❄️[22]❄️ Kebohongan Sang Buaya
Halo semuanyaaa. Mari rapatkan barisan, nagkep buaya nakal. Happy reading.
❄️❄️❄️
Hari ini Elsa sudah mendapatkan izin dari Dygta untuk mengunjungi indekosnya. Kebetulan Dygta juga memiliki meeting di luar kota, sehingga Elsa memutuskan untuk menginap di kos. Bagian ini Dygta tak tahu. Pria itu berpikir Elsa hanya berkunjung saja.
Satu minggu berselang, Elsa merasa dirinya sudah cukup lama hidup di dunia berbeda. Bekerja di butik terkenal sebagai karyawan plus-plus, menantu owner. Pergi dan pulang diantar jemput suami, bagian ini nyaris sama dengan dahulu. Bedanya, setiap malam melakukan olahraga mesra dengan suaminya. Entah itu hanya berpelukan maupun berpeluhan. Namun, Dygta tak rela jika hanya berpelukan, paling tidak tangannya yang olahraga pelenturan di balik BH.
Elsa memakai baju usang kesayangannya. Ia tiduran di atas ranjang tipis yang walau agak keras, tetapi sangat nyaman. Pikiran Nyonya Dygta Elfasya itu berkelana ke malam saat dia menjebak Dygta. Seharusnya Dygta tahu bahwa dia dan Elsa tidak bercinta malam itu. Terbukti Elsa masih perawan di malam pertama. Namun, kenapa Dygta tidak menunjukkan reaksi kecewa, marah, sedih, atau sesal? Dygta sama sekali tidak bermotivasi untuk membahas.
"Apa mungkin bagi Dygta, itu tidak penting?"
Elsa membenarkan dugaannya. Ada atau tidaknya sex malam itu, tidak jadi soal bagi putra tunggal Ayu Sulastika.
"Sisy yang jelas-jelas hamil karena tidur dengannya, tidak dipaksa menikah."
Kasus Sisy seakan hilang. Dygta tak terdengar lagi melakukan telepon dengan kekasihnya itu.
"Kalau chatting, pasti sering," pikir Elsa.
Dirinya berguling ke kanan dan berpelukan dengan bantal guling.
"Mesum. Tiap malam selalu mengajak HB. Apa mungkin di luar kota, kamu membeli ani-ani kayak dulu?"
Elsa menyembunyikan wajahnya ke bantal guling. Kakinya menendang-nendang kesal. Benda panjang itu menjadi samsak tinjunya
"Pasti kutanya begitu kamu pulang. Aku takut kamu nyebarin penyakit menular."
Elsa telentang. Masih memeluk guling di atas tubuhnya. Pikirannya semakin buruk saja, mengingat kebiasaan si mesum Dygta yang suka tebar pesona kepada semua wanita, kecuali nenek-nenek.
Keheningan malam itu dipecahkan oleh suara notifikasi pesan.
Inara: Sent video
Inara: Cek ke Titanium
Inara: Share location
Inara: Cepat! Kamu bisa ditikung Sisy. Lihat sendiri gimana Dygta di video!
Elsa mematikan ponselnya. Ia menolak untuk ke tempat yang diberikan Inara. Dygta dengan kekasihnya, mereka berciuman, sudah biasa. Namun, sisi egoisnya tiba-tiba bangkit. Jika Dygta berkeras ingin menikah, kenapa dia masih berhubungan dengan masa lalunya? Bukankah ini termasuk selingkuh?
Pikirannya tidak tenang. Ia penasaran dengan Dygta. Elsa ingin memastikan bahwa video itu benar.
Elsa mengunci pintu kos. Ia turuni tangga satu demi satu sambil mengumpulkan niat. Mengulang ingatan tentang video singkat yang dikirimkan Inara, Sisy duduk di stool bar, Dygta membungkuk menyentuh pundak wanita itu. Wajah mereka beradu. Kalau itu bukan ciuman, lantas Dygta lagi ngapain? Bilang ada meeting di luar kota, nyatanya ketemu pacar.
"Orang hamil ngapain mainnya di bar?" dumel Elsa sembari memasukkan alamat ke aplikasi. "Kalau di hotel, pasti Inara nggak akan tahu. Nggak kepikiran kayak gini," omelnya lalu berjalan ke luar gang.
Tak berapa lama menunggu, taksi yang dipesan tiba. Elsa langsung duduk di bangku tengah dengan pikiran bercabang ke mana-mana. Mungkinkah selama ini, katanya kerja ternyata bertemu Sisy? Wajar mereka tak perlu teleponan. Mungkinkah Dygta juga tidur dengan Sisy selain dengannya? Elsa menolak memikirkan, sebab dia tak yakin Dygta sedoyan itu.
"Mbak Elsa, Mbak Elsa."
Elsa tersentak dari tidurnya. Taksi telah sampai di depan sebuah hotel.
"Barnya di hotel ini, Pak?" tanya Elsa dengan polosnya.
"Bener, Mbak."
Elsa mengangguk, walau hatinya masih ragu. Ia ingin keluar sebab sungkan membuat supir taksi menunggu. Namun, ia takut. Selain takut melihat kenyataan, ia juga takut tersesat.
"Gimana, mau putar balik aja, Mbak?" tanya supir dan bagi Elsa terdengar seperti sindiran agar dia segera enyah.
"Maaf, saya turun di sini, Pak. Terima kasih."
Elsa terburu-buru keluar. Dalam kebingungan dan keraguan, Elsa hanya berdiri bak orang tolol di depan lobby hotel. Tapi ia memang bodoh. Ke mana dia setelah ini? Di lantai mananya night club dalam hotel ini? Elsa lama-lama frustasi oleh ketidaktahuan.
Dua manik mata perempuan itu mengamati bagian depan hotel yang lebih tinggi dari tempat ia berpijak. Rintik hujanlah yang mendorong sepasang kaki itu untuk melewati pintu utama.
Elsa tiba di lobby yang luas dan mewah. Matanya berekreasi mengamati pemandangan hotel bintang 4 tersebut. Sendirian dan kacau. Ia lupa mengganti pakaian rumahan sebelum keluar. Celana selutut dan kaus serta jaket usang menjadikan menantu Ayu Sulastika itu seperti peminta-minta. Didukung oleh wajah yang polos tanpa pewarna sama sekali dan rambut diikat messy bun. Langkah kakinya tertuju ke depan pintu lift yang tertutup.
"Lantai berapa, ya?" gumamnya, melupakan fungsi bagian resepsionis.
"Heh! Ngapain di sini sendirian, kayak anak hilang?" Seseorang menepuk bahu Elsa, mengamati Elsa dari kepala hingga kaki.
Elsa masih mencerna keadaan ketika perempuan itu menambahkan, "Oh, jangan bilang lo lupa nomor kamar?"
Seketika Elsa memeluk perempuan tukang ngomel itu dengan suka cita.
"Tempat hiburan malam hotel ini di mananya, Wa?" tanya Elsa sewaktu pelukannya terurai.
Mantan teman satu timnya itu memasang wajah bingung. Seorang pria mendekat dan berbisik di telinga Wawa.
"Basement. Kenapa emangnya?"
Elsa menghela napas dan mengembuskannya dengan berat. "Cuma mau liat-liat," ujarnya lesu.
"Dengan penampilan seperti ini? Sendirian?"
Elsa mengangguk. "Tidak boleh? Ada dresscode-nya juga?" Ingatannya memutar pengalaman pertama ke club bersama Inara. Nah, saat itu ia hanya pakai kemeja, kaus usang, dan jeans.
"El, pertama kali gue lihat lo, gue mikirnya lo lagi staycation di hotel ini, trus keluar buat cari makan malam. Jadi, ini penampilan lo dari rumah? Astaga. Laki lo nggak beliin baju, apa gimana?"
Elsa yang tengah mendengar komentar-komentar Wawa tentang gaya berpakaiannya, dikejutkan oleh penampakan Dygta dan Sisy di balik orang-orang yang baru keluar dari kotak besi itu. Dygta yang tidak melihatnya karena fokus bicara dengan pasangannya, terlihat tidak akan turun di lantai ini. Pintu besi itu kembali tertutup membawa Dygta dan kekasihnya.
Apakah mereka akan ke kamar di lantai atas? Pikiran Elsa mulai berkelana.
"Ikut gue!" Wawa menarik lengan Elsa, mendekati pintu lift lain, dan menekan angka lantai yang dituju.
Mereka sampai di sebuah kamar yang super adem. Elsa membisu sejak pikirannya diisi oleh berbagai macam praduga.
"Gan, baju buat dia dalam sepuluh menit."
Elsa menoleh kepada laki-laki muda yang kelihatan pendiam. Cowok itu seumuran dengan mereka, tapi auranya jauh lebih tua.
Elsa yang ditatap balik oleh pria itu merasa gugup. Terlebih lelaki itu menyusuri pandangan ke tubuh Elsa. Dengan refleks kedua tangan Elsa tersilang di dada.
"Dia ngira-ngira ukuran pakaian lo," kata Wawa yang asyik mengeluarkan alat make up.
"Bisa nanya aja," geram Elsa.
"Gana nggak suka ngomong."
Elsa memanyunkan bibir mendengar alasan itu.
"Cuci muka sana!" usir Wawa mendorong bahu Elsa ke sebuah bilik.
Elsa pun ke kamar mandi hotel tanpa mengunci pintunya. Gadis itu justru melamun di depan cermin. Melanjutkan isi kepalanya yang ribut, tadi sempat diinterupsi oleh Wawa dan teman laki-lakinya. Bukannya membilas wajah, Elsa mengeluarkan gawai dari saku jaketnya. Jemarinya mencari nomor Dygta, melakukan panggilan.
Nada tunggu.
Nada tunggu.
Dada Elsa bertalu ketika menunggu
"Halo, Sayang." Suara Dygta berbisik-bisik.
"Kamu di mana?"
"El, tunggu sebentar, aku masih ada keperluan. Nanti aku pulang agak malam, ya. Kamu tidur duluan aja. Bye, Elsayang."
Apa mungkin suara Elsa terlalu lirih, hingga Dygta tak mendengar pertanyaannya. Kenapa Dygta seakan-akan tidak sabar untuk menyudahi telepon? Apakah Dygta masih bersama Sisy? Kepala Elsa disesaki oleh pertanyaan demi pertanyaan.
Elsa melupakan tujuan ke kamar mandi. Ia lantas membuka pintu, berjalan dengan langkah tergesa. Namun, pemandangan di hadapannya menyebabkan kedua kakinya tertahan dan matanya ternoda. Elsa langsung berbalik badan dan melupakan sepasang bokong yang mengentak-entak ke milik Wawa dari belakang. Elsa mengurung diri di kamar mandi. Sungguh sial, ia melihat persetubuhan binal yang dilakukan dua orang itu sambil berdiri!
Jika tadi ia tak mendengar apa pun di dalam sini karena otaknya ke mana-mana, sekarang desahan dan lenguhan kedua manusia sinting itu menyusup ke bilik tempatnya sembunyi. Elsa langsung menyalakan keran. Ia membasuh wajah plus kepalanya. Tak ingin terkurung lama, Elsa mengetuk pintu kamar mandi dengan brutal.
"Wawa! Aku mau keluar! Cepat selesaikan adu mekaniknya! Suara kalian berisik tahu!" teriaknya.
"Sialan!" umpat Wawa yang dapat Elsa dengar dari dalam sini.
"Wawa! Tanggung jawab sama aku! Aku lihat pantat laki-laki lain! Kamu nggak bilang-bilang mau anuan! Mataku jadi kotor!" Elsa mengomel dengan berteriak.
"Keluar lo, El!" panggil Wawa juga dengan berteriak.
Elsa mendekati Wawa yang sudah menaikkan celananya dengan wajah kesal.
"Jahat!" Elsa memukul lengan Wawa.
Ia mencari keberadaan lelaki bernama Gana itu di sekitar kamar. "Pacar kamu mana? Malu, ya?"
"Tuh, ambil pesanannya," tunjuk Wawa ke pintu yang baru terbuka dan menampakkan Gana masuk membawa satu paper bag.
"Kamu udah menikah?"
Wawa menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Belum. Elsa Sayang, ngewe nggak butuh surat nikah, ada penis sama vagina, udah langsung bisa main sampai pegal."
Elsa merasakan wajahnya memerah mendengar ucapan nonsensor Wawa.
"Wawa! Aku paham. Nggak perlu diterangkan sejelas itu. Aku pikir kamu juga nikah mendadak sepertiku."
"Udah bahas gue. Sekarang ganti baju lo sana, kita party." Wawa melemparkan paper bag tadi ke pangkuan Elsa.
"Aku nggak akan lama, kalian nggak boleh nge–HB lagi." Elsa berlari ke kamar mandi untuk kesekian kali.
❄️❄️❄️
Emosi membuat Elsa tidak berpikir dua kali untuk mengenakan pakaian yang dibawakan kekasih Wawa. Ia ingin mengosongkan pikiran dengan menerima ajakan Wawa dengan berpesta. Atasan tanpa lengan dengan dada tertutup rapat, tetapi punggung bajunya terbuka hingga tulang. Bahan bajunya tipis. Celananya sangat pendek, setengah paha Elsa. Elsa dan Wawa kini telah duduk di bar. Gana di sebelah Wawa berperan bagaikan bodyguard gadis itu.
Elsa melihat minuman dalam gelas kecil yang berwarna kuning keemasan. Ragu menderanya. Ia pernah berjanji takkan menginjakkan kaki di tempat ini, apalagi untuk mencicip alkohol.
"Kalau lo nggak mau minum, gue bisa ngehabisin bagian lo. Tapi pikiran lo tetap kusut kayak muka lo sekarang."
Elsa mengungkung gelas dengan jarinya. "Dygta sama cewek di hotel ini."
"Sial. Gan–" Wawa tak jadi bicara karena Elsa menahan tangannya.
Elsa berfirasat bahwa Wawa akan meminta Gana mencari keberadaan Dygta. Entah bagaimana caranya, Elsa rasa Gana adalah orang sehebat itu. Hanya karena dia membelikan baju dalam beberapa menit.
"Cewek itu mengandung anaknya Dygta." Elsa tertawa kecil. "Yang salah aku kenapa mau dinikahi Dygta. Cewek itu seharusnya yang menjadi istri Dygta sekarang."
Elsa meneguk minumannya dengan susah payah. Ia abaikan rasa pahit yang menyentuh indranya. Sebab aroma dan rasa manisnya juga terasa nikmat di lidah.
"Perasaan lo, menyakiti diri sendiri," komentar Wawa. Perempuan itu juga sudah meminum dua gelas minumannya.
"Udah tahu dia bangsat, lo tetep mau sama dia. Apa nggak tolol? Ujung-ujungnya mewek. Lemah. Kenapa, sih, cewek banyak memuja cinta? Hidup itu simpel aja padahal. Jalani sendirian, tanpa bergantung kepada cowok."
Elsa yang tampaknya telah dipengaruhi alkohol, menjawab dengan sinis, "Omong kosong! Kamu bergantung sama cowok untuk ngewe!" Elsa membanting gelas ke meja.
"Aku nggak pernah seperti itu. Dia datang sendiri, nolongin aku ini dan itu. Maksa-maksa aku nikah sama dia. Aku nggak pernah kepikiran untuk menikah sampai dia memberondong aku tiap hari."
"Tapi lo nikah juga kan? Karena lo udah ketergantungan sama dia!" racau Wawa. Dia telah meneguk alkohol lebih banyak dari Elsa.
"Enggak!" Elsa membantah. "Aku merasa berutang. Dan ...." Wajah bahagia Dygta sewaktu mendengar persetujuan Elsa, terbayang dalam ingatannya. Jelas sekali.
"Dygta terlihat tulus ingin tanggung jawab."
Wawa telah K.O. Kepala gadis itu rebah di meja. Gana memegangi tubuh gadisnya.
"Kamu kayak Dygta," tunjuk Elsa dengan telunjuk mengarah ke dada Gana. "Suka sekali sex bebas." Pipi gadis itu dialiri air mata.
"Jangan suka menyakiti perempuan, Gana." Elsa pun menyusul Wawa yang pingsan.
❄️❄️❄️
1861 words
Bersambung....
Muba 16 Agustus 2024
Ada yang masih curiga sama Inara?
Ada yang kesel sama buaya muara?
Ada yang pengen jadi dukun beranak untuk Sisy?
Ada yang ingin injek kepala Elsa? Huuhhu
Lanjut besok yaaa. Makasih udah baca sampai part ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro