Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07| Berusaha Menjadi Saling


ada rasa

yang bertemu dengan rasa lainnya

yang kehilangan kendali

padahal asing

lalu memaksa

saling






Suatu ketika, seseorang pernah berkata seperti ini kepadanya: Bung, tidak menutup kemungkinan kita yang masih "asing" merangkak menjadi "saling". Semua kemungkinan terbuka lebar. Jadi,berusahalah.

Selalu saja terngiang-ngiang di kepalanya. Bahkan sampai saat ini di mana ia sedang berdiri di depan kelas Aries menunggung gadis itu ke luar dari kelasnya.

"Ri, pulang sama siapa?" tanya Maha setelah gadis itu berdiri di hadapannya,

"Loh, Maha?"

"Hai, Ri."

"Belum pulang?"

"Belum, nih. Sengaja."

"Kenapa?"
"Mau ngajak lo, sih. Tapi kalau lo nggak keberatan itu juga."

"Eum, Ari pulang sendiri, sih. Si Libra main tinggal-tinggal gitu aja. Ari berasa jadi barang yang nggak berguna, nih. Herman."

"Heran, Ri." Maha menggeleng.

"Keran." Aries berkacak.

"Heran, Ri."

"Ah, terserah Maha ajalah. Sedang kesal diriku."

"Makanya, ikut gue, yuk?"

"Ke mana?"

"Ke mana aja."

"Teraktir tapi, ya?"

"Nggak masalah."

"Sip."

Aries berjalan di samping Maha. Sesampainya di parkiran, kening Aries sedikit berkerut. Sepertinya hari ini Maha tidak membawa mobil ke sekolah.

"Mobil Maha mana?"

"Ke sekolah kan nggak boleh bawa mobil, Ri."

"Masa, sih? Kok Ari baru tahu?"

Maha terkekeh. "Mungkin kebiasaan lo yang suka naik angkot, makanya."

"Terus Maha ke sekolah pakai apa? Terus kemarin waktu hujan?"

"Hari gue bawa motor, kok. Lo tenang aja. Kalau waktu itu, gue parkirnya di luar sekolah. Makanya gue bawa mobil."

"Hmm, jadi gitu, toh."

Maha kemudian mengeluarkan motor vespa yang terhalang oleh sebuah mobil salah satu guru. Setelah memakai hoodie, Maha menyuruh Aries untuk naik.

"Yakin, nggak mau pakai hoodie gue?"

"Ari serius, Maha. Kalau naik motor, Ari lebih suka nggak pakai jaket."

"Nanti kalau masuk angin gimana?"

"Ari nggak nerima angin. Maha tenang aja. Sudah cukup selama ini Ari disakitin mulu sama angin."

"Haha," Maha tertawa, "Lo lucu juga ya, Ri?"

Bandung sedang sendu-sendunya. Dengan limpahan cahaya jingga, dua manusia itu membelah jalanan dengan canda tawa.

"Kita ke mana dulu ya, Ri? Gue lagi males di rumah."

"HAH? APA? NGGAK KEDENGARAN," ucap Aries sembari berteriak.

"Kita ke mana dulu."

"OH, KE RUMAH MAKAN AJA DULU."

Yang tanpa Maha sadari, diam-diam senyum memaksa menyelinap di antara kedua sudut bibirnya. Semesta, ada berapa banyak kamu menyimpan makhluk semenggemaskan ini? Maha ingin satu, atau yang ini pun tak apa. Bolehkah?

Sesuai permintaan Aries, Maha membawanya ke sebuah rumah makan padang di daerah Gasibu.

"Lo pasti lapar, kan?"

"Banget, nih. Tau aja Maha."

"Kan tadi lo bilang."

"Hehe."

Aries memesan beberapa menu makanan. Yang, ya ... setidaknya mampu membuat Maha terkejut dengan porsi makan Aries.

"Lo yakin, Ri?"

"Kalau sama Libra, Ari bisa makan lebih banyak daripada ini. Kalau sama Maha mah malu, hehe."

Ah, benar. Maha menjadi penasaran akan hubungan gadis itu dengan Libra. Apa dari dulu mereka memang sudah sedekat itu?

Lalu persepsi baru membawanya ke sebuah persimpangan di mana tanya-tanya itu menunggu. Sudahkah mereka memiliki sebuah komitmen? Atau, laki-laki mana saja yang sedang berjuang untuknya? Jika belum, Maha ingin sekali memilikinya.

Entahlah, jika kamu percaya, mungkin seperti inikah cinta pada pandangan pertama. Maha paham, ia belum kenal betul dengan Aries. Akan tetapi, bukankah tak ada yang salah jika ia ingin berusaha?

"Kalau udah makannya, ayo kita bergegas. Gue kepikiran satu tempat buat lo datengin."

"Di mana?"

"Udah, makan dulu aja."

"Siap."

***

Tak apa. Tidak perlu terlalu dimasalahkan jika Maha memulangkan Aries sedikit larut. Sebuah tanggung jawab dengan sendirinya datang sendiri untuk dikepal. Padahal Maha tidak meminta.

Gadis ini, sudah ia duga. Setiap kali ia memandang manik matanya, gadis ini seperti memiliki daya tarik tersendiri. Tidak dibuat-buat seperti kebanyakan gadis yang mengejarnya. Justru, dengan segala kepolosannya, gadis ini berhasil membuatnya tertarik.

"Waaaah, Ari udah lama nggak ke sini," ujar Aries ketika Maha membawanya ke Teras Cikapundung.

"Berarti tepat dong gue bawa lo ke sini?"

"Ari suka banget di sini." Aries melepaskan sepatu dan kaus kakinya, membiarkan air menyentuh kakinya.

Sungainya tidak terlalu jernih, tetapi bersih.

Pun dengan Maha, melakukan Hal serupa.

"Kalau gue lagi pengin sendiri, gue suka datang ke sini, Ri."

"Berarti sekarang Maha lagi pengin sendiri, dong?"

"Iya."

"Kok malah ngajak, Ari?"

"Berarti lagi pengin berdua."

"Ih gimana, sih? Katanya pengin sendiri. Tapi berdua."

"Nggak gimana-gimana."

Maha lihat, Aries sedikit mendengkus. Berbeda dengannya, yang justru sedang menahan untuk tidak tertawa.

"Terus, kenapa harus sama Ari?"

"Kalau sama Jodi, kan, nggak enak."

"Maha kenal, Jodi?"

"Kenal dong."

"Kok bisa?"

"Bisalah." Maha terkekeh. "Kalau sama lo kan enak."

"Enak gimana? Maha pernah coba makan Ari emang? Beli di mana?"

"Ri, lo gemesin banget, sih?" Ia mencubit pipi Aries.

"Iya, nih. Cuma Libra aja yang bilang Ari bego."

Semakin malam, kota semakin ramai. Ya, Bandung memang tidak pernah istirahat. Meskipun tidak sekeras Ibu Kota, Bandung terlalu baik jika harus membuat manusia di atasnya kecewa.

"Ri, gue mau nanya sesuatu boleh?"

"Boleh. Udah lama nggak ada yang nanya sama Ari."

"Selama itu, ya?"

"Iya. Mama Ari aja sampai nggak mau nanya lagi kalau nggak penting. Suka kesal katanya."

"Ya ampun, Ri."

Maha sudah tidak bisa menyembunyikan lagi senyumnya. Melengkung begitu saja.

"Gak tahu, nih. Padahal Ari selalu berusaha menjawab sebagus dan sebijaksana mungkin."

"Percaya," Maha tidak menunda-nunda apa yang ingin ditanyakannya. Ia langsung ke intinya, "Hubungan lo sama Libra itu apa, Ri?"

Aries menoleh. "Kenapa emang?"

"Nggak papa. Jawab aja."

"Eum, gimana ya," Aries mengadah, menatap cakrawala yang kini sudah mulai menggelap, "Ari nggak tahu harus jawab apa. Ari sama Libra teman, kok. Gak tahu deh Libranya anggap Ari apa. Tapi Ari anggap Libra itu, manusia paling baik di dunia. Tampangnya aja seram, padahal mah Ari yakin, ya, Libra itu baik. Buktinya, walau harus dipaksa dikit, Libra nggak pernah nolak kemauan Ari. Padahal Ari cuma iseng, nggak maksud buat serius."

"Seyakin itu, Ri?"

"Ari yakin banget."

Maha mengerti. Meskipun Aries termasuk ke dalam gadis yang mudah sekali dibohongi, Aries tidak pandai berbohong. Ia mengambil kesimpulan itu dari cara bicara Aries yang begitu tulus.

"Terus, di hati lo, Libra ngabisin berapa banyak ruang?"

"Tunggu sebentar Maha. Ari hitung dulu."

Aries menggunakan kesepuluh jarinya menghitung semua ruang di hatinya yang berhasil Libra tempati selama ini.

"Banyak banget ternyata, Maha. Jari Ari sampai kebingungan ini gimana ngitungnya, hehe."

Ternyata memang sudah penuh, ya?

"Kalau gue nyoba buat masuk, kira-kira masih ada ruang nggak ya buat gue, Ri?"

***

"Maha, Maha. Ayo kita pulang. Udah malam ini."

"Kenapa nggak dijawab, Ri?"

"Maha tenang aja. Setiap orang punya tempatnya masing-masing di hati Ari, kok," ucap Aries sambil tersenyum.

Sial, andai saja ia tahu semesta memiliki Aries sebagai lawan jenisnya, sudah pasti Maha akan menyembunyikannya di suatu tempat. Sebelum Libra berhasil menggapai gadis itu, Maha sudah pasti menerbangkannya terlebih dahulu supaya tidak bisa dijangkau siapapun.

Andai saja semua perandaian itu bisa dinyatakan, mungkin sudah dari dulu ia akan terus berandai. Andai saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro