Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Catatan akhir

Aku mencoba duduk di kursi lagi dengan kondisi berbeda. Sambil menggengam robot itu, dan Guan duduk di sebelahku.

"Baik. Apa pertanyaan pertama?" Guan bertanya padaku.

"Bot, apa tanggapanmu mengenai wajahku dan Guan?" aku mencoba membuat Robot itu menjawab, memancingnya.

"Kau cantik. Sedangkan Guan jelek."

Seketika itu juga, tawaku meledak. Aku terbahak-bahak terutama ketika menyadari wajah Guan yang memerah.

"Seriuslah, Lisa. Kau kata kita harus segera menemui Pat! Sebelum dia benar-benar memecahbelah agama! Kita harus membuat penyatuan!" Guan mengelak.

"Ok." Aku berdeham, balik hendak menanyai robot itu lagi. "Apa kau tahu bagaimana cara supaya kami bisa pergi dari sini, Bot?"

Robot itu menatap kedua mataku. Mata robot itu begitu bulat berbinar. Sepertinya dia ... bingung dengan pertanyaankukah?

"Apa?"

"Apa ada cara—"

"Maksudmu kau ingin pergi dan meninggalkanku sendiri? Aku sudah diprogram di tempat ini dan diriku tak bisa ikut pergi. Jika kalian yang memang pergi ... bukankah itu aku akan kembali sendiri?" tanya robot itu tak percaya.

Astaga, aku baru mengerti apa maksud tatapan jenakanya tadi.

Ternyata robot itu sedang takut kehilangan.

Aku menatap robot itu sekali lagi, menggeleng sendu.

"Kami tidak akan meninggalkanmu, Bot." Aku mengusap tubuh logamnya, entah bagaimana ceritanya mataku juga jadi berkaca-kaca. "Someday we will come back."

Robot itu memejamkan matanya. Ada sekrup keluar dari pelupuk matanya.

Dia menangis.

"Kau membuatnya sedih, Lisa," Guan menegurku dan aku bungkam.

"Tenanglah," aku menepuk bagian robot itu, memeluknya erat, seolah melalui pelukan tersebut aku sangat dan benar-benar ingin memberinya kehangatan. Mungkin robot ini memang sudah bahagia dengan kedatanganku juga kehadiran Guan di dunianya. "Suatu saat kita akan kembali. Akan."

Robot itu tertawa, tawaan yang tadinya sempat membuat kulitku merinding.

"Tidak apa-apa jika kalian tak kembali."

"He?" Aku spontan kaget dengan jawabannya. "Kenapa?"

"Karena aku tahu ini bukan dunia kalian, Teman. Ini desa tenggelam dan aku tak bisa memastikan jika dunia ini akan benar-benar aman untuk beberapa tahun ke depan lagi. Siklus alam bisa menghancurkannya."

Guan mengangguk, menatapku dengan tatapan yang tak kuketahui apa artinya lagi.

"Bot. Lalu bagaimana caranya agar kita bisa kembali?"

"Mudah."

"Bagaimana? Ok. Silakan tunjukkan."

Robot itu turun dan menjauhkan dirinya dari telapak tanganku. Dia berpindah duduk di pahaku, melirikkan matanya ke punggungnya—seolah dia ingin aku melakukan sesuatu terhadapnya.

"Pukul aku, pukul tubuhku sekeras-kerasnya hingga nanti aku memuntahkan sebuah kubik dari mulutku."

"Maksudmu, Bot?" Aku bertanya meminta kepastian. "Tidak. Itu sama halnya aku menyakitimu!"

"Lakukan saja." Terpaksa, robot itu begitu memancingku untuk melakukannya.

Dan selang waktu kemudian, tanganku sudah melayang menepuk punggungnya begitu keras. Sangat keras. Suara denting logam yang terantuk karena tanganku itu membuatku tak tahan.

"Lisa ..." Guan angkat bicara. Sedangkan tanganku masih memukul punggung robot, memejamkan mata tak berani melihat robot itu tersiksa. "Kubiknya sudah keluar."

Segera, aku mengangkat tanganku dan menjauhkannya. Kubuka mataku, dan aku mendapat sambutan senyuman robot yang berada tepat di depan wajahku!

"Hei," aku memanggil robot itu, "Are you ok?"

"I'm fine." Robot itu tersenyum lagi. Sekilas, aku melihat badannya yang menggelap. Akankah dia benar-benar baik-baik saja?

Aku tak sepenuhnya yakin.

"Ini Lisa," Guan mengulurkan kubiknya ke arahku, dan aku menerimanya dengan pandangan tertarik.

Kubik itu kecil mungil. Tapi ketika berpindah tangan, besarnya menyesuaikan telapak tangan orang yang memegangnya. Ajaib.

"Apa yang harus kami lakukan dengan ini, Bot?"

Robot hijau itu membalas santai, "Makanlah."

What?

"Eum, kau yakin?" Sekarang Guan yang ikut ragu.

"Tidak. Maksudku remas dulu saja kubiknya. Baru nanti akan keluar isinya. Di dalam kubik itu ada dua buah permen. Makanlah, pejamkan mata dan bayangkanlah kau hendak pergi ke mana. Maka dengan begitu kau akan kembali."

Seketika itu juga, aku tersadar.

Aku tak hanya mengerti bagaimana baik dan tulusnya robot ini tercipta ...

Tapi juga mengerti bagaimana caranya berbagi dan dia begitu memahami situasi.

Robot itu ... boleh kuakui?

Bahkan, jika dengan mutiara paling mahal, aku yakin dia lebih beharga. Mind set dan tata hatinya begitu sempurna.

"Aku harus menghancurkan kubik ini?"

"Dengan segera."

Tanpa basa basi, aku meremas kubik itu, tapi merasa kesusahan. Bahan kubik alumunium itu membuat tanganku malah terasa sakit terutama di bagian ujungnya dan ini begitu licin.

"Butuh bantuan?" Guan menawari.

Aku mengangguk, menyerahkan kubik itu ke Guan.

Tapi, bodohnya, Guan malah segera melempar kubik ke tanah dengan sengaja.

"Apa yang kaulakukan, Guan?"

Setelahnya, baru aku mengerti apa yang Guan perbuat. Pria itu nampak menginjak kubik itu, memukul-mukulnya menggunakan tongkat kayu besar hingga akhirnya ... kubik itu pecah.

Cahaya silau lantas bersinar dari sana, dan dua permen tersebutkan terlihat. Itukah yang tadinya robot maksudkan?

Permen yang mampu membuat kami kembali ke dunia di atas.

Sungguh. Selain merasa dunia ini seperti dunia dongeng, aku juga merasa dunia ini seperti dunia keajaiban. Dunia masa depan. Dunia perasaan dan ... ah, rasanya sulit untuk disebutkan satu-satu sebab semuanya tak sesederhana itu.

"Itu permennya!"

Aku segera mengambil dua makanan manis itu, menyerahkan satu berbungkus biru kepada Guan.

"Makanlah, Lisa. Makanlah juga, Guan."

"Apakah setelah ini kami akan benar-benar menghilang?"

"Benar. Hilang. Ini masalah delusi, ilusi, bayangan, grafik kecanggihan teknologi. Permen itu bisa memindahkan diri kalian."

"Tap—tapi, Bot. Sekali lagi aku ingin menyampaikan sesuatu," aku menjedanya bicara teringat sesuatu.

"Apa ada yang kurang? Kalian tak perlu kembali pun tak apa. Aku akan tetap berada di sini."

"Tidak hanya itu Bot. Aku juga ingin bertanya. Apakah kau tahu menahu mengenai sistem berkas agama, rencana kejahatan Pattison? Kau adalah ciptaannya. Kau tahu data yang kumaksud?"

Guan mengamati aku dan robot itu berbicara. Pandangannya ikut menelisik jauh ke wajah robot itu yang menyimpan kemisteriusan.

"Sebenarnya, Lisa."

"Sebenarnya apa?!"

"Semua sistem, rencana Pat, data-datanya," robot itu menjeda, "Ribet ya? Intinya tubuhku adalah pusat dari semua sistemnya. Semua rencananya akan gagal jika aku hancur."

Aku menganga, mulutku terbuka lebar.

Jadi ... selama ini?

Pantas saja.

Aku mengelus dada, merasa beruntung mengetahui rahasia ini.

"Kau ingin menyatukan agama di Indonesia, bukan? Rencananya sudah sembilan puluh persen hampir berhasil, dan harapan satu-satunya agar karya ide brilian jahatnya berhenti—" Robot itu termangu sebentar. "Hancurkan aku. Makanya semuanya usai."

"Apa maksudmu?" Guan juga terkejut dengan jawaban robot itu. "Maksudmu? Kau sekarang sama saja sedang menyarankan kami untuk membunuhmu!"

Tidak.

Ini, masalah perasaan.

Ini masalah asusila, keadilan. Menghancurkan robot ini? Tolonglah ... dia juga yang telah membantu kami sejauh ini hingga sekarang dia menyarankan kami untuk mematikannya?

Kami masih punya hati.

"Tidak, Bot. Kami tidak akan membunuhmu."

"Lisa. Maka percuma saja kau kembali ke tempat asalmu dan tak membawa apa-apa. Karena semua rahasia Pat ada di aku, Lisa. Pat akan tetap hidup berjaya sekalipun kau sudah menghancurkannya. Karena dia masih punya aku."

"Haruskah?" Aku bertanya-tanya. Mengapa setiap kita akan melalui sebuah titik akhir dan meraih kesuksesan ... ada saja yang harus diperkorbankan? Bahkan dalam ini, hal yang dikorbankan adalah sosok tak bersalah! "Baik. Akan kulakukan."

Aku sudah membuat keputusan.

"Bukan maksud aku egois, Bot. Tapi—dengarkanlah. Aku begitu menyayangimu sejak tahu kau memiliki mata bulat, warna tubuh, bisa bicara, unik dan kau adalah semua keajaiban yang aku rasa akan aku ingat selama aku menjalani semuanya."

"Bunuh aku sekarang, Lisa. Cabut catatan di punggungku, putus kabel yang ada dalam rongga dan setiap napasku."

Aku menjilat ludah, berkacak pinggang. Aku mendongak. Menahan agar air mataku tak tumpah begitu saja.

"Biar Guan saja yang melakukannya." Aku menyarankan Guan, tapi robot itu menggeleng dengan cepat.

"Lisa, kau yang pandai dalam teknologi. Kau mampu memahami segala bagian tubuhku. Kau tahu mana titik energi lemahku." Robot itu memberi tatapan melasnya. "Hancurkan aku. Sekarang. Kemudian makan permennya dan pulang."

Dan dengan cekatan, sebelum aku dan Guan memakan permennya, aku sudah mematahkan leher robot itu dengan air mata berderai, kucabut semua sistem mengenai data Pat, ya. Aku melakukannya demi penyatuan agama. Melumpuhkan seorang Pattison.

Dan detik akhir sebelum robot itu benar-benar kehilangan hidupnya, aku sudah mengetikkan kata hack-an di tubuhnya.

Kata yang nyatanya selalu terselip dalam semua catatanku. Catatan hidupku.

Kata ... selamat tinggal.

--

TBC!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro