Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.-1

Tidak-ada. Semuanya berdarah.

Satu larik, seperempat, dua-duanya melebar. Tidak pada bukaan biasanya, ketika remaja laki-laki yang berbaring di atas kasur brankar itu menerawang langit-langit krem. Sorot manik mata cokelat, lama tak berkedip. Terutama berkat sumber cahaya dari lampu yang diterap di tengah, ditambah sinar tak banyak yang menembuk kaca sisi kanan. Kendati demikian, tirai hijau membatasinya.

Ini di unit kesehatan sekolah.

Tak baik berdiam terus, seperti isyarat dalam benak. Namun, kala hendak bergerak lengan dan pundak, hanya mampu separuh. Masa ingin terangkat punggung, tak ada daya sedikit pun. Remaja itu kuasanya kecil. Telapak kanan menyugar rambut hitam, dagu diangkat dengan mata mengatup, mengerang. Embusan napas saja terengah-engah, denyut nadi serasa tinggi. Sesak di bagian rongga paru, udara menipis di sekitar.

Saat butuh pertolongan, orang yang berperan datang. Memang profesinya demikian, wanita paruh baya dengan penampilan yang dikonfirmasi seorang tenaga kerja sekolah--pakaian khaki adalah utamanya. Beliau menggeser gorden hingga pengait-pengaitnya meluncur ke arah berlainan. Agak terang membuat mata silau, si remaja berseragam putih-biru menyipit sejenak, baru menatapnya.

"Kamu sudah bangun?"

Benar begitu, tatapan tanpa kejapan yang lama ialah bukti dari masih adanya pemrosesan sensoris. Sementara tangan yang menopang ke tepi kasur berlainan kemudian badan bangun ke selonjor, ialah bukti bekerjanya motorik. Meski seakan melihat kunang-kunang di pandangan, si remaja paksakan senyum kecil kepada wanita paruh baya, walau akhirnya buyar juga.

"Kata teman afro-mu, kamu g-titik-sarapan, jadinya kolaps pas doa bersama di kelas. Ingat, g?"

Entah trauma akibat terbentur kepala atau belum terkumpul pasokan oksigen ke neuron, kata-kata yang tertangkap barusan betul-betul tak dapat diapahami. Masuk telinga iya, tetapi diolah otak tidak. Maka diam sebentar adalah responsnya dengan tujuan menanti pengulangan.

Selagi menyusun rangkaian kata dalam kalimat yang acak, dia memperhatikan bagaimana gestur si wanita bergulir seiring ekspresinya beralih. Meski kain lebar penutup kepala melindungi dari telaah lebih lanjut, dia bisa memperoleh ciri bahwa wanita itu agak sintal, pendek, kakinya juga, dan pada akhirnya dia harus menerima kenyataan gagalnya keinginan membalas sebab tidak tahu dengar apa.

Namun, kali ini si wanita berujar agak jelas, dengan nada serta air muka teratur. "Masa H-perdana malah di UKS? G-titik-banget gaseh? First impression itu penting! 'Aduh, saya tidak mau ada murid penyakitan!', Bu Keepshake eh Kepsek pasti bakal ngemeng begono."

Mendapat sedikit kejelasan, remaja itu terbatuk kecil ketika mengisap udara, dan secara refleks, menampung rintik pada tapak tangan kiri. Tindakan fatal yang langsung mengundang pelarangan.

"Heh! Jangan pakai tangan begitu! Jojok! Jirik! Kalau batuk, arahkan mulutmu ke lengan baju kiri, biar air liurnya tidak ke mana-mana!" perintahnya.

Maka si remaja laki-laki mengikuti petunjuk sesuai suruh, dan lurus pun runtut aksinya, sehingga pujianlah yang dia peroleh. Sebagai hadiah sekaligus pemulih keadaan, wanita paruh baya beranjak sejenak seraya tawarkan segelas teh.

Di kala itu, selagi petugas kesehatan pergi, si remaja laki-laki yang berselonjor melirik sebelahnya. Ada kasur brankar yang sama, berjarak satu tegel. Gorden hijau terbuka sebagian, menampakkan seseorang tengah berbaring, muka menghadap tembok berjendela. Sebagaimana dia, itu remaja lelaki, berseragam putih-biru, tetapi tampak begitu kurus punggung serta tungkainya, apalagi satu hal yang jelas-jelas berbeda.

Ketika wanita berkhaki masuk kembali dengan segelas minuman di bawaan, baru si remaja bersoal.

Beliau menjawab, "Gatawuya. Dia juga murid baru kayak kamu. Tadi datang pas kamu masih tidur. Katanya badannya tidak enak, kasihan mukanya kayak kurang tidur. Dari rambut sama kulitnya yang putih, kayaknya dia bukan Asteng-Asteng gitu."

Dia menerima teh pemberian seraya berterima kasih. Perhatiannya lagi-lagi tertuju kepada remaja yang rebah-rebah, agak simpati barangkali. Bagaimana menjelaskannya? Sukar diketahui bagaimana kepribadian remaja itu jikalau hanya sekilas. Fisik yang begitu kurus—apakah bisa jadi penjawab pun, tak tentu mendukung. Menyerah mencari tahu adalah pilihan yang otomatis terambil dalam hitungan detik walau tanpa pertentangan.

Sehabis membaik badan, waktu berlalu begitu saja. Jarum pada jam dinding menunjukkan angka sembilan untuk yang pendek dan angka nan lebih kecil untuk yang panjang. Remaja laki-laki itu membenarkan baju yang dimasukkan, mengencangkan dasi biru, dan memakai kembali sepasang kaus kaki almamater. Dia turun dari kasur yang lumayan tinggi, tak memedulikan remaja di samping, sekali lagi berterima kasih kepada wanita paruh baya yang merawatnya sekadar beberapa puluh menit.

Beliau mengawai agak risau, tetapi memercayakan segalanya. "Babaya!"

Selepas memasang sepatu hitam bertali, dia berikan senyum perpisahan. Kala berjalan di koridor, geraknya berhenti untuk berpikir. Apa yang dikatakan beliau terlalu gaul. Banyak kata yang tak dia mengerti. Memang benar usaha kesehatan di sekolah tidak seharusnya jadi pilihan siswa saat bolos. Yang awalnya pura-pura sakit fisik malah ujungnya kena sakit mental.

Lalu, tatkala mereka ulang lambaian tangan si wanita, ada satu detail yang mengait rasa penasaran. Pada bagian di dekat telapak tangan, terlihat semacam gambar pola kecil warna hitam yang tertempel di kulit pergelangan.

Tanda lahir? Bukan. "Guru zaman sekarang masih ada yang pakai tato?" Remaja itu berlalu sambil berandai-andai kepada diri sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro