7. Rahasia di balik desa tenggelam
Aku meneguk ludah mengingat-ngingat saran pelayan tadi.
Aku ketakutan.
Aku sendirian di gua ini.
Lagipula pelayan yang masih samar terlihat di atas tadi sudah menghilang.
Tinggal aku di sini.
Tinggal bagaimana cara aku mengatasi ini sendiri.
Aku segera bangkit, dari atas jerami di sebuah gerobak, kemudian berjalan tertatih di gua gelap itu ke arah cahaya di ujung. Ini mengerikan. Maksudku, perasaanku tak berhentinya berdegup.
Jalanan gua becek. Ada samar suara kekelawar tidur dan burung-burung kecil melintas.
Sekarang, aku sudah berhasil keluar dari gua.
Dan kabar bagusnya, aku ... melihat pedesaan di depan.
"Syukurlah!" Aku memekik senang, mulai turun mengikuti jalan dan celingukan mencari orang. Mencari bantuan. Aku tak tahu misi mengincar seorang pelaku kejahatan membawaku ke sini.
Tapi, nahasnya, tak ada orang di sini.
"Permisi!" Sekarang, aku memberanikan masuk ke salah satu rumah karena melihat ada api menyala di depan tadinya. Pasti ada orang. Aku yakin. "Apakah ada orang?"
Seseorang terlihat membalas, lemah, "Tidak. Tidak ada."
Itu ... suara manusia, bukan?
Artinya aku tak benar-benar sendirian!
Aku terus berjalan mengikuti arah suara tadi, hingga kakiku membawaku ke sebuah kamar kecil. Rumah ini sebenarnya seperti rumah penyihir dalam hutan. Sepi. Semua ukirannya kayu dan aroma tak mengenakkan selalu terasa setiap melangkahkan kaki.
"Kau?" Aku hampir gila ketika menyadari ada orang tepat di hadapanku ketika aku hendak masuk ke kamar itu. "Ka-kau? Eum, boleh kenalan? Aku ... Lisa."
"Siapa kau?" Itulah yang ditanyakan seorang pria di hadapanku itu. Aku bersyukur—setidaknya ketika menyadari ada makhluk hidup di sini. "Apa yang kau lakukan di sini, Lisa?"
Rumah ini dilingkupi hehutanan. Ada banyak rumah lainnya tapi tak berpenghuni.
Sebenarnya ada apa di sini?
"Aku ... tersesat."
"Ini desa di bawah tanah, Lisa. Hanya melalui lubang canggih Pattisonlah baru bisa masuk di sini." Pria itu masih terlihat muda. Sekitar dua puluh dua tahun. Masih tampan. Putih. Hidungnya mancung, kaus polos dan celana santainya membuat dia terlihat menarik. "Atau jangan-jangan ...."
"He, kau mengenal Pat?" Aku langsung antusias. "Iya, aku jatuh dari sana. Kau tahu? Itu gila! Aku jatuh di atas jerami!"
"Kau tahu? Akulah yang empat tahun lalu, dua hari setelah tiba di sini menaruh jerami tepat di situ. Aku menaruhnya karena jika saja suatu saat ada yang jatuh dari sana, orang itu takkan merasa kesakitan terbentur tanah sepertiku." Pria itu bicara panjang lebar. Tatapannya redup. "Dan benar. Kau baik-baik saja, bukan?"
"Iya, aku baik. Tapi—kenapa di sini sepi, ok? Apa yang juga kau lakukan di sini? Siapa namamu?"
Pria itu menjilati bibirnya, masih sama kagetnya melihatku ada di hadapannya. Aku bahkan hampir salah tingkah melihat wajah penuh kedamaiannya.
"Aku Guan." Sekali lagi, Pria itu membuatku terkejut.
Sebentar. Guan?
Aku pernah mendengarnya? Dari pelayan tadi?
Tapi, siapa Guan?
Mampus. Cedera otakku sepertinya kambuh dan aku seperti kehilangan arah sekarang. Melihat Guan, lagi-lagi aku kebingungan. Aku tak tahu!
"Em, Guan?"
"Ya?"
"Bisa kita keluar dari rumah ini? Aku ingin jalan-jalan dan tolong ceritakan apa yang terjadi di sini. Mengapa semuanya sepi?"
Guan mengangguk, menggandeng tanganku sambil menyeruput teh dalam cankgirnya untuk terakhir kali. Pria itu semampai tinggi. Tingginya sama seperti Pat.
Sekarang, aku sudah berjalan mengelilingi desa sambil berjalan kaki.
Meski di bawah tanah, desa ini sejuk menyegarkan. Seperti dunia dongeng. Tanaman melimpah, sungai, jalan setapak, dan terakhir ... Guan. Anggap saja aku adalah seorang putri tersesat dan Guan adalah seorang pangerannya.
"Guan?" Aku berhenti, duduk di jembatan membentang dan memasukkan ujung kaki sampai lutut ke dalam air. Guan duduk di sampingku. "Ceritakan sekarang."
"Begini, Lisa. Aku pun tak tahu. Aku hanya pernah membaca buku yang kutemukan di bawah batu empat tahun lalu. Mungkin Pat juga tak pernah tahu ada sebuah desa di sini."
"Terus?"
"Kupikir ini dulunya adalah desa yang terbuang, Lisa. Sekitar empat tahun lalu desa ini dianggap hilang. Tepat ketika aku datang. Padahal masih ada." Pria itu pelan menceritakan. Tatapannya masih redup seperti sebelumnya. Apa yang membuatnya demikian? "Dan Lisa, sama halnya denganku, Lisa. Siapapun yang datang di sini, mungkin kita juga tidak akan pernah ditemukan."
"Tapi—"
"Aku sudah mencoba, Lisa. Kembali ke tempat awal di mana aku jatuh. Saat itu aku masih remaja. Aku mencoba memanjat terowongan yang tadinya meneroboskan aku ke gua. Terowongan yang titik bukanya di tempat Pat. Tapi tempat itu licin."
Mustahil untuk kembali.
Benar kata pelayan tadi.
Seperti halnya kita mencoba mengembalikan kaca yang pecah menjadi seperti semula. Mustahil. Sesusah apapun kita mencoba.
"Tunggu, Guan. Kau bilang remaja? Sebenarnya apa yang kau lakukan? Kau mengenal Pat? Kau si-siapanya?!" Aku bertanya tak sabaran. Ini begitu membingungkan. Jelas.
"Dulu aku hanya ikut saudaraku ke tempatnya bekerja. Di Bogor itu. Dia mengurus berkas dan pekerjaannya. Aku hanya bermain-main dan jatuhlah aku di sini," Guan memaparkan. "Aku tak tahu kondisi setelah itu, aku sudah tersesat di sini. Dan aku empat tahun hidup di sini. Sendirian. Jadi ... tolong jangan pergi."
"Maksudmu saudaramu bekerja di tempat Pat?"
"Bukan. Saudaraku yang kukenal bekerja sebagai pengusaha yang membangun banyak bar. Entah bagaimana kabarnya." Guan malah menceritakan hal yang membuatku semakin tercekat. Aku teringat seseorang. "Dan saudaraku adalah Pat. Dia yang kukenal. Dia kakakku."
Oh my gosh!
Astaga.
Astaga.
Astaga.
Benar dugaanku!
Duhhh!
"Lalu kau berkata bahwa desa ini hilang sejak empat tahun lalu? Berarti kau datang ke sini bertepatan ketika orang sudah tak mengetahui adanya tempat ini lagi?" Aku berteriak, mengalihkan pandangan dari air sungai ke arah Guan. "Kau memang tak beruntung, Guan. Kau tak beruntung. Sangat."
Aku memeluk Guan, menepuk pundaknya. Wajah redup Guan memang terlihat semakin redup ketika dia bercerita.
Akankah itulah alasan yang membuat Guan demikian?
Karena dia menjadi teringat akan kejadian empat tahun lalu di mana dia juga ikut dinyatakan hilang?
"Lisa, aku pun tak tahu. Empat tahun lalu. Itu adalah masa ketika agama mulai banyak berkembang, Lisa. Mulai berkembang. Sungguh. Pesat."
"He, tunggu. Apakah itu alasan Pat ingin memecahbelah agama? Sekarang aku mengerti. Itu karena dia mengira agama sebagai alasan kau menghilang. Agama pembawa sial. Itu artinya—ya, dia membalas dendam untukmu."
"Apa maksudmu, Lisa?"
"Dengarkan aku, Guan. Percaya atau tidak. Tapi kakakmu itu sudah menjadi buronan dunia. Kau harus kembali."
Guan terlihat menolehkan kepalanya bingung juga. "Tidak. Aku tidak percaya." Guan bercerita lagi, "Aku datang ke sini tepat ketika penduduknya tak ada. Mereka pindah karena desa ini tenggelam. Tapi apa? Tidakkah mereka yang berada jauh—keluargaku pun tak mencariku? Mereka tak mencoba menemukanku!"
"Guan, dengarkanlah."
"Tidak, Lisa. Mereka sialan. Aku merindukan mereka. Memang. Tapi apakah mereka demikian juga?!"
"GUAN!" Aku berteriak, segera membuat Guan tutup mulut. "Apakah kau tak mendengarku bercerita tadi? Pat sampai membalas dendam tidakkah kau tahu? Dia melakukannya untukmu! Dia melakukan itu karena dia kehilanganmu!"
Guan tampak menghela napas, kaget juga dengan jawabanku.
Untuk satu dua detik kita terdiam. Tak ada yang bicara. Aku kehabisan kata-kata.
"Tapi sekarang dia tak pernah menemukanku, Lisa."
"Dia pasti tahu kau jatuh di sini. Pelayan rumahnya saja tahu! Tapi, masalahnya, bukankah mustahil untuk kembali? Lubang yang terbuka tadi pasti sudah tertutup lagi karena sistemnya dibenahi. Lubang itu—aku rasa akan terbuka untuk beberapa tahun lagi. Lubang unik. Misteri."
"Lisa."
"Dengarkan aku, Guan. Tidakkah kau merindukan mereka?" Aku melihat Guan tepat di kedua bola matanya. "Matamu tak bisa berbohong padaku. I see that. Mungkin kau bisa melihat dunia luar yang jauh lebih menyenangkan dari desa ini."
"Tapi, Lisa. Kau kata sendiri mustahil. Lantas apa maksudmu?! Jangan pergi, Lisa. Jangan pergi."
"Aku akan pergi. Kita harus pergi."
"Bukan masalah itu saja, Lisa. Sejak kecil aku pemalu. Aku emosional. Pat menjagaku. Tapi, bahkan orang yang menyayangiku kau kata sudah berubah menjadi jahat. Lantas apa harapanku?"
"Justru karena dia jahat, kau harus kembali karena hanya dengan kehadiranmulah dia bisa berubah."
"Lisa, sebenarnya kau sendiri siapa? Apa yang membuatmu jatuh ke sini?"
"Aku ... seorang pencatat. Ya, aku pencatat Pat. Mantan. Mantan pencatat. Ah maksudku aku hendak mengajukan diri menjadi pencatatnya lagi." Aku menggaruk tengkuk tidak enak, "Dan alurnya sama sepertimu. Berjalan-jalan biasa, tak menyadari lubang, lalu jatuh di sini."
Guan mengangguk-anggukkan kepala, sudah mencoba mengerti. "Baik. Lalu apa rencanamu?"
Aku tersenyum, menjabat tangannya, kembali berkeliling.
"Ikuti aku."
--
TBC!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro