luka
akan ada kecewa
akan ada duka
terangkum dalam hati
yang kosong
Karena lelah menunggu lama, akhirnya Jodi, Kevin, dan Abdul memilih pulang terlebih dahulu ke rumahnya masing-masing dari beberapa jam yang lalu. Sekarang Aries berada sendirian di dalam kamarnya, dengan lampu yang sengaja ia matikan.
Ia masih berharap bahwa Libra akan datang ke rumahnya. Akan tetapi, sudah hampir dua jam menunggu, laki-laki itu tak kunjung datang.
Kue ulang tahun yang Aries beli tadi sudah mulai luruh. Lilin angka '17' yang tertancap di atasnya sedikit demi sedikit mulai kehilangan keagungannya. Sudah banyak pesan yang ia kirim, namun tak ada satu pun yang terbalas. Sudah beberapa kali ia melayangkan telepon, tak ada satu pun yang terangkat.
Sebenarnya ada apa ini, semesta? gadis itu benar-benar resah. Kemudian, Aries mencoba menelepon Libra sekali lagi. Namun, hasilnya sama saja.
Setitik perasaan cemas datang menghinggapi relung hati Aries. Sebenarnya ada apa dengan Libra? Apa ada sesuatu yang buruk terjadi padanya? Aries tahu kalau Libra pasti sedang sibuk menjaga Emily, tapi biasanya laki-laki itu selalu bisa menyempatkan waktu dan Emily memahami itu.
"Libra, kamu ke mana, sih?"
Kemudian Aries berjalan bolak-balik di dalam kamarnya dengan perasaan harap-harap cemas. Kenapa hatinya jadi tidak tenang seperti ini? Namun, dengan cepat Aries menampik pikiran-pikiran negatif yang mulai membercandai otaknya.
Sebentar lagi, jam dinding yang ada di kamar Aries akan menunjuk angka '9' dengan sempurna. Gadis itu mendengkus pendek, lalu memasukkan kembali kuenya ke dalam kotak. Keputusannya sudah bulat. Ia akan merayakan ulang tahun Libra di rumah sakit saja bersama Emily.
Untungnya, malam itu Ali sudah pulang dari kantornya. Ia tak perlu khawatir dengan siapa ia akan pergi. Setelah selesai bersiap-siap, gadis itu menghampiri ayahnya yang sedang duduk santai di ruang keluarga sembari membaca koran dan ditemani secangkir kopi.
"Mama mana?" tanya Aries sambil mendudukkan pantatnya di sebelah Ali.
"Sudah tidur, dia."
"Ayah mau ya anterin, Ari?"
"Kamu mau ke mana, Ari? Sudah malam gini."
"Ari mau ke rumah sakit, Yah. Mau rayain ulang tahun Libra di sana."
"Kok, rayainnya di rumah sakit, sih, Ri? Kayak gak ada tempat lain aja," tanya Ali bingung.
Aries menghela napas perlahan. "Iya, soalnya adik Libra sakit, dan dirawat di sana."
"Apa nggak apa-apa? Ayah rasa, ini bukan waktu yang tepat buat kamu rayain ulang tahun Libra," ujar Ali khawatir.
"Nggak apa-apa, kok, Yah. Emily pasti senang banget Ari datang ke sana."
"Ya sudah Ayah antar kamu. Tapi jam dua belas nanti Ayah jemput lagi, ya?"
"Siap Ayahku yang gantengnya kayak Kim Taehyung. Hihi."
Ali hanya menggelengkan kepala heran menanggapi tingkah anaknya yang masih kekanak-kanakkan. Kemudian laki-laki paruh baya itu mengambil jaket kulit dan langsung memakainya.
"Ayo, Ri."
Aries berdiri dan langsung mengikuti Ali yang sudah berjalan terlebih dahulu di depannya. Mobil yang memang masih terparkir di halaman rumahnya langsung Aries naiki dan duduk di samping Ali yang sudah siap dengan kemudi.
Dalam suasana yang sunyi sepi, ayah dan anak itu membelah jalanan Kota Bandung yang ramai lancar malam itu. Sesampainya di sana, Aries langsung meloncat turun dari mobil Ali dan mencium punggung tangan lelaki itu.
"Sebelum Ayah jemput, kamu jangan dulu pulang!" tegas Ali sekali lagi.
"Iya, Ayah. Ayah pulangnya hati-hati, ya."
Saat mobil Ali mulai menjauh, Aries langsung berjalan memasuki rumah sakit menuju ruang rawat Emily. Namun, saat menginjakkan kakinya di lorong koridor yang menghubungkannya langsung dengan kamar Emily, Aries melihat dokter yang selalu menangani Emily keluar bersama dengan dua orang perawat membawa seseorang yang sudah tertutupi kain putih polos di sekujur tubuhnya.
Entah kenapa, intuisinya mengatakan bahwa ia harus segera cepat-cepat sampai di sana. Langkah pelan yang gadis itu jalani perlahan berubah dengan langkah cepat, disusul selanjutnya dengan berlari.
Sesampainya di sana, mata gadis itu membelalak hebat. Didampingi dengan air yang mulai mengalir dari mata, Aries terkejut bukan main. Saat melihat ke sana, hanya ada Libra yang sedang menunduk sambil mengepal. Tak ada lagi gadis kecil yang berbaring di atas kasur itu.
Kue yang ia bawa dari rumah jatuh begitu saja ke lantai. Tangan yang menggenggamnya luruh seiring dengan tubuh yang mulai bergetar.
"Libra, Emily kemana?"
Tak ada sama sekali jawaban yang terlontar dari mulut Libra. Aries lihat dari belakang, pundak laki-laki itu naik turun seiring dengan deru napas yang tak teratur. Persis seperti seseorang yang sedang berusaha menahan tangis.
Berjalan dalam keraguan, hingga langkah membawanya mendekat, dalam hati, gadis itu dapat merasakan perih yang sama. Perih bagaimana rasanya benar-benar ditinggal pergi, tak ada lagi kesempatan untuk kembali.
Siapa saja, tolong bantu jelaskan. Tuhan, semesta, manusia, kenapa harus ada pertemuan jika pada akhirnya tetap saja pertemuan itu harus berakhir dengan perpisahan? Lebih baik, jika bisa, tidak usah ada pertemuan jika hanya berujung kepergian. Rasanya benar-benar menyedihkan.
Sayangnya, bahkan Tuhan sekali pun tidak menampik. Tak ada yang mampu mematahkan hukum alam. Siapa saja makhluk yang bernyawa, pasti akan merasakan bagaimana indahnya pertemuan, lalu dihujam dengan sakitnya perpisahan. Benar, itu sudah jadi aturan.
Bagaimana Libra tersenyum saat Emily dilahirkan dari rahim ibunya, itu adalah kali pertama mereka berjumpa sebagai sepasang adik dan kakak. Hingga sekarang Emily kembali pulang, senyum itu berubah dengan tangis yang begitu meringis.
Lutut yang menopang berat badannya luruh. Berbaku hantam dengan keramik putih yang terasa begitu dingin. Bunyi gemerutuk dari gigi terdengar begitu nyaring dalam hening. Elegi begitu menyentuh hati. Masih dalam keadaan tertunduk, butir demi butir air matanya jatuh, berhamburan di atas lantai.
Kenapa hatinya merasa begitu kosong?
Kenapa matanya gelap?
Kenapa telinganya runyam?
Kepada tubuhnya bergetar?
Ketika Aries berdiri tepat di hadapan laki-laki yang sedang duduk bersimpuh itu, Libra masih juga belum menyadari bahwa ada seseorang di hadapannya yang akan selalu siap menjadi sandaran ketika semesta sedang ingin bermain-main.
Ia rangkul manusia paling rapuh itu, ia bawa raganya ke dalam sebuah dekapan penenang. Tangisan manusia ini, benar-benar dipenuhi dengan resah. Seperti sedang kehilangan arah,
Harapan yang mengatakan bahwa hari ini akan menjadi momen paling menyenangkan, justru malah berakhir dengan tangisan. Bagaimana bisa di hari yang begitu berarti bagi Libra, adik kecilnya justru memilih untuk pulang.
"Libra kuat."
Libra tidak menjawab. Sedetik kemudian, lengan kokoh itu meremas kerah kemeja Aries. Seolah membagi apa yang sedang ia rasakan, karena Aries juga merasa begitu. Telihat jelas dalam raut wajahnya, semua emosi sedang menguasai. Marah, sedih, kesal, kecewa, terkejut, terpukul, resah, takut, sempurna. Semuanya berpadu satu dalam satu waktu.
"Mily, Ri. Mily," ujar Libra dengan nada yang bergetar hebat dalam setiap kalimat.
"Dia beneran pergi."
"Libra kuat. Libra kuat. Libra kuat. Libra kuat. Libra kuat. Libra nggak boleh nangis. Libra kuat."
Akan tetapi, gadis itu juga menangis.
"Mily itu satu-satunya yang aku punya sekarang. Tapi dia malah pergi."
"Mungkin Tuhan terlalu sayang sama Mily. Makanya Tuhan nyuruh Mily buat pulang. Libra harus menerimanya."
"Aku nggak mau, Ri. Aku nggak bisa." Libra mengepalkan tangannya.
"Libra pasti bisa. Tenang aja, Libra pasti bisa." Gadis itu semakin memeluk Libra.
"Aku takut."
"Ada Ari di sini. Libra tenang saja."
"Aku takut, Ri. Aku takut. Aku takut kehilangan lagi."
Aries menangkup kedua pipi Libra. Gadis itu memaksa Libra untuk menatapnya.
"Pecaya sama Ari. Ari nggak akan ke mana-mana."
Seperti ada yang terangkat dari palung hati paling dalam, Libra membelalak. Namun pandangannya tetap kosong. Lalu, Libra menarik gadis kecil itu ke dalam dekapannya.
"Aku takut, Ari. Aku takut."
Kehilangan adalah hal paling terkutuk di dalam semestanya. Mereka gelap, mereka dingin, mereka tidak tahu apa-apa. Padahal jauh di dalam nuraninya, ia berteriak. Dari segala doa, dosa, dan resah.
Manusia itu, benar-benar sedang ketakutan.
***
Nisan itu masih Libra pandangi lekat-lekat. Matanya tak teralih sedikit pun dari nama yang tertera di sana, Emily Ergina.
Di atas sana, cakrawala sudah mulai menggelap. Bukan karena malam, tetapi gumpalan awan hitam itu sedang berkumpul menutupi sinar matahari yang menyinari. Yang bisa dengan kapan saja, menurunkan langsung jutaan butir air ke bumi.
Sepi sunyi datang menghampiri. Sudah tak ada siapa-siapa lagi di sana kecuali Libra, dan empat orang yang sedang berdiri agak jauh di belakangnya. Aries menatap Libra sendu ditemani oleh Jodi, Kevin, dan Abdul.
Angin bertiup kencang sore itu. Bahkan, daun-daun yang masih menempel di batang pohon pun seperti sedang ketakutan.
Diikuti dengan gerimis yang mulai turun, tak ada sama sekali keinginan bagi Libra untuk beranjak. Tak ada, tak ada sama sekali. Saat ini, otak dengan hatinya sedang bekerja dalam satu arah yang sama. Sama-sama mengatakan bahwa ia harus tetap menemani adiknya di rumah terakhirnya.
Saat Libra duduk bersimpuh lalu memeluk nisan adiknya, lagi-lagi air mata berhasil menembus keluar. Libra merasa bahwa hatinya sudah hancur. Satu tetes air mata menghambur di atas rumah Emily, jutaan butir air dari langit ikut turun ke bawah menghumjam tanah. Disertai dengan angin yang masih bertiup kencang, semakin badai menerjang, semakin kuat juga tekad Libra agar tak beranjak dari tempatnya.
Jodi, Kevin, dan Abdul yang masih ada di sana menemani Aries panik bukan main. Ketiganya kompak menyuruh Aries untuk segera masuk ke dalam mobil dan pulang, tapi Aries sama sekali mengabaikannya.
Entah kenapa, nalurinya berkata bahwa Aries harus tetap berada di samping Libra. Aries tak dapat menyangkalnya. Bagaimana melihat keadaan Libra yang sangat menyedihkan, hatinya benar-benar tak tega untuk meninggalkan laki-laki itu sendirian.
"Ri! Ayo kita pulang. Ujannya deras banget," kata Jodi agak sedikit memaksa yang bajunya sudah basah kuyup.
"Iya. Ayo, Ri. Entar nyokap lo malah nyalahin kita, lagi," timpal Kevin.
"Kalian duluan aja. Ari mau nemenin Libra." Setelah itu, langkah kecil Aries membawanya mendekati laki-laki yang masih setia duduk bersimpuh di sana.
Jodi dan Kevin saling memandang, lalu mengangkat bahunya masing-masing dan pergi menyusul Abdul yang sudah duluan masuk ke dalam mobil.
Aries sudah tak peduli lagi dengan pakaian serba hitamnya yang sudah basah kuyup. Gadis itu terus saja berjalan mendekati Libra menerobos rapatnya rinai. Sesampainya di hadapan laki-laki itu, Aries melihat Libra sedang menangis untuk yang kedua kalinya. Ternyata, di balik sikapnya yang kasar, sebetulnya Libra adalah kerapuhan itu sendiri.
Baru kali ini Aries melihat ada ketulusan dari mata Libra. Sungguh! Lalu gadis itu ikut bersimpuh di samping Libra. Sama-sama menatap batu nisan itu, diusapnya dengan lembut dan tersenyum sendu.
Aries juga masih tidak menyangka kepergian Emily akan secepat ini. Padahal baru satu kali ia menghabiskan waktu bersamanya. Sudah banyak yang ia rencanakan bersama Emily. Agar suatu hari nanti, bisa melaksanakannya bersama-sama.
Namun sekarang sudah tidak bisa lagi. Aries hanya bisa mendoakan Emily supaya tenang di sana.
Lalu Aries beralih menatap Libra yang masih tak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Masih dengan posisi yang sama, bahunya naik turun. Libra sedang menangis. Setiap air mata yang keluar dari mata, jatuh, berpadu satu dengan hujan.
"Libra," panggilnya menembus gemuruh hujan.
Laki-laki itu tak menjawab. Beberapa detik hening kembali menyelimut.
"Libra? Ayo kita pulang. Hujannya deras banget. Nanti Libra sakit," ucap Aries sekali lagi sedikit berteriak.
Libra mendongak, lalu menatap datar Aries.
"Gak!"
"Nanti kamu sakit, Libra. Ari tahu Libra sayang banget sama Mily. Ari ngerti Libra pengin terus di samping Mily. Tapi coba lihat diri Libra sendiri, apa mereka nggak kelelahan ngikutin pikiran Libra terus? Pikirin juga kesehatan Libra. Kalau Libra sampai sakit, siapa yang akan sedih? Di sana mily juga pasti akan sedih."
"Pulang lo. Gak usah peduliin gue." Kata-katanya terasa begitu dingin dan menelusuk di hati Aries.Namun Aries tidak menyerah. Gadis itu terus saja memaksa Libra untuk ikut pulang bersamanya.
"Kalau begitu, Ari juga gak mau pulang, ah. Mau nemenin Libra aja di sini, hihi." Masih saja. Di saat-saat seperti ini, kenapa Aries masih bisa cekikikkan? Sayangnya, Libra melihat cengiran Aries itu palsu. Dengan air mata Aries yang ikut keluar, juga wajahnya, tidak menunjukkan bahwa dia benar-benar tulus. Sepintas, ada rasa sakit yang Libra lihat juga.
"Ari tahu, Libra lagi sendirian, 'kan? Makanya Ari gak mau pulang ikut Jodi, Kevin, sama Abdul."
"Cewek bego!" ucap Libra ketus.
"Hihi."
Kemudian Libra menatap nisan Emily lagi. "Abang rasa ... ini adalah jalan yang terbaik buat kamu. Di satu sisi, Abang gak mau kamu pergi. Di sisi lain, Abang gak mau lihat kamu terus-terusan berjuang." Isak tangis sekali lagi kembali terdengar dari bibir laki-laki itu. "Semoga kamu tenang di sana, ya?"
Kemudian Libra mengadah ke atas, menatap langit kelabu yang masih menurunkan rintik hujan itu. Apa langit juga merasakan apa yang Libra rasakan? Jika tidak, kenapa langit juga ikut menangis? Lalu Libra bediri, dan mengepalkan tangannya erat-erat.
Bisa saja sebenarnya langit itu justru sedang mengejeknya?
"Sialan," rutuk Libra pelan.
Sedetik kemudian, laki-laki itu merasa ada tangan yang melingkar di perut dan kepala yang terbenam di atas punggungnya. Dalam dingin, Libra merasakan ada kehangatan. Air mata Aries yang jatuh di punggungnya, kenapa membuat hatinya tak tega?
"Ngapain, lo?"
"Ari takut," katanya parau.
"Kenapa?"
"Takut Libra kenapa-napa."
"Cih."
Laki-laki menundukkan kepalanya ketika ada sesuatu memeluknya dari belakang. Di balik semesta yang dingin ini, ia merasa ada setitik kehangatan yang jatuh di atas punggungnya. Air mata Aries. Air mata gadis itu terjatuh di dalam pelukkannya.
Sekali lagi, Libra tatapi batu nisan itu. Sebelum pada akhirnya ia menetapkan pilihan, dengan sedikit menyunggingkan senyum, ia berpamitan.
Abang pulang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro