Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8

Sepulang sekolah, aku memberanikan diri menemuinya di ruang OSIS. Hari ini, ruangan OSIS begitu sepi–dan aku yakin hanya ada Akashi-kun di sini. Aku ingat kalau Akashi-kun masih perlu mengurus beberapa hal sebagai OSIS, jadi ia akan menetap di ruang OSIS sendirian.

"Akashi-kun! Kita perlu bicara."

Aku membuka pintu ruangan OSIS keras-keras. Aku sudah memikirkan semuanya masak-masak, dan aku yakin keputusanku yang ini adalah yang terbaik.

Benar ... ini adalah yang terbaik, untuk hubungan kami dan Akashi-kun.

Tidak, bukan untuk Akashi-kun. Tetapi, untuk diriku sendiri. Aku harus mengucapkan terima kasih kepada Chihiro-kun yang telah membuka mataku. Sebab, yang terpenting dalam hidupku adalah aku sendiri ... bukan siapapun. Aku harus memikirkan kebahagiaanku sendiri.

"(Name) ... hm? Ada perlu apa?" Tanpa basa-basi, Akashi-kun melirik malas ke arahku dengan sepasang netra dwiwarna miliknya. "Aku sibuk. Pergilah dan temui aku di lain waktu–"

"Tidak, Akashi-kun. Lebih cepat lebih baik." Aku menyela perkataannya, membuatnya mengernyit tajam. Kuberanikan diri untuk tetap menatapnya tanpa berpaling sedikitpun. "Aku minta waktumu, lima belas menit saja cukup."

"Ini terakhir kalinya aku mengganggumu. Kumohon. Biarkan aku bicara denganmu, sekarang ini. Hanya Akashi-kun dan aku, sebentar saja."

Aku membungkukkan badanku dalam-dalam, menunjukkan seberapa seriusnya aku sekarang ini. Aku memohon dengan sungguh-sungguh padanya. Aku meliriknya sedikit, ia tampak tertegun, ia terdiam tanpa suara selama beberapa saat.

"Ya sudah. Tutup pintu itu, lalu masuklah dan duduklah di situ." Akashi-kun menyingkirkan tumpukan kertas di atas mejanya dan melipat kedua tangannya di atas meja.

Aku mengucapkan terima kasih padanya dan menutup pintu, kemudian aku duduk di kursi tepat di hadapan Akashi-kun seperti perintahnya.

"Anu, Akashi-kun ... terima kasih sudah mengizinkanku untuk bica–"

"Tidak perlu basa-basi. Langsung ke intinya saja."

Sedetik setelah Akashi-kun memotong ucapanku, aku spontan menundukkan kepala, tak kuasa menerima tatapan tajamnya itu. "Ah, baik. Maafkan aku."

"Aku telah mengetahui semuanya ... Akashi-kun."

Satu kalimat terucap dari bibirku tepat setelah aku kembali menengadahkan kepalaku guna menatap wajahnya kembali. Aku tak mau dianggap sebagai pecundang yang penakut oleh Akashi-kun ... maka, kuberanikan diri untuk menatapnya lekat-lekat, sekaligus menunjukkan ketegasan dan keseriusanku.

"Oh ya?" tanya Akashi-kun sembari menyeringai sinis. Sepasang netra miliknya menatapku dengan tajam. Namun, aku telah mempersiapkan diri untuk saat ini–oleh sebab itu, aku tetap menatapnya dan tidak kembali menundukkan kepala. Menyadari tatapanku yang tidak berubah sedikitpun, Akashi-kun kemudian melanjutkan kalimatnya, "Apa yang kau ketahui?"

"Soal hubunganmu dengan Momoi ... juga kesepakatan yang kau buat dengan Chihiro-kun."

Jantungku berdebar-debar kencang. Wajahku memanas, kalimat yang kuucapkan sedikit bergetar. Aku mendadak gelisah ketika mengungkapkannya, terutama ketika hawa Akashi-kun yang sangat mengintimidasi menyelimuti sekujur tubuhku.

"Ah ... Chihiro rupanya memberitahukan semuanya padamu ya, (Name)," jawab Akashi-kun sembari terkekeh sarkas. Ia tampak tidak menyangkal, itu berarti ia memang melakukannya. "Lalu soal hubunganku dengan Satsuki, darimana kau mengetahuinya?"

"Ketika kita pergi bersama waktu itu ... setelahnya aku membuntuti Akashi-kun dan melihat Akashi-kun memeluk Momoi."

"Hmm, rupanya aku agak ceroboh karena tak menyadari kehadiranmu, (Name)."

Aku tak ada niatan untuk membalas perkataannya, dan Akashi-kun juga tetap berdiam diri. Kami berdua diselimuti oleh keheningan selama beberapa menit. Namun, jantungku tetap berdebar-debar. Isi hatiku sangat campur aduk saat ini.

"Kau sudah mengetahui semuanya. Lalu, apa yang mau kau katakan padaku?" tanya Akashi-kun dengan nada sarkas. Ia menyeringai tipis dan hanya menatapku dengan sebelah mata, merendahkanku tanpa memikirkan perasaanku. "Kau ingin aku tetap mencintaimu sesuai kesepakatanku dengan Chihiro?"

Akashi-kun beranjak dari kursi tempatnya duduk, ia segera berdiri dan berjalan untuk menghampiriku yang masih duduk diam di kursi hadapannya.

Tangan kanannya kemudian menyentuh pipiku, mengusapnya pelan sambil tertawa-tawa. "Apa kau ingin aku menyentuhmu seperti yang kulakukan pada Satsuki? Kau ingin aku memelukmu?"

"Seperti ini, hm?"

Tepat setelah ia mengatakan itu, Akashi-kun kemudian tiba-tiba menarikku untuk bangkit berdiri dan membawaku ke dalam pelukannya. Ia memelukku erat-erat, tetapi aku mengetahui–kalau pelukan yang ia berikan padaku bukanlah atas dasar cinta ...

... tetapi hanya untuk menghinaku saja.

Aku yang gemetar berada di pelukannya. Aku yang dulu pasti akan sangat senang dan berdebar-debar kegirangan ... tetapi, debaranku saat ini bukan karena bahagia. Aku takut ... dan aku marah, bisa-bisanya Akashi-kun menghinaku sampai serendah ini? Dia pikir dia bisa seenaknya?

Akashi-kun kemudian menyentuh kedua bahuku dengan seringai yang tak berubah, aku memandangnya dengan emosi yang bercampur aduk. Tangannya mengangkat daguku, supaya aku tidak menunduk dan menatap matanya lekat-lekat. "Tatap aku. Apa kau senang sekarang, (Name)?"

Aku sudah tak tahan lagi.

Benar apa kata Chihiro-kun, laki-laki ini memang brengsek. Dia adalah iblis, mempermainkan perasaanku dan tertawa-tawa dengan sarkas, seakan-akan menjatuhkan aku ke dalam jurang yang dalam.

Hahaha, aku sangat bodoh karena pernah mencintainya.

"Lepaskan aku, Akashi Seijuuro!"

Aku mendorongnya sekuat mungkin yang kubisa, membuatnya mundur beberapa langkah. Ia hanya terkekeh pelan mendapati reaksiku yang seperti ini. "Hee ... menarik."

"Tidak sedikitpun aku merasa senang, Akashi-kun. Kau bodoh kalau menganggapku masih seperti dulu, yang mencintaimu dengan sepenuh hati," kataku dengan nada bergetar. Seluruh badanku lemas, aku gemetaran menghadapinya. Air mata perlahan mengalir membasahi pipiku. "Hubungan palsu kita ... yang kau ciptakan dengan kebohonganmu sudah cukup berakhir sampai di sini saja."

"Mulai sekarang, aku takkan mencintaimu lagi, dan aku takkan berharap kau mencintaiku. Hubungan kita sudah berakhir, Akashi-kun."

Aku terisak-isak ketika pada akhirnya aku telah mengeluarkan isi hatiku. Bukan, aku tidak sedih karena kehilangannya. Hanya saja ... hatiku sakit. Sangat menyakitkan.

Aku mengusap air mataku yang mengalir semakin deras, menunggunya mengeluarkan reaksi. Akashi-kun menunduk dan belum ada tanda-tanda akan berbicara. Ia kemudian berjalan mendekatiku dengan langkah gontai. Tatapan matanya yang tajam memandangku dengan menusuk.

"A-ah ... ?" Aku mundur beberapa langkah untuk menjauhinya. Akashi-kun terlihat menyeramkan.

Aku merasakan punggungku sudah menyentuh dinding, sedangkan Akashi-kun telah berada tepat di depanku. Aku gemetar ngeri, apa yang akan ia lakukan padaku? Apa dia ingin menamparku–karena aku telah berbuat tidak sopan?

Akashi-kun mengangkat tangannya, dan aku hanya bisa memalingkan wajahku ke arah lain sambil menutup mata.

Namun, alih-alih tamparan yang kurasakan, aku justru merasakan jari milik Akashi-kun menyentuh pipiku dan mengusap air mataku yang sedari tadi mengalir.

"Jangan menangis, (Name) ... kau sudah membuat keputusan ini. Kau tidak boleh menangisinya."

Eh?

Mengapa suaranya menjadi lembut ...? Aku perlahan-lahan membuka mataku dan menangkap sosok Akashi-kun yang masih mengusap air mata di pipiku.

"Maafkan aku ...."

Akashi-kun tersenyum sendu sambil menatapku, setelah ia mundur kembali dan menciptakan jarak antara kami. Ia menyunggingkan senyumannya, dan menatapku dengan tatapan nanar. Ekspresi wajahnya tidak bisa kudeskripsikan ... tetapi aku tahu, tiada kemarahan atau kebencian yang ditunjukkan Akashi-kun padaku.

"Keputusanmu sudah tepat, (Name). Bersamaku, kau hanya akan menderita."

Aku terdiam mendengar perkataan Akashi-kun, ajaibnya, air mataku berhenti mengalir ketika ia mengatakan itu. Aku mengusap sisa-sisa air mata di wajahku. "Kau benar. Aku tidak akan menangis lagi ... Akashi-kun."

"Haha, baguslah kalau begitu." Akashi-kun terkekeh pelan. Beberapa detik kemudian, Akashi-kun mendekatiku dan mengecup singkat pipi kiriku, dan kemudian ia tersenyum samar. "Ini benar-benar perpisahan. Pergilah, (Name)."

Aku menyentuh pipiku yang baru-baru saja dikecup olehnya. Tidak dapat dipungkiri kalau melupakan seorang Akashi Seijuuro tidaklah mudah–aku mengakuinya. Rona merah kembali muncul di wajahku, aku memandangnya dengan berdebar-debar.

Ah, tetapi sesuai perkataannya, aku harus segera pergi dari sini. Sebab, jika aku terus bersamanya lagi, perasaanku bisa goyah.

Aku membungkukkan badanku pelan dan kemudian melangkah ke pintu ruang OSIS. Aku membuka pintu itu dan kemudian mengucap pamit sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, "Selamat tinggal, Akashi-kun."

"Selamat tinggal, (Name)," jawab Akashi-kun saat aku nyaris meninggalkan ruangan itu. Aku bisa lihat senyuman yang ia pasang untuk terakhir kalinya padaku. "Kuharap, kau menemukan kebahagiaanmu sendiri, meski tidak bersamaku."

"Semoga kita ... bisa berjumpa lagi (Name)."

Apa ... katanya?

'Berjumpa lagi?'

.

.

.

.

Aku ingat, sewaktu tadi Akashi-kun berbicara dan berlaku lembut padaku, ada sesuatu yang berbeda di matanya.

Benar, warna matanya.

Aku yakin tidak salah lihat.

Sepasang netra Akashi-kun ...

... berwarna merah tua?

.

.

.

.

TBC

HEWWOOO! Rashi update lagi sesuai janji Rashi~ Hehee, udah mau terkuak kan kenapa Akashi jahat ke (Name)?

Ada yang bisa tebak uhukuhuk Akashi kenapa? Pasti gampang ditebak lah ya~

Chapter selanjutnya, paling cepat minggu depan dan paling lambat dua minggu lagi! Semoga kalian menikmati chapter ini yaa, maaf kalo feelsnya kurang :"

See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro