Bab 7
Suasana belakang sekolah ramai oleh para pelajar yang berkumpul. Kesemuanya laki-laki dan sedang sibuk mengobrol tentang tawuran, rencana balas dendam, serta bagaimanan agar tindakan mereka tidak terdeteksi pihak sekolah. Bergerombol sekitar sepuluh orang, ada beragam cemilan serta minuman kemasan di tangan mereka.
"Bisa-bisanya mereka nyergap Dustin di luar sekolah. Kurang ajar!"
"Pengecut semuanya emang."
"Anjing emang! Kapan kita bantai mereka. Udah kesel gue, nih!"
Dustin hanya mendengar percakapan teman-temannya sepintas karena sibuk dengan ponselnya. Ia mengirim pesan pada Jeana tapi tidak ada balasan. Ia sedikit kuatir dengan perempuan yang menolongnya itu. Takut terjadi apa-apa pada Jeana yang sedang patah hati.
"Dustin! Diem aja lo!" bentakan Sahid membuat Dustin terlonjak. Ia mengusap rambut, menyimpan ponsel ke dalam saku dan mengenyakkan diri di atas kursi besi. Menatap para murid yang berlalu lalang di hadapannya. Sekarang sedang jam istirahat, semua keluar untuk jajan sedangkan kelompoknya justru merencanakan tawuran.
"Lagi pusing sama Bokap!" ucapnya pelan.
"Bokap lo ngamuk lagi?" tanya Sahid.
Dustin mengangguk. "Dua hari lalu gue pulang babak belur, dia ngamuk-ngamuk. Pakai acara ngasih hukuman lagi."
"Hukuman apa? Uang jajan lo dikurangi?" Bian, anak laki-laki berwajah bulat ikut nimbrung.
"Ya begitulah, sama dikasih jam malam. Anjrit, jam sembilan nggak boleh keluar dari kamar!"
"Bokap lo sadis banget," ucap Sahid dengan penuh simpati. "Jangan-jangan karena lagi banyak masalah di kantor? Bukannya lo bilang bokap lo manajer? Sama kayak bokap gue, juga manajer dan kerjaannya seabrek!"
Dustin tidak pernah bercerita pada siapapun tentang ayahnya. Ia menberitahu yang perlu saja tanpa mengumbar terlalu banyak. Di sekolahnya rata-rata murid berasal dari keluarga kaya, dengan orang tua pengusahan atau minimal bekerja sebagai manajer dan ia mengatakan hal yang paling umum saja. Tidak perlu bangga dengan kekayaan sang ayah, karena memang Dustin merasa tidak memilikinya. Baginya sang ayah hanya orang tua yang merawat karena tugas, bukan karena kasih sayang. Dustin selalu merasa kalau ayahnya ambisius, sibuk mengejar harta hingga melupakan keluarga. Orang tua seperti itu tidak layak untuk dibanggakan.
"Gimana ama rencana kita ntar, kagak jadi balas dendam?" Putut, anggota kelompok termuda ikut nimbrung. Mengunyah permen dengan cepat sambil sesekali menyesap susu rasa pisang kesukaannya.
"Dustin lagi dihukum, ntar ketahuan berantem tambah berabe!" Sahid menimpali.
"Kayaknya kita tinda dulu balas dendamnya," ucap Dustin perlahan. "Sampai keadaan reda. Jangan sampai pihak sekolah tahu tentang kita."
Pembicaraan terjeda saat serombongan anak perempuan melewati mereka. Semua pandangan tertuju pada para cewek dengan seragam rok kotak-kotak merah dan atasan putih. Berjalan paling depan adalah gadis yang dianggap palig cantik dan paling populer di sekolah.
"Rachel makin lama makin cakep," puji Sahid sambil berdecak. "Body yahud, wajah menggemaskan. Siapa yang akan jadi pacarnya?"
Rachel dengan gaya mengibaskan rambut ke belakang, bicara sambil tertawa bersama teman-teman ceweknya. Dustin mengangkat wajah dan pandangan mereka tanpa sadar bertemu. Senyum cewek itu mendadak lenyap, menatap Dustin dengan tajam sebelum memalingkan wajah dengan buru-buru.
"Eh, lihat siapa dia? Gue, ya?" tanya Sahid.
"Ngaco! Itu jelas gue!" sergah Putu.
"Kagak, muka lo kayak martabak mana mungkin cewek secakep Rachel mau lihat?"
Dustin mengambik keripik dan menguyah, mendengarkan perdebatan teman-temannya tentang Rachel. Ia pribadi tidak terlalu tertarik dengan cewek itu, terlalu glamour dan populer. Tidak ingin bersaing dengan banyak cowok bodoh yang memuja Rachel membabi buta. Ia tersentak saat suara pesan masuk ke ponsel.
"Dustin, aku sudah baikan. Hari ini mulai kerja. Kapan-kapan kita makan ayam goreng, ya?"
Tanpa sadar senyum merekah di bibir Dustin, kabar dari Jeana membuatnya gembira. Ia membalas dengan cepat.
"Traktir aku ya, Kak."
"Iyaa, aku traktir kamu sampai kenyaang!"
Bel masuk pelajaran kedua memecah perhatian Dustin. Ia mematikan ponsel dan bergegas ke kelas bersama teman-teman yang lain. Berharap hari ini tidak ada drama macam-macam di kelas yang membuatnya harus bentrok dengan guru atau teman sekelas.
**
Jeana sudah menyiapkan mental saat masuk kerja setelah absen selama tiga hari. Ia sudah menduga akan menerima segala macam tuduhan dan teguran dari teman setimnya. Sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh mereka baginya bukan hal aneh. Yang justru membuatnya penasaran adalah sikap Amera, Bagaimana perempuan itu akan bersikap setelah perselingkuhannya terkuak. Apakah masih berpura-pura baik seperti dulu atau dengan terang-terangan akan mencelanya? Jeana punya firasat kalau Amera akan melakukan yang kedua. Mencela bersama teman-teman yang lain. Tapi kenyataan yang terjadi justru lebih brutal. Membuat Jeana mual saat melihatnya.
"Jeana, lo gimana? Sakit lama banget!" Adelio berkacak pinggang di depan meja Jeana. "Kerjaan kita jadi terhambat ini?"
"Harusnya kalau tahu badannya nggak sehat, tahu diri dikit, dong. Kerja yang cepet kek?" Ida meletakkan setumpuk dokumen di meja Jeana. Bisa dikatakan nyaris membantingnya.
Tidak ingin tersulut emosi, Jeana hanya terdiam mendengar ocehan mereka. Saat ia sakit, tanpa sengaja bertemu dengan Dean. Laki-laki itu tahu kondisinya dan yakin tidak akan menuntut berlebihan. Namun, tidak demikian dengan teman-teman timnya.
"Teman-teman, jangan gitu sama Jeana. Dia baru sembuh loh." Amera, memakai setelah putih yang gaya dan menunjukkan tubuhnya yang langsing, bicara sambil tersenyum manis. "Kasih kesempatan dia napas dulu."
"Nggak ada kesempatan buat napas! Selama dia sakit, kita yang dibikin nggak bisa napas!" sela Adelio dengan emosi. Lebih kesal karena Jeana hanya diam dan seolah tidak peduli dengan ocehan mereka. "Eh, Jeana. Lo kagak dengar yang kita omongin?"
Tentu saja ia mendengar semuanya dan memilih untuk bungkam. Lebih baik memulai bekerja dari pada mendengar ocehan mereka. Nail yang sepertinya ikut kesal mendengar perkataan teman-temannya, bangkit dari kursi dan duduk di seberang meja Jeana.
"Lo nggak apa-apa? Udah yakin sembuh?"
Jeana menatap ketua timnya dan mengangguk. "Sudah."
"Bagus kalau gitu. Bisa nggak lo selesain semua Minggu ini? Biar gue bawa proposal lanjutan ke Pak Dean nanti."
"Bisa."
"Good, eh, jangan lupa lo ganti ya di nama tim kreatif. Karena sekarang Amera udah sembuh, nanti dia yang akan ikut gue anterin proposal ke Pak Dean."
Kali ini Jeana mendongak dengan bingung, mengedip ke arah ketua timnya. "Kenapa kalian yang pergi? Harusnya gue'kan?"
Semua anggota tim saling pandang, Amera dengan senyum kecil maju untuk bicara dengan Nail. "Bener yang dibilang Jeana. Dari awal dia yang presentasi. Harusnya dia yang pergi. Gue takut salah nanti. Memang, sih, gue udah biasa presentasi dan menyetorkan proposal tapi Jeana yang berhak."
Jeana merasa muak dengan kata-kata Amera, lebih kesal lagi mendengar pembelaan teman-teman timnya. Sebuah sikap yang tidak adil dan itu membuat emosi.
"Jangan ngomong gitu Amera, lo lebih pengalaman dari Jeana."
"Nggak apa-apa, gue nggak mau dibilang menyerobot."
"Serobot apaan? Kita ini satu tim."
Nail mengetuk permukaan meja Jean dan berujar dengan ketus sekaligus tegas. "Jeana, kalau lo nggak mau dapat laporan buruk ke pimpinan, lebih baik sepakat dari sekarang. Lo selesaikan semua, gue yang bawa proposal lanjutan bareng Amera!"
Jeana mengepalkan tangan, kemarahannya memuncak. Sikap tidak adil dari mereka, selalu membela Amera dan mengesampingkan dirinya sudah cukup membuatnya marah dan emosi. Ia bangkit dengan penuh kemarahan dari kursi. Menatap tajam ke arah Amera yang bersikap malu-malu kucing dan menghardik keras.
"Menyingkir dari meja gue! Najis sama lo!"
Semua orang tercengang, tidak mengir akan mendengar makian dari Jeana terutama karena ditujukan untuk Amera. Bukankah mereka sahabat dekat? Apa yang terjadi sebenarnya? Dalam keheningan, Amera menutup wajah lalu terisak.
"Jeana, ja-ngan marah. Ma-aaf!"
Membalikkan tubuh dan pergi dengan dramatis. Membuat semua orang tercengang. Jeana terduduk kembali di kursinya. Mengusap wajah dengan gemetar. Menyesali diri karena kehilangan kendali. Ia bisa melihat tatapan mencela dari teman-teman yang lain dan tidak peduli karenanya. Hatinya terlanjur sakit dan terkoyak, tidak ingin berdekatan apa lagi dimanipulasi oleh Amera. Ia akan melawan mulai sekarang untuk meneggakan harga dirinya. Meskipun tidak yakin bisa melakukannya karena sendirian.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 30.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro