Mi Familia
Sendok itu pasti akan menimpa mangkuk dengan kasar dan memuncratkan isinya ke seluruh bajunya dan tidak sampai lima menit semua orang, setidaknya tiga orang dalam ruangan akan berteriak panik.
Kirana, perempuan dengan potongan rambut pendek seperti Velma Dinkley di kartun Scooby Doo, di pojok sana mulai menghitung mundur.
Satu
Dua
Tiga
BRUK!
Benar saja, dengan kasar sendok plastik itu pun meluncur cepat ke arah mangkuk dan berkali-kali dipukul ke enceran biskuit yang kelewat lunak secara brutal dan tidak sabaran.
Mangkuk plastik tidak berdosa itu tentu saja meronta kesakitan dan memuntahkan isinya ke baju dan muka si pemukul. Lalu satu tangisan besar yang tidak diprediksi siapa pun mulai menarik perhatian orang-orang dewasa di dalam ruangan yang sedari tadi sibuk dengan kecemasan mereka masing-masing.
"KIRANA!" desis Nan tidak sabaran.
Nan adalah Kakak Kirana. Bola mata dan raut mukanya yang panik tentu saja adalah perintah yang tidak bisa Kirana bantah.
Seperti sudah membaca arahnya, Kirana kemudian bangkit dari tempat duduknya dan menandai dengan cepat halaman buku yang belum selesai ia baca lalu menghampiri meja makan tempat kejadian perkara.
Dengan hati-hati ia menenangkan si pembuat onar itu dengan menggendongnya secara perlahan, Kirana tahu makhluk kecil di tangannya bisa meledak kapan saja.
Lalu dengan halus ia hapus bekas kotoran di wajah dan baju bayi tersebut dan bergegas menuju taman di luar rumah. Clear zone, sebutan Kirana untuk daerah tanpa orang-orang dewasa yang biasa menyuruh-nyuruhnya sepanjang waktu.
Thank you for saving me. Bisik Kirana pada bayi tersebut lalu menghadiahinya dengan ciuman di kedua pipi gembil tersebut yang sudah lengket dengan bau biskuit.
Dengan menggemaskan bayi itu pun tersenyum kecil ke arah Kirana lalu menempelkan jempol basahnya ke wajah Kirana. Tawa mereka berdua pun langsung berhamburan.
Tidak berapa lama dari dalam terdengar langkah sepatu hak yang beradu dengan ubin rumah. Kirana menoleh ke arah belakangnya, terlihat Mamahnya yang sedang sibuk dengan handphone di tangannya.
"Kamu jaga Juno dulu ya sebentar. Jangan sampai nangis lagi. Enggak sampai sejam acaranya beres kok."
Tanpa merasa perlu menunggu jawaban Kirana, Mamahnya langsung masuk kembali ke dalam rumah meninggalkan Kirana dalam kedamaian yang selama seminggu ini ia cari. Kirana menghembuskan nafasnya lega.
Bagaimana tidak, rumahnya yang memang dari awal sudah ramai kini terasa dua kali lebih penuh dengan banyaknya pernah-pernik persiapan lamaran Nan beserta drama dan ketegangan di dalamnya.
Untuk bernafas tanpa kena omelan dan perintah sana sini untuk mengangkat barang ataupun membungkus sesuatu saja sudah Kirana anggap sebagai kemewahan tersendiri.
Maka di momen langka tanpa siapa pun yang memanggil namanya, ingin sekali ia rayakan dalam ketenangan sambil melanjutkan membaca buku berjudul Animal Farm yang belum sempat ia tuntaskan. Meskipun beberapa kali ia harus berkompromi dengan tambahan sedikit air liur Juno yang menetes ke mana-mana.
Sialnya, belum sempat Kirana menyelesaikan khayalannya, tiba-tiba sebuah suara dengan notasi tinggi memanggil dirinya.
"KIRANA! Fotoin dulu dong sebentar!"
Nan memanggilnya. Kirana memutar bola matanya sebal, namun toh ia tetap masuk ke dalam rumah juga.
Ia titipkan Juno ke Neneknya lalu mengambil kamera dan mulai memotret ke sana sini sesuai instruksi Nan yang awalnya katanya hanya sebentar saja namun nyatanya telah memakan seperempat memori kamera dan satu jam waktunya.
Bayangan untuk menamatkan lembaran-lembaran buku dengan damai pun perlahan melambung jauh meninggalkan Kirana.
---
"Besok hari pertama kamu masuk sekolah?"
Kirana mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya, Juno tengah terlelap digendongan Kirana.
Setelah seharian sibuk dengan acara lamaran Nan, orang-orang seisi rumah duduk bersama-sama di meja makan dengan wajah letih mereka masing-masing.
Ayah Kirana berada di ujung meja makan dengan beberapa kancing kemeja batik yang terbuka karena kegerahan. Ayah Kirana adalah tipikal Bapak-bapak Sunda dengan kumis lebat yang melingkar lucu di wajahnya. Dengan bentuk badannya yang tinggi disertai perut yang besar tidak heran mengapa badan Ayahnya sering kegerahan.
Lalu di samping Kirana duduk Mamahnya yang telah melepas kerudungnya, namun tangan dan tatapannya tetap terpaku pada handphonenya.
Sejak Mamah Kirana mengenal social media dan kembali terkoneksi dengan teman-temannya semasa kecil sampai SMA dulu, pesan di grup Whatsapp-nya tidak pernah berhenti berbunyi. Bahkan bisa dibilang keaktifan Mamah Kirana di social media melebihi anak-anaknya.
Di rumah Kirana tinggal juga Nenek Yuan (Ibu dari Ayah Kirana) dan Tante Mar (Adik dari Ayah Kirana yang juga Ibu dari Juno) tapi sekarang mereka berdua telah izin untuk masuk kamar tidur lebih dulu karena energinya telah habis dan kewalahan sejak seminggu terakhir ini. Mereka berdua tidak berhenti membantu mengatur makanan dan memasak untuk acara lamaran Nan.
Dan di depan Kirana, bintang utamanya, Nan dan Kak Tio (calon suami Nan) yang ikut berkumpul menunjukkan ekspresi wajah dengan kantung mata yang seolah mengatakan bahwa mereka membutuhkan galonan kafein dan jam tidur panjang selama seminggu penuh tanpa diganggu.
"Well, besok hari pertama kamu sebagai anak SMA?" tanya Kak Tio dengan semangatnya yang tersisa.
"Kurang lebih, meskipun besok masih pakai seragam SMP."
"SMA bakal seru banget loh! I mean, it's high school, it's the most favorite time," ucap Kak Tio sambil mengedipkan mata ke arah Kirana.
Kirana mengangkat bahunya malas. Ia sudah bosan dengan celotehan orang-orang tentang dongeng masa SMA mereka dan beranggapan bahwa Kirana akan mengalami hal yang sama juga. Sayangnya ada perbedaan besar yang membuat Kirana kurang setuju dengan teori mereka semua.
"Kirana enggak sesenang yang kamu pikir lagi, sayang. Dia masih bermimpi bersekolah di Bogor dan bukan lempar tas ke sekolah di sampingnya yang masih di Cibinong. Kota yang sama sejak dia lahir," ejek Nan sambil menghapus makeup di wajahnya.
"Bogor memang seru sih. Banyak petualangan di sana."
"SEE!" pekik Kirana menunjuk Kak Tio mencari pembenaran. "Kalau aku sekolah di Bogor pasti peluang untuk bisa masuk Universitas Negeri nanti pun lebih besar," sindir Kirana.
Mendengar ucapan Kirana, Nan segera menghentikan aktivitas menghapus makeup-nya yang entah sudah sampai beberapa lapis.
"Kirana, listen to me. We've already talked about this for million times dan kita sepakat bahwa; Pertama, dengan sekolah di Cibinong kamu akan lebih dekat dengan rumah jadi kamu enggak perlu membuang energi kamu secara cuma-cuma dengan macet-macetan dari Bogor. Kedua, mau sekolah di mana pun semua keberhasilan akademik tergantung sama kamu sendiri, BUKAN di mana sekolahnya. Ketiga, nilai kamu memang enggak cukup buat masuk SMA negeri di Bogor. So, wake up and just live with it!" tukas Nan yang diikuti teriakan kecil darinya saat menarik bulu mata buatan yang menempel terlalu keras di wajahnya.
"Tapi, sebenarnya kemarin masih bisa masuk dengan jalur prestasi kok kalau mau dicoba dulu," kata Kirana membela diri.
"Just a second, let me remind you, kamu tahu kan hari tes tersebut adalah hari yang sama dengan hari terakhir pendaftaran SMA kamu yang di Cibinong ini? Kalau kamu telat daftar dan tes yang di sekolah Bogor juga masih belum tahu keterima atau enggak itu kan bisa bahaya banget," sanggah Nan bersikeras.
Kirana menghembuskan nafasnya sebal. Ia sudah malas untuk berdebat dengan Nan yang tidak mau mendengar argumen apa pun darinya.
Dalam keluarga, Nan bertindak bak Kapten yang mengatur apa pun di rumah. Kirana awalnya berfikir mungkin ini adalah faktor karena Nan anak pertama yang membuat dirinya merasa harus menjaga kestabilan dan keharmonisan keluarga setelah Ayah mereka pensiun.
Tapi, lama kelamaan Kirana memperhatikan bahwa apa pun yang Nan putuskan selama ini selalu saja berakhir dengan perdebatan dan teriakan panjang di dalam rumah. Jauh dari kata harmonis sama sekali. Dan tentu saja teriakan paling lantang berasal dari mulut Nan.
Contohnya adalah pilihan sekolah Kirana ini. Dari awal Kirana sudah menyampaikan keinginannya untuk bersekolah di Bogor bersama teman-teman SMPnya. Namun, dengan segala pertimbangan dan perhitungan Nan yang tidak melibatkan Kirana sama sekali, membuat Kirana harus mengubur dalam-dalam impiannya tersebut.
"Lagipula paling kamu di Bogor cuma mau pacaran dan main aja kan? Alasan untuk pulang malam dan bolos sekolah buat nongkrong," sindiri Nan yang masih sibuk menarik bulu mata palsunya dengan susah payah.
"Don't project your past towards me, Nan! You know I won't do that because I ALWAYS HAVE you as a party pooper. And please use baby oil buat narik bulu matanya, it is so much easier with that."
Nan menuruti saran Kirana dan mengoleskan baby oil di kapas dan menyapukannya di bulu mata palsunya. Ajaibnya, tanpa paksaan berlebih Nan dapat menarik bulu mata palsunya tanpa harus kesakitan.
"Believe me, I know what you'll deal with when I was your age. You are supposedly thanking to me. Ini disebut tindakan preventif. Pencegahan sebelum terlambat."
Kirana memutar bola matanya kesal.
"No! You are over analyzed everything! FYI, sekarang absen sekolah sudah pakai finger print yang meminimalisir murid-murid untuk bolos dan kalau pulang malam please deh sudah ada ojek online for God's sake!"
"Too late, egg roll. Tomorrow is your first day, eat that!"
Egg roll adalah panggilan Nan untuk Kirana sejak kecil. Karena jidat Kirana yang terlalu lebar dan mengingatkan Nan akan makanan tersebut.
"Apa sih ini kok bawa-bawa egg roll segala. Kirana kamu belum boleh pacaran dulu!"
Mamah Kirana akhirnya menurunkan pandangan dari handphone-nya dan menatap Kirana tanpa minta disanggah.
"Wait, what?" Kirana berteriak sebal. Nan tersenyum girang dari tempat duduknya. Sedang Kak Tio berusaha untuk tidak ikut terlibat di dalam perdebatan orang-orang yang akan menjadi keluarganya nanti.
"Ikuti kata kakakmu, Na. Dia dulu berprestasi waktu SMA dulu dan sudah lebih dulu merasakan kehidupan SMA. Sekarang lebih baik kita makan malam bareng dulu. Otak lancar kalau perut kenyang," ucap Ayah Kirana menutup debat tersebut.
"Whatever!"
Kirana bangkit dari tempat duduknya.
"Don't whatever me, young lady. Mau ke mana kamu?" tanya Ayahnya yang masih mengipas-ngipas kegerahan.
"Nidurin Juno di kamar Tante Mar."
Padahal yang Kirana inginkan hanyalah pergi jauh-jauh dari meja makan dan menghindari tambahan peraturan-peraturan aneh yang akan Nan dan orangtuanya berikan padanya.
Enggak pacaran pas SMA? Hell, NO! Jerit Kirana.
Dalam hati tentu saja.
---
"Orang-orang di rumah gue makin aneh deh, Ndut. Sudahlah maksa gue untuk sekolah di tempat yang gue enggak mau, sekarang mereka nambahin policy buat gue untuk enggak pacaran. Kakak gue kebangetan deh kompornya," keluh Kirana lewat telepon.
Di dalam kamarnya, kaki Kirana tengah menempel di dinding tempat tidurnya dengan posisi badan yang terbalik. Ia sedang melaporkan kejadian yang ia alamai hari ini ke sahabatnya sejak SMP dulu. Namanya Dita. Ndut adalah panggilan sayang Kirana untuk Dita.
Dita adalah gadis berkepang dua dengan alis tebal dan bola mata bulat yang lucu. Kirana selalu tertawa jika bersama Dita. Karena Dita selalu memiliki hal-hal yang membuat suasana menjadi menyenangkan. Sayangnya, kini mereka berdua terpisah karena Dita berhasil masuk sekolah di Bogor dan Kirana masih terjebak di Cibinong.
"Tapi, beberapa argumen kakak elo ada benarnya juga sih, Ting." Ting adalah singkatan dari keriting. Rambut Kirana yang dulu panjang dan keriting yang menjadi inspirasi panggilan tersebut.
"Elo kan jadi enggak perlu repot bangun pagi buat sekolah. Waktu SMP aja yang jaraknya cuma lima belas menit dari rumah elo sering banget telat. Bagaimana ke Bogor? Bisa-bisa baru seminggu sekolah elo udah di DO!" ejek Dita dari balik telepon.
"Sialan lo! Kok elo mihak keluarga gue sih? Anyway, persiapan elo besok gimana? Aneh-aneh enggak yang disuruh sama kakak kelas?"
"Ini gue lagi ribet ngepang tali rafia buat jadi topi. Heran gue zaman udah canggih masih aja betah ngerjain orang."
"Asli! Masa tempat sampah yang bentuk basket itu harus gue jadiin tas? Hello! Enggak demen nih gue sama penindasan basi macem begini. Sudahlah di rumah gue diatur-atur sama kakak gue, masa di sekolah gue dijajah juga."
"Nasib! Tapi seenggaknya kita bisa ngecengin kakak-kakak kelas yang kece nanti. Apalagi senior-senior basket. Ow.. ow.. ow.. keringetan seksi gimana gitu," Dita dan Kirana ketawa cekikikan bareng.
"Elo sih enak, Ndut. Populasi cowok cakep di Bogor kan lebih banyak dibanding di Cibinong. Varian ras dan fisiologisnya lebih diverse. Kalau di Cibinong kan gitu-gitu aja."
"Nah... itu bisa jadi tantangan buat elo untuk menemukan berlian yang belum terasah. Dan persaingan cewek cakepnya juga pasti lebih sedikit."
"Bener juga lo! Gue kan bisa paling cantik sendiri!" Tiba-tiba muncul secercah harapan di dunia Kirana.
"Eh, sebentar. Gimana, gimana? Gue tadi lagi enggak muji elo dan masukin elo ke kategori cakep loh. Tadi asumsi dan hipotesa gue buat cewek-cewek cantik di Sekolah elo nanti."
"Sialan lo ya! Bener-bener deh, elo jadi temen enggak ada supportnya sama sekali." Rengekan Kirana kemudian hanya dibalas tawa renyah Dita dari balik telepon.
Dari luar pintu kamar Kirana tiba-tiba terdengar teriakan Nan yang menyuruhnya untuk turun ke meja makan dan makan malam bersama.
"Ta, besok abis pulang sekolah ketemu ya cerita hari pertama elo. ELO HARUS CERITA SEMUANYA! Gue harus ke bawah nih, Hitler udah manggil-manggil."
"Copy that! Bye, keriting!"
"Bye, gendut!"
Kirana pun menuntaskan teleponnya lalu bergegas turun ke meja makan. Nenek Yuan, Tante Mar dan Juno sudah ikut duduk bersama. Saat Kirana duduk Juno berusaha meraih rambutnya dengan jari jemarinya yang basah. Kirana hanya tersenyum dan membiarkannya.
Dari dapur tercium aroma masakan yang sudah selesai dibuat Mamah Kirana. Satu persatu isi meja makan pun penuh dengan berbagai makanan hangat yang siap disantap.
"Ini aku buat omlet kesukaan Nan dan Mar, sayur oyong favorit Papah, telor ceplok dan ayam goreng spesial untuk Nenek, sambal goreng kentang yang Tio selalu minta dan tentu saja bubur ayam hangat untuk si ganteng Juno."
Di meja makan semua orang mulai mengambil makanan favorit mereka masing-masing. Kecuali Kirana.
"Mah, yang spesial buat aku mana?" protes Kirana.
"Lah, kamu bukannya suka semuanya ya?" kata semua orang di meja makan kompak.
"Makan yang ada. Jangan suka milih-milih makanan!" omel Nan sambil menaruh beberapa sayuran di piring Kirana. Jenis makanan yang Nan tidak suka.
Dalam diam Kirana mengambil semua lauk yang sudah menjadi bekas semua orang. Dalam benaknya lalu terlintas pikiran tentang apakah seterusnya dalam hidupnya ia akan selalu seperti ini; dilupakan keluarganya dan selalu didikte oleh Nan.
Kirana memang secara harfiah hidup dari bekas Nan. Baju-baju yang ia pakai, sekolah-sekolah bekas Nan. Yang tak kalah epik, plot panjang hidupnya pun sudah ditentukan oleh Nan dalam sebuah slide power point. Kuliah di mana, jurusan apa yang harus Kirana ambil, potensi jenis-jenis pekerjaan yang cocok untuk Kirana, dan seterusnya dan seterusnya. Mengingatnya saja sudah membuat kepala Kirana pening.
Dari bawah meja, jemari Juno yang lengket memegang lengan Kirana. Hangat. Juno tersenyum dengan begitu gemasnya. Menyembulkan dua gigi kecil dari mulut basahnya. Kirana tidak bisa tidak tersenyum melihatnya. Mungkin satu-satunya di rumah ini yang benar-benar sadar akan kehadiran Kirana hanya Juno. Perasaan cinta Kirana pada Juno begitu besar hingga ingin menciuminya sampai besok pagi.
"Bereskan makananmu. Lalu segera tidur. Besok berangkat jam lima pagi kan bareng Nan?" tanya Mamah Kirana.
Kirana mengangguk. Satu hal yang Kirana tahu, Nan paling tidak suka dibuat menunggu.
"Sudah tidak ada yang lupa buat besok kan?" tanya Nan curiga.
"Enggak, all check!" kata Kirana yakin.
Nan kemudian memandang Kirana dengan serius, ditambah dengan tatapan seluruh orang di meja makan.
"What? Aku tahu besok hari pertama, enggak mungkin lah aku terlambat," kata Kirana membela diri.
Orang-orang di meja makan masih tidak percaya dengan jawaban Kirana karena memang reputasinya yang sering terlambat dan membuat keadaan menjadi berantakan. Seperti ada saja kelakukan yang ia lakukan dan membuat rumah berantakan karena ulahnya yang terburu-buru.
Seperti saat ia lupa mematikan keran air kamar mandi saat bangun telat untuk ujian. Jika tidak ditemukan Nenek, airnya sudah merembes ke kamar tidurnya dan membuat banjir seisi rumah.
"Yakin seratus persen?"
Kini semua orang di meja makan benar-benar berusaha memastikan untuk terakhir kali ke Kirana. Bahkan Juno ikut-ikutan juga sambil menyilangkan tangan kecilnya di badannya.
"Beres! Sudah dua kali aku cek di kamar. Berani taruhan besok aku enggak bakalan jadi sasaran omelan senior deh. Lagipula aku kan cantik, pasti semua aman."
Lalu secara kompak semua orang di meja makan melemparkan kerupuk ke arah Kirana.
---
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro