Bab 7a
Setelah Oscar mengantar mereka sampai ujung gang, Juki dan Mona menyeret Amora ke kontrakan. Rasa penasaran membuat mereka tidak menghiraukan orang-orang yang menegur di jalan. Amora meringis, berusaha menarik tangannya dari cengkeraman dua sahabatnya.
"Eh, sakit gila! Kalian napa, sih?"
Juki melotot. "Kagak ada sakit-sakitan. Jalan buruan!"
"Ini udah jalan, dikira ngesot."
"Banyak alasan! Kalau lo sengaja lama-lama, biar digendong Juki," sela Mona.
Amora tidak menjawab, melangkah cepat dengan patuh. Ia tidak tahu apa yang membuat kedua temannya terburu-buru ingin sampai rumah. Ia merasa tidak bersalah sampai harus digelandang seperti buronon yang tertangkap.
Tiba di teras, Juki dan Mona berkacak pinggang, menatap Amora yang terduduk di sofa rusak.
"Ngomong terus terang lo!" ucap Mona sambil berkacak pinggang.
Juki mengangguk. "Nggak boleh ada yang ditutupi."
"Awas, kalau bohong. Kami berdua pasti tahu."
"Ada apa, sih?" Amora bertanya bingung.
Juki menaikkan sebelah kaki di samping paha Amora dan bersedekap.
"Ada hubungan apa lo sama Pak Oscar. Jangan bilang kalau cuma pegawai dan atasan, karena nggak kelihatan begitu."
"Trus?" Amora mendongak bingung.
Mona mengelus pundak Amora dan menepuknya lembut. "Pandangan mata kalian beda. Sikap kalian juga. Pak Oscar sama lo perhatian banget, sampai bantu lo ngelap muka."
"Tru, ya. Kalian tuh kayak nggak bisa pisah satu sama lain," timpal Juki.
"Berduaan terus, jalan juga mepet-mepet."
"Di mobil juga lirik-lirikan, sering ngobrol diem-diem."
Mona melotot. "Ngomong yang bener! Awas kalau bohong!"
Amora menghela napas panjang, menurunkan kaki Juki dari kursinya dan menyingkirkan tangan Mona dari bahunya.
"Kalian duduk, gue mau ngomong."
Juki dan Mona duduk dengan patuh. Menunggu hingga Amora siap untuk bercerita.
"Awalnya, di pesta yang kita cari Felico."
"Hah!"
Amora mengangkat tangan, meminta kedua sahabatnya diam. Ia mulai bercerita tentang pesta itu, pertemuannya dengan Oscar saat laki-laki itu masih berambut gondrong. Bagaimana situasi malam itu saat tanpa sengaja ditabrak oleh Oscar dan berakhir dengan pengejaran teman-temanb Sherill. Ceritanya terjeda saat bicara soal ciuman.
"Apaaa?"
"Gilaaa!"
"Kalian ciuman?"
"Siapa yang nyosor duluan?"
Amora terdiam, sampai histeria teman-temannya terhenti baru melanjutkan cerita.
"Nggak ada yang nyosor dulu, karena saat itu terbawa suasana," ucap Amora lirih. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah Oscar yang menciumnya lebih dulu dan ia tidak menolak. Tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Juki dan Mona.
Juki berpandangan dengan Mona lalu terperenyak di sofa sambil memegang dada mereka.
"Ya ampun, gue ngiri," desah Juki.
"Gue juga," ucap Mona.
"Siapa yang nggak mau dicium Pak Oscar yang tampan dan sexy."
"Pantas saja Amora nolak anak RT dan juga siapa itu kepala bagiannya?"
"Pak Aminoto," sahut Amora lemah. "Kalau soal dia, kalian sudah tahu alasannya bukan? Emang dari awal gue nggak tertarik."
Juki mencibir. "Gimana mau tertarik kalau lo naksir Pak Oscar."
"Orang buta juga tahu siapa yang harus dipilih." Mona mendengkus.
Sepanjang malam itu, Juki dan Mona mencecarnya soal Oscar. Tentang bagaimana rasanya ciuman, apakah mereka pernah berciuman lagi setelah pesta, juga hubunganya keseharian. Amora menceritakan semua tanpa ditutupi, termasuk kencan malam minggu di lounge yang berakhir mengenaskan.
"Lain kali, kalau Pak Oscar ngajak lo kencan ketemu sama si betina itu lagi, kasih tahu gue." Juki menepuk dadanya. "Kita akan bikin lo glow up!"
Amora bergidik, teringat kembali malam itu. "Semoga nggak ada lain kali."
Mona mengangguk. "Setuju sama Juki. Jangan takut ngadepin Viola itu. Ada kita."
Beban hati Amora berkurang setelah bicara dengan sahabatnya. Ternyata, memang lebih mudah kalau menceritakan semuanya, dengan begitu tidak ada ketakutan karena menutupi hal yang penting. Lagi pula, Oscar juga sepertinya tidak keberatakan kalau Juki dan Mona tahu soal mereka.
Sekarang yang membuat bingung Amora adalah jenis hubungannya dengan Oscar. Apakah mereka hanya bawahan dan atasan? Kalau begitu tidak seharusnya berciuman? Apakah mereka sepasang kekasih? Rasanya terlalu dini untuk itu.
Kegundahannya ia jabarkan pada sahabatnya dan Juki memberinya saran yang bagus.
"Jalani aja dulu, sambil lo mikir, hubungan lo sama Pak Oscar itu seberapa besar ngaruhnya buat lo. Kalian baru berapa Minggu ini'kan dekat? Masih terlalu pagi buat spekulasi ini dan itu."
Amora mengerti, memang masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Menuruti saran teman-temannya, ia memilih untuk mengukuti arus dan bersenang-senang dengan keadaan sekarang.
**
Minggu pagi, seperti biasanya Amora sendirian di rumah. Juki dan Mona lembur. Tugasnya kali ini mengantar cucian ke laudry dan belanja ke warung tetangga. Ia membeli gula, kopi, susu, dan cemilan.
"Tumben belanja ke warung? Biasa ke minimarket."
Amora menoleh, menatap Bu RT yang berdiri tak jauh darinya. Ia mengulum senyum sopan. "Cuma gula dan kopi, Bu."
"Oh, jadi beli barang lain di sana. Yang kecil-kecil di warung gitu?"
Amora menahan kesal. Ia tidak tahu kenapa wanita ini selalu berusaha mencari perkara dengannya. Padahal, ia tidak pernah ingin membuat masalah. Ia selalu bersikap sopan, menjaga lidah, dan menyapa setiap kali ketemu.
"Maaf, Bu. Saya pamit dulu."
Ia hendak berlalu, dan langkah terhenti karena perkataan wanita itu.
"Cewek jaman sekarang, malas, ya? Nyuci aja musti ke laudry. Aku nanti, kalau dapat menantu, harus mau kerja keras dan nggak takut capek."
Amora mengabaikannya, tidak ada gunannya bersilat lidah dengan wanita tua yang sedang mengomel tanpa sebab. Bukan urusannya ia nyuci dengan tangan atau laundry. Ia menggunakan uangnya sendiri dan tidak merepotkan tapi, Bu RT bersikap seolah-olah ia telah berbuat kesalahan besar hanya karena laudry.
Panggilan dari Oscar datang di jam satu siang. Laki-laki itu mengajak bertemu atau lebih tepatnya berkunjung ke rumah.
"Aku tahu kamu pasti sendirian di kontrakan karena Juki dan Mona kerja. Siap-siap. Aku jemput setengah jam lagi."
Amora tidak sempat mengelak. Ia bergegas mandi dan berdandan tipis-tipis. Ia memilih menggunakan dress batik sedengkul dengan lengan pendek. Setelah memastikan penampilannya cukup sopan, ia melangkah ke tempat biasa Oscar menjemputnya.
"Pak, mau ke mana kita?"
"Rumahku," jawab Oscar.
"Anu, Pak. Itu ...." Amora kebingungan.
Oscar meliriknya. "Kenapa?"
"Apa enak sama orang rumah kalau saya datang ke sana?"
Di luar dugaan, Oscar tertawa lirih. "Santai aja. Itu rumahku sendiri, bukan rumah keluarga. Kamu nggak usah takut ketemu keluargaku."
Amora bernapas lega. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi orang tua Oscar kalau memergokinya datang. Sepanjang jalan jantungnya berdetak tak karuan. Membayangkan banyak hal di kepala.Di sampingnya, Oscar mengendarai kendaraan dengan ketenangan luar biasa.
Laki-laki itu berhenti sejenak di supermarket untuk berbelanja cemilan. Dua kantong penuh makanan dan minuman mereka bawa ke dalam mobil sebelum melanjutkan perjalanan.
"Kayak mau kemping, Pak. Bawa banyak cemilan," ucap Amora.
"Buat kamu. Cewek seumurmu ada dua tipe, kalau nggak doyan nyemil, berarti hobi diet. Kamu kayaknya yang pertama."
Amora tertawa malu. Ia memang tidak pernah diet, karena tubuhnya ini sangat mudah diajak kompromi. Tidak peduli berapa banyak ia makan, berat badannya akan tetap stabil. Mona dan Juki sering mengeluh iri padanya.
**
Tersedia di google play book
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro