23| Ketakutan Paling Nyata Ke-Sekian
manusia
rasa
kerapuhan
keresahan
dan lagi
ketakutan
Emosinya hampir habis. Semuanya ia torehkan di atas sebuah kanvas. Membentuk sebuah kesatuan di mana sosok akan seorang laki-laki yang begitu disayanginya tergambar jelas.
Sebentar lagi, dermaga akan mengantarkannya menemui sebuah akhir dari sebuah perjalan hampa. Tidak apa-apa. Ia tidak akan menyesal. Ia tidak akan merengek. Ini adalah garis Tuhan paling Mutlak.
Akan tetapi, ia menangis.
Ia menangis bersama bulan yang kehilangan rindunya. Cahayanya usang. Malam mengenang. Fajar akan segera terbilang keesokan. Semesta, mulai saat ini kamu harus menjaga seseorang paling rapuh di dalam gambarnya. Jika sosok itu menangis, suruh gemintang untuk datang menenangkan hatinya atas segala rupa kehilangan dengan puisinya.
Sang Dewi sepertinya sudah bosan memberinya keberuntungan. Malaikat berjubah hitam bersayap sudah menunggunya di depan sebuah pintu penerimaan. Segala penyesalan, kecewa, dosa, akan diterima di sana.
Ia ingat betul kapan sosok laki-laki itu akan memperingati hari lahirnya sendiri. Walau ia yakin, sosok itu pun pasti akan lupa. Setidaknya, ini akan terkenang sebagai hadiah terakhir sebelum ia pulang.
Ia sudah lelah. Ia sudah resah. Namun ia bukan menyerah. Ia menerima. Bahwa ia sudah kalah.
Ia memeluk lukisannya sendiri sambil menangis tertahan bersama malam. Raganya iba, nalarnya takluk. Sampai matanya benar-benar terpejam.
***
Ia hilang. Di sebuah persimpangan, ia lupa jalan pulang. Semuanya gelap. Semestanya pengap. Sang pujangga sudah kehilangan akal. Sang pujangga kehilangan kalimat penenangnya. Sementara manusia itu ketakutan.
Ia menunggu. Di balik sekat pintu, ia tetap menunggu. Keluarnya manusia berjubah putih, ia menunggu. Sebuah kepastian, demi sebuah kepastian. Tatapannya kosong. Kakinya bergetar menahan beban yang sudah tidak bisa ditanggunnya sendirian.
Kepada aang penyair agung, lantunkanlah sebuah melodi tanpa elegi. Ia memohon renjana. Sekali saja, beri ia renjana. Ia sudah terlalu muak dengan semesta. Ia sudah tidak mau lagi bertemu dengan kehilangan.
Lalu, sebuah pintu terbuka. Akan tetapi ia tidak mampu menatap. Seolah setan-setan sedang menertawainya dari atas.
"Berdirilah. Di saat seperti ini, jangan tundukkan kepalamu."
"Apa sudah tidak ada lagi kesempatan, Dok?"
"Maaf, kami sudah melakukan semampu kami."
Libra terduduk, semakin tertunduk di antara dekapan tekukkan lutut. Telinganya ia tutup dengan tangan. Matanya terpejam. Ia tidak mau mendengar apa-apa lagi. Ia tidak mau melihat apa-apa lagi. Terlebih jika itu adalah sebuah kepergian paling nyata. Menyedihkan. Betapa rapuhnya Libra saat ini.
"Di saat seperti ini, seharusnya yang kamu lakukan adalah berdoa. Minta keajaiban dari Tuhan. Minta Emily untuk disembuhkan. Tapi jika Tuhan tidak mendengarkan, mintalah yang terbaik dari-Nya," ucap Sang dokter sebelum ia kembali.
Sebenarnya ia sangat ingin sekali bertanya kepada Tuhan. Kenapa semesta bisa setidak adil ini kepada dirinya. Sebaiknya, ia tidak harus ada di sini. Sebaiknya ia tidak dilahirkan di dunia ini jika harus ditakdirkan dengan segala perpisahan.
Semesta, Libra sudah lelah.
***
29 September. Aries tahu betul hari ini adalah hari ulang tahun Libra yang ke-17. Ia tidak akan lupa. Laki-laki itu seolah sudah menjadi istimewa baginya.
Senyum mengembang, penuh dengan semangat. Sekarang gadis itu sedang bersiap-siap di kamarnya hendak pergi ke toko kue bersama dengan Jodi, Kevin, dan Abdul. Ya, walaupun harus dipaksa sedikit, akhirnya mereka mau dengan iming-imingi teraktir.
Kemudian gadis itu menyambar tas sampirnya yang tergantung di balik pintu kamarnya, lalu berjalan cepat menuruni anak tangga. Asih yang baru saja keluar dari dapur mengernyit bingung. Tumben sekali pagi-pagi anak gadisnya sudah terlihat cantik.
"Ma, Ari berangkat dulu, ya," ucap Aies sambil mencium punggung tangan Asih.
"Mau ke mana kamu? Tumben bener udah mandi jam segini. Biasa masih bikin pulau di kamar, juga."
"Ih. Si Mama, mah. Suka banget jelek-jelekin Ari. Udah, ah. Ari pergi dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Aries melangkahkan kakinya keluar rumah setelah Asih mengizinkannya untuk pergi. Saat pertama kali ia menginjakkan kaki di pekarangan rumahnya, sebuah mobil berwarna hitam sudah terparkir di depan pagar rumah.
Aries sudah dapat menebak itu pasti Jodi dan kawan-kawan. Tanpa ada canggung sedikit pun, gadis itu masuk ke dalam mobil begitu saja mengabaikan Kevin yang menyapanya di kursi samping kemudi.
"Eh Curut! Main masuk-masuk mobil orang aja," gerutu Kevin kesal.
"Ayo jalan, Jod!"
Alih-alih menjawab gerutuan Kevin, Aries menyuruh Jodi yang memang duduk di bangku kemudi untuk segera melajukkan mobilnya. Sementara kevin justru semakin kesal dibuatnya. Gelagat gadis itu, selalu saja menyulut emosinya.
Aries yang duduk di bangku belakang dengan Abdul, sukses dibuat penasaran dengan tingkah laku laki-laki itu yang tak lepas dari ponselnya dan sebuah earphone yang menyumpal sebelah telinga. Aries mencondongkan badannya, hingga ia berhasil melihat layar ponsel Abdul yang sedang menyuguhkan sebuah permainan teka-teki silang.
"Bantuin gue, dong! Bingung nih."
"Mana-mana? Coba Ari lihat." Kemudian Abdul memberikan ponselnya kepada Aries.
"Hmm, nomor empat menurun, enam kotak, Bagai titik-titik menyalak di ekor gajah. Apa, ya?" Aries juga jadi ikut bingung. Hanya saja rasa-rasanya ia sudah tidak asing dengan pribahasa yang satu ini.
"Gimana, lo tahu gak, Ri?" tanya Abdul yang tidak disahut Aries. Gadis itu sedang memejamkan mata dalam-dalam dengan ekspresi seperti biasanya jika ia sedang berpikir keras. Nahan buang air besar.
"Kok, muka lo kayak yang lagi nahan boker sih, Ri?" sambung Abdul bingung.
"Berisik Abdul, ih! Ini tandanya Ari lagi mikir," ujar Aries kesal. Hingga lima menit berlalu, gadis itu mendengkus pasrah. "Ari gak tahu, ah."
"Yeu, nyesel gue nunggu lo." Abdul menoyor kepala Aries.
"Abdul! Apa yang baru saja kamu lakukan ke Ari?"
"Berisik!" protes Kevin tiba-tiba. Ia masih kesal perihal Aries yang tidak membalas sapaan paginya. "Jawabannya anjing."
"Kevin!" Mata Aries membelalak. "Gak boleh ngomong kasar di depan Ari, ih! Nanti mulutnya Ari cabein, mau?"
"Jawabannya emang anjing, bego!" sahut Kevin cepat.
"Ya kalau cabenya bohai mah, Ri, si Kevin mana mau nolak," timpal Abdul sambil tertawa renyah.
"Maksud si Kevin, bagai anjing menyalak di ekor gajah. Gitu." Jodi yang sedari tadi fokus menyetir memperjelas apa yang dimaksud Kevin.
"Buruan turun! Kita udah sampai di toko kuenya."
"Oh." Mulut Aries terbuka lebar.
Kemudian Aries, Jodi, Kevin, dan Abdul sama-sama turun dari mobil dan memasuki kawasan toko kue itu. Kalau saja Aries tidak ingat niatnya datang ke toko kue itu adalah untuk membelikan Libra kue ulang tahun, mungkin ia akan membeli beberapa kue untuk ia makan sendiri. Untungnya ingat.
Tahan, Ari tahan!
"Jod, kayaknya si Ari gak tahan iman deh," bisik Abdul.
"Huuh," gumam Jodi diiringi anggukkan kecil.
"Buruan, Ari! Elah. Kaki gue udah pegal, nih," gerutu Kevin.
"Ih, Kevin marah-marah aja. Kayak gadis mau PMS, deh," celetuk Aries yang langsung mendapat pelototan dari Kevin.
"Menurut kalian, Ari harus beli yang mana?" tanyanya kemudian.
"Red velvet."
"Red velvet."
"Red velvet," sahut mereka bersamaan.
"Red velevet, ya? Hmm, boleh deh. Ari beli itu aja."
***
Resah kukuh. Takut merengkuh. Nalar dan Nurani jatuh. Ke dalam sebuah lubang paling gelap, tak berdasar. Hatinya tak tenang. Meski tangan mungil itu ia genggam erat, hatinya tidak mau merehat.
Iris mata yang begitu menenangkan, tetapi menyiratkan sebuah pilu paling agung. Sekali pun tatapannya kosong, kosong sekali. Tidak menggambarkan satu hal apa pun di dalam binarnya bersama cahaya sang rembulan.
Ia hanya menunggu, ia hanya berharap. Bisa memandang manik mata itu sekali lagi. Dalam ringkih kecemasan, ia semakin mengeratkan genggamannya. Jangan biarkan satu-satunya manusia yang ia punya pergi begitu saja. Kendati sedetik pun.
Celah-celah antara dunia terasa. Siraman cahaya sirna. Gemintang mengerumuni. Seolah bersiap jika ada perpisahan, ia akan jatuh mengantarkannya dari kepergian. Malam mencekam, tetapi Libra tetap diam. Dalam hening yang menggerayami setiap sudut semesta, tangannya membelai. Lalu sepasang manik mata terbuka.
"Selamat ulang tahun, Abang."
Kalimat itu yang pertama kali telinganya dengar dari Emily. Suaranya begitu parau dan pelan. Nyaris saja telinganya tak dapat mendengarnya. Namun, yang membuat hatinya semakin sakit adalah, gadis itu tetap mengembangkan senyumnya.
"Selamat ulang tahun, Abang. Semoga apa yang Abang inginkan, bisa segera tercapai. Mily sayang sama Abang," ucap gadis itu sekali yang sukses membuat Libra bergeming.
Bahkan Libra sendiri saja hampir lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Konyol sekali rasanya. Ia benar-benar manusia paling menyedihkan di dunia.
"Maaf , ya, Bang. Sepertinya Mily bakal pergi jauh sebentar lagi. Jadi sebelum itu, Mily mau ngucapin selamat tinggal buat Abang, buat Mama sama Papa, buat Kak Ari, buat semuanya. Orang-orang yang Mily sayang, Mily minta maaf." Emily menghela napas dengan susah payah diiringi dengan air matanya yang mulai turun menjelajah pipi.
"Berisik!" Libra menutup telinga dengan tangannya.
Emily tersenyum, "Abang, kalau ada orang lagi ngomong telinganya jangan ditutup."
"Kamu harus sembuh."
"Hal itu selalu Mily tekankan, kok. Tapi semakin Mily berusaha untuk sembuh, semakin sakit juga Mily. Rasanya Mily nggak kuat. Mily sama sekali tidak menyerah, Mily hanya menerima kenyataan kalau ini memang yang terbaik buat Mily."
"Cih."
"Oh iya, Bang. Mily udah bikin hadiah buat Abang. Mungkin gak seberapa, tapi itu buatan Mily sendiri waktu Abang lagi tidur. Mily harap Abang suka, ya?"
Libra tidak menjawab lagi. Laki-laki itu memilih diam dan membiarkan Emily mengungkapkan semua isi hatinya.
"Oh iya, Mily pesan sama Abang, jangan marah sama Mama Papa, ya? Karena walau bagaimana pun, mereka tetap orang tua kita. Percaya sama Mily, mereka pasti kembali. Walaupun butuh waktu. Dan satu lagi, walaupun Mily pergi, Mily yakin Abang gak bakalan sendirian. Masih banyak orang yang sayang sama Abang. Masih banyak orang yang peduli sama Abang. Abang cuma harus percaya. Soalnya Mily juga selalu percaya." Gadis itu tersenyum. "Udah ya, Bang? Mily mau pergi sekarang."
Gadis itu menyudahi bicaranya, tetapi tangan mungil itu meraih sebuah kotak yang terletak di atas nakas lalu diberikan kepada Libra.
"Semoga Abang suka, ya?"
Bertepatan dengan Libra menerima pemberian itu, Emily benar-benar menetapkan matanya untuk tertutup. Napasnya perlahan menghilang. Air matanya sudah kering. Dadanya sudah kehilangan daya untuk menarik udara.
Kotak yang masih Libra pegang, terjatuh ke lantai hingga memperlihatkan sebuah kanvas terbalik. Tangannya mengepal keras. Ini tidak mungkin, ini tidak mungkin. Libra benar-benar kehilangan.
Tangisnya pecah, satu tetes air mata lolos dari matanya. Untuk yang kesekian kalinya, laki-laki itu menundukkan kepalanya sambil memejamkan matanya. Ini tidak adil, semesta. Ini tidak adil.
Sudah sirna. Tak ada kesempatan lagi untuk ia bersenda gurau dengan gadis kecil itu. Mengacak rambut gadis itu lagi, melihat bagaimana Emily mengerucutkan bibirnya kesal, tidak ada.
"Mil, kamu bercanda, 'kan?" ucap Libra masih tak percaya.
Namun, lagi-lagi semesta membanting fakta yang Libra percaya.
Gadis itu tidak mendengarnya. Gadis itu tetap tertidur. Tertidur untuk selamanya. Sebab kini, selamanya sudah menjadi miliknya. Gadis itu tidak akan terbangun. Lagi.
"Argh!." Libra menghamburkan tangisannya, lalu memeluk Emily sangat erat untuk yang terakhir kalinya.
"Anjing!"
"Bangsat!"
"Argh!"
Ia marah. Ia marah kepada semesta. Ia marah kepada dunia. Ia marah kepada apa pun. Ia marah.
Tuhan, suruh semesta mengembalikan satu-satunya harta paling berharga miliknya. Ia tidak punya apa-apa. Ia hanya ingin gadis itu kembali. Tuhan, marahi semesta. Semesta sudah merebut gadis itu darinya.
Namun sayangnya, Tuhan lebih percaya dengan rencana semesta.
Libra menangis. Laki-laki itu amat menangis.
***
Aries
Libra, malam ini datang ke rumah Ari, ya. Ari punya kejutan buat Libra. Pokoknya Libra harus darang ...:)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro