07 ;
—Tahun X
"HAH SERIUS?! OMG!!"
Jeritan keras itu berasal dari pemilik kuncir ekor kuda yang duduk di sebelah Arin. Benar, itu milik Elisa. Elisa tidak bisa menahan suaranya setelah Arin membisikkan sesuatu di dekat telinganya yang membuat cewek itu tercengang.
Tebak apa? Arin mendapat hadiah mewah dari pamannya yang bekerja di Kanada yakni sebuah iPad terbaru yang baru saja dirilis pada tahun itu.
Sejujurnya, ini memang impian besar seorang Arinanda yang senang menggambar dan melukis dan pernah bercita-cita menjadi seorang design grafis. Pekerjaan yang sering dianggap sebelah mata oleh orang-orang ketinggalan jaman tapi bagi Arin yang menyukai berbau seni maupun desain, ini adalah pekerjaan yang cocok bila ia nanti tidak bisa bekerja sebagai orang kantoran.
Elisa yang sudah sering mendengar Arin ingin sekali memiliki iPad namun terkendala dengan uang tabungan tak cukup juga merasa sangat senang.
Arin menyodorkan ponselnya ke Elisa, kemudian memperlihatkan wujud iPad miliknya yang lengkap dengan apple pencil-nya.
Mewah.
Satu kata yang muncul pertama kali ketika Elisa melihat iPad itu. Ia tidak merasa iri pada Arin karena dia tidak terlalu menginginkan iPad atau barang branded lainnya. Elisa adalah tipe gadis sederhana yang tau mana kebutuhan terpenting dan mana kebituhan yang ia bisa beli kapan saja tanpa urgensi khusus.
"Semoga dengan ini kamu bisa tambah semangat kuliah double degree-nya," kata Elisa.
"Double degree? Ngapain kuliah double degree? Otak gue pas-pasan loh, Sa," tanggap Arin, "mendingan gue sementara belajar otodidak sama upgrade skill dengan ikut pelatihan-pelatihan. Sayang aja kalau harus kuliah dua jurusan. Takut gue malah keteteran nanti."
Ada benarnya juga perkataan Arin. Elisa pikir Arin akan kuliah dua jurusan karena punya dua minat atau menyambi antara jurusan impian Arin maupun orang tuanya. Memang realita tak seindah kisah novel.
Bukan novel yang genrenya bilang teenfiction tapi pemerannya cowok 19 tahun udah jadi CEO sama kuliah sampai S3 lho, ya. Itu halu yang terlalu halu.
"ARIN KU SAYANGGG!"
Senyum di wajah Arin berubah menjadi cemberut karena suara keras dari orang yang akhir-akhir ini sering mengganggunya. Siapa lagi selain Jevian yang dulunya memiliki janji manis tidak akan mengganggunya, tapi nyatanya seminggu tiga kali tak pernah absen untuk meneriaki namanya dengan kencang.
"Ada manusia jelek yang dateng," kata Arin dengan malas lalu mengunci layar ponselnya.
Ia memandang ke arah berlawanan sementara Jevian dengan riang gembira membawa dua kotak fruit sando di tangannya sambil berjalan ke arah meja Arin. Arin sudah tau apa yang akan dikatakan Jevian selanjutnya.
"Hari ini kalau jutek atau marah, Arin tambah cantik deh."
Demi Tuhan, Arin sempat berpikir kalau Tuhan menciptakan Jevian lupa memberikan urat malu cowok itu. Lebih parahnya, dia kadang mengabaikan teguran guru untuk tidak berteriak saat berada di lingkungan sekolah.
Jevian duduk di depan Arin dan tersenyum manis. Orang lain akan berpikir kalau Jevian sudah kena pelet Arin atau Arin memakai susuk untuk merayu Jevian.
Demi kucing tetangga, Arin tidak ada waktu bertemu dengan dukun untuk melakukan semua itu. Lebih baik uang untuk dukun itu ia pakai untuk membeli seperangkat alat lukis. Ia benci hal-hal berbau mistis dan lebih percaya bumi itu datar daripada percaya dengan dukun.
"Ngapain lo?" tanya Arin jutek.
"Lho, memangnya ngapain lagi? Ketemu calon pacarku lah~" jawab Jevian. "Ayo diminum dulu susunya, Calon Pacarku. Nanti kamu sakit, lho."
Arin berdecak. "Calon Pacar, Calon Pacar. Sembarangan aja ngaku-ngaku gue calon pacar lo. Ogah!" Ia semakin kesal.
"Gak boleh gitu, Calon Pacar. Semua orang di sini juga tau kalau kamu itu calon pacarku," ucap Jevian tidak peduli dengan sikap judes Arin dan ia masih berusaha meluluhkan hari cewek itu.
Arin muak lalu berdiri dan meninggalkan kelas. Disusul dengan Jevian mengekori dirinya di belakang selayaknya anak itik.
"Jangan ikutin gue, Jev."
"Kenapa? Apa aku ga boleh ikut?"
"Gue males sama lo."
"Ayo makanya jadi rajin dengan terima cintaku ini."
"Gak mauu!"
Arin mempercepat jalannya, tidak peduli dengan Jevian yang kini kembali meneriaki namanya karena tertinggal.
Ia merasa benci dengan situasi ini, di satu sisi ia tak bisa membenci Jevian kalau memang cowok itu menyukainya. Ia hanya ... merasa tak pantas untuk siapapun. Moodnya hari itu kacau dan cepat berubah tanpa sebab yang jelas.
Pada akhirnya, Arin memutuskan untuk pergi ke UKS dan membolos dua jam pelajaran untuk menenangkan pikirannya. Dan Jevian kini sudah tidak mengikutinya lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro