Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

01| Semesta Baru yang Menyebalkan

ia tidak pernah berharap
terlibat bersama setiap cerita
di dalam semesta
ia hanya manusia patah
yang kebingungan














Semesta, jika boleh ia bertanya, memangnya kenapa ia harus berada di dalam sebuah arus yang dengan paksa menyeretnya ke dalam sebuah perputaran di mana ia bukanlah pemeran utamanya melainkan boneka? Apakah hanya karena ketetapanmu yang mutlak itu, atau karena kamu menyembunyikan sesuatu yang harus ia lindungi dari tingkah lakumu yang sarat akan penerimaan itu?

Sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan kepadamu, semesta. Namun, ia tahu. Kamu hanya terlalu angkuh sekadar merengkuh. Semua pertanyaannya hanya berakhir di keheningan.

Pagi-pagi buta, deburan air sudah menghantam tubuh laki-laki itu tanpa ragu. Memecah selaput sunyi kesendirian. Padahal air tak mau kalah dengan udara. Sama-sama dingin. Namun, tak lantas membuat seorang pemuda kembali menyibak diri ke dalam selimut tebal.

Setelah berkutat cukup lama dengan peralatan sekolah, Libra menyegerakan langkahnya keluar dari kamar. Bandung memang selalu seperti ini sejak dulu. Tak ada yang berubah. Selalu bersikap dingin kepadanya.

"Cih."

Kakinya berhenti di salah satu ruangan yang paling ia benci di dalam rumah. Ruangan yang tak pernah memberinya kenyamanan, ruangan yang tak pernah memberinya kehangatan, jika ditelaah, padahal itu sederhana sekali.

Datang lalu pergi adalah fase yang tidak pernah bisa manusia hancurkan. Ketika nalar sudah mengenal tamak dan ambisi, tidak akan ada lagi hal baik jika nuraninya saja sudah tidak bisa menenangi.

Perihal ia yang ditinggalkan, itu tidak masalah. Pun yang jadi permasalahannya adalah, ia tak bisa menerima jika adik perempuannya mengalami hal yang sama. Hanya saja, tak banyak yang bisa ia lakukan untuk menyadarkan hati yang sudah lama mati.

Tak mau mengambil pusing, Libra mengambil langkah pertamanya sebagai titik awal sebuah perjalanan. Berteman derap langkah kaki, juga jalanan lengang tanpa dialiri kendaraan berlalu lalang. Hanya sedikit.

Sesampainya di depan sekolah, Libra berhenti sejenak mengambil napas panjang, lalu membuangnya secara perlahan. Nyaris saja kakinya melewati gerbang sekolah. Sebelum Libra tarik kembali akibat teriakan pengang seorang gadis perawan.

"Libra!"

"Libra!"

"Libraaa!"

Sialan! Suara itu, suara itu adalah suara yang paling ia benci. Suara yang setiap harinya rutin ia dengarkan, dari perusuh hidupnya setahun terakhir ini.

"Apa?"

"Libra tahu, nggak? Semalam Ari mimpi ditembak sama Alvaro Mel pakai pistol yang lubangnya ngalahin lubang hidung Libra. Romantis banget, kan?"

"Bodo."

Malas sekali jika sepagi ini ia sudah dihadapkan dengan perkara sereceh ini. Sementara Aries tertunduk kesal, Libra melangkahkan kakinya pergi.

Punya temen kok gini amat, ya?

"Libra, ih. Jangan ditinggal ini Ari-nya. Kalau Bapak Satpam yang berkumis tipis itu nyulik Ari, gimana?"

Tarik napas, lalu hempaskan gadis ternakal dari dunia Libra dengan buangan helaannya. Dilihat dari ekspresi Libra saat ini, laki-laki itu memang sedang malas bercanda dengan Aries. Suasana hatinya sedang tidak benar-benar baik.

"Libra, ih." Aries mendengkus.

"Kok nggak dijawab, sih?"

"Libra?"

"Kok Libra tega sih tinggalin Ari sendirian?"

Andai saja menjahit mulut seorang gadis cerewet itu tidak dilarang, dengan senang hati akan Libra lakukan sekarang.

"Jauh-jauh dari gue!"

"Kok gitu, sih? Emang bakal tahan Libra jauh-jauh dari orang cantik kayak Ari?"

"Omongan lo ketinggian, bego."

"Ih. Kok Libra nyebelin, sih? Tahu, ah. Ari ngambek aja."

Aries berbalik seraya memamerkan rambut kuncir kudanya. Dalam diam Libra mengembuskan napas panjang. Wanita itu ternyata makhluk yang penuh dengan kemisteriusan. Sesampainya di dalam kelas, Libra duduk menyimpan tasnya di atas meja. Untung saja gadis bego itu sedang tertidur di sampingnya. Dari dalam tas, Libra mengeluarkan ponselnya berserta earphone sebagai teman. Sebab, Libra tidak begitu dekat dengan orang-orang di kelasnya. Pengecualian khusus untuk Aries.

Begini, sejatinya manusia itu selalu saja pandai berbohong. Tak ada yang bisa ia percaya. Setidaknya, barang-barang elektronik seperti itu tidak akan mengkhianatinya. Ya, setidaknya.

"Rargh ...."

"Goblok!"

"Ahaha." Aries tertawa keras-keras.

Libra tahu, jika Aries adalah gadis terusil yang pernah ia kenal. Namun meski begitu, gadis tengil itu selalu saja berhasil mengejutkannya. Sampai-sampai ponsel yang sedang berada di genggaman Libra sedikit terbanting ke lantai.

"Bego."

"Aduh Libra, kalau nggak butuh mending ponselnya kasihin aja ke Ari. Sayang banget tahu. Lihat, deh ... pelindung kacanya jadi pecah." Aries memungut ponsel milik Libra.

"Lo bego."

"Untung masih nyala. Tadinya mau Ari loakin ke pasar. Laku berapa, ya, kira-kira?"

"Lo denger gue ngomong nggak, sih?"

"Kenapa, Lib?" tanya Aries.

"Mau gue gorok, gak?"

Aries menggeleng cepat. "Nggak mau. Ari masih mau hidup. Gangguin Libra."

"Lo—" Libra menggeram tertahan.

"Aduh, Lib. Tiba-tiba perut Ari lapar, ih. Mau ke toilet dulu, ah. Dadah." Aries melambai-lambaikan tangannya.

"Sialan."

Dengan cepat, Aries melarikan diri agar terhindar dari amukan raja hutan yang menyeramkan itu.

***

Hampir saja jagatnya hancur berkeping-keping ulah si Dewa Pemarah. Kendati melawan kejanggalan alam, berkat otak cerdiknya, jiwa-raga dapat terhindar dari segala marabahaya. Aries mendesah lega.

Sejati manusia paling rakus se-SMA, satu porsi jumbo sebuah bakso bukanlah apa-apa. Beralibi atas nama kebaikan hati, sebab itu, Aries hanya memesan satu porsi saja. Ia tidak boleh egois.

"Sendiri aja, atuh, Neng?" Sapaan akrabnya adalah Kang Kung. Sebutan istimewa dari seorang gadis paling istimewa, Aries—begitulah kicaunya.

"Mwang Twawu Swendiwi, khan, kawaw Awie itu jwombwo."

Kang Kung terkekeh. "Ditelan dulu, atuh, Neng. Kumaha, sih?" Kang Kung meraih satu botol air mineral untuk Aries.

"Hah ...," desahnya lega, "si Akang, mah, suka ledek Ari gitu, deh. Kang Kung tahu sendiri, kan, kalau Ari itu jomlo, Kang, jomlo!" Aries mengembuskan napas panjang.

"Sudahlah, Kang. Ari mau pergi aja. Jangan tahan Ari!"

Begini jadinya jika seorang anak labil seperti Aries terlalu banyak memasok isi otaknya dengan sinetron-sinetron yang kurang baik. Risiko tertinggi yang harus ditanggungnya, ya, seperti ini. Imajinasinya menjadi terlalu liar.

"Yakin, Neng, mau pergi?"

"Ari tidak pernah menjilat ludahnya sendiri."

"Tapi ini baksonya belum habis, Neng. Sayang kalau sama Kang Kung dikasih ke kucing."

"Pengecualian, Kang, hehe." Kemudian Aries kembali mendudukkan dirinya di kursi.

Semester baru di kelas sebelas ini memang merupakan gabungan dari kelas yang berbeda sebelumnya. Alasan pertama Libra tidak terlalu dekat dengan siapa-siapa adalah itu. Sisanya, ia memang tidak berniat untuk berkenalan. Lalu, kebetulan paling menyakitkan yang harus ia alami adalah, Libra kembali ditempatkan di dalam satu kelas yang sama dengan Aries.

Tiga orang baru ini adalah contohnya. Aries mengenal mereka sejak petang terakhir kemarin. Namanya Jodi, Kevin, dan Abdul. Status mereka saat ini ketiganya jomlo. Julukannya, manusia paling ganteng satu sekolah. Padahal masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Libra.

"Wah ada Aries," sapa Jodi lalu duduk di depan Aries.

"Wah ada Aries," sapa Kevin lalu duduk di depan Aries, Jodi bergeser.

"Wah ada Aries," sapa Abdul lalu duduk di depan Aries, Jodi dan Kevin bergeser.

"Kang, kok tiba-tiba Ari merasa ada malapetaka yang datang, ya?" celetuk Aries.

"Akang ada benang sama jarum buat amanin saku Neng Ari. Mau?" balas Kang Kung seraya terkekeh.

"Mau banget, Kang."

Jodi, Kevin, dan Abdul tersenyum seimut mungkin. Sementara hati Aries semakin berdebar was-was akan hal yang akan terjadi selanjutnya.

"Ri, teraktir kita, dong," kata Jodi.

"Iya, nih. Kita laper," ujar Kevin.

"Sebagai teman, nggak ada salahnya kan saling berbagi?" tanya Abdul sembari mengedipkan sebelah matanya.

"Oh mau diteraktir? Pesan, aja." Aries menyahut santai.

Sebentar kemudian, pesanan datang sesuai permintaan. Binar-binar kebahagian terpancar terang. Lahap sekali mereka bertiga makan. Sebelum pada akhirnya Aries kembali berbicara dan menghentikan mereka.

"Aduh, kayaknya tadi Ari makan baksonya kepedasan, deh. Si Kang Kung pasti metik cabai buat sambalnya dari perempatan Soekarno-Hatta. Bikin nggak nahan, soalnya. Kalau gitu Ari mau setor dulu, ya. Sekalian bayarin yang punya Ari juga, hehe. Dadah Jodi, Kevin, Abdul."

Untuk yang kedua kalinya, Aries melarikan diri dari marabahaya yang akan mengancamnya. Ah, tidak. Bukan untuk dirinya. Melainkan untuk uang sakunya.

Sementara tiga serangkai itu hanya memperhatikan kepergian Aries dengan tatapan cengo.

***

Semesta, kenapa ketetapan barumu begitu menyebalkan? Ketidaknyamanan Libra akan hal-hal yang membuatnya gerah, mengasingkan diri menemui semilir di taman sepi adalah satu-satunya hal yang paling ia senangi. Merasa hidupnya terisi kembali.

Banyak sekali gadis-gadis resek yang meminta nomor ponselnya. Itu sangat menjijikkan. Sampai rela-rela menjatuhkan harga diri hanya demi memohon diberi kesempatan sekali lagi.

Cukup Aries saja yang membuatnnya repot. Libra tidak mau menerjunkan dirinya lebih dalam lagi ke dalam jurang nestapa gelap tak berdasar.

Seharian terakhir, Libra menghabiskan waktunya tidur berselonjor di atas bangku besi memanjang. Tidak dianjurkan untuk ditiru. Bolos ketika pelajaran sedang berlangsung adalah termasuk ke dalam hal-hal yang diharamkan peraturan sekolah.

Mungkin Libra memiliki daya magis tersendiri, sehingga apa pun yang haram bagi semestanya, bisa halal untuknya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro