❄️[16]❄️ Bincang Pagi di Halaman
Halo, selamat malam pembaca Kisah Elsa. Lanjut yaa.
❄️❄️❄️
Semakin malam, Elsa merasa kedinginan. Sunyinya kebun membuat ia terserang rasa takut. Elsa lantas berlari dengan kencang menuju rumah. Pengantin baru itu menormalkan pernapasannya di beranda, sebelum melewati pintu masuk. Ia telah memastikan air matanya tak berjejak.
"Kak Elsa dari mana? Bukannya di kamar?" tanya Elga yang baru saja keluar dan bertemu Elsa di depan pintu.
"Nggak ada." Elsa berjalan menunduk menuju kamarnya.
Ia mengatur napas kembali sebelum menguak pintu di depannya. Begitu masuk pandangan Elsa tertuju ke daun jendela yang terbuka. Dan melihat Dygta tertidur tanpa mengenakan baju. Ia berasumsi bahwa suaminya pasti kegerahan di kamar tanpa AC. Elsa lalu mencari obat nyamuk semprot. Namun, sebelum menyemprot, ia menutup wajah Dygta dengan selimut. Dengan jendela terbuka pasti pasukan nyamuk akan menyerbu bagaikan prajurit perang. Tapi kalau jendela ditutup, Dygta akan merasa seperti dalam panci kukusan.
Elsa hendak keluar setelah menyebarkan racun nyamuk dalam ruangan itu, tetapi panggilan Dygta menahannya.
"Apa, Dyg?" tanyanya.
"Sini," ajak Dygta dengan wajah di balik selimut tebal. Hannya tangannya yang terulur.
Elsa menyambut tangan suaminya. Dygta langsung menarik Elsa bergabung dengannya. Elsa masih belum terbiasa ketika Dygta menarik dan membawanya dalam pelukan lelaki itu. Dygta mengusap-usap kepala Elsa. Tak hanya itu, sang pria melabuhkan kecupan hangat di kening istrinya. Bagaimana bisa Elsa merasa bahwa Dygta menyayanginya? Perlakuan suaminya tentu memang semanis ini kepada para wanita, termasuk dirinya. Ya, Elsa hanya salah satu dari sekian banyak wanita yang diperlakukan dengan baik. Kamuflase rasa sayang membutakan mata wanita.
Dygta mendekap Elsa ke dadanya. Tangan lelaki itu mengusap punggung Elsa, membuat Elsa terserang kantuk. Elsa merasakan ciuman di dahinya yang menyalurkan rasa hangat ke seluruh tubuhnya. Usapan di punggungnya membuat Elsa cepat larut ke alam mimpi.
"Elsa! Kamu tidak makan malam? Suamimu tak kau ajak makan? Apa cukup di kamar saja, El?" teriak Mama Miranti ketika Elsa masih tenggelam dalam tidurnya.
Elsa mengabaikan teriakan itu karena ia memang tak merasa lapar. Namun, ada gangguan lain yang membuat Elsa terpaksa membuka kelopak mata. Pasalnya wajah Elsa terasa geli akibat ciuman bertubi-tubi dari bibir pencium andal itu. Dygta berada sangat dekat dengannya ketika Elsa membuka mata. Cara Dygta membangunkannya membuahkan hasil.
"Bangun. Kita butuh makan malam, Elsayang," ucap Dygta dengan suara yang serak. Elsa pikir lelaki itu juga baru bangun tidur.
"Oh, iya. Kamu lapar." Elsa segera duduk. "Kamu yang menutup jendela?"
"Ya. Nanti istriku makin kecil dihisap nyamuk nakal."
Elsa tergelak. Ia melihat ke arah jam dinding yang ternyata sudah menunjuk pukul sebelas. Lama juga tidurnya, pikir Elsa.
"Dyg, kamu tadi udah mandi?" Elsa teringat bahwa dia tidak menyiapkan handuk bersih untuk Dygta.
"Enggak mandi, besok aja sekalian," jawab lelaki itu santai. Tangannya menyelinap ke jemari Elsa, membawa Elsa ke ruang makan.
Meja makan sudah diisi dengan nasi dan lauk yang masih panas. Mama Miranti sepertinya menyiapkan ini untuk mereka sebelum memanggil Elsa.
"Itu cabe apa, El?"
Elsa tercenung melihat piring kecil yang berisi sambal kecap kesukaannya. Ada ikan bakar dan sup ayam. Menu-menu ini bukan sisa dari acara. Semua tampaknya baru dibuat oleh mamanya.
"Sambal kecap. Biasanya kami bikin ini ketika memasak ayam atau ikan bakar. Mau coba?" tawar Elsa.
Dygta langsung menggeleng. "Cabe semua. Serem," ungkap lelaki itu.
Elsa hanya mengambil seekor ikan dan sup untuk Dygta. Sewaktu Elsa ingin mengisi piring, Dygta menahan tangannya.
"Aku yang ambilin. Makan yang banyak, ya," katanya menyerahkan piring berisi nasi dua sendok, seekor ikan bakar, dan sayur dari sop ayam. Dygta mendekatkan piring sambal kecap kepada Elsa.
"Masakan Mama Mira enak." Dygta makan dengan lahap.
Elsa pun mulai menyuap nasinya. Rasa pedas menguasai lidah, tetapi pedas yang enak. Elsa menghabiskan seluruh nasi di piringnya. Dygta menawarkan untuk menambah nasi. Elsa menolak karena perutnya bagai ingin meledak. Piring bekas makan langsung dibawanya ke tempat pencucian piring.
"Duduk di beranda, yuk, El."
Dygta mengambil tangan Elsa. Mereka berjalan ke depan dengan bergandengan tangan. Tampaknya Elsa mulai menyadari kebiasaan ini dari Dygta. Keduanya duduk terpisah oleh meja bulat kecil. Gelap di luar membuat Elsa hanyut dalam pikirannya. Begitu juga Dygta yang tak memulai obrolan. Mereka sama-sama menikmati keheningan.
Tiba-tiba Dygta berdiri hendak berjalan ke halaman.
"Dyg! Ke mana?" tanya Elsa.
Dygta melihat Elsa dan ke balik jalan koral. Namun, lelaki itu seakan kehilangan ketertarikan terhadap sesuatu yang tadi membuatnya seperti ingin mengejar.
"Kita ke kamar aja," katanya menarik Elsa ke dalam.
Harapan Elsa pupus untuk menghabiskan malam sampai mengantuk di luar. Begitu pintu terkunci, Dygta menggendong Elsa hingga Elsa terpaksa melingkarkan kakinya ke pinggang suaminya. Dygta menatap Elsa secara intens sebelum menunduk mempertemukan bibir mereka.
Ciuman Dygta dibalut gairah yang nyata. Elsa kewalahan menghadapi serangan itu. Kecepatan Dygta bermain di mulutnya menyebabkan Elsa harus mendorong lelaki itu untuk menghirup udara. Sementara itu, bibir Dygta telah menyusuri leher Elsa, membuat gadis itu merasakan kembali sensasi meledak-ledak dalam tubuhnya. Dygta telah mengenal di mana titik yang dapat membuat Elsa tak berkutik, lalu melakukan penyerahan diri seutuhnya. Tanpa cinta mereka larut dalam keintiman.
❄️❄️❄️
Elsa rindu kegiatan hariannya ketika di kampung. Masih pukul lima ketika Elsa membuka mata. Ia bangun dalam pelukan Dygta, tanpa busana. Elsa segera menghapus kegiatan erotis semalam dari pikirannya.
"Aku mau mandi, lalu menyapu halaman," pamit Elsa kepada Dygta.
Dygta tak membuka matanya. Lelaki itu menarik Elsa kembali dalam pelukannya.
"Dygta. Aku harus membersihkan halaman," ucap Elsa memaksa.
Mata Dygta yang merah menatapnya. "Hm. Jangan cantik-cantik," ujar lelaki itu seperti orang yang sedang mengigau.
'Aku memang nggak cantik,' pikir Elsa. Barangkali Dygta mengatakan itu kepada mantannya.
Elsa segera memakai piyama tidur dan mengambil handuk. Rumah sangat sepi sebab mamanya belum bangun, apalagi kedua adiknya. Elsa selesai mandi dalam lima belas menit. Dia membalut rambut basahnya dengan handuk kecil, dan memakai piyama lengan panjang itu lagi, lalu membuka pintu. Dinginnya udara pagi pedesaan menyerang ke pori-pori. Namun, bibir gadis itu justru tersenyum. Ia suka sekali dengan suasana pagi di kampung. Elsa meregangkan tubuhnya sebelum mengambil sapu lidi.
Ia mulai menyapu halaman luas itu dari yang paling jauh dengan rumah. Sampah-sampah jajanan begitu banyak berserakan. Elsa mengambil karung di beranda dan kembali ke ujung halaman untuk memilah sampah plastik yang dapat didaur ulang.
Elsa tengah membungkuk ketika suara bariton menyapa dan memanggil namanya dengan sebutan 'Dik'. Matahari belum bersinar sempurna. Pagi masih abu-abu ketika sosok tinggi itu menghampiri.
"Dari mana, Kak?" tanya Elsa berbasa-basi kepada pria yang usianya kisaran pertengahan tiga puluhan itu.
"Masjid," jawab lelaki yang menyandang sajadah di bahunya.
"Kok sendirian, tidak ada yang bantu bersih-bersih? Sampahnya banyak sekali," ujar lelaki itu memandang seluruh halaman rumah Mama Miranti.
"Ah, nggak apa-apa. Aku masih sanggup. Pelan-pelan selesai, kok," kata Elsa sembari tersenyum.
"Mau dibantu, Dik?"
Elsa langsung melambaikan tangannya. "Nggak mau ngerepotin Kak Dias. Tak sampai setengah jam ini selesai semua." Elsa berkata dengan yakin.
"Bukan begitu. Masa pengantin baru yang membersihkan halaman, sendirian lagi," tambah lelaki berpeci hitam itu.
"Ya nggak ada salahnya, Kak." Elsa terus menyapu. Debu membuat perempuan yang memakai handuk di kepala itu terbatuk-batuk. Sementara matahari mulai bersinar.
"Kamu belum berubah." Lelaki itu menggeleng-geleng. "Susah dikasih bantuan," ucap lelaki itu dengan suara mengandung tawa.
"Aku cuma nggak mau merepotkan Kak Dias," balas Elsa.
Dias mengikuti ke mana Elsa bergerak. "Oh, iya, sekali lagi selamat ya, untuk pernikahanmu."
Elsa mengangguk. "Sama-sama. Oh iya, terima kasih juga. Kata Mama, Kak Dias beberapa kali antar Elbram kontrol ke Palembang."
Lelaki berbadan tegap itu menggeleng. "Nggak usah diingat-ingat. Sekarang kaki Bram bagaimana? Sudah bisa jalan tanpa tongkat?"
"Sebentar lagi mungkin dia ikut balapan lagi," ucap Elsa. Bibirnya mencebik mengingat kebandelan sang adik.
Dias tertawa melihat tanggapan Elsa. "Nanti aku bilangin, jangan suka balapan. Kasihan kakak dan ibunya yang selalu dibikin jantungan karena kelakuannya.
"Iya! Tolong dibilangin, Kak! Kalau sakit, siapa yang repot!" Elsa menyapu dengan kasar hingga banyak debu beterbangan.
Dias sampai terbatuk.
"Maaf! Maaf! Lagi emosi!" ucap Elsa menyatukan kedua tangan di depan Dias.
"Kamu masih lucu, ya," ucap lelaki itu.
Elsa merasa sudah lama ia tak tersenyum seperti ini. "Tolong lihat-lihatin Mama dan adik-adik, ya, Kak."
Elsa pernah dekat dengan Dias ketika bekerja di Pertashop, tetapi mamanya tak tahu akan hal ini. Dias sering mengajaknya berbincang ketika lelaki itu pulang dari kebunnya.
"Kamu langsung balik ke Jakarta?" tanya Dias.
"Kayaknya iya. Kan kerjaan aku di sana, Kak."
"El, saat Bram sembuh, kerja di kebun Kakak aja, bagian kantornya."
Elsa menghentikan sapunya.
"Mama masih ingin Bram masuk angkatan? Tapi kakinya—"
Elsa melamba-lambai. "Aku tahu, Kak. Aku berterima kasih atas tawaran Kak Dias. Nanti aku ngomong sama Bram."
Dias mengangguk-angguk. "Kalau kamu?"
"Aku? Kerjaanku nggak di sini, Kak." Elsa menambahkan, "Suamiku kan juga orang sana."
Senyum di wajah Dias menjadi datar. "Semoga bahagia, ya, El." Tatapan lelaki itu terlihat muram. "Jaga diri baik-baik," ucapnya sebelum melangkah meninggalkan Elsa.
"Kakak juga!" teriak Elsa karena Dias sudah agak jauh.
Elsa baru mengerjakan pekerjaannya separuh karena sering berhenti untuk mengobrol. Ia melanjutkan sapu-sapu sampai pukul tujuh. Ketika kembali ke rumah, Dygta sudah terlihat rapi mengenakan jaket kulit hitam.
"Udah bangun?" tanya Elsa.
"Ganti pakaianmu. Kita ke bandara sekarang," ucap Dygta memerintah.
Elsa melirik ke Mama Miranti yang tengah menyiapkan nasi goreng. Elga dan Elbram juga tak terlihat kaget mendengar ucapan Dygta.
"Kok mendadak?" tanya Elsa.
"Siap-siap, Elsa." Dygta menekankan kalimatnya.
Elsa pun membuka handuknya dan membuat rambut panjangnya jatuh ke punggung.
"Maaf, Ma, kami harus balik pagi ini."
Elsa mendengar percakapan orang di luar kamar.
"Iya. Memang kalian mau balik, jadi nggak masalah sekarang atau lain hari," balas Mama Miranti. "Kamu gimana, El? Mau ikut sama kakak dan kakak iparmu ke Palembang?" tawar Mama Miranti.
"Enggak. Aku mau di sini dulu."
"Kuliahmu?"
"Kuliahnya online, kok. Mungkin aku berangkat dua hari lagi, ada ujian tatap muka."
"Ini untuk Mama, untuk bantu-bantu belanja dapur."
Elsa mendengar dengan saksama. Ia menebak jika suaminya memberikan sejumlah uang kepala mamanya.
"Wah! Terima kasih!" ucap Mama terdengar senang. "Kerjamu apa di Jakarta?" tanya Mama Mira.
"Pengacara, Ma. Pengangguran banyak agenda," jawab Dygta bercanda dan membuat tiga orang lainnya tertawa.
Elbram saja yang jarang tertawa, anak itu biasanya bagaikan es yang dingin, ikut tertawa.
"Untuk kontrol ke rumah sakit juga sepertinya cukup," ucap Dygta.
Elsa menggigit bibir bawahnya menerka-nerka jumlah yang diberikan Dygta.
"Iya, iya, cukup sekali," jawab Mama Mira.
"Kamu pasti mengumpulkan uang ini sejak lama. Betul ini untuk Mama dan adik-adik?"
Elsa menggeleng-geleng mengetahui kalau Mama Mira hanya berbasa-basi.
"Beneran, dong, Ma. Lelaki kerja memang untuk keluarganya. Iyakan, Bram? Lo nanti kalau udah sembuh, cari pekerjaan. Lihat tuh kakak lo, cewek sekecil itu kerja sana-sini cari duit. Malu dong kalau lo nggak bisa seperti Kak Elsa."
"Betul, Kak," jawab Bram kalem.
Elsa mencibir adiknya itu.
"Semoga kaki lo cepet sembuh, ya. Nggak perlu sedih karena nggak bisa masuk TNI. Tenang aja, pekerjaan masih banyak selain jadi abdi negara. Intinya lo punya niat dulu untuk bekerja. Tapi kalau lo mau jadi pengacara kayak gue, gue dukung, kok."
"Kak Dygta! Aku nggak percaya Kakak ini pengangguran. Mana mungkin pengangguran bisa kasih uang tujuh puluh juta secara cuma-cuma. Kak Bram mending kerja yang lain aja! Kak Dygta pasti bohong itu," serga Elsa.
Elsa mendengar Dygta tertawa. "Hei, Anak Bungsu! Belajar yang bener, jangan pacaran aja di kampus!"
"Ih, malah membelokkan topik," ucap Elga, dan Elsa sangat setuju.
Playboy sedang menjadi kakak yang benar. Cih.
"Kak Dygta. Kak Elsa itu titisan es kedua. Nggak salah namanya Elsa, frozen banget. Tapi lebih beku Kak Bram, Kak Elsa masih suka senyum sedikit-sedikit. Jadi, kalian cocok menikah. Semoga Kak Elsa nggak pelit ketawanya."
"Kami emang jodoh yang saling melengkapi, Dek. Eh bukan, satu embrio, tapi terpisah. Makanya aku sama Kak Els jadi lain sifatnya, tetapi kami tetap dua untuk satu."
Elga tertawa lepas. "Kak Dygta gacor!"
"Ssst."
"Mamaa! Bercanda kali," protes Elga.
Elsa keluar kamar dengan mengenakan kemeja berlengan sesiku dan celana panjang.
"Sini, pamit sama Mama dan adik-adik," ajak Dygta dengan lambaian tangan.
"Ma, aku berangkat." Elsa mencium punggung tangan Mama Miranti. Kedua adiknya juga melakukanya kepada Elsa.
"Pelukannya mana?" Dygta menyergah.
Keempat orang itu saling berpandangan. Mereka terkejut ketika Dygta memeluk Mama Mira.
"Ma, selalu jaga kesehatan. Aku bawa Elsa, ya," ucap lelaki itu. "El, kenapa malah bengong?"
"Aku pergi, Ma. Maafkan aku belum bisa jadi anak yang berbakti." Elsa menangis di pelukan mamanya.
Setelah sesi berpamitan, Elsa masuk ke mobil jemputan. Ia duduk di bangku tengah, sedangkan Dygta menemani supir di bangku depan. Tak ada yang memulai obrolan di antara Elsa dan Dygta, bahkan sampai mereka duduk berdampingan di dalam pesawat. Wajah penuh senyum Dygta ketika di rumah tadi lenyap.
❄️❄️❄️
Bersambung ....
Muba, 10 Agustus 2024
Kira-kira antara Elsa dan Dygta, yang suka tantrum siapa, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro