Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

❄️[13]❄️ Bermalam di Villa

Selamat malaam. Elsa hadir lagiii.

Part ini lumayan panjang, balas dendam sama yang semalam karena pendek banget.

Siap-siap. Warning. 😈😈😈😈😈

Happy reading.

❄️❄️❄️

"Elsa. Bukain, dong."

Elsa tengah membuat nasi goreng ketika suara Dygta memanggil dari balik pintu. Biasanya Elsa selalu membuka pintu lebar-lebar, apalagi jika sedang memasak.

"Elsa."

Elsa jadi emosi saja bawaannya mendengar suara Dygta.

"Nggak. Aku nggak terima tamu!" teriak gadis yang memakai bandana guna menyingkirkan rambut nakal dari wajahnya.

"Els. Wangi banget, kamu masak apa?" tanya Dygta seakan menulikan telinga dari penolakan Elsa.

Elsa mematikan kompor gasnya. Ia terbatuk oleh aroma masakannya sendiri. Merasa panas, Elsa duduk di depan kipas angin yang disetel pada tingkat kecepatan paling tinggi.

"Elsa. Buka, dong, El." Suara itu memelas.

Elsa bertahan, walau telinganya sakit dan emosinya hampir di titik didih.

"El. Kita mau bahas rencana nikahan kita. Bukain, dong, Elsayang. Nggak afdol kalau warga dengar karena aku ngomongnya di teras gini."

Beberapa waktu ini Elsa telah memikirkan keputusan untuk lanjut atau setop saja. Hidupnya akan semakin ruwet jika terlibat pernikahan dengan Dygta, ditambah dengan latar belakang keluarga Dygta. Namun, dia harus bertanggung jawab dengan keputusannya. Apalagi Elsa telah bertemu dengan keluarga Dygta. Kedua orang itu bahkan tak bertanya asal-usul Elsa. Ibaratnya, jika anaknya membawa perempuan paling miskin sekalipun, mereka tetap menerima sebagai menantunya. Jadi, sebetulnya tak ada ada masalah bukan?

Elsa saja yang memiliki ketakutan akan masa depannya, bahwa ia akan kehilangan kebebasan. Kebebasan untuk bekerja membantu ekonomi keluarganya. Jika menikahi Dygta, apakah mungkin ia akan tetap bekerja? Apakah keluarga mereka takkan malu dengan pekerjaannya? Dan bagaimana jika Mama Miranti tahu jika keluarga Dygta seperti yang ia harapkan, lalu memanfaatkan keadaan itu? Sementara Elsa tidak tahu, kapan Dygta akan melepaskannya. Ia yakin, lelaki itu kelak akan bosan dan lelah menghadapinya yang keras kepala. Ia akan menemukan wanita lain. Nah, bukankah Elsa semakin tak tahu diri?

Gadis berdaster sebetis itu memukul-mukulkan kaki telanjangnya ke lantai. Kepalanya serasa akan meledak.

"Elsa."

Dilatari panggilan demi panggilan Dygta, Elsa akhirnya mengentakkan kakinya untuk berdiri. Ia membuka kunci rumah dan bersiap memuntahkan seluruh emosi kepada sumber masalah. Namun, suaranya justru teredam oleh dada bidang pemuda yang yang langsung mendekapnya begitu erat. Kedua tangan Elsa pun terjepit hingga ia tak dapat bergerak menjauh.

"Dygta! Lepaskan aku!" Elsa mendongak ke pemuda jangkung itu. Ia juga berusaha menggoyangkan tubuhnya, seperti ikan di darat.

"Kamu mau batalin semuanya. Kamu ... kamu sedang berencana untuk kabur dari aku. Iya kan?"

Dygta menarik punggung Elsa merapat ke dadanya, tetapi membebaskan Elsa mendongak, untuk memandang ke arahnya. Dalam hati Elsa memuji tebakan Dygta. Entah dari mana lelaki itu tahu niat Elsa.

"Aku nggak pernah cerita keluargaku gimana karena itu. Keluargaku hancur."

Elsa melihat emosi di mata Dygta. Ia sudah tak lagi berusaha menarik dirinya dari rengkuhan pemuda itu.

"Sebagai anaknya, aku malu dengan tingkah papaku sendiri. Mata keranjang." Sementara itu, mata Dygta menyimpan kebencian.

"Kamu emangnya nggak mata keranjang?" Pertanyaan itu sukses meluncur dari bibir Elsa.

Dygta membelalakkan matanya. Ia terlihat tak terima. Ia pun melepaskan Elsa. Namun, ujung jarinya justru menekan kening Elsa.

"Kelihatan, ya?" Lelaki itu mengubah ekspresi menjadi cengengesan.

Elsa yang merasakan tanda bahaya buru-buru lari ke tempat tidur dan mengambil bantal untuk dipeluknya.

"Dyg, jangan macam-macam! Aku akan teriak!"

Dygta justru semakin mendekat. "Kamu teriak aja. Kalau ada yang lihat, nikahan kita bakalan dipercepat."

"Dygta! Kamu tuh, uh!" Elsa memukul Dygta dengan bantal. "Mesum!"

"Baru tahu? Kasihan," ejek Dygta, menangkap bantal sekaligus gadis pendek yang bertelanjang kaki itu.

"Dygta!" Elsa memukul dan mencakar ketika tubuhnya kembali dipeluk.

"Diam. Berisik. Sekarang, kita duduk dulu. Aku mau bicara penting."

"Iya lepaskan. Aku mau duduk."

Dygta mengangkat Elsa. Ia duduk di tempat biasanya, dan membuat posisi Elsa jadi duduk di atas pangkuannya.

"Ini bukan duduk untuk bicara!" protes Elsa.

Ia berusaha membuat suaranya pelan sejak tadi, agar tak memancing keingintahuan orang yang berlalu lalang di bawah sana. Dygta melingkarkan tangan-tangan panjangnya agar Elsa tak bisa lepas.

"Jangan goyang! Duduk yang tenang."

"Sialan! Mana bisa duduk tenang kalau begini?!"

"Elsa! Diam!"

"Nggak perlu teriak!" Elsa mendorong kepalanya ke belakang hendak mematahkan gigi-gigi Dygta.

"Aduh. Kamu suka kekerasan?" Sebelah tangan Dygta terlepas untuk mengusap bibirnya yang terluka.

Elsa menunduk dan menggigit lengan lelaki itu.

"Aduh! Hei!"

Elsa berlari menuruni tangga dan melupakan sandalnya. Dengan pakaian rumahan, daster tipis bunga-bunga sebetis berlengan sangat pendek, gadis itu sembunyi di antara pot bunga. Dadanya berdetak dengan kencang. Elsa menahan napas dan rasanya susah sekali.

Kenapa ia harus berurusan dengan playboy kerak neraka itu? Rasanya Dygta yang dikenalnya bukan seperti ini.

"Ngapain jogrok di situ, Mbak?"

Seseorang mengetuk-ngetukkan jarinya ke bahu Elsa. Lantas Elsa melihat ke atas. Seringai kemenangan terpampang di wajah putih pemuda yang rambutnya diikat itu.

"Ayo, pindah tempat aja. Rumahmu sudah aku kunci. Kuncinya kusimpan." Dygta memasukkan kunci indekos Elsa ke saku celananya.

Elsa langsung berdiri. "Siniin kuncinya!"

"Nanti. Kita ngobrol dulu. Ayo," ucap Dygta berjalan santai ke arah CRV-nya.

Elsa masih bergeming di tempatnya.

"Ikut nggak?" Dygta berbalik.

Melihat sekelilingnya mulai ada yang lewat, Elsa pun lantas berlari kecil menyusul Dygta. Gerakan Elsa terhenti sewaktu Dygta berlutut di bawah kakinya. Lelaki itu memasangkan sandal milik Elsa. Setelah itu, Dygta memakaikan jaketnya kepada Elsa.

"Ayo, Mbak Manis."

Elsa menyeret kakinya masuk ke mobil Dygta. Padahal Elsa sudah berusaha tak terlihat mencurigakan, tetapi beberapa ibu-ibu yang tengah berkumpul di depan sebuah warung, menjadikan Elsa objek wisata gibahan. Elsa pun menyandarkan tubuhnya ke jok mobil Dygta. Lelah.

"Ke mana?" tanyanya.

Dygta menaik-naikkan alisnya. Melihat itu Elsa langsung menyimpulkan satu tempat.

"Dygta! Kamu maunya apa, sih? Iya, iya, kita menikah, udah nggak perlu nakut-nakuti aku lagi!"

"Kalau gitu, pasang seat belt sendiri."

Elsa lekas melakukan perintah Dygta. Seketika pemuda itu memfokuskan pandangan ke depan, melajukan kendaraan ke arah antah-berantah yang Elsa tidak ketahui.

"Nasgorku," keluh Elsa.

Dygta tak mengindahkannya.

❄️❄️❄️

Elsa mencium aroma menenangkan. Ia mengubah posisi tidurnya ke arah lain. Tubuhnya terasa rileks di tempat tidur yang empuk. Ia mengeluarkan kedua tangannya dari selimut dan menyentuh permukaan kain yang terasa begitu lembut. Kelopak matanya mulai bergerak akibat menyadari suatu kejanggalan. Perlahan kelopak matanya terbuka.

Elsa terduduk melihat ruangan yang dia tempati. Lampu tidur menyala sendu di sebelahnya. Ruangan asing itu terasa sunyi. Pandangan gadis itu tertuju pada langit-langit yang tinggi dan lampu gantung kristal yang berkilauan. Kamar itu sangat berbeda dari kamarnya di Kos Abah Ajis. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak. Lantai dilapisi karpet tebal yang terlihat sangat lembut.

Buru-buru Elsa mengintip ke balik selimut. Ia menghela napas lega mendapati dirinya masih berpakaian lengkap, meskipun roknya telah naik ke paha atasnya. Ah, itu biasa terjadi, pikirnya. Elsa menggeleng, tak mungkin terjadi hal yang tak diinginkan. Ia tidak merasakan keanehan pada tubuhnya. Ia pasti hanya terlalu banyak bergerak sehingga roknya tersingkap. Tapi, bukankah tadi Dygta memakaikan ia jaket? Sekarang ia tidak mengenakannya. Jantung Elsa pun berdetak liar.

Elsa melemparkan selimut dan segera turun dari sana. Bulu-bulu karpet yang lembut menyentuh kakinya yang telanjang. Pendingin ruangan menyergap kulit lengannya yang terbuka.

"Dygta!"

Elsa telah menyadari sejak awal tujuan Dygta adalah ke tempat ini, sebuah villa yang direncanakan menjadi tempat liburan. Elsa berjalan keluar kamar mencari pemuda gondrong pemaksa bin mesum itu.

"Dygta! Kamu di mana?" teriaknya tanpa takut ada yang mengenali suaranya. Elsa sangat yakin tak ada orang lain di rumah itu kecuali dia dan Dygta.

Elsa berjalan menuju ruang tengah yang diterangi lampu. Ia menoleh ke dinding yang menunjukkan pukul delapan. Elsa tak lagi memanggil-manggil nama Dygta. Ia hanya bergerak ke sana-ke mari untuk menemukan manusia satu itu.

Kedua mata Elsa mendapati lelaki yang lahir di hari dan tanggal sama dengannya itu berbaring di atas sofa panjang. Kedua lengannya memeluk bantal sofa. Kelopak matanya tertutup. Elsa menggeleng-geleng melihat penampakan si penculiknya yang sedang tidur nyenyak bagaikan bayi beruang.

Elsa ingin menyentil kening mulus lelaki itu. Lihat saja, ketika tidur, Dygta tak menunjukkan tanda-tanda kemesuman sama sekali. Ia bagaikan pemuda baik-baik, meskipun memiliki rambut gondrong. Kedua tungkai Elsa mendekat ke sebelah sofa. Sebelah tangannya membentuk tinju seolah ingin melayangkan satu pukulan ke pipi lelaki yang tengah menjelajahi alam mimpi itu.

Elsa mengamati wajah Dygta baik-baik. Ini tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Dygta memiliki hidung mancung. Pipinya tidak tirus dan tidak pula berisi, sedang-sedang saja. Bibirnya tipis dan ketika dilihat lebih dekat, Elsa menemukan luka kecil di bibir bawah Dygta. Wajahnya sudah disterilkan dari bulu-bulu halus. Alisnya begitu tebal dan simetris, sementara bulu matanya juga panjang. Kelopak mata Dygta bergerak-gerak tanpa Elsa sadari karena gadis itu tengah melihat lengan Dygta yang sedang memeluk bantal kecil.

Gadis itu tak sempat menjauh akibat menurunkan kadar kewaspadaannya.  Dygta berhasil menarik Elsa ke atas tubuhnya. Beruntung Dygta tak membuang bantal yang tadi dipeluknya.

"Ketangkap, Gadis Nakal." Dygta memeluk Elsa dan bantal.

Elsa berusaha melepaskan dirinya, tetapi kedua kaki Dygta membelitnya bak ular sawah.

"Oke. Aku nggak ke mana-mana. Kamu mau apa?" tanya Elsa bermain mengikuti arus.

Dygta hanya memandang wajah Elsa. Sepasang mata Elsa sempat terperangkap dalam tatapan pemuda itu, lalu Elsa mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Peluk kamu gini," jawab Dygta pelan.

"Nggak jadi bicaranya? Kamu bilang ada yang mau dibahas tentang pernikahan."

Dygta menggeleng. "Besok aja. Mau kita gini aja."

Elsa lalu menyurukkan wajahnya di bantal Dygta. "Terserah."

Daripada Dygta bertindak lebih gila, lebih baik seperti ini, pikir Elsa. Mau sampai pagi, kemungkinan tubuh di bawahnya akan menyerah sendiri karena kesemutan. Sayangnya, Dygta mengubah posisi mereka jadi menyamping, dengan punggung Elsa kini menekan dada lelaki itu. Sementara bantal pelindung telah hilang di antara mereka. Tangan Dygta melingkar di perut Elsa.

"Kalau aku lari, kamu akan apain aku?" tanya Elsa, tangannya ditaruh di atas tangan Dygta, siap membuka kaitan itu.

"Tangkap sampai dapat."

Elsa hendak menjauhkan tangannya. Dygta meletakkan lagi di tempat semua dan akhirnya kedua lengan mereka saling memeluk.

"Oke. Kalau aku diam, kamu nggak akan apa-apakan aku?"

Suara Dygta teredam ketika lelaki itu mencium rambut baru Elsa, "Aku nggak ada rencana apa-apain kamu."

"Ini?" tanya Elsa gemas.

"Cuma pelukan."

Elsa meninju perut lelaki itu dengan sikunya.

"Nggak akan aneh-aneh?" tanya Elsa.

"Tergantung."

"Dygta!" Elsa hendak berbalik dan berontak.

Kedua kaki Dygta membelitnya seperti tadi.

"Jangan bergerak, Elsa. Seperti ini aman. Aku cuma mau peluk doang, ih."

"Tapi aku takut."

"Aku bercanda kali, El. Kamu, sih, gampang ditakut-takutin. Sumpah, aku nggak akan lebih dari ini, kecuali kamu minta lebih."

"Eh!"

"Makanya, jangan ada pikiran untuk membatalkan pernikahan kita. Paham?"

"Iya, ya Allah, bengal! Aku pegal. Bisa nggak ngomongnya kita duduk yang baik, saling berhadapan?"

Dygta menggeleng. "Ngobrolnya besok. Sekarang pelukan aja."

"Dygta kampret! Sumpah, ini orang batu banget, pemaksa pula! Gatel juga–"

Ucapan Elsa terhenti karena terlalu syok akibat bibir Dygta menekan pipinya. Oh, bukan menekan, melainkan menggigit.

"Jigong kamu bau, Dygta!" teriak Elsa, menggeliatkan tubuhnya.

"Diam, El. Nggak usah gerak-gerak kayak belut!"

"Kamu tuh, mesum nggak ketulungan!" Elsa meninju lagi dengan ujung sikunya.

"Biarin!" Dygta membelit Elsa lebih erat.

"Awas kamu, Dygta! Pembohong! Aku kira kamu nggak bakalan giniin aku! Dasar playboy jablay!"

"Lalala. Lalalala. Anak kecil, diam." Dygta menyimpan wajahnya ke ceruk leher Elsa.

Elsa merasakan aliran darahnya mengencang. Detak jantungnya meningkat. Kejadian malam itu melintas dengan jelas dalam ingatannya. Bagaimana bibir itu mengecup bagian sensitifnya.

"Dyg menjauh."

"Aku nggak akan pergi. Kita besok ngobrol ..." Elsa menjeda kalimatnya. "Pinggang aku pegel, Dyg. Biarkan aku tidur dengan nyaman. Dygta?"

Akhirnya, kedua lengan Dygta membebaskan Elsa. Ragu-ragu Elsa duduk.

"Sana, masuk kamar lagi." Dygta mengubah posisi jadi telentang ketika Elsa telah berdiri.

"Serius?" Elsa merasakan sebentar lagi ia melihat sebuah pintu kebebasan.

"Nggak. Kita belum makan malam, El." Dygta kemudian duduk. "Kita bicarakan rencana pernikahan kita sehabis makan malam."

Dygta mendahului Elsa berjalan ke pintu dengan langkah lebarnya. Elsa mengusap dada atas kebebasannya.

"Dygta!" Elsa berlari mengejar lelaki yang sedang memakai jaket itu.

"Kamu di sini aja," ujar Dygta melihat penampakan Elsa.

"Tapi, Dyg." Elsa mengamati seisi rumah. Tinggal sendirian di tempat asing ini? Lantas ia menggeleng. "Enggak, aku nggak berani."

"Aku cuma mau cari angin sekalian pesan makanan di aplikasi, Elsa-yang."

Elsa perlahan pergi ke kamarnya.

"Jangan sampai ketiduran, ya, makan dulu. Nanti perutmu sakit."

Elsa mengangguk.

Sekitar satu jam, Elsa hanya berbaring tanpa melakukan kegiatan apa pun. Ia juga tak tertarik melihat media sosial. Akhirnya, Elsa memutuskan untuk keluar saja. Elsa berjalan ke arah pintu keluar untuk melihat keberadaan Dygta.

Dygta duduk di tepi kolam berenang dengan mata menatap ke dalam air. Di meja sebelahnya terdapat dua plastik berlogo makanan. Ia tak menyadari kehadiran Elsa.

"Dygta."

Dygta hanya bergeming.

Elsa menyentuh pundak lelaki itu sekaligus memanggil namanya. Pemuda itu tiba-tiba menarik tangan Elsa dan menjatuhkan Elsa ke pangkuannya.

"Kenapa hobi sekali, sih?" kesal gadis itu.

Dygta menatap mata Elsa dalam-dalam. "Pernikahan kita tanggal satu Juli, ya."

"Itu kurang dari sebulan lagi, Dyg!" tolak Elsa.

"Nggak masalah. Aku mau segera memiliki kamu seutuhnya."

Elsa dikejutkan oleh sebuah ciuman. Ciuman pertamanya yang akhirnya hilang.

❄️❄️❄️


Bersambung ....

Muba, 7 Agustus 2024

2081 kata

Yang lupa koment inline, ketik di sini aja, yaa. 🌻🌻🌻

Sampai jumpa besok malam. Makasih sudah mengikuti sampai part ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro