Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu

Hari ini rasanya melelahkan sekali. Kegiatanku di kampus seperti jauh lebih sibuk dari biasanya. Badanku terasa pegal di mana-mana meskipun seharian tidak banyak bergerak. Aku baru tahu, seharian hanya duduk dan mendengarkan dosen berbicara bisa membuat badan pegal-pegal. Untuk berjalan dari ruang kelas terakhir ke parkiran saja sudah letih dibuatnya.

Sedang letih-letihnya, tubuhku ambruk. Untungnya, tidak menabrak motor-motor yang terparkir. Aku ambruk bukan karena letih, tapi seseorang menabrakku. Padahal, tinggal beberapa langkah lagi saja, aku sudah sampai ke tempat motorku diparkir tadi pagi.

Sialan, memang. Tidak tahu apa, ya, aku sudah sangat ingin sampai di tempat kos dan meluruskan punggung di atas kasur!!!

"Maaf, Mbak."

Dari suaranya, yang menabrakku adalah laki-laki. Diperkuat dengan uluran tangannya yang tampak besar dan ... kekar.

Aku mendongak. Tentu saja, raut wajahku cemberut. Aku juga mengabaika uluran tangannya itu daj bergegas bangun sendiri. Siapa yang tidak kesal memangnya ditabrak seperti ini?

"Nggak apa-apa." Aku berucap sembari menepuk-nepuk gaun selututku. Tempat ini berdebu, aku tidak mau gaun putih kesayanganku ini menjadi bernoda gara-gara orang tak dikenal.

Laki-laki yang menabrakku ini sepertinya orang asing. Ini pertama kali aku melihatnya berada di area fakultas. Atau bisa jadi, dia mahasiswa di fakultas lain yang kebetulan ada keperluan di sini. Banyak juga yang berteman lintas kampus. Memangnga aku? Di kelas sendiri pun aku tidak punya teman.

Memang sial sekaligus menyedihkan sekali hidupku.

"Ada yang sakit?"

Pertanyaan itu membuatku kembali pada kenyataan bahwa ini bukan saatnya memikirkan nasib pertemananku di kampus.

Aku mendelik, lalu menjawab, "Nggak ada. Saya permisi."

Alih-alih membalas dengan ketus, laki-laki itu justru tersenyum tipis. Senyum itu membuatnya terlihat sangat berwibawa sekaligus manis, sampai-sampai aku dibuat seperti dihipnotis.

Niat untuk segera beranjak dari hadapan laki-laki itu, harus kutunda agar bisa melihat senyumnya lebih lama. Demi Tuhan, aku tahu ada yang namanya cinta pada pandangan pertama, dan itu sangat romantis. Tapi ... kenapa aku baru menyadari bahwa cinta pada senyuman pertama terasa sangat mendebarkan?

"Sekali lagi saya minta maaf, ya, Mbak." Laki-laki itu berucap.

Aku mengerjap. Mengusap tengkuk untuk menghilangkan rasa gugup. Canggung juga karena sepertinya, dia tahu bahwa aku tidak bisa melepas mataku dari senyumannya.

"Y-ya," jawabku asal.

Dia beranjak duluan. Padahal, aku yang berniat pergi karena takut kesabaranku habis dan meledak, lalu memaki laki-laki itu karena menabrakku. Padahal, kan, aku juga sedikit bersalah, karena tidak memperhatikan jalan. Sedikit saja, sih. Salah banyaknya tetap ada pada laki-laki itu.

Sambil berjalan kembali ke arah motorku terparkir, aku berpikir betapa bodohnya diri ini. Bagaimana bisa, aku terpesona pada laki-laki yang baru kutemui, dan lupa menanyakan nama dan jurusannya.

Sangat bodoh.

***

"Aku pulang!"

Berteriak seperti itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Sejak masuk TK, setiap masuk rumah, aku tak pernah absen mengatakannya. Aku lupa alasan utamanya. Hanya saja, yang aku ingat, aku hanya ingin melakukan itu agar orang-orang di rumah menyadari kehadiranku. Aku sangat tidak suka jika keberadaanku tidak diketahui dan diabaikan oleh orang-orang, terutama kedua orang tuaku.

Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang meski di kamar kosku hanya ada kucing oranye si tukang tidur—kuberi nama Yeyen.

Punggungku langsung menghantam kasur empuk pemberian ayah. Mataku menatap langit-langit kamar seolah di sana sedang diputar sebuah film yang sangat menarik.

Benar. Di atas sana sedang berputar senyuman manis penuh wibawa milik laki-laki yang menabrakku tadi.

Gila, ya? Sebuah senyuman tipis bisa membuatku seperti ini. Padahal, aku saja tidak mengenalnya. Wajah laki-laki itu juga tidak tampan. Tidak jelek juga, sih, menurut referensiku. Tipe laki-laki tampan bagiku sejak dulu hanya Zayn Malik. Lainnya, bukan selera meskipun kata orang-orang Robert Pattinson lebih paripurna. Namun, entah kenapa, hanya dengan seulas senyum, aku terbayang laki-laki itu terus.

Kalau boleh kujelaskan, laki-laki ini memiliki paras yang khas. Hidungnya tidak semancung Zayn Malik, tapi terlihat sangat cocok bertengger di wajah tegasnya. Rahang yang tidak berbentuk V yang tajam seperti di drama-drama, sangat proporsional bersanding dengan mata setajam elang. Aku tidak begitu memperhatikan fitur yang lain, tetapi bibirnya terlihat sangat manis apalagi ketika mengulas sebuah senyuman.

Stres!

Aku seratus persen stres!

Mana pernah aku senyum-senyum sendiri hanya dengan membayangkan senyuman orang asing? Aku terbiasa salah tingkah sampai memerah, senyum-senyum sendiri saat membaca novel bergenre romantis. Atau menonton series. Namun, kali ini, kewarasanku benar-benar patut dipertanyakan.

Aku menggeleng dengan kuat, lalu bangkit dari tidurku dengan serentak. Demi mengembalikan kewarasan, kuputuskan untuk mandi saja. Makan malam kali ini harus yang panas, berkuah, tapi jangan terlalu pedas, karena penyakit asam lambungku baru sembuh minggu lalu. Semoga saja setelah makan malam, aku bisa melupakan laki-laki asing yang tanpa sopan santun telah mendobrak pintu akal sehatku.

***

"Pak Sobur sedang persiapan naik haji. Jadi, untuk sementara, mata kuliah ini saya yang ampu."

Nyawaku sepertinya sudah melayang entah ke mana. Bagaimana tidak? Di hadapanku, laki-laki asing pemilik senyum manis itu sedang berbicara sebagai dosen. Bukan mahasiswa seperti yang kuduga.

Kuulang sekali lagi. Dia seorang dosen.

Laki-laki yang telah mendobrak dinding kewarasanku adalah dosen. Aku menyukai seorang dosen. Aku menyukai pengajarku sendiri.

Sial! Nilaiku terancam. Sikapku kemarin, jika kuingat lagi, sangat tidak sopan.

"Nama saya Bimasakti Rajasanegara. Pendeknya, Bima."

Namanya berwibawa sekali. Mirip salah satu keluarga ningrat paling terkenal seantero Yogyakarta. Namun, aku yakin, Pak Bima jauh lebih berwibawa daripada siapa pun.

Ah, kenyataan bahwa aku harus memanggil bapak pada orang yang telah berhasil membuatku senyum-senyum sendiri di kamar kos, membuat hatiku terasa sedikit ngilu. Apakah ini pertanda bahwa aku harus mengakhiri masa 'jatuh cinta pada senyuman pertama' yang baru kualami? Bahkan sebelum 24 jam?

Miris sekali, ya?

Tapi tidak apa-apa, sih. Lebih baik pahit di awal daripada harus bersedih di kemudian hari. Aku seharusnya senang, karena ternyata kami tidak akan menjadi orang asing lagi. Setidaknya, akan ada dua kali pertemuan dalam satu pekan. Namun, aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Jarak di antara kami terlalu jauh. Baik secara usia maupun status.

Usia kami terpaut sepuluh tahun. Dengan gap itu, sudah dipastikan dia sudah menikah.

Untuk memastikan, aku melirik jemarinya. Benar saja. Di jari manisnya, melingkar sebuah cincin. Dia sudah menikah.

Rasanya, aku sudah tidak punya semangat untuk mengikuti mata kuliah ini lagi.

"Baik, kita mulai saja, ya?"

Senyum itu lagi. Senyum yang diulas Pak Bima membuatku menopang dagu. Berlaku seolah-olah memperhatikan, padahal aku hanya tenggelam pada senyum yang sesekali dia umbar di sela-sela mengajar.

***

Juli sudah mau berakhir dan aku baru publish satu bagian. Bisa, nggak, ya selesai tepat waktu? Doain semoga bisa, ya. Biar tahun ini aku punya cerita yang tamat. Huhu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro