Semakin Dekat, Semakin Deg-Degan
Jika beberapa manusia bergerak karena rasa takut. Baik itu karena takut telat, takut ketinggalan kereta, atau takut sendirian. Hari kedua Kirana bergerak karena rasa lapar. Setelah hari pertama yang kelewat drama dengan dihukum oleh panitia. Kirana bertekad untuk membuat hari kedua lebih lowkey dan tidak terburu-buru. Yang artinya ia akan memiliki waktu lebih untuk menyiapkan makanan.
Kirana dari semalam sudah berniat untuk membuat Roti Gulung Sosis Keju. Tidak hanya karena gampang namun juga cepat pembuatannya. Ia pun berniat untuk membuatkan Riri dan Agnes sekalian karena kebaikan mereka di hari pertama kemarin.
Kirana menyukai memasak sejak SD saat ia sering ditinggal di rumah bersama Neneknya. Kebetulan makanan-makanan yang diajarkan adalah makanan yang hanya membutuhkan waktu sebentar dengan bahan-bahan yang mudah. Nenek berpikir bahwa ini dibutuhkan Kirana untuk ngemil murah dibanding harus jajan di luar.
Yang Kirana suka dari memasak adalah momen di mana ia merasakan waktu berputar dengan begitu cepat dan Kirana hanya fokus pada bunyi minyak panas yang beradu dengan api dan penggorengannya. Kirana selalu suka menjadi penonton.
Sejak kecil menjadi anak bontot membuat Kirana merasa aman, karena semua orang akan menyiapkan segala sesuatunya untuk dirinya. Namun, seringkali Kirana merasa dirinya berjarak terlalu jauh dengan orang-orang di rumah. Mereka membantu namun kerap kali melupakan bertanya apa yang ia inginkan.
Saat Kirana sedang mengoleskan mayones, keju, dan sosis ke atas lapisan roti tiba-tiba terdengar suara bunyi handphone miliknya. Ia mengintip nama kontak yang muncul dari layar handphone. Dari Dita.
"Gue lagi masak Roti Gulung kesukaan lo nih."
"Mantap. Gue mampir dulu kali ya ke rumah lo. Elo berangkat jam berapa hari ini?"
"Nan masih tidur sih. Mungkin jam enam sharp kali ya."
Kirana melihat jam dinding, ia masih memiliki waktu tiga puluh menit lagi.
"Yah enggak keburu. Tapi gue masih bisa update beberapa hal tentang hari pertama gue."
"Elo enggak bakal percaya apa yang gue alamin!" Kirana dan Dita teriak secara bersamaan.
"Haha. Oke elo dulu," kata Kirana sambil melumurkan gulungan roti tersebut pada kocokan telur yang ditambahkan dengan tepung panir.
"Gue ketemu cowok cakep banget! Bukan kakak kelas sih. Tapi seru abis anaknya. Dan dia dulu satu sekolah sama kita. Kok bisa-bisanya gue enggak kenal ya?"
"Ya elo kan cuma kenal orang-orang yang sekelas aja."
"Masuk akal. Tapi, asli ya dia tuh kayak bisa ngebaca kepala gue. Dia sama kayak gue yang suka namatin Harry Potter setiap sebulan sekali. Dan gue sama dia punya internal joke sendiri, kita manggilin orang-orang lain dengan sebutan muggle. Seru ya."
"Hari pertama dan langsung bisa dapetin gebetan. Hebat ya anda. Tapi bosen enggak sih punya pasangan yang sama terus sama kita?"
"Ya enggak dong, jadi lebih nyambung lah."
"Enggak ada tantangannya aja menurut gue."
"Panjat tebing aja Mbak kalau kurang tantangan."
"Masuk akal."
"Terus apa yang terjadi sama elo di hari pertama?"
"Gue dilabrak sama kakak kelas. Enggak satu, tapi tiga orang."
"Okay, gue kalah. Hari pertama elo lebih seru."
---
Kirana sampai di kelas ketika masih belum ada siapa pun di sana. Bosan sendirian Kirana berjalan iseng berkeliling sekolah yang belum sempat ia nikmati. Ia baru menyadari bahwa sekolah ini dipenuhi dengan warna putih yang memberikan efek seperti rumah sakit. Dingin dan berjarak. Lapangan tempat ia dihukum kemarin pun terasa sesak karena terlalu berdekatan dengan parkir motor.
Singkatnya sekolah ini tidak lebih bagus dari foto-foto Nan saat ia masih SMA dulu. Tidak ada perubahan yang terlalu berarti. Kirana kemudian bergegas menuju perpustakaan di lantai dua. Nan selalu bercerita bahwa Kirana akan menyukai koleksi buku-buku perpustakaan di sekolahnya nanti.
Perpustakaan sudah buka namun Kirana belum melihat siapa pun ada di sana.
"Permisi," Kirana mengetuk pintu.
Tidak ada yang menyahut Kirana memberanikan diri untuk masuk. Dengan hati-hati ia menaruh sepatunya di pojokan tanda tempat sepatu ditaruh. Di sana ia dapat melihat satu sepasang sepatu lainnya. Saat masuk lebih dalam lagi Kirana dapat mendengar suara musik terdengar dari pojok perpustakaan.
"Halo, ada orang?" tanya Kirana sekali lagi.
"Yes." Tiba-tiba saja ada suara dari arah belakang Kirana.
"Randu?"
"Hai. Pagi amat datangnya."
"Sengaja. Biar enggak kena hukuman lagi. Ngapain di sini pagi-pagi?"
"Ngerencanain perampokan."
"Sendiri? Riri mana?"
"Riri tadi beli sarapan di belakang Sekolah."
Kirana teringat bekalnya yang ia bungkus plastik di dalam kantung roknya.
"Elo udah sarapan? Mau?" tanya Kirana sambil menyerahkan Roti Gulung Sosis Keju buatannya.
"Wah kebetulan sih, belum dua kali." Randu mengucapkan terima kasih seraya memakan dengan lahap Roti Gulung tersebut sambil tersenyum.
"Enak banget. Beli di mana?"
"Bikin sendiri."
"Serius? Besok bawa lagi dong."
"Bayar."
"Pelit."
"Anyway, penjaganya mana ya? Terus elo ngapain di sini?"
"Kakak gue yang jaga, sekolah di sini juga dan udah kelas tiga. Tadi dia lagi ke kamar mandi dulu. Sakit perut. Jadi gue sekalian aja nunggu di sini."
Kirana membentuk o panjang di mulutnya.
"Elo suka baca buku yang seperti apa?" tanya Randu sambil kembali duduk di depan televisi di pojok perpustakaan.
"Apa aja gue baca sih. Tapi, memang lebih suka buku-buku fiksi."
"Elo pasti jenis orang yang di dalam tasnya selalu ada buku bacaan ya?"
"Betul. Dari kecil sudah selalu seperti itu. Entah untuk dibaca atau hanya sebagai teman aja ketika bosan. Karena dengan baca buku tanpa kita enggak perlu capek packing baju dan enaknya bisa langsung jalan-jalan ke pikiran orang lain. Lebih seru dibanding bengong."
"Masuk akal." Randu menganggukkan kepalanya.
"Kalau elo? Buku apa yang elo suka?"
"Enggak terlalu banyak, tapi gue suka buku musik. Biography dan buku-buku how to dan 101 series gitu. Terkadang gue mempertanyakan beberapa hal."
"Seperti?"
"Kenapa perempuan sering berlagak misterius dengan masih tidak memberitahukan namanya."
Kirana tersenyum mendengarnya.
"Ya karena dia pengen aja. Gue enggak ngeliat ada yang salah dengan itu."
"Waktu kecil elo pasti tipe anak yang selalu ngebacain tulisan di sepanjang jalan kalau lagi di mobil ya? Berisik pasti."
"Tapi bacanya di dalam hati sih. Kok tau?"
"Karena cuma elo yang menaruh sepatu elo dengan benar di tempat sepatu. Biasanya yang lain enggak."
"Gue suka baca banyak tulisan-tulisan di jalan sebagai penanda bahwa gue pernah lewat di sana. Kalau misal tiba-tiba di mobil orang tua gue kelupaan sesuatu atau kelewat jalannya. Gue akan ngasih tau mereka kalau tempat tersebut persis yang ada tulisan sesuatu. Memang jarang berhasil sih. Karena dalam satu jalan terkadang ada dua tulisan yang sama," ujar Kirana seraya menyandarkan tubuhnya di tembok. Dari tempatnya sekarang Kirana dapat melihat mata coklat Randu yang tertimpah cahaya matahari.
"Kalau gue waktu kecil senang menghitung berapa banyak langkah yang gue buat dari dalam rumah sampai suatu tempat. Lalu ketika pulang gue akan menghitung ulang langkah tersebut. Dan kalau hitungannya salah, gue akan mengulang dari awal. Capek sih, tapi memuaskan."
"Kita dulu dua anak kecil yang aneh ya?" tawa Kirana.
"Dan anak kecil yang suka membaca tulisan di jalan itu bernama?"
"Kirana. Nama anak kecil itu bernama Kirana."
Ada senyum yang muncul dari mereka berdua setelahnya yang mungkin dengan makna yang kurang lebih sama.
Randu dan Kirana pun kini telah resmi berkenalan.
---
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro