Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22| Seperti Biru yang Kembali Mendapatkan Senjanya

jingga dan biru
adalah sepasang paling mutlak
jingga hilang,
biru mengenang
biru tenggelam
jingga tidak bisa pulang









Sepekan pasca ia menjalani terapi, perubahan sudah tak mau lagi digenggam. Kecuali rambutnya yang semakin rontok, tertutup kerudung menyisakan wajah yang begitu bercahaya saja.

Pula, selama itu Libra tidak menginjakan kaki di sekolahnya. Tanpa kabar, tanpa simpang siur apa pun. Libra hanya sedang ingin berada di sini saja. Memerhatikan keluarga kecil satu-satunya, yang paling rapuh.

"Bang, apa kira-kira rambut Mily bakalan tumbuh lagi atau nggak, ya?"

Hatinya bukan batu. Hatinya tidak kaku. Ia hanya sebatas manusia yang memiliki nurani sehalus sutra dari balik ketegarannya. Ia belai kepala itu kasih, menyalurkan kasih sayang.

"Pasti."
"Tapi, rasanya ada yang beda ya, Bang?" Emily tersenyum. "Kalau dulu Abang usap kepala Mily, Mily pasti bakalan marah. Soalnya rambut Mily pasti acak-acakkan gara-gara Abang. Tapi kalau sekarang, Mily gak bakal marah. kok. kan rambut Mily udah rontok. Malah Mily merasa sangat senang, hehe."

Libra tidak sehebat Aries untuk mengendalikan emosinya. Kadang kala, itu adalah senjata paling membunuhnya. Satu mangkuk bubur di tangannya ia simpan terlebih dahulu di atas nakas. Pun Emily selalu menolak suapannya.

"Abang, kenapa nangis?"

Sial, kenapa di saat-saat seperti ini gadis itu seolah tidak merasakan kesakitan sama sekali? Malah membuat dadanya semakin sesak.

"Eh, nggak kok. Abang nggak apa-apa."

"Pasti gara-gara Mily, ya?"

Libra mendelik. "Abang lebih suka kamu yang diam. Daripada banyak bicara kayak gini."

Emily menunduk.

"Maafin Mily."

"Kenapa harus minta maaf?"

"Soalnya, gara-gara Mily, Abang jadi kerepotan."

"Tapi Abang nggak ngerasa gitu, kok. Jadi kamu tenang aja, ya," ucap Libra sambil tersenyum.

Emily senang memiliki kakak sehebat ini. Ia merasa, bahwa ia adalah seorang adik paling beruntung di dunia. Sebab tak ada yang sebaik Libra. Setidaknya, menurutnya.

"Oh, iya. Kok Abang nggak ke sekolah, sih?" tanya Emily.

"Abang mau di sini."

"Udah berapa lama?"

"Seminggu."

Emily membelalak. Lalu menggeleng, "Besok Abang harus sekolah, ya?"

"Nggak mau."

"Nanti Abang ketinggalan pelajaran."

"Lebih baik daripada ninggalin kamu."

"Nggak bisa. Abang harus sekolah."

Libra mengembuskan napas panjang.

"Tapi Mil—"

"Abang ... Mily mohon ...."

Sial, berat sebenarnya. Akan tetapi, adiknya ini keras kepala sekali. Sambil mengembuskan napas kesal, Libra akhirnnya mengangguk dan mengalah.

"Iya-iya."

Emily tersenyum.

"Terus pulangnya beliin Mily alat lukis, ya?"

"Buat apa?"

"Rahasia," ucapnya sambil tertawa.

Masih saja. Di saat-saat seperti ini, kenapa gadis itu masih bisa tertawa? Libra paham, seluruh nalarnya menolak. Dasar nurani, ia terlalu memaksakan diri.

***

Mungkin ini belum seberapa. Akan tetapi, ini bukan masalah waktu. Ini hanya masalah rindu yang belum sempat terurai. Sebab, sang pengobat masih disembunyikan semesta untuk kehadirannya.

Lepas bel istirahat berbunyi Aries bersama Jodi, Kevin, dan Abdul hendak pergi ke kantin. Hanya karena gadis itu sedikit pendiam dari biasanya sejak seminggu terakhir, mereka seperti merasa kehilangan sesuatu.

"Ri, lo kenapa, sih?" tanya Jodi.

"Ari nggak apa-apa, kok," jawabnya.

"Nih, ya, Ri. Lo tuh akhir-akhir ini jadi pendiam banget. Kek batu. Pengin gue tendang rasanya," ucap Abdul.

"Halah, mana bisa Abdul nendang Ari. Kalau Ari jadi batu, kan tetap aja batunya bakalan gede. Ketendang emang?"

"Iya juga, ya. Kan lo gagal diet." Abdul tertawa kecil.

"Ri, lihat nih," Kevin menepuk-nepuk kantung belakang celananya. "Mau nggak?"

"Kenapa? Kevin mau kentut?" tanya Aries.

Kevin memutar bola mata malas. "Iya, muka lo pengin gue kentutin rasanya."

"Yah, jangan dong. Entar muka Ari jadi tambah jelek."

"Yeu, nyadar diri juga," celetuk Jodi. Lalu diikuti tawa dari dua manusia lainnya di sisi kanan-kiri.

Mereka tahu, caranya hanya akan berakhir di kesia-siaan saja. Namun, setidaknya mereka telah mencoba melengkungkan senyum temannya. Dalam perjalanannya, mereka menemukan apa yang bisa mengembalikan senyum Aries. Memang, jika hati sudah terpikat, maka secara tidak langsung manusianya juga ikut terikat.

"Kalau lo galau soal si Libra, lo nggak perlu khawatir. Tuh, orangnya." Jodi menunjuk lapangan upacara.

Aries mengikuti ke mana telunjuk Jodi mengarah. Ia lihat, sosok yang begitu ia rindukan berada di sana. Entahlah, Aries tidak tahu sejak kapan rasa itu muncul. Yang jelas, senyumnya kembali. Semestanya kembali.

"Kalian duluan aja ke kantinnya."

Aries berlari menuju tengah lapangan.

"Beda, ya. Orang yang lagi jatuh cinta, mah."

***

"LIBRA! WOI!"

"Goblok!" Ia menutup telinga setelahnya.

"Hehehe."

"Lo ngapain, sih?"

"Hehehe."

"Cih."

Lalu, seperti biasanya Libra menganggap keberadaan Aries tidak ada. Hanya saja, ia tersenyum tipis. Gadis itu, berhasil memicu nuraninya merasa tenang.

"Libra, Libra, Libra. Ayo ke kantin sama Ari."

"Bego. Nggak lihat gue lagi di hukum?"

"Ah, bodo amat. Ayo buruan."

Aries menarik lengan Libra. Libra memutar bola mata malas, tetapi laki-laki itu tidak menolak. Ia berjalan di belakangnnya. Sesampainya di kantin, Aries dan Libra duduk di bangku tempat langganannya membeli bakso.

"Kang Kung, baksonya dua, ya," ujar Aries.

"Siap, Neng."

Sambil menunggu, Aries tidak dapat menyembunyikan senyumnya.

"Dasar gila," celetuk Libra.

"Siapa?"
"Lo."

"Kenapa?"
"Senyum-senyum sendiri."

"Hehehe."

"Dasar bego."

Laksana biru yang kembali menemukan jingganya, seperti senja yang dicinta oleh begitu banyak manusia, tetapi senja tetap mencintai cakrawala. Seperti cakrawala selalu menangis karena ditertawai manusia, tetapi cakrawala merindukan senja.

Kemudian Kang Kung datang membawa dua mangkuk bakso.

"Terima kasih Akangku tersayang," ucap Aries.

"Ini kebanyakan bego!"

"Ah, masa sih? Justru ini sedikit."

"Buat gue kebanyakan."

"Libra nggak mau? Ya udah buat Ari aja semuanya."

"Ya maulah. Enak aja."

"Ya udah. Dimakan baksonya. Jangan dimarahin mulu. Kasian."

"Paling-paling gue yang bayar."

"Ih, tau aja Ari lagi nggak punya duit, teh."

"Muka lo memelas banget soalnya."

Kemudian Libra memakan baksonya dengan tenang. Sesekali juga memerhatikan Aries. Gadis itu, tidak ada yang berubah darinya. Cara makannya tidak jauh berbeda dengan bocah di bawah lima tahun.

"Lo diajarin makan nggak, sih?"

"Libra ngapain?"

"Ada saos di pipi lo."

"Eh?"
Aries hanya diam ketika Libra mengelap pipinya dengan tisu. Ingin menyembunyikan rona merahnya, gadis itu bergerak tidak jelas agar Libra berhenti.

"Libra, Libra, Libra."

"Apa?"

"Aaa ...."

"Hah?"

Aries menyuruh Libra membukan mulutnya. "Cepetan buka. Pegal nih tangan Ari."

"Lo mau ngapain?"

"Nyuapin Libra, hehe."

"Dih, kagak!"

Libra kembali memakan baksonya sendiri.

"Dih, buruan. Malu Ari dilihatin."

"Siapa suruh?"

"Ayo cepetan."

"Lo maksa banget, sih? Pasti ada maunya."

"Dih, curigaan mulu sama Ari."

"Sepatutnya, kan?" Libra menyeringai.

"Atau Ari teriak?"

"Sial."
Libra memerhatikan sekitar. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Aries. Yang jelas, ia tidak mau menjadi pusat perhatian dan ingin segera melenyapkan pandangan-pandangan orang yang sudah terlalu terbiasa menunggu.

"Cih."

Namun pada akhirnya, Libra menerima suapan itu. Walau di dalam hati, ia mengutuk gadis itu karena sudah membuatnya malu setengah mati.

"Jangan hilang-hilangan lagi, ya? Soalnya dari sekarang bakal ada yang rindu Libra kalau Libra nggak ada."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro