19| Mendung
manusia paling menyedihkan
adalah yang paling sering tersenyum
manusia yang paling resah
adalah yang paling banyak tersenyum
manusia yang paling patuh
adalah yang paling tersenyum
Tidak selalu yang cerah itu kita konotasikan sebagai pertanda datangnya kebahagiaan-kebahagiaan. Terkadang, yang selalu terlihat cerah adalah justru yang paling bersedih. Seperti manusia yang senang sekali menyembunyikan laranya di balik sebuah senyum.
Sampai hari ini, janjinya kepada sang adik belum juga terpenuhi. Libra yakin, gadis itu pasti menunggu sekali kedatangan Aries. Setelah semesta mengembalikan suasana, di antara Aries dan Libra sempat terjadi beberapa kecanggungan. Untuk yang kemarin, Libra benar-benar malu.
Di sela-sela pelajaran kosong ini, tidak diisi apa-apa selain hening yang berasal dari manusia ketika saling diam.
"Libra kenapa?" tanya Aries.
"Gue nggak apa-apa."
"Apa jangan-jangan Libra malah marah lagi sama Ari gara-gara masalah yang kemarin."
"Lo apaan sih, Ri?" Padalah Libra sedang berusaha melupakannya.
"Maafin Ari."
"Berisik, ah."
"Maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari, maafin Ari."
"Lo dengar gue nggak, sih?" ucap Libra kesal.
"Ya, Ari dengar. Tapi Libra dari tadi diam aja. Jadi Ari kira, Libra marah sama Ari."
"Kalau gue marah sama lo, emang kenapa?"
"Ya jangan, lah!"
"Kenapa jangan?"
"Soalnya Ari bakal ganggu Libra buat maafin Ari."
"Dih, males banget maafin lo."
"Makanya, harus dimaafin."
"Kalau gue nggak mau?"
"Ari paksa sampai mau."
Sedikit senyum, memaksa mendung untuk mundur.
"IH, LIBRA SENYUM KE ARI MASA?"
Tentu saja, adalah kesalahan bagi Libra karena telah mengundang tatapan banyak orang dengan layangan tatap termenyebalkan yang pernah ada. Seolah memiliki bahasa, matanya berbicara bahwa Aries dan Libra adalah sepasang manusia paling bahagia.
"Lo bisa nggak resek, nggak sih?"
"Eh, maaf. Ari cuma senang doang. Habisnya Libra senyum sama Ari, sih. Berarti itu tandanya Libra nggak marah sama Ari."
Ya, mana bisa bego, ucap Libra di dalam hati.
"Dih, pede banget, lo."
"Aduh, Lib. Hari ini langitnya cerah banget, ya?" tanya Aries.
"Terserah lo, dah."
"Iya, nih. Habisnya tadi ada yang senyum. Kayaknya hatinya udah nggak mendung lagi, deh."
"Dih, apaan sih lo gombal."
"Dih, emang Ari ke Libra gitu?"
"Dih, sialan banget. Lo udah berani ngisengin gue?"
"Dih, kenapa Aries harus takut?"
"Dih, soalnya gue orangnya totalitas."
"Dih, totalitas apaan."
"Dih, nggak percaya bocah."
"Dih, ya nggak,lah."
Kemudian Aries meringis.
"Aw!"
"Sakit?"
"Sakit banget kepala Ari dijitak Libra."
"Makanya, jangan main-main sama gue. Gue orangnya terlalu serius buat lo bercandain, paham?"
Aries mengangguk.
***
Aries keluar dari kelasnya resah. Libra benar-benar membuatnya kesal. Bukan perkara mudah menunggu dalam keadaan lapar. Laki-laki itu kembalinya lama sekali.
Katanya, ada hal yang ingin dibicarakan dengannya, tetapi laki-laki itu malah menghilang. Setelah sampai di toilet, Aries menemukan Libra sedang membasuh wajahnya. Ia menunggu di depan pintu sambil mengembungkan pipinya.
Tak lama kemudian, Libra ke luar membawa wajah yang sedikit berantakan dan rambutnya yang basah karena sapuan air.
"Gue tusuk juga pipi, lo. Gede banget, kayak yang punya."
"Ke toilet apa ke kondangan mantan? Lama banget. Kayaknya tuh nggak ikhlas, gitu, kalau lihat mantan nikahnya sama orang lain."
"Berisik lo, ah."
"Emang dasar, cowok. Senang banget buat cewek nunggu."
"Lo nunggu gue?"
"Kan elu yang nyuruh Ari buat nunggu, ya ampun, Paijo! Kesal Ari."
"Ya udah, maaf. Yuk." Libra menarik kunciran rambut Aries.
"LIBRA!!!"
"Apa?"
"Sakit, ih, ini rabut Arinya. Jangan ditarik. Kalau rontok gimana?"
"Au."
"Kita mau ke mana, sih?" tanya Aries.
"Kita ke rumah sakit."
"Eh, kenapa? Siapa yang sakit?"
Setelah itu Libra tidak menjawab. Aries kesal. Kesal sekali.
Libra menyeret Aries sampai jalanan di depan sekolah. Gadis itu tentu saja merengek kesakitan, tetapi jangan lupakan ucapan Libra sebelumnya. Baru kamu akan bisa paham.
***
Ya mau bagaimana lagi. Libra memang tidak membiarkannya untuk bergerak bebas. Pun, ketika mereka sudah menaiki angkutan umum, Libra tidak berhenti memainkan pipi Aries dengan tangannya.
Seharusnya Aries tidak peduli saja, tetapi cubitan Libra benar-benar mengena. Tidak menimbulkan rasa sakit berlebih, tetapi membekas.
"Jangan cubit Ari, Libra! Ari lagi ngambek."
"Bukan urusan gue."
"Sakit Libra!" ringis gadis itu, "itu juga, kunciran Ari jangan dimainin terus. Kasihan. Dia juga punya perasaan. Nanti sakit hati. Dasar cowok. Memang sama aja."
"Jangan samain gue kayak cowok lain."
"Kenapa? Emang faktanya gitu, kok. Masa kuncir Ari dimainin, sih. Gak kasihan apa?"
"Karena gue ganteng."
"Hih!" Aries membuang muka dengan dagu yang diangkat tinggi-tinggi.
"Gak usah sok-sokan. Muka lo nggak memadai. Dasar bego." Lalu Libra berhenti memainkan kunciran itu dan menoyor kepala Aries pelan.
"Please. Jangan toyor, Ari! Kalau Ari makin bego, gimana?"
"Gak gimana-gimana," Libra menghela napas panjang. "Ada gue yang bakal bikin lo jadi pinter."
Tunggu sebentar ini, perasaan apa yang harus membuat hatinya berdebar ketika Libra berbicara seperti itu? Seharusnya Aries sudah terbiasa. Tidak, tidak, tidak. Tidak boleh.
"Kenapa? Baper?" Libra menyeringai puas.
"Dih! Libra, Libra, Libra. Jangan ngusilin Ari ih!" protes gadis itu sambil berusaha membuat wajah Libra menjauh.
Untung saja, keadaan angkutan umum tidak ramai. Hanya ada satu orang mahasiswi lainnya yang sedang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Libra dan Aries dengan telinga yang tersumbat earphone.
Libra menyudahi aksi jailnya lalu mendengkus pelan setelahnya. Jika dipikir-pikir, kenapa Aries mirip sekali dengan adiknya? Seketika ekspresi laki-laki itu berubah menjadi muram.
"Oh iya, kenapa ajakin Ari ke rumah sakit? Padahal Ari sehat-sehat aja, loh."
"Lo emang sehat, tapi jiwa lo gak sehat," ketus Libra.
Aries mencebik. "Ih."
"Mily masuk rumah sakit."
"Hah?" Gadis itu membelalak.
"Dan dia pengin ketemu sama lo. Harusnya dari kemarin-kemarin gue bawa lo ke rumah sakit. Tapi waktunya lagi nggak tepat."
"Li-Libra gak bohong kan sama, Ari? Maafin Ari." Aries menunduk.
"Gue serius bego."
Aries hanya tidak mengerti. Terakhir kali ia bertemu dengan Emily, gadis itu tidak apa-apa. Lalu sekarang, kabar buruk datang menyapa telinganya dari Libra. Ia hanya tidak mengerti.
"Terus gimana keadaan Mily sekarang?" tanya Aries khawatir.
"Lo lihat aja sendiri nanti."
Obrolan itu berakhir sampai di sana saja. Setelah itu, Libra dan Aries saling diam tanpa suara. Menikmati perjalanan mereka ke rumah sakit, walaupun dengan pikiran yang tidak keruan.
***
Sesampainya di rumah sakit, Libra membawa satu parsel buah-buahan lalu bergegas menghampiri ruangan serba putih itu bersama Aries. Ketika satu wajah bertemu dengan wajah lain yang sudah lama tidak ditemuinya, maka terciptalah sebuah senyum dari segala rindu-rindu yang menyekapnya di antara kegelapan paling menyebalkan.
"Kak Ari!"
"Emily!"
"Mily pengin peluk Kak Ari."
Akan tetapi, di belakang, Libra senang sekali. Ia begitu bersyukur Aries bisa kembali mengangkat senyum Emily.
"Oh iya, Ari bawa buah-buahan lo buat Mily. Mau gak?" ujar Aries dalam pelukannya.
"Mau." Kemudian Aries melepas pelukannya dan berjalan mendekati Libra yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. Dengan tidak sabaran, Aries merebut parsel itu lalu meninggalkan Libra yang masih mengernyit.
"Tadaaa ...."
Aries mengangkat satu parsel buah-buahan itu dengan satu tangan, sementara yang satunya lagi tersimpan di bawah parsel persis seperti SPG-SPG yang ada di toko-toko.
"Mau makan yang mana dulu? Biar Ari kupasin, deh. Kalo soal buang sampah, kita serahin aja sama Libra."
Laki-laki itu memutar bola mata malas.
"Eum ... apa aja, deh. Kalau disuapinnya sama Kakak Cantik mah pasti enak semua."
"Haduh, idung Ari serasa mau terbang, nih." Emily terkekeh, lalu menerima suapan buah stroberi dari Aries dengan sekali lahap.
Pipinya yang menggembung karena mengunyah, sungguh, itu sangat lucu. Dibarengi dengan wajah polos dan mata yang berbinar.
"Kak, Mily mau apel, dong. Stroberi mah asem. Kayak ketek si Abang."
"Yah tapi Ari belum kupas." Aries memandangi apel merah itu lekat-lekat. Lalu sedetik kemudian, apel itu dilempar kepada Libra.
"Kupasin dong, kan ganteng, ya, Libra mah. Hihi."
"Shit."
***
Lalu, waktunya terasa berhenti berputar ketika melihat Emily begitu senang bersenda gurau dengan Aries. Setidaknya, di saat-saat seperti ini Libra berterima kasih kepada Aries. Berkatnya, suasana di antara mereka tidak terlalu menekan.
Lalu setelah itu, ponselnya berbunyi. Sebenarnya, laki-laki itu tidak mau peduli. Akan tetapi, ini demi kelangsungan hidup Emily. Bagaimanapun caranya, kepulangan harus tergenggam ditangannya.
"Bang!"
"Oi, Bang!" panggil Emily.
"Eh, kenapa?"
"Ini, katanya si Kak Ari pengin disuapin Abang."
"Apa?" Libra membelalak.
"Mily!" Aries menekan suaranya.
"Ogah!" tolak Libra lugas.
"Ayolah, Bang, ya, ya, ya?" rengek Emily.
"Hm."
"Eh, serius, Bang?"
"Iya," ucap Libra. Sementara Aries sedang berusaha keras menahan fana merah jambu di wajahnya.
Libra mengambil piring berisi apel itu, lalu melangkahkan kakinya menghampiri Aries. Sial, harus bagaimana Aries sekarang. Padahal, niat ia mengatakan hal itu kepada Emily hanyalah untuk bercanda.
"Buka mulut lo."
Sebentar-sebentar, Aries merasakan dadanya kembali bergejolak. Pertanda apa ini, semesta? Kenapa jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya? Padahal hanya tinggal memakan apel itu, lalu mengunyahnya dan menelannya.
Ragu-ragu, Aries membuka mulutnya sehingga Libra bisa menjejalkan potongan apel yang ukurannya lumayan besar ke dalam mulut Aries dengan bebas. Sontak Aries mengerang karena mulutnya terasa penuh dengan apel dan agak kesulitan bernapas.
Tapi di sisi lain, Libra malah menyeringai puas.
"Sedikit-sedikit, dong, woi!" protes Aries setelah berhasil menelan potongan apel itu dengan napas yang terengah-engah.
"Abang jahat banget, sih, kasian si Kak Ari-nya kan," ucap Emily sambil menahan tawa.
"Berisik. Itu adalah cara gimana Abang ungkapin rasa sayang."
Sementra Emily tertawa, Aries hanya diam saja merasakan debaran yang semakin menjadi-jadi. Sungguh, walaupun ucapan Libra tadi terkesan main-main, tapi entah kenapa itu terdengar serius di telinganya.
Siapa saja tolong Aries.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro