Wanita
Tiara memegang tasbih sambil melafalkan lantunan zikir, berharap apa yang terjadi semuanya akan baik-baik saja. Berharap apa yang dia takutkan tidak terjadi. Perempuan berumur dua puluh enam tahun itu sesekali melihat sekeliling ruangan sembari menghela napas dalam-dalam. Dia tidak percaya bahwa dia bisa sampai ke titik saat ini. Rasa aneh, gugup, takut, bahagia dan takjub masih sering kali menghinggapinya. Air matanya tanpa terasa keluar dengan sendirinya.
"Sudah makan?" seorang pria berkoko putih dengan peci menghiasi kepalanya layaknya orang yang pulang dari masjid. Raut wajahnya menunjukkan sama gugupnya dengan Tiara. Aulia, pria itu, sudah mencoba untuk menutupinya, tapi sayangnya sekuat apa pun dia mencoba, tetap saja tidak bisa. Aulia meletakkan pecinya pada nakas di samping tempat Tiara berbaring.
"Nggak nafsu makan, Mas." Tiara meringis tanda sakit ketika badannya bergerak walau hanya sedikit. Tasbih masih berada di genggamannya saat rasa sakit menghampirinya. Peluh di kening semakin banyak, hingga udara yang dikeluarkan AC pun tidak mampu mengeringkannya.
"Ssshhh ... sakit, Mas," ucap Tiara sambil menggigit bibir bawahnya, berharap dapat mengurangi rasa sakit itu. Namun sayang, rasa itu tidak berkurang sedikitpun. Tiara menghela napas dalam lalu dikeluarkan dengan perlahan. Dia mengulangi itu sampai dirasa cukup bisa ditolerin.
"Sabar, ya, Sayang. Mas juga nggak tega lihat kamu kayak gini." Aulia memberi semangat istrinya dengan menggenggam tangan Tiara yang kosong. Meremasnya seakan dapat menyalurkan rasa sakit yang dirasakan Tiara padanya. Jika boleh memilih, Aulia akan dengan senang hati menggantikan posisi istrinya tersebut. Namun, kondratnya sebagai seorang Pria tidak bisa mendukung niatnya itu.
"Sudah bukaan berapa?" Aulia mengambil tissue yang ada di nakas, mengusapkannya pada kening istrinya yang semakin berkeringat. Setelah peluh itu hilang, Aulia membuang tissu dan mengambil beberapa brosur yang memang diletakan di tiap nakas untuk mengipasi istrinya. Dibanding gugup, sepertinya Aulia lebih merasa takut. Takut kehilangan Tiara-nya, takut kehilangan buah cintanya yang sebentar lagi akan hadir ke dunia. Pria berkumis tipi situ tidak pernah merasakan perasaan sekalut ini. pertama kalinya, di umurnya yang ke dua puluh tujuh tahun, dia dihadapkan pada perasaan dan situasi yang sangat asing bagi dirinya. Saat di Masjid, dia berdoa dengan Tuhan dengan kusyuk. Memohon padaNya untuk diperlancar segalanya tanpa kurang suatu apa pun.
"Baru bukaan lima, Mas, tapi sakitnya masya Allah. Nggak kuat, Mas." Lelehan air benih mengucur keluar dari mata Tiara. Tasbih yang sedari tadi digenggamnya sudah terjatuh tanpa dia sadari. Tiara memegangi perutnya yang membucit besar sambil meringis. Aulia meletakkan tangannya di atas tangan Tiara yang sedang memegangi perut, dia mengusap pelan sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur'an yang ditujukan untuk memperlancar persalinan. Aulia mengulangi berkali-kali. Tangannya yang menganggur, digunakan untuk menekan tombol panggil suster. Beberapa saat kemudian, satu orang suster masuk untuk mengecek kondisi Tiara.
"Pak, Istrinya sudah masuk bukaan kedelapan. Sudah saatnya masuk ruang bersalin. Sebentar saya panggilkan Dokter." Jatung Tiara berpacu dengan cepat. Dia tidak menyangka sebentar lagi akan menjalani proses yang mebuatnya menjadi wanita seutuhnya. Sebentar lagi, yah sebentar lagi, Nak. Bunda akan berjuang demi kamu. Bunda akan menyerahkan hidup dan mati Bunda demi kamu, Anakku Sayang, ucap Tiara dalam hati dengan mengusap perutnya.
"Mas, sakit banget, Mas. Aku takut." Jika boleh jujur, Auliya sama takutnya dengan Tiara, tapi dia tidak mungkin ikut takut di saat istrinya butuh kekuatan darinya. Beberapa saat kemudian, dokter masuk dengan berbagai peralatan untuk mengecek kesiapan kondisi Tiara. Seletah dirasanya normal dan siap, dokter memerintahkan suster untuk memindahkan Tiara ke dalam ruang bersalin.
"Mas, panggilin Mama," pinta Tiara saat sudah beberapa saat di ruang bersalin. Auliya keluar ruangan, detik selanjutnya seorang wanita setengah baya masuk ke dalam, menghampiri Tiara yang sedang mengiris kesakitan.
"Ma, maafin Tiara kalau Tiara sering jadi anak pembangkang, maafin Tiara sering nggak nurut sama Mama, maafin Tiara udah sering ngerepotin mama, bikin mama susah, bikin mama sedih. Maafin semua kesalahan Tiara, ya, Ma? Tiara sayang banget sama Mama. Terima kasih sudah memperjuangkan Tiara untuk melihat indahnya dunia, terima kasih sudah mempertaruhkan hidup Mama demi melahirkan Tiara. Doain Tiara biar bisa jadi kayak Mama, doain Tiara biar bisa melihat anak Tiara, doain semuanya lancar, ya, Ma? Tiara sayang Mama, banget." Air mata kedua wanita beda generasi itu meleleh dengan hebatnya. Nurul Cahaya, Mama Tiara tak kuasa menahan tangis haru kala anaknya mengakui dirinya sebagai Mama.
"Iya, Nak, tanpa kamu minta pun Mama selalu senantianya doain kamu. Jangan berpikir macam-macam, berdoa sama Allah biar diperlancar segalanya. Mama selalu di sini, berdiri di samping kamu saat kamu membutuhkan Mama. Insya Allah, kamu juga akan menjadi seperti Mama, bahkan mungkin lebih hebat. Yang semangat, yang tawakal, banyak berdoa, ya, Nak?" Nurul Cahaya atau sering disebut Aya memberikan pelukan hangatnya sebagai seorang Mama, memberi kekuatan lewat pelukan itu sampai suster memberitahu bahwa Aya harus keluar dan digantikan oleh Auliya karena proses bersalin akan dimulai.
***
"Selamat Ibu Auliya, telah lahir dengan sehat seorang bayi yang tampan." Tiara memejamkan matanya. Napasnya tersenggal-senggal setelah menempuh proses yang menegangkan dan menyakitkan tapi mampu membuat hatinya bahagia tiada tara. Bayi yang masih berlumur darah itu didekatkannya pada Tiara karena harus diberikan ASI untuk pertama kalinya. Dengan gemetar, Tiara memegang bayi tampannya yang berbaring di atas dadanya dengan haru. Air matanya meleleh keluar tanpa bisa dicegah. Dia sudah lengkap. Dia sudah menjadi wanita seutuhnya. Tiara sudah menjadi anak yang tumbuh dengan baik, dipinang Auliya menjadi istri yang teladan, hingga menjadi Bunda yang diharapkan Tiara bisa diandalkan.
Begitu beratnya yang dilalui Tiara dan wanita-wanita di dunia ini. Mereka mengandung sembilan bulan lebih. Membawa beban yang tidak ringan ke mana pun dia melangkah. Pengaruh calon bayi yang kadang membuat tubuh lemas bahkan harus bed rest. Belum lagi ketika persalinan di depan mata, tidak sedikit wanita yang tidak dapat memperjuangkan anaknya untuk keluar melihat dunia, bahkan di antaranya telah meninggal sebelum bisa berjuang. Sungguh berat tugas seorang wanita. Hargailah setiap wanita di muka bumi ini. Perlakukan mereka dengan adil. Jangan sakiti dia. Wanita mana yang ingin disakiti? wanita ada untuk dicintai.
"Jadilah, anak yang sholeh, ya, Arkan, anakku yang Bunda dan Ayah Sayang."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro