Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04| Kabar-Kabar Tentang si Murid Baru

temu adalah waktu
manusia adalah bidak
dari rasa baru
sendu, rindu, dan teka-teki


















Gadis itu larinya tampak tergesa. Khawatir guru yang ia cari sudah pulang, tugas rangkuman ini akan sia-sia. Bu Martha keluar kelas terlebih dahulu karena Aries terlalu lama mengerjakan tugasnya. Semua salah bertumpu kepada Jodi, Kevin, dan Abdul yang meminjam bolpoinnya sampai tak ada yang tersisa.

"Aww!" Aries jatuh terduduk, memekik.

Sebuah sentuhan keras namun lembut, berbaku hantam dengan kepalanya.

"Lo nggak apa-apa?"

"Kamu siapa?"

***

Sepanjang tapak kakinya menuju ke kelas, desas-desus itu seakan menghantuinya. Dari setiap gadis yang tak sengaja ia temui, hampir semua topik yang diperbincangkan adalah: mengenai si murid baru.

"Ganteng banget sumpah, anaknya!"

"Nama Instagramnya apa?"

"Ih, jadi pengin kenalan, deh."

Seperti sebuah fenomena alam yang jarang terjadi saja.

Sesampainya di kelas, Aries lekas mengeluarkan semua bukunya yang berisi tugas. Menurutnya, itu lebih penting daripada sekadar membahas mengenai fenomena yang sedang ramai diperbincangkan oleh orang-orang, yaitu si murid baru.

Seseuai harapan, Libra sudah ada terduduk di bangkunya. Aries memiliki sebuah keterbatasan yang hanya mampu dibantu oleh Libra, yaitu masalah di bidang perhitungan dan analisis seperti fisika.

"Hai, Libra. Ari mau nyontek fisika, dong."

"Gak."

"Ada kata selain itu, nggak?"

"Masih punya otak?"

"Seperti, 'oh, boleh banget, Ri. Sini, sekalian aku kerjain.' Gitu."

"Dih, ogah banget."

"Ish. Ayolah, Libra."

"Punya otak tuh pake mikir, makanya. Biar lo nggak bego-bego amat."

"Iya, nanti. Katanya otak Ari lagi kelelahan."

Libra mengembuskan napas perlahan, barang sejenak, sebelum menyerahkan bukunya kepada Aries. Sebab, sekeras apa pun ia menolak, Aries tetap akan memaksanya. Buang-buang waktu.

"Nih."

Aries menerima dengan penuh semangat. "Emang teman sebangku paling top deh Libra, mah. Dengan ini, Ari jadinya nggak perlu repot-repot mikir."

Dalam hati ia membatin, Lo emang teman sebangku paling bego.

***

Kota Kembang saat ini memang sering kali menangis. Memenjarakan semua manusia dalam ruang terbatas, terhalang dinding air yang menjadi penyekat setiap makhluk dengan semestanya. Sampai-sampai rok bagian bawahnya mengerut ketakutan terkena bulir-bulir air yang menyiprat setelah pecah menghambur di atas tanah.

Tak ada pilihan lain selain menunggu. Berkat Ali yang tidak bisa datang mejemput, terpaksa Aries menemani riak-riak air hujan yang meminta ditemani hanya untuk sekadar berbincang.

"Belum pulang?"

"Hah?"

"Belum pulang?" tanyanya lagi.

"Kamu siapa?"

Maha turun dari mobilnya, lalu duduk di bangku halte sebelah Aries.

"Wajar, sih, kalau kita belum kenal."

"Emangnya kita pernah ketemu, ya?" tanya Aries.

"Pernah. Waktu itu lo pernah nabrak gue."

Aries diam barang sejenak seperi sedang mengingat-ngingat.

"Gimana, ingat?" tanya laki-laki itu.

"Oh, iya!" Aries berseru.

"Siapa?"

"Lupa, hehe."

Maha tersenyum kecut. "Padahal baru kemarin. Tapi, ya udahlah. Gue Maha. Mahadifta Martadipura. Lo bisa panggil gue Maha."

"Aku Aries."

"Dari pada lo nunggu lama di sini, mending lo pulang bareng sama gue aja, gimana?"

"Nggak apa-apa. Ari nunggu di sini aja."

"Lo tenang aja. Gue bukan penculik, kok. Percaya deh. Gue cuma murid pindahan kelas sebelas jurusan IPS."

"Oh, jadi kamu murid baru yang sering diomongin sama cewek-cewek itu?"

"Kayaknya. Yuk?"

Aries mengangguk, membiarkan Maha mengantarnya pulang. Barang hari ini saja.

Tidak banyak dialog yang berbahasa, karena monolog-monolog di dalam hati justru lebih mendominasi saling bersahut-sahutan dalam hening. Terkesan canggung, mungkin karena ini adalah kali pertama Aries dan Maha duduk bersama di dalam mobil yang sama. sesampainya di depan rumah Aries, gadis itu lekas turun dan tersenyum.

"Makasih, ya, Maha. Ari tertolong banget hari ini."

"Bukan apa-apa, kok. Sampai ketemu besok."

Kaca mobil yang sempat Maha buka untuk bercakap-cakap, tertutup kembali seiring dengan melajunya mobil di bawah rintik hujan yang masih turun kecil-kecil.

***

Sore ini adalah jadwalnya Emily melakukan medical check up. Meskipun Libra tahu Emily sangat membenci itu, tetap saja. Gadis kecil itu tidak boleh menolak. Kesehatan adalah barang paling mahal. Tidak bisa didapat secara cuma-cuma.

"Ah elah. Kok mukanya di tekuk gitu, sih?" tanya Libra.

Emily mengerucutkan bibirnya kesal. Seperti enggan, sebab pertama kali Emily duduk di dalam mobil, tak melirik Libra sama sekali.

Libra mengembuskan napas panjang. Selalu saja seperti ini. Lalu tangannya dengan gemas terulur mengacak rambut Emily.

"Abang ... jangan ganggu, Mily. Mily lagi ngambek sama Abang."

"Habisnya gemas terus, sih. Kira-kira kenapa, ya?" Libra tersenyum.

"Ih."

"Abang beliin es krim, deh, kalau udah diperiksa. Terus, pulangnya kita jalan-jalan dulu di taman. Gimana? Mau nggak? Kalau nggak mau, gak apa-apa, sih. Duit Abang masih aman kalau gitu."

"Dua, atau nggak sama sekali. Gimana?"

"Iya, dua. Abang satu, Mily satu. Gitu, kan?"

"Abang ... bukan gitu. Mily dua, Abang satu. Titik. Gak pakai koma. Soalnya komanya udah Mily umpertin di kamar. Jadi Abang nggak bisa pakai!"

"Siap Kapten."

"Dasar Abang nyebelin."

Sekarang, Libra bisa bernapas dengan lega. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika kondisi adiknya semakin hari semakin membaik. Setelah melakukan medical check up, Libra dan Emily segera menyanggahi kedai es krim dan berjalan-jalan di taman. Saat itu, jalanan Kota Bandung tampak lengang di jam-jam padat.

"Bang. Mily mau yang itu, tuh. Yang itu."

"Satu?"

"Sama satu lagi, eum ...." Emily menilik. "Sama yang itu."

"Titip ponsel Abang."

Sementara Libra pergi memesan, Emily diam dan duduk di sebuah bangku. Ponsel berwarna hitam di tangannya ia pandangi lekat-lekat. Mengingat bagaimana sikap Libra di luar sana, sedikit membuat Emily penasaran. Pada akhirnya, semua yang ada di ponsel Libra, Emily periksa. Persis seperti perkiraannya, sama seperti orangnya, ponsel milik Libra benar-benar membosankan, pikirnya.

Sebelum ia menemukan sesuatu yang membuatnya tertarik, setelah Emily memeriksa buku kontak, terdapat satu nomor baru yang ikut meramaikan semestanya. Kemudian gadis itu tersenyum.

"Lagi ngapain?'

"Lagi penasaran, Bang."

"Kenapa?"

"Kok bisa Abang nyimpan kontaknya si Kak Ari?"

"Ck!" decak Libra, lalu merebut ponselnya. Sementara Emily terkekeh. "Gak usah kepo, ya, Mil. Ini urusan Abang."

Sore beranjak menggelap. Beberapa burung kecil terlihat terbang ke sana kemari di atas cakrawala, mencari tempat untuk pulang dan berteduh.

Ketika semilir angin datang menyapa, si jingga terlihat senang sekali dan menari-nari dengan kehangatannya. Membuaikan, menenangkan, memesonakan. Banyak rindu-rindu yang terkepal menjadi satu, yang utuh, menolak runtuh.

Ponsel bergetar pun tak dihiraukannya. Ia tidak mau ada yang mengganggu momen seperti ini, yang sejalan dengan waktu, akan merangkak berproses menjadi sebuah kenangan takkan pernah terlupakan.

"Bang? Es krim Mily habis, nih. Minta dong." Tangan Emily usil mencolek es krim milik Libra.

"Terus itu yang lagi dipegang di tangan kiri kamu, apa namanya, Mily?"

"Yang ini belum dibuka, Bang. Sayang."

Libra membalas, mencolek es krim Emily. "Abang! Jangan minta es krim punya Mily! Nanti kalau habis, gimana?"

"Ya tinggal buang aja sampahnya."

"Ih. Nggak peka, dasar!" Emily emutar bola mata malas.

Libra mengangkat punggungnya dari sandaran bangku taman, lekas membuang sampah lalu duduk kembali.

"Oh iya, Bang. Hubungan Abang sama si Kak Aries itu, hubungan yang seperti apa, Bang?"

"Maksudnya?"

"Soalnya dari pertama ketemu sama dia aja, Mily bisa lihat. Kalau Kak Ari dekat sama Abang."

"Bukan apa-apa."

"Ih."

"Pulang, yuk?"

"Jawab dulu!"

"Ya udah. Abang tinggal, ya."

Libra mantap mengambil langkah. Emily kesal. Kesal sekali. Akan tetapi ia mengikuti Libra pergi.

"Abang ... tungguin, Mily!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro