Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Semesta Bernama Nan

Hal yang paling menyusahkan di hidup orang dewasa adalah ketika mulai menyatukan hidup bersama dengan orang lain. Mereka menyebutnya dengan nama pernikahan. Sebuah bentuk ikatan institusi agama yang memberikan sebuah legalitas untuk dua orang menyelenggarakan sebuah hubungan. Yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Nan bukan tidak menyukai konsep pernikahannya. Bukan juga tidak menyukai berbagi hidup selamanya dengan Kak Tio.

Tapi Nan sangat terganggu dengan segala persiapan pesta pernikahannya yang sangat menyita waktunya dan kewarasannya.

Nan adalah seorang sanguin dan perfeksionis sejati. Ia adalah tipe tukang atur yang memikirkan sesuatu hingga ke detail paling kecil. Namun, Nan juga memiliki kecenderungan ekstrim di mana ketika apa yang ia rencanakan tidak sesuai dengan apa yang ia ekspektasikan ia tidak akan seantusias pertama kali ketika memulainya.

Sikap Nan yang seperti itu sudah sangat disadari oleh Kak Tio. Maka dengan segala antisipasi, Kak Tio pun memutuskan untuk menggunakan jasa Wedding Planner dan Organizer untuk membantu dirinya menyiapkan segala hal dalam pernikahannya.

Namun, yang Kak Tio lupa adalah Nan adalah seorang pencipta drama nomor satu. Niat untuk membuat sesuatu menjadi lebih mudah dan praktis di kepala Nan berubah menjadi semacam pengasingan yang tidak melibatkan dirinya dalam persiapan pernikahan dirinya sendiri.

Nan menjadi sering marah-marah pada Kak Tio, teman-temannya dan tentu saja pada Kirana.

Seperti di Minggu Sore ini ketika Kirana lupa membangunkan Nan untuk mengambil contoh cetakan undangannya, maka dengan segenap kemarahan yang bisa dimiliki oleh satu orang perempuan drama dalam masa persiapan pernikahannya, Nan selama satu jam tidak berhenti mengomel-ngomel pada Kirana.

Sampai Kirana merasa bernafas pun kini di depan Nan adalah sebuah kesalahan dan memancingnya untuk murka.

"Nan, gue rasa elo harus ngomong sama Kak Tio deh. Gue udah enggak kuat jadi pelarian marah-marah elo hanya karena Kak Tio enggak bisa nganterin elo ngambil cetakan undangan."

"Ya harusnya dia peka dong. Ini kan pernikahan yang cuma sekali aja. Harusnya dia lebih concern akan hal itu," kata Nan masih dengan penuh emosi.

Nan dan Kirana sedang di mobil dalam perjalanan menuju pasar Tebet. Jarak Cibinong dan Tebet dalam waktu senggang sebenarnya hanya berjarak satu jam. Namun, karena ini adalah Nan yang penuh dengan emosi, tiba-tiba saja mereka sudah sampai di sana dalam waktu tiga puluh menit saja. Namun cukup membuat Kirana ketakutan di dalam mobil sambil tiada henti komat-komit berdoa akan keselamatannya.

"ASTAGA! Ya, karena dia concern makanya dia hire WO!" jerit Kirana frustasi.

"Ya, jangan salahin gue dong. Yang namanya menyiapkan pernikahan itu sudah seharusnya dua arah. Harusnya ada dua orang yang saling bahu membahu untuk menciptakan konsep dan perayaan pernikahan yang mereka mau."

"Paham gue. Paham. Tapi Kak Tio juga tahu kalau misalkan elo yang nyiapain dan ngerencanain semuanya elo bakal keteteran sama kerjaan kantor dan elo akan ribet sendiri sama perintilan yang bikin elo bete sendiri dan terjadilah yang namanya MOOD SWING NAN dan itu semua bakal ruin everything. Ngerti enggak sih elo?"

"Ya itu kan seninya menyiapkan sesuatu. Ketika ada emosi yang terlibat, perih yang dijalanin bareng-bareng dan akhirnya malah menguatkan komunikasi yang ada jadi lebih baik lagi."

"No... No... No... Untuk kali ini elo salah. Elo cuma meromantisasi semuanya. Karena pada kenyataannya hal sesepele Kak Tio enggak jadi nganterin elo ngambil undangan aja elo bisa bete banget kayak gini. Itu cuma defense elo karena Kak Tio enggak buat elo jadi yang in charge di pernikahan ini."

"Yang mana pernikahan gue juga."

"Dan pernikahan Kak Tio juga. Sederhananya, mending sekarang kita langsung ngambil undangannya dan langsung ambil cetakan foto tunangan kemarin terus pulang. Inget! Besok Senin. Kurang serem apa coba."

Nan pun menurut. Kirana dan Nan menuju lantai bawah. Tempat di mana semua percetakan undangan pernikahan berjualan di sana. Nan menuju kios yang ia sudah hafal. Bentuk kiosnya tidak jauh berbeda dengan kios-kios di sampingnya.

Namun, pemiliknya lah yang membedakannya.

Laki-laki berambut gimbal yang sedang sibuk dengan komputernya menyapa Nan dengan senyuman.

Nan mendekat dan memeluk laki-laki gimbal tersebut. Kemudian mereka berbincang tentang menanyakan kabar Kak Tio dan persiapan pernikahan Nan. Nan menjawab dengan dengusan dan mulai mengeluh akan kesibukan Kak Tio. Yang dijawab dengan senyuman kecil dari laki-laki berambut gimbal panjang tersebut.

Melihat dari gesturnya yang menenangkan Kirana bisa melihat bahwa ini kali pertama ia menghadapi calon pengantin yang mengeluhkan pasangan di hadapannya.

Lalu tiba-tiba Nan menarik tangan Kirana untuk ikut mendekat.

"Kirana kamu enggak inget Mas Bagas? Teman kakak pas SMA dulu yang sering main ke rumah."

Kirana terlihat kaget dan buru-buru bersalaman dengan sedikit malu-malu. Ia samar-samar ingat dengan Mas Bagas tapi tidak dengan rambut gimbal panjangnya seperti sekarang. Mas Bagas langsung melemparkan senyuman sambil bergumam betapa cepat waktu berlalu dan Kirana sudah sebesar seperti sekarang.

"Dulu waktu gue masih main ke rumah kira-kira Kirana masih balita ya? Sepertinya gue inget kalau kita sedang nonton di ruang tamu, Kirana nempel di situ terus elo pangku dan cium-cium. Tapi mata dia cuma terpaku ngeliatin ke layar televisi. Dari kecil dia sudah tertarik untuk nonton film. Padahal saat itu yang kita tonton adalah film-film Tarantino yang berdarah-darah."

Nan dan Mas Bagas terlihat tertawa satu sama lain mengingat kisah-kisah masa lalu yang tiba-tiba mampir di kepala mereka.

"Sekarang sih sudah enggak mau dicium-cium lagi. Sudah ABG."

Kirana ikut tertawa malu melihat Mas Bagas yang tiba-tiba saja mengacak-ngacak rambutnya.

"Kelas berapa memang Kirana sekarang?"

"Baru masuk SMA, kak."

"Hati-hati dengan cowok-cowok di SMA. Genit-genit. Sekalinya kena rayuan bisa kayak Nan. Ngejar-ngejar Tio sampai sekarang."

Nan langsung memukul bahu Mas Bagas.

"Enak aja. Tio tuh yang ngejar-ngejar gue."

"Iya sih, dulu Tio secinta itu sama elo, sampai gue harus rela jadi supir dia cuma buat nganterin ke rumah elo buat main gitar nembak elo. Aduh, norak-norak banget kalau diinget-inget lagi."

Mereka berdua tertawa geli saat mulai mengingat detail-detail norak kisah romansa saat mereka muda dulu.

Kirana ingat masa-masa itu. Ketika Kak Tio setiap malam minggu begitu rajin datang ke rumah. Dan saat pagi hari ketika Kirana baru bangun dan bergegas mencari Ibu yang sudah entah kemana, Kirana menuju sofa di ruang tamu dan kembali tidur-tiduran di sana. Sesekali di Minggu pagi ia masih bisa membaui wangi parfum Kak Tio yang tertinggal di sana. Kirana sering berlama-lama tidur di sana, wangi melati dan musk yang bercampur dengan segar sangat memanjakan hidung Kirana saat itu.

Kirana pun masih ingat tiap malam Nan akan masuk ke kamar dengan tersipu-sipu setiap kali Kak Tio pulang. Atau ketika mereka bertengkar Nan akan membiarkan Kak Tio menunggu di luar rumah sampai semalaman. Tapi, Nan selalu pada akhirnya akan keluar juga sambil memberikan secangkir teh hangat dan mereka akan tersenyum satu sama lain kembali.

Kisah Nan dan Kak Tio adalah cerita cinta pertama dalam hidup Nan yang tidak mungkin ia lupakan.

"Jadi, sample cetakannya aman ya?" tanya Mas Bagas dengan hati-hati.

Nan menyentuhnya dengan seksama. Meraba tiap detail kertas dengan ukiran yang terpotong rapi. Kirana menatap raut wajah Nan. Ada rasa keterkejutan dan tidak percaya di sana ketika melihat namanya dan Kak Tio bersandingan dalam sebuah design undangan pernikahan.

"Gue suka banget." Nan tidak henti memeluk lembaran undangan di tangannya. Seakan kemarahan yang di mobil tadi menyerang Nan kini mendadak sirna.

"Ini undangan terbagus yang pernah gue lihat. Karena ada muka gue yang lagi cakep banget di sini," cengir Nan tidak henti.

"Iya, foto black and white-nya bagus deh. Siapa yang foto?"

"Lah ini sih fotonya Kirana."

"Kamu punya mata yang bagus, Kirana."

Kirana mengangguk mengucapkan terima kasih. Baru kali ini ia mendengar Nan mendukung hobi fotografinya.

"Gas, elo yakin ini elo ngasih potongan lima puluh persen ke gue buat cetak undangan? Enggak enak nih gue."

"Santai. Kayak ke siapa aja deh lo."

"Enggak.. Enggak gue harus ngasih elo lebihan karena memang cetakan elo kece banget. Gue ke ATM dulu. Jangan pakai nolak pokoknya. Titip Kirana sebentar ya."

Mas Bagas kembali sibuk menatap layar komputernya yang sudah dipenuhi dengan layer photoshop.

"Aku boleh lihat-lihat cetakan yang lain, Mas Bagas?"

"Boleh dong."

Kirana mengamati satu persatu tumpukan undangan berwarna-warni di depannya. Nama-nama mereka yang tertera di sana dengan sampul yang begitu indah. Kirana tidak dapat membayangkan bagaimana orang-orang dewasa ini melalui drama yang sama dengan yang dialami Nan. Dan bagaimana Mas Bagas menangani mereka satu persatu.

"Mas Bagas kadang suka sebel enggak sih sama kliennya?"

"Kadang sih. Apalagi kalau sama yang enggak tahu mereka maunya apa, tapi pas dikasih design eh malah bete sendiri dan marah-marah. Tapi, biasalah mereka. Semua yang pengen nikah pasti pengennya yang terbaik. Kan nikah cuma sekali seumur hidup."

"Iya sih, tapi kan enggak ada yang maksa mereka juga untuk nikah ribet-ribet."

"Ada kok."

"Siapa?
"Omongan orang."

Kirana dan Mas Bagas tidak dapat tidak tertawa membayangkan mulut-mulut orang lain yang melihat sebuah pernikahan yang begitu sederhana dan sedikit orang saja dan dirayakan rumah makan Padang.

"Kamu sudah punya pacar Kirana?"

"Belum lah, Mas."

"Tapi, sudah ada yang kamu suka?"

Kirana terdiam di sana.

"Kok diem?"

"Haha. Enggak tau ada apa enggak. Semuanya sama aja ah. Teman-teman juga di mata aku."

"Tapi, pasti ada yang spesial dong. Yang suka memberikan perhatian paling lebih buat kamu. Atau seseorang yang bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri."

"Oh, kalau itu sih ada."

"Siapa?"

"Mang Hardi tukang ketoprak di Sekolah. Sering ngasih aku tambahan tahu goreng. Perhatian banget dan suka bikin aku happy."

"Bisa aja kamu. Tapi, kamu harus hati-hati dengan cinta yang kamu dapat saat SMA nanti. Once you have it, you won't forget it. Yang pertama akan selalu jadi yang paling diingat. Bukan karena itu yang terbaik. Tapi, karena yang pertama membekas dengan cerita ia sendiri. Ia yang akan memberikan standar terhadap cinta-cinta kamu berikutnya."

Kirana mengangguk pelan, mencoba memproses kata-kata Mas Bagas yang kini menempel di kepalanya.

Tak lama Nan kemudian datang memberikan lembaran uang dan kue ke Mas Bagas yang diterima dengan suka cita.

"Gue masih inget kesukaan elo. Kue putu ayu. Nanti di pernikahan gue elo bisa makan kue putu ayu sepuasnya. Nyokap yang bikin."

"Mantap! Favorit gue!"

"Gue balik ya. Mau ngambil cetakan foto dulu. Ingat, jangan lupa datang ke pernikahan gue. Awas sampai muka elo enggak gue lihat, besoknya gue bakar rambut gimbal elo sama ruko ini," tutup Nan sambil tersenyum simpul semanis mungkin.

---

Tangan Nan tiada henti membulak-balikkan lembaran kertas foto di tangannya. Senyum di wajahnya seakan menempel erat di sana.

"Bagus-bagus deh fotonya. Suka. Kalau begini daripada bayar mahal-mahal fotografer untuk prewedding. Mending elo yang foto ya nanti."

"Hah? Bagaimana?" Kirana terkejut mendengar perintah Nan.

"Pokoknya yang in charge untuk dokumentasi adalah elo."

Belum sempat Kirana berkata iya, Nan sudah pergi dengan senyum yang Kirana tidak tega untuk menghapusnya.

---

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro