Bab 1a
Dalam kendaraan tua dengan asap knalpot mengepul dan berlari terengah-engah di jalan, tida orang dalam pakaian pesta bicara satu sama lain. Mereka duduk berhadapan di bangku kendaraan panjang yang biasanya digunakan untuk angkutan umum. Tidak ada pendingin udara, hanya kaca yang dibuka untuk mengambil angin dari luar. Di bagian depan sopir membawa kendaraan tua itu melaju dengan musik dangdut terdengar membahana.
"Kenapa kita harus pakai baju gini?"
"Demi penyamaran."
"Emang topeng juga perlu?"
"Iyalah, namanya juga nyamar."
Amora menyipit dari balik topeng yang dipakai ke arah dua temannya. Mona memakai gaun hitam yang sama dengannya hanya saja berlengan panjang, sedangkan gaunnya bertali kecil. Sebenarnya ia enggan memakai gaun yang memerkan bagian atas tubuhnya, tapi mereka berdalih badannya kurus dan ramping, gaun itu akan cocok untuknya. Memang sangat pas melekat di tubuhnya yang tinggi, tetap saja tidak cukup membuatnya percaya diri.
"Eh, Juki. Ngapain lo pakai gaun juga?" tanya Amora pada teman laki-lakinya.
Si juki mengibaskan wig pirangnya ke belakang. "Emangnya yang boleh tampil cantik cuma lo berdua?"
Amora menatap heran pada Mona yang terkikik. "Eh, lo laki-laki, Jukii. Sadaaar, lo lakiii!"
"Biarin. Pokoknya gue nggak mau kalah. Dari dulu gue pingin pakai gaun."
"OMG, semoga ntar gue punya anak kagak kayak lo!" Mona mengusap perutnya.
Juki meleletkan lidah. "Ngimpi lo punya anak. Pacar satu aja selingkuh!"
"Gue juga nggak mau punya pacar selingkuh! Tapi, gimana?"
"Makanya, cari cowok jangan cuma tampang tapi juga hati, Mona. Hatii!"
"Lo berisik!"
"Yee, dikasih tahu juga."
Amora mendengarkan perdebatan kedua temannya. Semua penyamaran malam ini karena pacar Mona selingkuh. Cowok itu diindikasi punya pacar baru dan sekarang mereka sedang menuju rumah si cewek.
Dari kabar yang mereka dengar, rumah si cewek sedang ada pesta. Karena tidak ingin ketahuan kalau sedang dalam penyelidikan, mereka memutuskan untuk menyamar. Tiga orang dalam gaun hitam, dengan topeng menutupi mata. Menyesuaikan dengan pesta yang berlangsung malam ini.
"Ide siapa, sih, tadi, naik angkot ke pesta," bisik Amora pada Mona.
Mona menunjuk Juki dengan dagu. "Noh, temen lo. Gue dah kasih duit buat naik taxi online. Dia malah milih angkot."
"Seleranya aneh."
"Emang. Moga aja nggak ada yang lihat. Kalau nggak bisa malu kita."
Juki mendengkus keras. "Eh, malu, tuh, kalau punya laki doyan lirik kanan kiri. Bukan malu karena naik angkot. Lagian, ini gratis kok."
"Kok bisa gratis?" tanya Amora heran.
"Iyalah, abangnya naksir gue."
"Nggak tahu malu!"
"Aduh!"
Juki menjerit kesakitan karena dua temannya memukul bersamaan. Setelah melewati jalanan padat dengan kendaraan yang berjalan pelan seperti semut, mereka sampai tempat tujuan. Amora sengaja meminta diturunkan di ujung komplek karena malu kalau sampai ada yang melihat mereka ke pesta naik angkot.
"Juki, abang tunggu di mari, ye. Jangan lama-lama pestanya!" teriak sopir angkot.
Juki meniupkan ciuman jarak jauh. "Yee, Bang. Tunggu Juki, ya."
"Dasar gila!"
"Jijik gue!"
"Amit-amit!"
Juki mengabaikan gumaman dua temannya. Mereka bertiga melangkah bersamaan menyusuri jalanan komplek yang agak sepi. Masing-masing punya ide dan saran untuk menjalankan tugas malam ini. Amora sendiri tidak tahu apa tugasnya, yang pasti ia datang untuk membantu Mona menyelidiki tentang pacarnya.
"Aduh, kaki gue sakit," keluh Amora yang tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi.
"Dasar Udik! Makanya, sesekali beli sepatu, jangan sandal swallow terus!"
"Eh, Juki. Ngajak ribut terus. Gue plorotin, nih, baju lo."
Mereka tiba di rumah besar berpagar hitam. Ada banyak mobil terparkir di tepi jalan maupun halaman. Mereka saling pandang lalu masuk melewati gerbang yang dijaga dua petugas keamanan. Para tamu berdatangan dan mereka bertiga menyelinap di antara mereka dengan mudah.
Musik berdentum-dentum menerpa telinga. Mereka celangak-celinguk mencari sosok cowok yang sedang dicari.
"Kalian berdua masih ingat gimana tampan pacar gue'kan?" tanya Mona.
"Ingat, yang jelek dan dekil itu bukan?" jawab Juki.
"Nggak jelek, cuma kurang good looking," sela Amora.
"Nggak good looking paling nggak good rekening. Pacar lo itu difinisi cowok udah jelek, nggak tahu diri, hidup lagi!"
"Hei, udah cukup belum menghinanya?" Mona melotot ke arah Juki.
"Udahlah, di sini banyak hansome man, gue berbaur, ah. Byee! Kita pakai telepon ntar!" Juki menghilang di keramian.
"Eh, gue ke arah samping." Mona ikut menghilang. Tertinggal Amora sendirian. Ia melangkah ke arah taman belakang, menatap para tamu yang semuanya memakai topeng. Beberapa di antaranya bertopeng sama.
Menggoyangkan kepala dan tubuh mengikuti irama musik, Aroma mengambil minuman dari meja prasmanan, menolak ajakan dansa seorang pemuda yang sepertinya sedang mabuk, dan tetap melanjutkan pencarian pacar Mona yang diketahui bernama Felico.
Ia pernah bertemu Felico beberapa kali dan memang kurang menyukai pemuda itu. Menurutnya Felico memang playboy dan gemar membagi cinta dengan banyak gadis. Ia sudah berusaha memberitahu Mona tapi sahabatnya itu menolak untuk percaya.
Amora dan Juki sepakat kalau Mona memang harus melihat dengan mata kepala sendiri, agar tahu kalau pacarnya memang tidak baik. Percuma bicara berbusa-busa kalau yang punya pacar justru tidak percaya. Mereka tahu tentang pesta malam ini karena Juki secara tidak sengaja mendengar pembicaraan antara Felico dengan seseorang. Kebetulan pula, Juki mengenal cewek yang diduga selingkuhan Felico.
Amora menyesap minuman di tangannya. Menggoyangkan kepala dan nyaris jatuh saat tubuhnya disenggol seseorang. Ia menatap gadis tinggi berambut coklat yang melotot ke arahnya. Gadis itu memakai topeng yang sama persis dengan yang dipakainya. Gaun mereka pun sama, hitam.
"Apa lo, lihat-lihat kalau jalan!"
Amora mendengkus. "Gue dari tadi di sini. Lo yang nggak punya mata!"
"Eh, nglawan!"
"Bukan nglawan, biar lo tahu aja keadaan yang sebenarnya."
"Resek lo!"
"Lo yang resek!"
Keduanya berdiri berhadapan, Amora menolak untuk mengalah. Ia merasa tidak bersalah karena memang ditabrak oleh gadis yang tidak dikenal.
"Permisi, kalian nutup jalan."
Suara maskulin seorang laki-laki membuat keduanya menoleh bersamaan. Dari arah samping, seorang laki-laki muda berkemeja hitam tanpa topeng menatap ingin tahu pada mereka. Amora ternganga, melihat betapa tampan laki-laki itu. Dengan rambut gondrong dikuncir kuda, rahang kokoh dan ada belahan di dagunya. Rasanya seperti melihat aktor dari Amerika Latin.
"Kak Oscaaar! Kamu datang!"
Gadis yang menabrak Amora memekik. "Ini aku Fira."
Laki-laki gondrong itu menelengkan kepala. "Fira?"
"Iyaa, Fira. Kita bertetangga. Kakak mau ke mana? Aku temani."
Oscar menatap Amora yang terdiam, mengamati dari atas ke bawah. Tanpa mengatakan apa-apa melewati Amora dan meneruskan langkah ke arah arena dansa.
"Kak, mau dansa?" Fira merendengi langkahnya.
"Nggak, cuma mau minum."
"Ayo, ah."
Sepeninggal keduanya, Amora bernapas lega. Jantungnya seperti berhenti berdetak melihat laki-laki yang begitu tampan ada di pesta. Ia mengelus dadanya perlahan lalu menghembuskan napas panjang.
"Ugh, kalau semua cowok setampan dia masih jomlo, gue kagak bakalan merana."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro